Ketika coba mendeskripsikan A Thousand Different Moving Pictures Can’t
Describe This Feeling, EP teranyar dari trio asal Surabaya yang mengaku
memainkan post-rock instrumental Tuan Tanah, bisa jadi imajinasi akan langsung tergiring
menuju lembah Timur Tengah dengan konflik tak berkesudahan dan kecamuk rasa
kesepian. Menurut Tuan Tanah tentang konsep EP berisi lima lagu ini: “Kami
membayangkan seorang ibu yang sedang hamil tua lalu menjadi tahanan tentara
perang. Mulai dari disiksa, melahirkan bayinya, sampai meninggal dunia setelah
melahirkan.”—sebuah konsep ala film bergenre thriller yang mau tak mau akan
membuat denyut jantung naik turun. Masih dengan formula yang sama: suguhan
elektronik-instrumental yang menyembur dari sayatan gitar yang terdengar miris,
melodis sampai melankolis dibalut ketukan-ketukan elektronik, Tuan Tanah meramu
genre musik yang masih terdengar asing di Surabaya ini dengan sound yang
mendekati prima. Berbekal laptop dan efek-soundcard tercanggih, mereka
memaksimalkan apa yang ada. Tak hanya merekamnya, mixing sekaligus
mastering-pun juga dilakukan sendiri. Meski haslinya masih kurang dibanding
musisi-musisi luar yang bergenre sama seperti Robot ataupun Lorelei, upaya
mereka tetap patut disimak.
Track pertama “Shopping With Dilated Eyes On Ghost Market” adalah introduksi yang pelan, lembut namun membunuh—khas film thriller. Berlanjut ke “A Farewell To Arms”, materi memusingkan dengan iringan gitar repetitif yang dibalut ketukan-ketukan elektronika. Memusingkan disini adalah dalam artian perasaan kesepian yang amat dalam; tepat menggambarkan adegan seorang ibu yang terkurung sendirian dalam penjara dengan perut membesar. Repetisi musik terus terdengar dengan tempo yang semakin intens. Rasa optimis hadir pada “Samsara’s Night” dimana kemungkinan besar sang ibu akan terus berjuang melahirkan bayinya walau sedang dalam penyiksaan sekalipun. Sekali lagi, nuansa repetitif kembali hadir. Namun disini Tuan Tanah terdengar lebih mengeksplor permainan gitar. Bayi yang dinanti pun akhirnya lahir dengan “Requiem” sebagai iringan. Tangis tersedu-sedu, kulit yang masih memerah dan tali pusar yang belum terlepas adalah murni kebahagiaan diantara kemuraman yang ada. Bertempo lebih lambat dari dua track sebelumnya, “Requiem” coba tawarkan harapan. Tapi thriller yang baik adalah yang mampu membuat bergidik bahkan ketika hampir berakhir. Mempersetankan happy ending, Tuan Tanah lebih memilih memainkan “Synthesizer Opus No. 1 on G# Major” sebagai ode kematian untuk sang ibu. Yang ada kini hanya tembok penjara gelap nan berlumut di tengah senja yang mulai datang. Sang ibu menghembuskan nafas terakhir dengan bayi masih di pangkuan. Film pun berakhir dingin.
Secara keseluruhan, EP ini cukup berkesan walaupun di beberapa part terasa monoton. Dengan melihat potensi yang ada, besar kemungkinan Tuan Tanah bisa mengeksplorasi lebih dalam lagi musik mereka di album-album selanjutnya. Tapi lepas dari itu semua, thriller ala Tuan Tanah ini sungguh patut untuk diapresiasi: mereka berhasil bercerita hanya dengan instrumentalia sederhana yang direkam di kamar mereka sendiri.
Track pertama “Shopping With Dilated Eyes On Ghost Market” adalah introduksi yang pelan, lembut namun membunuh—khas film thriller. Berlanjut ke “A Farewell To Arms”, materi memusingkan dengan iringan gitar repetitif yang dibalut ketukan-ketukan elektronika. Memusingkan disini adalah dalam artian perasaan kesepian yang amat dalam; tepat menggambarkan adegan seorang ibu yang terkurung sendirian dalam penjara dengan perut membesar. Repetisi musik terus terdengar dengan tempo yang semakin intens. Rasa optimis hadir pada “Samsara’s Night” dimana kemungkinan besar sang ibu akan terus berjuang melahirkan bayinya walau sedang dalam penyiksaan sekalipun. Sekali lagi, nuansa repetitif kembali hadir. Namun disini Tuan Tanah terdengar lebih mengeksplor permainan gitar. Bayi yang dinanti pun akhirnya lahir dengan “Requiem” sebagai iringan. Tangis tersedu-sedu, kulit yang masih memerah dan tali pusar yang belum terlepas adalah murni kebahagiaan diantara kemuraman yang ada. Bertempo lebih lambat dari dua track sebelumnya, “Requiem” coba tawarkan harapan. Tapi thriller yang baik adalah yang mampu membuat bergidik bahkan ketika hampir berakhir. Mempersetankan happy ending, Tuan Tanah lebih memilih memainkan “Synthesizer Opus No. 1 on G# Major” sebagai ode kematian untuk sang ibu. Yang ada kini hanya tembok penjara gelap nan berlumut di tengah senja yang mulai datang. Sang ibu menghembuskan nafas terakhir dengan bayi masih di pangkuan. Film pun berakhir dingin.
Secara keseluruhan, EP ini cukup berkesan walaupun di beberapa part terasa monoton. Dengan melihat potensi yang ada, besar kemungkinan Tuan Tanah bisa mengeksplorasi lebih dalam lagi musik mereka di album-album selanjutnya. Tapi lepas dari itu semua, thriller ala Tuan Tanah ini sungguh patut untuk diapresiasi: mereka berhasil bercerita hanya dengan instrumentalia sederhana yang direkam di kamar mereka sendiri.
Dimuat juga di Ronascent. dengan penyuntingan seperlunya. Thanks @fajroboy @TuanTanahExp