Pagi itu cukup dingin. Reruntuhan es yang terbawa di malam
harinya mungkin memberikan efek kejut di pagi ini: dingin luar biasa. Hari ini
adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kelas XI SMA, sebuah roda perjalanan
masa-masa SMA yang harus dilalui walupun dengan efek kejut dingin pagi hari
yang terkadang buatku menggigil. Waktu menujukkan pukul 06.00, aku berjalan
sendu sambil menyanyi-nyanyi kecil demi menahan rasa absurd yang mungkin
dirasakan ribuan pelajar Indonesia: rasa kantuk. Kupercepat langkah kakiku
menuju ruang kelas, nyanyian kecil yang kunyanyikan saat melangkah: Radiohead –
Creep, ternyata mengundang petaka. Sesosok guru berkerudung yang terlihat tegas
dimataku sudah tiba dan mungkin akan segera mengajar. Aku terburu-buru,
kulupakan Radiohead untuk sementara.
“Assalamu’alaikum…..”
“Wa’alaikumsalaam….”
Teman – temanku menjawab salamku. Kurang lebih ada 12 orang di pagi itu, masih sedikit diantara 29 murid yang ada. Namun bukan itu yang mengkhawatirkanku, tapi sosok guru yang mungkin sudah senior itu diam saja, kelihatannya tidak menjawab salamku. Mungkin orang itu menjawab salam dengan pelan, atau dalam hati, aku tidak tahu. Aku mulai duduk di bangkuku, rasa gelisah tadi tertutupi karena ternyata guru itu baru datang sepersekian detik sebelum aku datang. Ternyata, beliau juga menjawab salamku, tapi mungkin aku yang tak mendengarnya. Lega pun kudapati, kunyanyikan lagi Radiohead yang tadi sempat kulupakan, dengan pelan tentunya, tapi, toh, pelajaran juga belum dimulai, teman-temanku masih sibuk beraktivitas sendiri, bercakap-cakap juga, terlihat guru tersebut juga diam, terkadang mengamati. Radiohead nyanyianku semakin liar: ditambah dengan hentakan kaki layaknya ketukan Bass Drum. Situasi ini tidak bertahan lama, Ibu Guru yang tadi masih terlihat cuek kini terus mengamati anak-anak, termasuk aku. Aku pun akhirnya terdiam, begitu juga murid-murid, takut mungkin, namun ada juga yang terdiam absurd, mungkin tadi pagi belum melaksanakan hajat: kebelet. Kulihat Bu Guru itu masih memperhatikan, terkadang memandang, seterusnya menatap, kadang juga memandangiku, aku menunduk saja, mengamati sepatu baruku, Pierro, edisi skater, cukup keren. Pengamatanku berakhir tragis saat sebuah suara berirama cukup keras mengguncang kelas.
Teman – temanku menjawab salamku. Kurang lebih ada 12 orang di pagi itu, masih sedikit diantara 29 murid yang ada. Namun bukan itu yang mengkhawatirkanku, tapi sosok guru yang mungkin sudah senior itu diam saja, kelihatannya tidak menjawab salamku. Mungkin orang itu menjawab salam dengan pelan, atau dalam hati, aku tidak tahu. Aku mulai duduk di bangkuku, rasa gelisah tadi tertutupi karena ternyata guru itu baru datang sepersekian detik sebelum aku datang. Ternyata, beliau juga menjawab salamku, tapi mungkin aku yang tak mendengarnya. Lega pun kudapati, kunyanyikan lagi Radiohead yang tadi sempat kulupakan, dengan pelan tentunya, tapi, toh, pelajaran juga belum dimulai, teman-temanku masih sibuk beraktivitas sendiri, bercakap-cakap juga, terlihat guru tersebut juga diam, terkadang mengamati. Radiohead nyanyianku semakin liar: ditambah dengan hentakan kaki layaknya ketukan Bass Drum. Situasi ini tidak bertahan lama, Ibu Guru yang tadi masih terlihat cuek kini terus mengamati anak-anak, termasuk aku. Aku pun akhirnya terdiam, begitu juga murid-murid, takut mungkin, namun ada juga yang terdiam absurd, mungkin tadi pagi belum melaksanakan hajat: kebelet. Kulihat Bu Guru itu masih memperhatikan, terkadang memandang, seterusnya menatap, kadang juga memandangiku, aku menunduk saja, mengamati sepatu baruku, Pierro, edisi skater, cukup keren. Pengamatanku berakhir tragis saat sebuah suara berirama cukup keras mengguncang kelas.
“Sudah ramenya?”
Ibu guru itu bertanya dengan renyah, sambil tersenyum,
terlihat menyindir. Jika digolongkan majas, maka ibu tadi melakukan Ironi,
namun juga mengandung Eufimisme mungkin, aku tidak tahu. Kucoba mengamati
Pierro-ku lagi, teman-teman juga terdiam, mungkin mereka sekarang menyadari
bahwa diam itu emas, dan mungkin, tatapan Ibu Guru tadi layaknya Midas Touch:
bisa membuat segala hal menjadi emas. Pengamatanku lagi-lagi berakhir dengan
tragis, ibu guru itu mulai melanjutkan kata-katanya, mungkin Pierro-ku cemburu
karena aku sekarang mengamati Ibu Guru.
“Kalau belum selesai, silahkan diteruskan ramenya, nanti,
kalau sudah selesai, bilang, gantian, nanti saya yang rame”.
Sambil tetap tersenyum, beliau kembali melakukan Midas
Touch, kelas pun makin menjadi emas, makin terdiam. Sentuhan Midas guru inilah
yang kemudian membuat aku dan teman-teman mengerti, kita perlu menghargai
seseorang. Akhirnya, suasana pun kembali cair, kembali tenang, namun aku tidak
lagi mengamati Pierro. “Miss Midas” berdiri, terlihat ingin berbicara seseuatu.
Aku dan mungkin seisi kelas mengharap hal yang sama: semoga tidak membicarakan
pelajaran. Hal ini terwujud, ya, mungkin sekarang teman-temanku yang melakukan
“Sentuhan Emas”.
Waktu menunjukkan pukul 07.00, hari sudah mulai menghangat,
es sisa tadi malam mungkin sudah mulai mencair. Aku masih duduk bersama
teman-teman lainnya di sebuah ruang kelas yang terletak di pojok sendiri. Ya,
semua orang tahu kalau ruang kelas itu adalah ruang kelas Bahasa, kelas dengan
embel-embel “minoritas”, “anak buangan” , “kelas sisa” , dan semua embel-embel
negatif lainnya. Kadang pikiranku kacau menghadapi kelas yang jumlahnya hanya
sebuah di sekolahku ini, paling sedikit diantara jumlah kelas Ilmu Alam dan
Sosial yang jumlahnya selalu banyak. "Diskriminasi," bukan hanya sebuah lagu yang
populer oleh Band Grunge asal Jakarta, BesokBubar, namun juga menjadi
“embel-embel” yang kurasakan di sekolahku. Terkadang aku menyesal, kenapa aku
yang notabene ingin masuk Ilmu Alam harus memasuki ruang Ilmu Bahasa ini,
apakah ini takdir? Namun, sentuhan “Midas” dari Ibu Guru tadi mampu membuka
mataku, membuka hatiku, bahkan membuat aku jatuh cinta dam selalu membela kelas
ini. Midas Touch ternyata bukan hanya milik Robert T. Kiyosaki. Lebih dari itu,
Midas Touch adalah milik Ibu Guru itu.
Ibu guru itu bernama Bu Niamah, seorang Guru Sastra terbaik
di dunia. Sosok guru penuh pengabdian, penuh perhatian, serta penuh kasih
sayang dalam mendidik aku, mendidik kami, anak anak “minoritas”, anak Kelas
Bahasa. Beliau adalah sosok “emas”, paling emas dalam sejarah Kelas Bahasa.
Beliau yang mengajari kami menghargai orang lain, beliau yang mengajari kami
untuk mendengarkan, beliau yang mengajari kami arti penting dari komunikasi:
tidak mungkin bisa berkomunikasi, tidak mungkin bisa belajar tatkala tidak ada
perhatian, tidak ada sikap menghargai, tidak ada toleransi, tidak ada yang mau
mendengarkan. Beliaulah yang mengajari kami, arti penting sebuah kata
“bergantian” di saat pagi pertama kami di kelas bahasa, beliaulah yang
mengajari kami, yang mengilhami kami, bahwa “bergantian” itu adalah “emas”
dalam komunikasi, dalam pembelajaran, dalam bahasa. Beliaulah, yang mengajari
kami, tentang itu semua, di saat pertama kali kami belajar di kelas bahasa. Beliau
adalah Midas Touch kami, beliaulah yang membuat kami, menjadi emas, menjadi
berharga.
Kuamati lagi Pierro-ku, agak sedikit kotor, namun tetap keren. Bu Niamah juga terlihat masih berdiri, parasnya terlihat mulai
keriput, ya, beliau memang sudah cukup berumur. Meski begitu, beliau adalah
sosok yang paling bertanggung jawab dalam Kelas Bahasa di sekolahku, namun itu
belum apa-apa, beliau adalah sosok yang paling mengerti harapan murid-muridnya
saat pagi pertama mereka: semoga tidak membicarakan pelajaran. Ya, beliau tidak
sedikit pun membicarakan pelajaran, beliau bahkan tidak membuka buku teks
atupun mencoreti papan tulis. Beliau hanya bercerita, panjang lebar, ini itu,
bercerita apa saja, bercerita tentang dunia, bercerita tentang semuanya. Ceritanya
cukup menghibur, terkadang kocak, seperti Ernest Prakasa yang ber-Stand Up
Comedy, namun, beliau adalah sosok Midas sebenarnya, karena dibalik itu semua,
tersimpan emas, tersimpan emas yang membuat kami belajar, karena sesungguhnya,
dibalik cerita yang dituturkan oleh Bu Niamah kepada kami, terbungkus banyak
sekali pembelajaran, pelajaran, dialektika, rima, puisi, majas, segalanya.
Harapan kami yang ingin agar beliau tidak membahas pelajaran memang terwujud,
namun, yang membuat aku bangga, beliau berhasil memoles, berhasil membungkus
pelajaran menjadi sebuah esensi cerita yang tiada habisnya, menjadi epik yang
menarik layaknya Harry Potter, dan inilah yang membuat aku tertegun, harapan
kami dan mungkin seluruh murid di dunia ini untuk tidak membahas pelajaran saat
hari pertama mungkin miskin konotasi dan perlu direvisi, karena kami sebenarnya
hanya mengharap: Pembelajaran yang tidak membosankan.
Waktu demi sedikit mulai berlalu. Rasa kantukku, bahkan
lirik Radiohead yang sempat kudendangkan tadi pagi sedikit demi sedikit hilang.
Hilang digantikan cerita – cerita dari The Midas Touch, Bu Niamah. Perhatianku
kini tidak lagi pada Pierro-ku yang dari tadi kuamati. Ya, aku lebih tertarik
dengan cerita Bu Niamah, ceritanya menggugah, inspiratif, bahkan luar biasa.
Aku hanya tahu setelah beliau bercerita, ada beribu nasehat, ada jutaan
semangat yang memompa aku, memompa kami, kelas bahasa. Saat itu, beliau dengan
gagahnya bercerita tentang Kelas Bahasa. Menurut beliau, dari awal beliau
mengajar, kelas bahasa itu selalu sedikit, baik kelasnya, maupun jumlah
muridnya. Kelas bahasa jika dikategorikan dalam esensi intelejen dapat
dikatakan sebagait korban. Namun, Bu Niamah sebaliknya, beliau, lewat
kata-katanya, lewat analoginya, mendeskritkan dan menginginkan kelas bahasa
menjadi “tersangka utama”, dalam konotasi positif tentunya. Beliau yang memompa
kami agar berani “unjuk gigi” di depan kelas-kelas lain. Beliau yang mengajari
kami, bahwa kelas bahasa adalah sebuah peran utama yang patut disyukuri, dan,
beliau, yang mengunyah habis rasa malu kami, rasa “terbuang” kami, rasa “tidak
pantas” kami karena berada di kelas bahasa, dengan sentuhan emas. Dengan
sentuhan kasih sayang. Harga diri kami seketika terangkat. Terutama aku, yang
awalnya menganggap diriku korban dan anak buangan karena sebelumnya aku ingin
masuk jurusan Ilmu Alam. Aku menjadi semangat, menjadi berkobar. Ya, hanya
lewat tulisan inilah, aku bisa membuktikan, bahwa ternyata kelas bahasa tak
seburuk yang kita bayangkan. Karena di dalamnya, terselip jutaan kebahagiaan
tiada tara, jutaan metafora indah, jutaan kata-kata dari bahasa lain di dunia,
jutaan memori tentang indahnya seni dan imajinasi. Aku tidak tahu aku akan
berkata apa, namun yang pasti, aku cinta kelas bahasa. Aku cinta bahasa.
Waktu kembali berdetak. Kulihat jam diterbangkan angin waktu
menuju pukul 07.30. 30 menit beliau bercerita, memompa semangat kami. Kulihat
kembali Pierro-ku seiring Bu Niamah yang sedikit demi sedikit beralih cerita.
Ceritanya kini tentang politik, tentang pemerintahan, tentang Indonesia.
Sungguh, aku sempat berpikir jikalau beliau memiliki passion yang besar
terhadap dunia politisi. Ungkapannya laksana Presiden: masuk akal, cerdas, dan
juga berani. Mungkin, inilah yang dinamakan bakat Guru Sastra Indonesia yang
hebat. Namun, kelihatanya, beliau juga memahami Kewarganegaraan, bahkan juga
mendalami teologi. Kami, secara abstrak bahkan sempat melantunkan pameo Niamah
For President. Mendengar cerita beliau tentang Indonesia, laksana berada di
tengah-tengah medan perang yang kejam menghadapi penjajah. Beliau juga
mengajari kami untuk menghormati Merah Putih, karena, ribuan nyawa dikorbankan
untuk mengibarkannya. Aku tidak tahu, namun, beliau selalu terharu saat
dinyanyikan Indonesia Raya saat Upacara Bendera. Nasionalismenya sungguh hebat.
Lagi-lagi, inspirasi diberikan oleh Sang Midas kepada kami. Ungkapan beliau
yang paling menggugah adalah, satu hal yang membuat negara kita berantakan,
kacau balau, dan rusuh: Televisi. Mungkin, kita sudah tahu apa yang dimaksud Bu
Niamah, dan merepresentasikannya dalam berbagai intrepertasi.
Hidup hanya sekali, terlalu menyedihkan jika mendengarkan
lagu-lagu tak berkualitas. Itu ungkapan Ucok Homicide. Setali tiga uang dengan
Bu Niamah, yang mengajak kami untuk menyanyi gembira saat beliau merasa kami
sudah lelah dan bosan. Laskar Pelangi, masterpiece epik karya Nidji dengan
irama yang menggugah serta lirik yang inspiratif, kami nyanyikan hari itu.
Tanpa disadari, nyanyian kami bersama – sama untuk pertama kalinya, di pagi
itu, adalah tonggak awal kebangkitan Kelas Bahasa. Bahkan, itu adalah momen
paling bersejarah, paling berpengaruh, dalam menggapai mimpi kami, terus
berjuang di kelas bahasa.
Mimpi adalah
kunci
Untuk kita
menaklukkan dunia
Berlarilah,
tanpa lelah
Sampai
engkau meraihnya
…..
Menarilah
dan terus tertawa
Walau dunia
tak seindah surga
Bersyukurlah
pada yang kuasa
Cinta kita
di dunia
Selamanya……
Tanpa
disadari, lagu tersebut menjadi penutup perjumpaan kami dengan Miss Midas, hari
itu. Dan, tanpa disadari juga, Kelas Bahasa kini mempunyai soundtrack. Kami
menjadi lebih siap dan lebih semangat esok harinya. Bahkan, semangat ini masih
terus mengalir sampai hari ini. Layaknya The Velvet Underground yang konsernya
hanya ditonton sedikit orang namun tiap orang yang pulang dari konser tersebut
terinspirasi untuk membuat band.
Foto yang iseng diambil saat Pelajaran Sastra. Momen yang mungkin akan dirindukan di masa depan. |
Tulisan ini berdasarkan pengalaman
saat menduduki kelas XI di Jurusan Bahasa SMAN 1 Pandaan.