Monday, July 15, 2013

Apa Kabar Kantin Smanda?

Waktu belum terlampau siang, sekitar hampir mendekati pukul sembilan. Lonceng istrahat belum berbunyi. Di kelas masing-masing, pelajaran masih berlangsung khidmat. Pintunya tertutup rapat. Hari itu, para guru mengajar dengan semangat. Beberapa siswa juga terlihat antusias, meski beberapa diantaranya dengan damainya meniduri bangku. Mengantuk.
“Rek, luweh. Gurune kok gak metu-metu seh?” Ucapan berbahasa jawa ngoko keluar dari mulut Rusdi, salah seorang siswa yang sepertinya belum melahap nasi dan meneguk susu, singkatnya: belum sarapan. “Iyo, aduh, sampek seneb wetengku!” Salah seorang siswa lain menanggapi. Zack namanya. Dengan memegangi perut dan sedikit menyeringai, tingkah polah bocah itu mengindikasikan dua hal; belum sarapan atau belum menunaikan hajat penting di ruangan paling pojok di sekolah; kamar mandi. Dari hal tersebut, kita bisa tahu kemana kedua orang ini akan meluncur saat bel berbunyi, atau paling tidak, saat gurunya pergi.
Kekhusyukan pembelajaran, keintiman guru dan murid serta durasi yang cukup lama untuk waktu belajar demi kualitas dan mutu siswa adalah hal yang bisa kita lihat secara gamblang di SMA Negeri 1 Pandaan. Gerbang sekolah yang megah; dengan konstruksi layaknya sebuah buku besar yang terbuka, adalah pintu masuk bagi itu semua, terutama bagi siswa yang gila belajar, juga guru yang gila mengajar. Tapi, efek yang mengandung semacam isyarat bahwa ada sedikit beban dari siswa juga tak dapat dipungkiri. Seperti cerita Rusdi dan Zack diatas contohnya.
“Masuknya jam enam bila ada tambahan pelajaran. Kita istirahat sebentar jam tujuh, lanjut pelajaran lagi sampai waktu isirahat pertama, jam sepuluh.” Salah satu guru di SMAN 1 Pandaan memberi komentar. “Saat istirahat jam tujuh, para  siswa bisa memanfaatkan waktu, baik untuk sarapan, ataupun aktivitas yang lain.” Papar guru tersebut. Tapi agaknya Rusdi dan Zack tak memanfaatkan waktu istirahat tersebut dengan baik. Bisa dibayangkan keadaan antara jam tujuh sampai jam sepuluh bagi orang yang belum sarapan. “Wetengku loro, luweh!” jelas Rusdi mencoba mendeskripsikan kondisinya.
Sementara itu, di bagian belakang sekolah, lelaki tua berkepala plontos yang terlihat sudah berumur, sibuk menghangatkan rantang besar berisi soto ayam yang sepertinya isinya bisa lebih dari lima puluh porsi soto. Disajikan dalam mangkok, soto itu cukup terkenal di kalangan siswa SMAN 1 Pandaan, semacam masakan legend yang mendarah daging. “Soto Pak No,” begitu para siswa menyebutnya. Dan benar, lelaki yang menjual soto di kantin itu memang bernama Pak No.
“Lumayan rame, Alhamdulillah. Kadang belum sampai bel pulang, sotonya udah habis,” Ujar Pak No menceritakan sotonya yang laris manis. Dengan harga yang cukup terjangkau bagi kalangan pelajar, ditambah dengan porsi pas yang tak mengecewakan, Soto Ayam Pak No sepertinya jadi primadona. Urusan perut para siswa seakan dimanjakan oleh Pak No; soto dengan daging ayam yang tak bisa dibilang sedikit, nasi yang lumayan mengenyangkan, juga air kuah yang seolah-olah bisa membuat kita makan tanpa memesan minum.
“Untuk seporsi soto, biasanya dijual tiga ribu rupiah untuk porsi biasa dan tiga setengah untuk porsi pull,” terang Pak No. Di porsi yang biasa disebut pull, yang merupakan sedikit plesetan khas orang jawa dari kata full, kita bisa mendapatkan nasi dan irisan ayam yang lebih banyak dibanding porsi biasa. Cukup dengan menambah lima ratus rupiah saja. Dan ini adalah salah satu solusi terbaik bagi siswa yang belum sempat sarapan. Bahkan, ada siswa yang setiap harinya mengandalkan Pak No sebagai solusi.
Salah satu penikmat setia soto Pak No adalah Galley, siswa yang paling dulu ada di kantin saat bel berbunyi, bahkan terkadang saat bel belum berbunyi. Menurutnya, hanya dengan bermodal lima ribu rupiah, lambungnya bisa terisi penuh. Kenyang.
“Soto pull regane telu setengah, ditambah es teh regane sewu mangatus, Pak No ancen paling sip. Tapi kelarangen koyok’ane es teh-ne, aku maleh gak iso ngecer kerupuk, limangatusan. Duek ku mek limangewu Jo!” kata Galley pada teman-temannya saat sedang menyantap seporsi soto panas. Tempat makan Galley dan teman-temannya, yang notabene anak laki-laki, memang cukup eksotis. Area yang terletak di sebelah ruang guru (baru) ini memang difungsikan sebagai salah satu jalan menuju kantin, semacam koridor beratapkan pohon-pohon besar yang menjulang rindang. Para siswa yang beruntung bisa makan disana dengan duduk di kursi porselen yang tersedia di bawah pohon. Sementara yang lainnya, lebih memilih duduk ala lesehan di ruangan yang agak tinggi di sebelah ruang guru. Suasananya cukup luas dan menyenangkan. Disitulah sepertinya tempat berkumpulnya para siswa dari segala kelas dan jurusan. Sehingga boleh dikata, bahwa tempat makan disini adalah tempat yang cukup merakyat. Salah satu contohnya adalah budaya satu gelas untuk semua yang kerap kali terjadi. Siswa yang membawa minuman, semisal es teh atau jus, tak sungkan membaginya kepada siswa lain yang sedang makan atau sekedar duduk disana.
Di sisi yang lain, tempat makan (resmi) yang sudah disediakan sekolah, masih sangat longgar saat itu. Kantin memang belum terlampau ramai. Tempat yang disediakan terlihat sangat layak memenuhi standar kantin yang berkualitas dan bermutu; adanya tempat duduk yang nyaman, beberapa gazebo, dengan banyak kursi yang tersedia. Jika SMAN 1 Pandaan boleh dimisalkan sebuah mal, maka tempat itu adalah “food court”-nya. Tapi, banyak diantara bocah-bocah laki-laki memilih untuk tidak makan disana. Mereka tetap memilih makan di tempat biasa yang merakyat. Seperti Galley dan kawan-kawanya.
“Isin aku mangan kono, didelok’i wong, rame, kadang guru yo meneng kono,” ujar Galley mengungkapkan alasanya mengapa tak memilih makan di tempat yang sudah disediakan. Meski begitu, area “food court,” tetap saja penuh dan selalu ramai, oleh siswa putri juga beberapa siswa laki-laki.
“Iku mainstream area. Lek ndek kene iki underground, indie. Hahaha,” kata salah seorang anak mencoba talkshit dengan komparasi yang menarik.
Bel berbunyi dengan kerasnya. Pukul sepuluh. Beberapa siswa yang tertunduk lesu segera berjingkrak dan menuju tempat favoritnya masing-masing. Salah satu yang terlihat kegirangan adalah Rusdi, yang sedari tadi menahan gejolak di perutnya. Ia bersama Zack, dan satu lagi temanya yang bernama Ardi, segera bergegas menuju kantin. Rupanya, Zack berpindah haluan ketika melihat kamar mandi.
“Sek yo, rek. Urusan mendadak, hehe.” Ujar Zack pada kedua temanya. Sepertinya mereka tahu Zack akan melakukan apa. Kamar mandi pria, berjarak tak jauh dari kantin. Tempatnya cukup dekat dari area makan “underground” di sekitar rimbunan pohon. Karena itulah siswa biasanya sering nongkrong disana setelah makan. Semacam tempat favorit untuk hangout. Terlihat Rusdi berjalan dengan gontai menuju kantin, tepatnya tempat penjaja makanan. Sementara Ardy terlihat lebih tergopoh-gopoh.
“Ayo, Rus, selak rame!” kata Ardi. Rusdi hanya mengangguk. Setelah melewati kamar mandi, mereka melewati tempat makan bawah pohon untuk menuju tempat penjaja makanan. Beberapa siswa sudah sibuk mengunyah saat mereka lewat. Setelah sampai di tempat penjaja makanan yang mirip sekali dengan pujasera, mereka berdebat.
“Mangan opo iki, soto ta?” tanya Ardi. “Ojok, aku wingi mari nyoto! Ayam goreng ae!” jawab Rusdi. “Aku mari mangan ayam maeng isuk!” Ardi menaggapi lagi. “Lho koen maeng mari sarapan ta? Wedhuuus!” ujar Rusdi. Sepertinya Ardi sudah sarapan tadi pagi, rupa-rupanya ia ke kantin untuk makan lagi, semacam nafsu makan yang besar. Akhirnya, Rusdi mengantri untuk mendapatkan ayam goreng plus nasi hangat. Penjualnya bernama Om Heri. Sementara Ardi yang sedari tadi mengincar soto, harus segera mengubah pilihan karena antrian di Warung Pak No sungguh luar biasa. Ardi akhirnya menuju Warung Mak Yati, untuk memesan tahu lontong yang khas. Zack yang biasanya lama di kamar mandi, secara mengejutkan hadir di depan Warung Mak Kun yang menyediakan berbagai jenis gorengan. Sepertinya ia butuh pendorong untuk aksi keji di kamar mandi yang sedari tadi mungkin gagal.
Tempat makan Rusdi hari ini, Heri Fried Chicken namanya. Penjualnya adalah trio ramah yang selalu melayani pembeli dengan segera. Pemiliknya bernama Om Heri, Sarjana Sosial, juga penjaga sekolah yang berjualan di kantin sebagai sampingan. Ia sepertinya tahu menu yang diinginkan sebagian siswa di SMAN 1 Pandaan. Ditemani sang istri dan juga pembantunya yang bernama Mbak Win, Om Heri berhasil menggabungkan konsep makanan ala mal yang banyak diminati dengan kantin sekolah. Terbukti dengan peralatan makan, juga menu-menu menarik yang biasa kita jumpai di mal-mal besar. Menu yang sudah menjadi trademark Heri Fried Chicken diantaranya; ayam goreng ala Kentucky, ayam kecap serta nasi goreng. Minumanya juga menarik; jus aneka buah dengan es batu yang niscaya membuat gigi susah payah mengunyahnya. Fleksibilitas juga ditawarkan di HFC dengan menyediakan kertas minyak untuk melayani permintaan siswa yang minta dibungkus. Harga di sini agak sedikit lebih mahal dari soto Pak No. Sekitar empat ribu rupiah untuk seporsi Kentucky dan nasi hangat, lima ribu rupiah untuk seporsi Kentucky dan nasi goreng. Selain itu, berbagai pelengkap lain penggoda selera sengaja dipajang untuk menarik perhatian siswa yang sudah kejang-kejang akibat kepalaran. Telur, sambal goreng tempe, dan ikan bumbu bali diantaranya.
“Sego goreng, ambek ayam kentucky. Tambah endok iki om, piro dadine?” pesan Rusdi sekaligus bertanya. “Oh, enam setengah, bos!” jawab Om Heri. “Tambah tempe iki wes om cek pas pitu!” kata Rusdi diiringi anggukan Om Heri. Dengan piring plastik lebar yang cukup untuk menampung makanan dalam porsi banyak, Rusdi terlihat ingin segera menyantap makanan yang ada di hadapanya. “Ayo om! Susuk’e! Luweh pol iki!” dengan tak sabaran Rusdi menagih kembalian uang sepuluh ribuannya. Apapun memang bisa terjadi saat lapar.
Untungnya, Om Heri adalah tipe orang sabar, humble dan suka bercanda. Itu juga yang menjadi daya tarik HFC. “Opo’o yo lek aku ambek arek-arek kelasku kate mangan, mesti didisekno. Apik’an ancen Om iku!” begitulah testimoni pelanggan setia HFC, Rusdi. “Wee, arek ganteng, boyband! Opo ae iki rek mangane?” Rusdi menirukan ucapan Om Heri saat melayani ia dan kawan-kawannya yang antri memesan makanan. Sebutan boyband yang familiar untuk geng Rusdi adalah salah satu bukti betapa humble-nya Om Heri. Satu lagi, di tenant ini, para pelanggan bebas mengambil nasi. “Lek kurang jukuk’o maneh rek. Gak popo!” kata Om Heri. Dan ini adalah keuntungan favorit dari para siswa dengan porsi makan yang besar, “porsi tukang” istilahnya. “Ben wareg ho!” ujar Zack yang sudah biasa mengambil porsi besar ini. Om Heri adalah orang baru yang berjualan di kantin, karena sebelumnya ia berjualan di rumahnya, yang secara ajaib menyatu dengan sekolah. Meski begitu, tak butuh waktu lama bagi Om untuk menarik perhatian warga kantin.
“Ayo, Ndul!” teriak Rusdi kepada Ardi yang masih terlihat mengantri di Warung Mak Yati. “Lhoo, sabar, tenang, tenang. Iki tahu-ne sek digawekno!” ujar Ardi. Warung Mak Yati, adalah termasuk warung yang legend di SMAN 1 Pandaan. Bersama Pak No dan Mak Kun, Mak Yati merintis karir sudah cukup lama sebagai penjaga kantin. Ia sudah menjaja makanan bersama tiga teman seperjuanganya itu semenjak kantin masih belum sebagus sekarang. Tempatnya dulu sederhana. Sebelum pindah tempat, hanya ada tiga tenant yang ditempati tiga pedagang waktu itu; Mak Yati, Mak Kun dan Pak No. Karena itulah predikat legend layak disematkan pada warungnya, yang kini sudah bagus di area pujasera. Kantin SMAN 1 Pandaan yang dulu terbatas pada tiga tempat makan, kini telah berevolusi dua kali lipat menjadi enam tenant di food court. Tiga tenant legend, satu tenant Om Heri dan dua tenant antah berantah. Disebut antah berantah karena tenant ini sering bergonta-ganti pedagang. Entah karena tidak laku, terlalu mahal atau karena masakannya kurang lezat jika dibandingkan empat tenant tersebut. Tapi inilah yang menambah keberagaman rasa di kantin SMAN 1 Pandaan.
Mak Yati berjualan dengan dibantu putrinya, Mbak Devi, yang juga merupakan satpam perempuan pertama di Smanda. “Iyo, rek, sabar sabar. Tenang ae kabeh pasti oleh kok! Tenang tenang!” Ujar Mak Yati sambil tersenyum. Ia memang keibuan. Dengan menu andalan tahu lontong, bakso, siomay dan kare ayam, yang semuanya dibandrol hanya dengan tiga ribu rupiah. Harga yang amat sangat terjangkau, tentu juga dengan rasa dan porsi yang bisa membuat siswa semangat kembali saat belajar.
“Disini favoritnya itu bakso dan tahu, lumayan wareg arek-arek kenek iku. Lek bakso biasae digae arek wedok, ringan soale. Arek genda’an (pacaran) yo biasae pesen iku!” Ujar Mak Yati. Selain menu tersebut, Mak Yati juga menjual gorengan. Keuntunganya warungnya pun lumayan, ia bisa menunaikan haji tahun lalu. Sepertinya warungnya berkah.
Ardi pun sudah mendapat pesananya. “Ganok susuk’e (kembalian) ta mak? Yo wes engkok ae pas moleh tak jupuk!” ujar Ardi. Warung Mak Yati memang terkadang buka sampai sore. Jadi saat para siswa pulang, Mak Yati masih stand-by disana.
Semantara Rusdi dan Ardi sudah mulai menyantap makanannya, Zack terlihat masih berada di tenant Mak Kun, sebuah warung yang juga legend. Menyediakan gorengan aneka rasa, semacam ote-ote, tahu brontak, pisang goreng, tempe menjos bahkan yang terbaru juga menjual bakwan jagung, yang biasa disebut dadar jagung. Pada awalnya warung ini sempat terkenal dengan menu mie instannya yang sungguh cepat pelayanannya. Rasa dan porsinya juga khas.
“Biasane tak tambah racikan lombok, cek sedep,” ujar Mak Kun. Ditemani ibunya, yang sudah berusai sangat sepuh, yang biasa dipanggil “Mbah” oleh para siswa, setiap hari, dari jam enam sampai sore kadang, mereka berjualan. Mak Kun dan Mbah sungguh merupakan ibu kantin yang sangat baik, juga amat sangat ramah. Terkadang ia memberi gratis gorengan kepada pelanggan setia, Rusdi dan Zack diantaranya. Ia juga hafal nama-nama pelangganya, satu persatu.
“Zack, lah kok mek tuku gedang tok. Oalah rugi ganteng-ganteng tuku mek titik!” kata Mak Kun dengan nada bercanda. Zack hanya tersenyum. “Sek kere, Mak. Hehe.” Kedekatan itulah yang menjadi daya tarik tersendiri di tenant ini. Lain halnya dengan tenant antah berantah yang biasanya hanya sekedar melayani makanan siswa, terkesan kaku dan dingin. Beda warung legend dengan yang masih baru sepertinya adalah kehangatan penjualnya.
Beberapa saat sebelumnya, sempat tersiar kabar bahwa mie instan menjadi menu yang “diharamkan” untuk dijual di Smanda. Proyek lingkungan besar-besaran bernama Adiwiyata adalah sebabnya. Sempat juga kabar burung tersebar, bahwa eksistensi Warung Mak Kun terancam. Dengan dilarangnya penjualan mie instan, para siswa pun banyak yang mengkhawatirkan tenant idolanya tutup.
Sakno rek Mak Kun lek  misale warunge tutup. Kehilangan rek aku!” begitu pendapat salah satu siswi perempuan yang sepertinya menjadi pelanggan setia Mak Kun.
Tapi di hari-hari setelah pelarangan mie instan itu, Mak Kun seperti menunjukkan eksistensinya berjualan di kantin. “Husshh, ngawur ae! Wes gak oleh dodol mie ambek sekolahan. Gak apik jarene!” kata Mak Kun saat beberapa siswa iseng memesan mie instan. “Iki lho rek, menu anyar! Mangano wes cek ero rasane!” kata Mak Kun menawari. Menu yang ditawarkan Mak Kun sepertinya menunjukkan nalurinya sebagai penjual kantin sejati yang tak kalah oleh sekedar mie instan. Pecel, ayam goreng, dan sayur adalah menu yang kini dengan bangga dipajang di tenant Mak Kun. Bungkus mie instan berbagai merek dan rasa yang biasanya nampak di depan tenant-nya, kini sudah tak nampak.
Rupanya, menu baru ini mengundang cita rasa yang lain. Jelas, para siswa menyukainya. Apalagi, dengan menambah modal lima ratus perak, mereka bisa menambah lauk gorengan, seperti tempe dan dadar jagung.
“KFC iki bro, Kun Fried Chicken. Hahaha!” ujar salah satu siswa yang terlihat lahap menyantap pecel dengan tambahan ayam; menu santap yang baru. Nasi dengan ukuran yang cukup mengenyangkan, lauk ayam dibalut tepung yang khas, sayuran segar sebagai pelengkap, serta guyuran bumbu pecel yang padat oleh kacang-kacang gurih yang diuleg rata, menjadi daya tarik tenant Mak Kun sekarang. Ayam-nya spesial, berbeda dengan HFC yang mengunggulkan tepungnya yang tebal, ayam Mak Kun lebih tipis taburan tepungnya. Namun rasanya tak kalah dengan milih HFC. Mereka berdua mempunyai ciri khas yang sama-sama enak.
Istirahat pun usai. Rombongan siswa segera berduyun-duyun memasuki ruang kelas, termasuk Rusdi dan kawan-kawan. Beberapa anak yang baru saja memesan makanan terlihat tergopoh-gopoh menghabiskanya. Mulut mereka jadi tahan panas.
“Ayo, anak-anak! Sudah masuk, agak cepat ya makannya!” ujar salah satu guru yang kebetulan lewat di depan anak yang sedang makan. Mereka menanggapinya dengan mengangguk saja. Tentu tak mungkin mengucap kata-kata yang bisa berakibat semburan makanan ke arah yang tak diinginkan. Mulut mereka penuh.
Pasca istirahat, kantin lumayan sepi. Terutama setelah anak-anak yang baru makan tadi berlari ke kelas. Pengunjung kantin “food court” pasca istirahat ini biasanya adalah tukang kebun, para satpam, anggota tata usaha, juga guru yang kebetulan tidak mengajar. Biasanya mereka berkumpul sambil memesan kopi hangat, juga makanan ringan seperti gorengan dan bakso.
Para penjual kantin; Pak No, Mak Yati, Mak Kun dan Om Heri terlihat beristirahat sejenak. Biasanya waktu ini menjadi ajang curhat para pedagan kantin, juga ajang pijat memijat dan terkadang saling mencoba dagangan satu sama lain. Rasa kekeluargaan yang tinggi terasa sekali disini. Tak ada sifat bersaing karena mereka sudah mempunyai pasar masing-masing. Setelah itu, barulah mereka membersihkan area kantin; tenant, area food court juga area makan sekitar pohon. Mereka juga tak ragu untuk membawa piring yang tak dikembalikan oleh para siswa, meskipun bukan piring milik mereka sendiri, tetapi milik penjual yang lain. Budaya gotong royong yang patut dicontoh.
“Waduh, yoopo arek-arek iki, wes onok peraturan semua siswa harus mengembalikan piring waktu selesai makan, sek dilanggar ae!” begitu kata Mak Yati. Tentu sikap baik para siswa, seperti menjaga kebersihan, tidak membuang sampah sembarangan dan mengembalikan piring ke tempat yang sudah disediakan waktu selesai makan dapat menjadi kebanggaan tersendiri bagi para penjual kantin. Ada perasaan semacam “anak sendiri” bagi para penjual yang telah melayani siswa selama puluhan tahun tersebut. Mereka bangga saat siswa berubah lebih baik. Meski banyak juga kelakuan siswa yang bebal. Walau begitu, para penjual kantin ini dengan sabar dan penuh kasih tetap melayani mereka. Sebuah pengabdian yang tulus.
Waktu menunjukkan hampir pukul satu. Para siswa tentu sedang sibuk belajar di dalam kelas. Terlihat Pak No membereskan daganganya. “Kukut kukut! Moleh moleh!” ucap Pak No sambil tersenyum. Penghuni kantin yang lain sudah paham akan kebiasaan Pak No itu. Mereka hanya bisa menanggapinya dengan bercanda, yang kemudian meledak dengan tawa riang pada akhirnya.
Sementara Mak Kun, terlihat letih. Kelihatan sekali dari raut mukanya. Dengan pakaian skuter mania-nya yang bermacam macam, yang sepertinya diberi putranya yang tergabung di komunitas vespa, Mak Kun tetap menunjukkan senyum. Pernah dalam suatu wawancara untuk tugas bahasa perancis, saya dan Ardi menemukan keteduhan dan keikhlasan yang cukup dalam dari seorang Mak Kun. “Lek arek-arek seng njupuk gorengan, terus gak mbayar, langsung ditinggal mlayu, iku yo lumayan akeh. Tapi aku kate nagih yo gak enak, aku ero kok sopo-sopo ae seng biasae ngono. Yo diikhlasno ae gak popo, be’e ancen arek gak duwe, sakno.” Kata Mak Kun. “Tapi arek-arek seng gak mbayar iku biasae lek wes lulus terus rene maneh iku sungkan nang aku. Kadang moro rene, ngaku. Terus aku dekek’I seket ewu. Gelek ngono iku wisan.” Mak Kun menambah ceritanya diakhiri dengan tertawa. Dengan keuntungan yang tak seberapa, ternyata ada juga siswa yang masih mencurangi Mak Kun. Tapi nyatanya, Mak Kun malah menghadapinya dengan tulus ikhlas, seperti perasaan ibu terhadap anaknya sendiri.
Bersama Mak Yati, Mak Kun juga tak pernah alpha shalat dzuhur. Saat musola sepi adalah saat yang tepat bagi mereka untuk bersyukur atas rejeki yang didapat hari ini. Bersimpuh sujud dan untaian doa juga tak lupa dipanjatkan. Dengan sifat mereka yang tulus, rasanya tak mustahil jika mereka juga mendoakan para siswa. Mereka adalah penjual kantin yang benar-benar pantas diberi predikat legend. Mungkin pihak SMAN 1 Pandaan kapan-kapan bisa mengundangnya di perhelatan wisuda. Bukan tak mungkin mereka akan merasa bangga sekaligus kehilangan. “Lho, arek iku. Seng biasane pesen mie soto saiki wes lulus. Mugo sukses wes!” begitu kira-kira ungkapanya.
Waktu menujukkan hampir pukul dua. Bel pulang berbunyi renyah. Para siswa sibuk berbenah. Berbondong-bondong menuju parkiran dan gerbang yang baru dibuka. Terlihat Ardi, ditemani Zack menuju kantin, tepatnya di Warung Mak Yati.
“Maaak!” Ardi memanggil Mak Yati. “Susuk-ku maeng wes onok ta?”

Notes: Sedikit berlatih menulis tulisan jenis feature. Demi alasan privasi, beberapa nama sengaja disamarkan.

Sunday, May 12, 2013

Spenda: The Real School Of Rock

Jaman – jaman SMP adalah masa yang seru. Masa pertumbuhan, gaya berandal dan musik keras. Mendengarkan lagu – lagu rock bagus yang belum pernah saya dengar sebelumnya, meniru habis – habisan style mereka dan menjadi sedikit bengal dengan lirik usil mereka. Ya, saya mengenal dunia musik keras saat SMP. Sekolah saya waktu itu, SMP Negeri 2 Pandaan (disingkat agak terbirit – birit menjadi “spenda”) adalah tempat mana saya pertama kali merasa jatuh cinta dengan musik rock.  Lirik yang anthemic, nada yang mengusik serta embel-embel bising menjadi santapan empuk bagi telinga awam yang belum paham distorsi. Saya mengingat banyak aliran yang akhirnya saya tahu dan saya cintai hingga saat ini. Dan Spenda adalah School Of Rock yang sejati. Nu Metal, Heavy Metal, Punk Rock, Proggressive, Rock N’ Roll bahkan Grunge, adalah dosa bila kita tak menganutnya. Perkenalan akan dunia musik keras banyak dipengaruhi oleh kawan-kawan saya semasa SMP (thanks friend!). Berkumpul di pojokan kelas, mengencangkan volume hingga tinggi dan menyanyikan lagu kita bersama, “Sweet Child O’Mine”. Mungkin Axl Roses akan bangga, tapi Slash -yang kini jadi seteru Axl- adalah idola kami bersama.
Waktu itu dunia masih hitam dan putih, polos. Saya tak mengenal apa itu rock, punk, metal atau apapun itu saya tidak tahu. Saya adalah pendengar musik televisi dan radio, terlalu mainstream. Saya cinta musik sejak menjadi penggemar MTV dan pendengar setia radio musik yang entah saya lupa namanya. Well, MTV “gue banget” dengan Top 20 Chart wajib dimiliki lagunya saat itu, entah download, bluetooth atau bahkan merekam televisi. Memang di rumah saya terdapat banyak kaset rock, apapun, tapi saya masih tak paham. Dan SMP adalah embrio rock n’ roll saya yang paling signifikan dan berpengaruh.
Pengaruh pertama adalah Avenged Sevenfold. Heavy metal kenamaan asal Huntington Beach California ini membuat saya meledak lewat “Bat Country”. Sebuah lagu bak kelelawar menyeramkan hadir dan bising di pemutar musik saya setelah salah seorang kawan menulis liriknya di buku usangnya. Lalu bayangan akan musik “keren” mereka muncul saat teman-teman mendengarkannya bersama sambil ber air – guitar dan air – drum. Lima orang “pemecah kepala” nan buas, Matt, Syn, Zacky, Johny dan Rev memainkan musik di bawah pengaruh cheap beer a la California, dan mereka mulai membual musik heavy seperti Metallica. Dan ini menarik. Saya tertarik dan akhirnya mendownload beberapa mp3 Sevenfold, dan berevolusi menjadi Sevenfoldism. Dunia hitam putih saya berubah seketika menjadi dunia yang gahar.
Avenged Sevenfold hampir selalu terdengar jika berkumpul dengan teman-teman. Yang saya tahu, banyak juga Deathbat atau Sevenfoldism perempuan di SMP saya yang juga jatuh cinta dengan band ini. Ini mengejutkan! Keren jika perempuan memuja distorsi, dan itu ada di jaman saya SMP. Pesona Matthew dengan topi dan kacamatanya, juga Zacky dengan ritme kidalnya banyak digemari. Beberapa ada yang meniru attitude mereka. Stiker murah Avenged yang ditempel di tas karet ataupun paralon, yang pernah jadi tren walaupun sesaat, menjadi pelengkap yang buas, seperti School Of Rock versi nyata. Tak hanya Avenged, banyak juga stiker band-band rock yang seperti berbicara bahwa mengoleksi stiker macam itu adalah keren, dan menempelkan stiker band rock adalah sebuah  kebanggaan. Meskipun waktu itu ada juga tempelan Wali, D’Masiv ataupun ST12, namun rock tetap menggema dengan tempelan lain seperti Misfits, Linkin Park, KoRn, Red Hod Chilli Pepper dan banyak lagi.
Avenged Sevenfold mulai meledak di Indonesia lewat album City Of Evil (2005), juga saat mereka datang untuk promo album self titled (2007). Saat itu pesona hair metal mungkin telah padam, tapi tingkah heavy yang khas membuat Avenged menjadi seperti band pop, populer dan menjadi agak mainstream. Walaupun dari segi musik mereka heavy, tapi seperti Enter Sadman dari Metallica, terlalu banyak terdengar di pelosok mainstream sehingga menjadi seperti lagu pop. Tapi itu tak dipedulikan. Beberapa lagu yang menjadi tren misalnya Dear God, Afterlife dan Almost Easy, yang muncul di tahun 2007, lewat debut self titled mereka. Ini diwarnai insiden Matt Shadow yang sudah menjalani operasi pita suara, dan mitosnya, ia sudah tidak bisa scream and growling, seperti di Unholly Confession, Second Heartbeat dan lain-lain di album Waking The Fallen (2003), Avenged era lawas. Hal itu juga diperkuat di City Of Evil, yang menunjukkan growling Matthew semakin melemah.
Lagu yang paling menarik adalah A Little Piece Of Heaven, yang saya dapat dari flashdisk kawan saat menancap di komputer saya. Momen mendengar lagu ini seperti soundtrack menuju ke tempat fantasi penuh darah. Semacam soundtrack Lord Of The Rings dengan Frodo yang berevolusi menjadi vampire. Jika dalam kondisi sakaratul maut, maka mendengarkan lagu ini akan membawa kita menuju tempat paling gelap dan menakutkan di alam sana. Yeah, sekitar 8 menit (dan menghabiskan memori sekitar 9 Mb, memori sangat berharga pada jaman itu), dengan ritme naik turun, suara vocal penuh eksplorasi dan seketika membuat gitar Syn dan Zack tak berfungsi distorsinya. Meski begitu, ini membuktikan bahwa metal dan rock tak harus dalam versi band yang monoton. Versi orchestra band yang diangkat di lagu ini cukup ngerock dan sungguh epic dengan durasi panjang. Jika kawan-kawan seperjuangan saya waktu SMP menari-nari dan menempatkan Dear God, Afterlife dan Almost Easy sebagai single terbaik Avenged Sevenfold yang harus dimiliki di pemutar musik, maka saya dengan bangga mendaulat A Little Piece Of Heaven, Unholly Confession dan Second Heartbeat  sebagai mahakarya terbaik Avenged Sevenfold. Sangat subjektif mungkin. Saya masih merindukan growl gahar Matthew yang tiada duanya. Hell, di 2 album (Bat Country dan Self Titled), semuanya hilang. Tapi mereka sedikit menghilangkan kekecewaan saya dengan epic mantap bak opera sabun berdarah, A Little Piece Of Heaven (By The Way, menyimak video klip-nya, versi asli maupun kartun pernah menjadi hiburan tersendiri waktu pelajaran komputer di lab multimedia SMP!)
Dogma mantap musik keras makin menjadi-jadi. Kali ini etos punk rock mudah dikenali dan digemari. “We Are The Outsiders” menjadi lagu kebangsaan selain Indonesia raya. Yap, Superman Is Dead, young-drunk-handsome punk rock bedebah asal Bali, penganut rockabilly riot  punk n’ roll a la Social Distortion, Living End dan Supersuckers ini menjadi primadona berikutnya. Dan jika kami bersama, kami selalu mendengar “Jika Kami Bersama”. Bersama Shaggy Dog, mereka mencipta lirik paling seru dan dinamis, seperti menolak tua dan menghitamkan uban. Dan ini menjadi lagu paling populer di masa SMP. Mayoritas kawan-kawan SMP saya waktu itu masih mencari jatidiri musik. Mereka menjadi massa atau menjadi fans band tertentu. Semakin keren band-nya, tentu makin membanggakan. Ada beberapa pilihan yang sering dibuat pelarian kawan-kawan saya untuk dianggap keren. Menjadi Slankers, BIPers, Cliquers, ST Setia, Virginity dan nama-nama lainnya (Rezpector belum terlalu populer di jaman saya SMP, Bondan masih belum meluncurkan “Unity”). Tapi setelah Superman Is Dead konser dengan luar biasa di Taman Chandra Wilwatikta, venue besar dekat SMP saya, semuanya berubah. Slank dan BIP dirasa terlalu bergelora, ST12 dan Ungu terlalu wanita, Virginity dan artis Republik Cinta terlalu ternama dan menjadi OutSIDers (sebutan fanbase Superman Is Dead) adalah alternatif sempurna. Hampir semua kawan-kawan saya sepakat jika Superman Is Dead itu keren, dan mereka menjadi OutSIDers. Mengoleksi lagunya, mencari tahu nama personilnya, dan merampok wallpapernya di internet. Sungguh tepat guna karena waktu itu jaman Friendster dan Facebook. Menampilkan lagunya di Friendster, mencomot foto Jerinx, Bobby ataupun Eka untuk photo profil Facebook, menyulap nama asli menjadi sedikit alay ditambah embel-embel nama personil SID dan menulis status berisi diksi dari lagu-lagu SID.
Penggemar baru ini umumnya hanya tahu lagu-lagu di album yang keluar tahun 2009, Angels And The Outsiders dan Black Maket Love (2005). Saya pun sempat menjadi OutSIDers walupun sebentar (sekarang saya tidak terikat fanbase band apapun kecuali Green Day). Lagu yang paling banyak didengar hanya itu-itu saja, “Bukan Pahlawan”, “Musuh Sahabat”, “We Are The Outsiders”, “Kuat Kita Bersinar” dan “Jika Kami Bersama”. Dan lagi-lagi, saya tahu lagu itu semua dari flashdisk 2GB kawan saya.
Saya juga pernah dipinjami kaset (CD-R  -The Cheapest Album Of All Time!-) oleh kawan saya yang berisi lagu-lagu SID hasil download. Sekitar 30 lagu. Saya mencoba memutar lagu-lagu dengan judul selain yang tercantum diatas, seperti “Punk Hari Ini”, “Kuta Rock City”, “Muka Tebal”, Goodbye Whiskey”, ‘Vodkabilly” dll. yang kebanyakan dimuat di album Kuta Rock City (2002) dan The Hangover Decade (2003). Ada juga beberapa lagu menarik di Angels And The Outsiders, seperti “Close To Fly Away”, “The Days Of Father”, “Memories Of Rose” yang saya dengarkan. Tentang “Memories Of Rose”, lagu ini merupakan lanjutan dari “Lady Rose” (Black Market Love). Beberapa teman juga kadang mendengar lagu ini dan bernyanyi, tapi kepopuleranya jauh dibanding “Bukan Pahlawan” dan “Kuat Kita Bersinar”.
Lagu-lagu di album Kuta Rock City dan The Hangover Decade ini menarik. Betul bahwa SID berjuang dengan keras di kedua album ini. Mereka menghadapi pemikiran beberapa massa punk yang menganggap SID berkhianat karena mengikuti major label (Sony Music). SID menurut kabar sering dilempari benda-benda berbahaya saat konser di luar kota (lebih beringas daripada massa Anti Pee Wee Gaskins). Sayangnya tidak semua penggemar baru yang tahu akan hal ini. Dan kini, SID telah berdiri di era matang dan mapan. Manager SID juga berganti dari Rudolf Dethu, seorang mistikus punk rock menjadi Dodix, yang merupakan seorang DJ. Dan kini SID menjadi lebih peduli lingkungan dan positif dalam segi lirik, dan tentunya, fans yang fanatik dengan massa besar. (Saya tak pernah mendengar anti SID di era ini). Dan ini berpengaruh baik bagi kawan-kawan OutSIDers saya. Tentu lebih hebat jikalau mereka juga menyelami SID di album Kuta Rock City. Punk Rock buka sekedar musik, tapi juga bentuk perlawanan terhadap The Man (karakter fiksi karangan si guru rock n’ roll di film School Of Rock). Tapi memang, menjamurnya OutSIDers di SMP saya banyak berpengaruh terhadap sikap musik saya hingga saat ini. Saya merindukan masa dimana saya dan kawan-kawan mendengarkan SID di pojokan kelas, di toilet pada waktu pelajaran, di depan kelas sambil bergerombol memainkan gitar dan di jalanan saat pulang, sambil mengeluarkan baju,menendang botol bekas, berdansa bernyanyi meneriakkan hymne pemberontakan.
Di waktu SMP ini juga saya mulai mendalami musik Green Day, punk rock asal Amerika. Awalnya saya hanya tahu lagu “Holiday” dan “Wake me Up When September Ends” dari channel musik VH1.  Lumayan suka namun belum fanatik. Tapi semuanya berubah saat kawan saya mengirim mp3 “American Idiot”  saat pelajaran. Dan WOW! Lagu itu adalah lagu Punk Rock terbaik sepanjang masa (itu sebelum saya dengar lagu Green Day yang lain seperti “Jesus Of Suburbia” dan Green Day klasik “Basket Case”). Dan saya adalah manusia paling beruntung saat itu karena mendapat kiriman lagu Green Day yang sungguh banyak (mulai album3/9 Smooth sampai American Idiot) dari seorang kawan lama. Dan ini berlanjut sampai saat ini. Inspirator musikal terbesar saya adalah three chords punk rock yang sederhana, kegelisahan, amarah, tingkah berandal, eyeliner dan idiot: mereka bernama Green Day.
Genre rock lain juga menjadi virus yang dinikmati banyak kawan saya di School Of Rock kami, Spenda. Yeah, mereka KoRn, System Of A Down, P.O.D , Linkin Park, DragonForce, Breaking Benjamin dll. Dari Indonesia: God Bless, EdanE, Boomerang dll. Beberapa band juga akhirnya saya dalami dengan tekun, seperti Dream Theater dan Nirvana. Saya dan kawan-kawan saling bertukar musik-musik keren mereka. Menjadi insomnia bersama karena mendengarkan rock lewat handsfree sampai telinga merinding. Adakalanya kami berkumpul dan membahas band-band yang kami gilai. Tak hanya sekelas tapi antar kelas. Perkenalan dengan teman baru karena musik ini cukup sering terjadi. Tempatnya adalah di dapan toilet pria, yang merupakan tempat hangout favorit dan terkadang di tempat duduk sebelah lapangan bola voli yang mirip lapangan skate. Sungguh cocok berada disana dibawah pengaruh musik skate punk dan panasnya mentari membahas musik-musik yang kami sukai. Terkadang juga ditempat duduk berbentuk gazebo sederhana sambil mencoret-coret bangkunya. Saya mengenang masa-masa hebat bersama kawan-kawan ini. Membahas alasan Kurt Cobain –vokalis Nirvana- bunuh diri, merundingkan aliran musik Dream Theater, memuja dan memuji skill Halloween sambil mencoba mempraktekkan solo gitarnya, menganalisa band-band modern rock baru seperti Paramore, mengkaji lirik lagu kontroversial Green Day, meramal kapan konser Avenged Sevenfold  akan digelar dan mem- bully teman yang sok tahu tentang itu semua, sambil tetap mengawasi sana-sini karena handphone berbunyi bising dan akan berbahaya bila ketahuan guru. Yeah, banyak momen yang pantas untuk dirindukan.
Satu yang saya paling ingat dan tak bisa terlupakan adalah, saya pertama kali mendengarkan lagu dengan vocal growl, scream ataupun yang berisik lainnya (tipikal musik brutal: death metal, hardcore, grindcore etc.) juga di jaman SMP. Gara-gara seorang kawan, lagu pertama yang terdengar dan merusak telinga  namun merubah hidup saya hingga saat ini adalah “Bendera Kuning” dari Betrayer. Awal mendengarkan adalah lagu ini aneh. Jujur, suara vocal macam ini adalah selera yang buruk. Betul-betul beringas musik band ini. Namun, setelah berkali-kali saya mendengarkan, lebih tepatnya belajar mendengarkan, musik mereka memuat saya berteriak “fuck you!” karena menyebabkan ketagihan dan ketergantungan luar biasa. Yeah, penggemar musik keras seperti metal pada awalnya memang membenci musik itu, namun setelah melalui beberapa kali didengarkan telinga, hal ini justru menjadi musik yang indah. Metal seperti mengandung zat adiktif dan substansi berbahaya yang menyenangkan. Sekali kita mendengarkan metal, mungkin tak berasa efeknya, tapi minimal tiga kali kita mendengarnya (kecuali Aliran Death Metal: DeadSquad dan Siksa Kubur saya dengarkan hampir 7 kali!) hidup kita akan berubah sepanjang masa. Dan saya serta kawan-kawan seperjuangan SMP saya telah banyak membuktikanya.
Aktivitas perkenalan pada metal ini memang mengubah hidup saya. Saya menjadi lebih pragmatis dan terkadang muak memandang dunia. Efek yang wajar. Butuh keberanian memang sebagai pendengar metal. Mulai muncul nama-nama seperti:  Getah, Tengkorak dan Purgatory yang saya dengar secara militan: berkali-kali dengan fitur shuffle (pernah meminjam kaset Metalik Klinik I dan saya hanya menikmati lagu Bluekuthuq -metal humor dengan clean vocal-  dan tidak mengerti lagu lainnya). Akhirnya,  Saya mulai bisa menikmatinya. Namun hal yang aneh terjadi. Sebuah band asal Ujung Berung, Bandung membuat saya meledak dan akhirnya pasrah pada kedigdayaan metal.
Mereka bernama Burgerkill. Sebuah tingkah heavy yang lain ketika mendenger mereka melakukan duet paling maut dalam sejarah musik keras Indonesia, bersama Fadly Padi di “Tiga Titik Hitam”. Cenderung mematikan dan ampuh menyayat hati dengan lirik pragmatis dan kesakitan yang amat dalam. Kemudian “Atur Aku”, lagu cover dari band legenda hardore Bandung Puppen. Lagu ini bersejarah karena di lagu ini saya pertama kali menyukai musik dengan growl, scream, distorsi sadis dan double tribal pedal dari awal sampai akhir lagu hanya dengan sekali dengar. Yeah, sekali dengar! Ini memuaskan! Seperti mengalami klimaks yang sangat tinggi. Mungkin ini rasanya stoned, namun bukan karena ganja, tapi karena Ivan Scumbag (almarhum), vokalis kharismatik Burgerkill, Bapak Metal Indonesia, yang menyenandungkan sepenuh jiwa raga kalutnya hati diiringi deru musik kencang dan terus bertambah kencang di telinga saya. Moshpit yang terjadi alami di indra pendengaran. Fuck! Disusul hits pemicu crowd liar “Shadow Of Sorrow”, agresi sempurna dari Andris, drummer metal paling nge-hook di Indonesia, menjadi senjata bermesin lapis dengan dentum drum yang mengalahkan deru angin. Rocks! Dan saya merekomendasikan kawan-kawan SMP saya waktu itu untuk mempunyai album “Beyond Coma And Despair”, mahakarya rock yang masuk dalam 150 Album Terbaik Sepanjang Masa Versi Rolling Stone Indonesia. Mahakarya terakhir Alm. Ivan Scumbag yang banyak dipenuhi pesan-pesan kematian sang divo metal berambrut gondrong itu. Dan album ini menjadi salah satu album penting yang merubah hidup dan tingkah bermusik saya. Burgerkill, band rock paling ugal-ugalan hingga saat ini, adalah iblis yang cukup mampu meracuni otak! Yeah! We Will Bleed! (Begundal Hell Club-nama massa fanatik Burgerkill- sempat saya imani juga dengan merubah nama Facebook menjadi Begundal). Dan sampai saat ini, kharisma Alm. Ivan Scumbag masih tetap dikenang. We’re gonna miss you bro!
Di akhir masa SMP, kira-kira tahun 2010 awal, muncul album rock yang paling saya tunggu-tunggu, Green Day – 21st Century Breakdown. Album  berkonsep bak opera dengan album art graffiti ini seperti menyusun strategi yang membuat Wal-Mart melarang album berlabel Parental Advisory ini dipajang di toko mereka karena cover album yang sangat ekstrem nan liar (coba cek dan rasakan getarannya!). Dengan cover pria dan wanita yang “seperti itu” ternyata juga diiringi dengan musik mereka yang makin sableng dan membabi buta. Simak “East Jesus Nowhwee” dan “Viva La Gloria”, yang merupakan lagu terbaik di album ini. Album ini sempat membuat ekspektasi bahwa Green Day akan tour album ini ke Indonesia (meskipun saya tak nonton tapi tetap bangga jika band favorit meluncur ke Indonesia!) Tapi ternyata tidak! (Green Day hanya sekali ke Indonesia tahun 1996). Sempat saya share album baru mereka ini di Facebook lewat status dan mendapat sambutan dari beberapa kawan “rock” saya. Senang memang berbagi album-album bermutu kepada kawan-kawan SMP.
Dan wisuda di pertengahan 2010 sepertinya menjadi saat yang paling menggembirakan sakaligus mengharukan. Perpisahan dengan beberapa kawan seperjuangan juga dengan School Of Rock tercinta. Dan pagi sebelum wisuda dimulai berdendang sebuah lagu yang sangat pas mewakili hari itu: Jeans kurobek dan pake anting/ Sambil dengerin musik bising/ Diomelin tak ambil pusing/ Orang bilang otakku miring/ Mungkin ku radikal/ Hidupku Rock N’ Roll Jack/ Kuingat lagi masa yang tlah kualami/ Teman sejalanku menghabiskan waktu menantang dunia/ Kuingat lagi dan aku ingin kembali (From EdanE “Rock In 82”) – Yeah, kutipan lagu ini bercerita tentang pengalaman masa sekolah yang dipenuhi musik bising dan lagu ini selalu saya perdengarkan dengan jernih ketika ingin merasakan lagi kenangan dan kehebatan School Of Rock!
Jujur, musikalitas rock saya waktu itu hanya sebatas Slank dan Seurius sebelum kawan-kawan saya mengenalkan rock yang sesungguhnya. Saya masih belum banyak mengatahui ritme cadas nan buas yang bisa meledak di telinga dan menghancurkan sisi soundsystem. Ini membawa pengaruh pada passion, homage dan attitude rockstar. Kawan-kawan SMP saya dulu yang sekarang masih sering saya jumpai ternyata juga masih memiliki nafas idealisme rock yang tinggi. Saya bangga. Sungguh bangga menjadi generasi rock Spenda. Mereka menjadikan masa SMP menjadi sedikit lebih liar dan berkesan! Hail! Hormat mendalam untuk kalian, Man!
Apa kabar generasi Spenda saat ini? Masih menjadi School Of Rock – kah?  

Tulisan ini didedikasikan kepada seluruh bocah-bocah spenda generasi saya, antara tahun 2007-2010. Thanks for comin’ and rockin’ my day! God fuckin’ love you all, friends! :)