Saturday, January 31, 2015

Epitaf Waktu (PA 2013): Epilog

Tulisan ini saya buat atas permohonan Tri Nanang BS, salah satu kawan baik di kelas Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia A 2013. Kelas PA membuat sebuah antologi menarik yang berisi puisi-puisi jujur bertajuk Epitaf Waktu. Ini saya tulis pukul 12 malam dimana besoknya sekitar pukul 7 buku ini dicetak. Kutipan tulisan ini tampil di sampul belakang antologi ini. Dan berikut adalah versi penuhnya, yang sekali lagi saya upload karena alasan klise: daripada mengendap di laptop.

Ada apa lagi dengan nelayan tongkol? Bagaimana bila kulit harimau asli Mesir lebih berkharisma dibanding Brave Mocca? Adakah yang lebih manis dibanding sekeping melon yang menempel indah dipangku purnama? Atau, bagaimana cara terbaik menyampaikan rindu bila puisi kini telah berdebu?

Mungkin, cara terbaik untuk menjawabnya adalah dengan mengendapkannya perlahan-lahan dalam pikiran, lalu kemudian membiarkanya hilang atau lepas entah kemana: layaknya balon-balon yang meledak tanpa sisa setelah mengendap pelan di ketinggian. Puisi-puisi ini adalah jawaban sekaligus pertanyaan. Pertanyaan sekaligus jawaban. Jawaban tanpa perlu pertanyaan. Pertanyaan tanpa perlu jawaban. Dan benar, butuh keberanian besar untuk memulai sebuah perjalanan dalam memaknai segala diksi dan menjadikannya seanggun melankoli.

Antologi Puisi PA 2013: Epitaf Waktu adalah perjalanan itu sendiri. Kita tak perlu memahami bagaimana cara instan untuk mengasah intelejensi demi menangkap setitik esensi. Kita juga tak harus diributkan untuk menggugah rasa ekletik demi menafsir frasa puitik. Seperti balon yang menguap begitu saja saat terlepas: menikmati puisi harusnya sesederhana itu. Kita hanya perlu menyiapkan sedikit senyum saat ‘I love you’ terucap dari lantai dua dan kemudian seisi mall menganggap kita korslet. Kita hanya perlu tulus mengaku kepada Rama bahwa kita bukanlah Sinta. Kita hanya perlu menerima saat manis permen karet berubah menjadi zonk. Atau mungkin, kita juga perlu sedikit cengeng saat menatap nisan diatas kain putih yang disebut mori. Perlahan, kita hanya perlu sadar, terus menapaki perjalanan.

Perjalanan itu sebenarnya telah dimulai tepat saat halaman pertama antologi ini dibuka. Dan, perjalanan itu tak akan pernah berhenti, sedekat apapun kita dengan halaman akhir. Epitaf waktu…

Epitaf Waktu
Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa PA 2013
Informasi dan pemesanan: 0898-4373-663 (Tri Nanang BS)

Karena Hidup Serba Drama (Photo #1)

Berikut foto-foto yang diambil sesaat sebelum drama bidadari berlangsung. Saya menguploadnya di blog pribadi yah daripada fotonya nganggur dan ngendap begitu saja. Anggap saja tampilan warna kulit disini adalah rekayasa visual semata karena selain kami memakai foundation (semoga tak salah ketik) juga entah mengapa anak-anak yang motret hobi sekali pakai efek 360. Tak apa karena memang hidup itu serba drama. Bagi yang masih awan dan terlalu alim, sebaiknya baca dulu catatan tak jelas tentang drama ini di posting-posting sebelumnya. 

Saya adalah preman ingusan

Preman idiot mah kalau ini

Entah kenapa malah mirip grup lawak 

Fotografer entah kenapa ngompol saat motret ini

Sony udah bukan wak-waw. Btw itu gitar keren

Sony ini bekas preman Sidoarjo. Lagi jomblo baru putus

Tanpa sarung mungkin saya lebih mirip Coki Bollemeyer

Sebuah ekspresi' fuck you asshole' tanpa jari tengah
Sebenarnya masih banyak foto-foto yang lain, cuman saya belum sempat minta. Dan tolong jangan sebar foto-foto ini di media sosial dengan caption buronan mertua atau korban janda.

Wednesday, January 14, 2015

Karena Hidup Serba Drama (Day #5 - Final)

Ada saat dimana hidupmu harus benar-benar terfokus: jika gila kau harus benar-benar gila, jika bodoh kau harus benar-benar bodoh, jika marah kau harus benar-benar marah. Itu semua akan kamu alami tepat saat kamu berdiri diatas panggung, memulai pentas.

Tak pernah ada bayangan sebelumnya. Main drama bagi saya adalah sebuah ketakutan. Dalam era-era sekolah dulu saya selalu gugup tampil di depan umum. Selalu canggung menjadi pusat perhatian orang banyak. Maka bermain drama di waktu kuliah menjadi hal yang praktis saya hindari. Agenda rutin jurusan yang selalu membuat event di malam purnama menjadi momok yang menakutkan. Saya takut dipilih untuk bermain drama, baca puisi atau apa saja. Saya lebih memilih dan akan selalu memilih di belakang panggung, mengurus set, mengisi musik atau menjadi penonton dan bersorak. Penyakit super pemalu ini tak jelas karena apa. Tapi hari ini, saya resmi melakukan pentas untuk pertama kali--menjadi peran utama. Entah jelek atau bagus, entah baik atau buruk, saya juga tak begitu mempedulikannya. Saya hanya merasakan satu hal seusai tirai panggung ditutup: lega luar biasa.

Sebelum drama dan sebelum tulisan ini menjadi begitu serius, agaknya saya mesti mengucap terima kasih pada kos saya--meski dalam berbagai tulisan saya, kos identik dengan hal-hal tolol. Sebelum drama dimulai, sewaktu pagi hari setelah bangun tidur, saya dikejutkan dengan kabar kepindahan kawan baik saya dari kos yang akhirnya memilih mengontrak bersama teman sekelasnya. Juga Nyong, bocah Kebumen yang selama setahun ini tak pernah pulang kampung dan selalu setia mendiami dan menjaga kos, pagi ini terlihat rapi sekali. Menjabat tangan saya sambil tersenyum sayu.

"Aku muleh sek, Bro!"

Dan saya yang baru bangun dengan bodohnya hanya mengucek-ucek mata saja, dengan berucap ungkapan hati-hati yang klise. Dengan semakin hilangnya kantuk keparat saya, saya makin menyadari, kos tak pernah sama lagi dengan kepulangan Nyong. Tak ada lagi keramaian absurd, ketololan jenius, kebodohan cerdas dan kebiadaban sopan. Kepergian Nyong cepat atau lambat pasti membawa dampak buruk bagi kos dan saya yang tak mau berlarut dalam kesepian di kos yang lama-lama suram (kamar Nyong tepat di depan toilet, dan setelah Nyong pulang, entah kenapa toilet itu jadi rada angker). Jadi saya juga harus secepatnya pulang kampung setelah semua urusan: kuliah, drama dan ehem-ehem yang lain rampung. Tapi dalam kenyataanya, sebaik apapun tulisan ini saya dedikasikan untuk Nyong, ketololan sepertinya tak akan pernah berakhir. Sebelum drama dimulai hape saya berbunyi keras. Sebuah SMS dari Nyong. Saya terharu saat membaca isinya

Pesan Baru: Inyong. 
Jancooookkkkkkkkkk

Butuh sedikit waktu untuk mencerna SMS ini dan kemudian menyadari bahwa hal-hal absurd nan tolol selalu menjadi bagian dari hidup.

Kembali ke drama, semua kejadian sentimentil dan gak jelas di atas praktis membawa saya pada situasi yang mendukung peran: insecure, marah-marah gak jelas, sepi dan pengen muntah. Saya praktis membawanya dalam peran, dan ini berhasil. Berhasil rek! Ha-ha-ha. 

Berikut kronologi sebelum pentas hari ini.

- Make Up
Oke ini pertama kalinya saya pake foundation. Lengket cyin. Tapi saya paling suka dengan riasan brewok ala Mas Ilham yang raw banget. Jancuk koyok begundal temenan!

- Angkat-angkat
Fungsi dasar cowok selain membuahi sel telur: angkat-angkat barang berat!

- Nunggu
Asu ini seng paling ndredeg. Terlepas dari kurang professionalnya panitia  yang seperti tak siap dengan panggung dan sound (sorry bos-bosku!), dag-dig-dug ini tetap saja melanda. Dan demi mengurangi ketegangan, sekali lagi penyelamatnya hanyalah musik, dan juga alkohol jika diperbolehkan. Mendengar Blink 182 - Greatest Hits dan The Strokes - Is This It di saat-saat seperti ini adalah anugrah yang luar biasa. Beban hilang seketika, dan seolah kita menjadi Julian Casablancas yang akan melakukan show. Fakk i love music very much dah!

Setelah berproses dengan itu semua, tibalah drama. Saya gak akan bercerita panjang lebar tentang bagaimana cerita keseluruhan drama ini. Saya hanya akan menceritakan hal-hal di lima detik pertama saya berdiri di atas panggung dan memulai aksi.

- Was-was. Merasa tolol (always ini mah!)
- Mulai melakukan hal-hal yang harusnya saya lakukan (yo drama lah cuk akting kate lapo maneh!)
- Mulai dapet feeling saat udah mulai ngomong. Dan dari situlah entah bagaimana bisa saya seperti kerasukan apa dan tak sadar bisa melakukan itu semua. Guendeng! Lost control rasane.

Dan saya baru ngeh bahwa dari sekian banyak pemain, hanya saya dan Ndut yang mengalami seperti itu. Dimana menurut Mas Ilham si pelatih budiman kita ini, suara saya dan Ndut-lah yang paling keras, entah mungkin karena kerasukan Jin Gondrong di audit atau memang lagi dalam mood yang cocok saya juga gak tau. Teman-temanku yang tersayang juga banyak yang gak menyangka kalo suara saya bisa berubah jadi garang sekali di atas panggung. Saya juga tak tahu. Mungkin ini berkah karena saya sempat ngefans Ivan Scumbag vokalis Burgerkill. Juga gerak-gerik bak begundal tengik sejati yang saya juga tak tahu kenapa saya bisa melakukan itu. Mungkin ini berkah karena saya sempat menonton Jagal The Act Of Killing. But whatever, saya lega selega-leganya. Tirai terakhir semester tiga resmi ditutup! :))))

Foto-foto menyusul. Koneksi internet warisan Tifatul Sembiring masih busuk fakk!

Tuesday, January 13, 2015

Karena Hidup Serba Drama (Day #4)

Ada banyak ketololan yang terjadi dalam hidup, tanpa diduga. Seringnya semua hal kurang penting bahkan cenderung tak penting ini terjadi dalam kos. Seperti hari ini, hari dimana sebagian besar warga kampus sudah mengungsi pulang kampung ke rumah masing-masing, saya dan tiga orang pria macho masih terjebak di belantara kos. Tiga pria gateli ini adalah Nyong, Esa dan Reza (sebenarnya ada juga Mugsan Al Gazali tapi nyatanya dia sering sekali ngilang dan tidur di sisi manapun di kampus). Kosan jadi sepi sekali. Hampir tak ada kehidupan. Agak aneh ketika saya yang mandi dengan pintu terbuka demi mendapat penerangan karena lampu rusak tanpa ada sedikitpun bocah yang salah masuk atau mengira kamar mandi kosong karena memang tak ada siapapun. Agak aneh ketika saya berteriak-teriak tanpa dosa, menjerit-jerit tak jelas tanpa ada yang misah-misuh terganggu karena memang penghuni kos yang tersisa hanya tinggal sedikit. Agak aneh ketika saya ganti pakaian dengan pintu terbuka tanpa ada yang iseng memotret atau menyoraki aneh-aneh karena memang hampir semuanya telah pulang dan tinggallah saya disini bersama para jomblo sejati.

- Nyong: jomblo sejak lahir (pengakuannya sendiri)
- Reza: jomblo sejati (tak pernah membahas sedikitpun tentang cewek, bahkan dia tetap bermuka datar melihat Chelsea Islan ngangkang)
- Esa: jomblo sok playboy (sudahlah, pastinya dia satu-satunya cowok keren yang tersisa di muka bumi--menurut gestur dan gerak-geriknya)
- Saya: terpaksa menjadi bagian dari kehinaan mereka

Ketololan yang saya maksud diatas adalah ketika Esa dan Reza memutuskan pergi ke PTC dengan jalan kaki. Dengan jarak yang tak terlalu jauh dari kos, tapi juga gak bisa dibilang dekat ini, saya pikir mereka hanya omong kosong saja (seperti dulu-dulu). Saya baru pulang dari kampus sekitar jam lima sore, makan sebentar kemudian pulang ke kos. Motor saya nganggur jadi saya selalu welcome bagi siapa saja yang ingin pinjam. Tapi tumbenan Esa ini tak meminjam dan tetap memutuskan untuk jalan kaki saja. 

Di kosan kehebohan terjadi saat Nyong yang sedang asyik nonton Naruto tiba-tiba mulai parno dan khawatir tak jelas.

"ESA AMBEK REZA KOK GAK MOLEH2!"

Saya pun bingung. Ada apa dengan Nyong. 

"HEH! NANGNDI AREK LORO IKU! AKU KUATIR!"

Saya semakin bingung dengan Nyong.

"Mosok Esa diantemi satpam soale ngutil barang ndek PTC? Mosok Reza kesrempet truk?"

Nyong semakin parno. Saya semakin gila.

"Sikile kecepit eskalator beke!" Saya berkata ngawur saja.

"IYO COK! K*NT*LE KECEPIT ESKALATOR BEKE!"

Dan saya sekarang sudah mengetahui bahwasanya sindrom kesepian di kos sudah melanda otak bocah ini. 


***

Cukup sudah ketololan absurd di kos. Sedari tadi, kegiatan saya di kampus hanyalah bermain peran, bermain drama. Sepertinya saya sudah mendapat feel yang pas demi peran ini. Saya jadi mudah saja masuk dalam peran ini tanpa merasa seperti alien. Latihan di hari-hari sebelumnya memang cukup mampu memberi banyak pelajaran. Dan hari ini adalah hari terakhir latihan karena besok pentas sudah dibuka, siap atau tidak siap. 

Berawal dari bangun tidur klise pagi hari saya yang selalu bodoh dan kesiangan, semua berjalan sebagaimana mestinya. Termasuk drama kehidupan Rojak yang sukses membuat mbulet dengan mengajak saya melakukan hal-hal diluar nalar orang normal seperti:

1. Makan di gang 7, tapi dengan manuver ekstrem menyusuri jalanan tak jelas hingga berpotensi menghabiskan bensin.
2. Terobsesi dengan jemuran, bahkan sampai mengorbankan apa saja demi mengangkat jemuran.
3. Saya yang rutin menjemputnya di kos selalu berlagak aneh karena menunggunya lama tak keluar-keluar dari kos. Ia hobi memakai sepatu selama empat puluh lima menit.

Di kampus ia juga hobi wifi-an mengunduh suara burung WTF dengan mencari lokasi yang sulit dijangkau, jauh, sepi dan tak terjamah manusia. Ketidakjelasan aneh ini berakhir setelah kami dihubungi berbagai pihak lantaran latihan akan segera dimulai dan semuanya diharap berkumpul secepatnya di kelas.

Mas Ilham, pakar drama terkece abad ini memulai dengan latihan seperti biasa. Tapi di tengah-tengah, beliau mulai menunjukkan taringnya sebagai pelatih pro. Dengan gerakan-gerakan fisik yang bertujuan meningkatkan performa, melemaskan badan dan melatih vokal, saya sukses ngos-ngosan dengan entah syaraf di bagian mana yang terjepit. Hal terberat terjadi saat beliau menyuruh saya menunduk posisi rukuk dengan telunjuk ditaruh lantai, saya harus berputar 360 derajat mengitarinya dengan mata fokus selama 20 kali dan setelah itu saya disuruh mengambil botol yang terletak persisi di depan dan menyerahkannya pada Mas Ilham yang berdiri nun jauh disana. Awalnya saya pede aja halah fisik gue lagi fit neeeh. Tapi setelah berputar-putar agak lama, dunia serasa jancuk banget, goyang, pusing, mual: saya ingat betul rasanya mirip dengan efek ciu tradisional yang dibawa Bima di kos-kosan beberapa waktu lampau. Saya sempat ambruk dan muntah-muntah hampir lima kali setelah menenggak beberapa gelas. Dan latihan fisik ini pun sukses membuat saya ambruk dan memuntahkan isi perut yang sebenarnya belum terisi. Sucks!

Oke saya sudah capek cerita. Saya akan ke warung kopi saja karena Esa mulai berteriak-teriak aneh di kamarnya, bernyanyi paling fals dalam sejarah peradaban semesta raya. Wasuh! (bersambung)

Monday, January 12, 2015

Karena Hidup Serba Drama (Day #3)

Latihan drama semakin intens, dan sepertinya siap tidak siap saya akan tetap tampil.

Hari yang sibuk, terlepas dari tadi ketemuan terus sama mbak-mbak lucu, menumpahkan Cola di asrama putri waktu debat cowok gak jelas sampai ngeband pertama kali di 2015--setelah di tahun sebelumnya pun sebenarnya juarang sekali--dan masih dengan kebiasaan ngeband lama: gonta-ganti instrumen dan selalu ditutup saya sebagai vokal menye-menye, yang pasti drama dan latian masih jadi yang paling mengganjal. Oke saya gak mau menampilkan alasannya panjang lebar tapi yang pasti medioker macam saya yang disuruh main drama pertama kalinya sepanjang sejarah--sebagai peran utama--tentu saja grogi ndul! Tapi setelah jerit-jerit di studio saya bisa sedikit menumpahkan kegelisahan dan juga sepertinya mulai menyadari bahwa suara saya kok jadi enak sekali hahahahahahahahaha. Klise band yang saat latihan di studio gak ngerti mau ngapain karena baru pertama adalah jamming lagu-lagu J-Rocks dan untungnya bukan Bagindaz. Dan saya bisa memastikan suara saya lebih cempreng dari Iman--tapi juga lebih indah. Huahahaha.

Tak ada perkembangan mencolok dari latihan kecuali tentu saja memantapkan apa-apa yang telah dilatih kemarin. Saya yang berperan sebagai preman diharuskan bisa menampilkan sosok kejam, kasar dan suka marah. Disini saya gak bisa sama sekali marah tanpa alasan yang jelas. Memikirkan siapapun agar marah rasanya juga agak ganjil. Dengan bayangan orang macam begitu hanyalah Tio Pakusadewo, bos mafia di The Raid 2 Berandal, maka saya jadi punya referensi. Tapi untuk lebih marah-marah lagi, saya selalu percaya pepatah bahwa musik selalu bisa menyelamatkan apa saja. Disini awalnya saya memilih untuk mendengar musik-musik death metal, grindcore dan sejenisnya agar bisa memacu urat marah. Setan, iblis, cacing, anjing, bakar, bunuh, fuck you adalah hal lumrah yang bisa dijumpai saat dengar band beraliran itu. Tapi, entah karena kuping sudah terlalu tua untuk dengar metal, referensi musik saya beralih pada kolektif hip-hop provokatif Bandung, Homicide yang sukses membuat saya marah dengan sendirinya tanpa saya sadari. Dipancing dengan ungkapan provokatif dari Munir di awal lagu "Rima Ababil":

Mereka berebut kuasa//Mereka menenteng senjata//Mereka menembak rakyat//Tapi mereka bersembunyi di balik benteng kuasa.

Dan memang Homicide selalu punya semangat untuk membakar. Tambah lagi dosis di instrumentalia hitam "Terra Angkara" yang sungguh bikin merinding. Saya pernah mendengarkannya sambil baca kumpulan puisi Wiji Thukul "Para Jendral Marah-Marah", dan tak pernah ada kombinasi yang seseram ini dimana kamu langsung ingin melempari kantor polisi dengan tai, melempari gedung DPR dengan molotov. Wuiihhhhh! (Dan tentu saja saya tak sedangkal itu mencerna lirik musik, ini adalah tentang kesan saja secara sekilas). Jadi dalam drama ini saya agak sedikit terbantu. (Bersambung)

Sunday, January 11, 2015

Karena Hidup Serba Drama (Day #2)

Saya masih perlu berpikir ulang apakah saya mampu tampil memuaskan di hari Rabu.

Hari ini setelah nongkrong berkedok evaluasi di Coffe Toffe JX dengan harga kopi Rp. 29.500 (faaakkk larange!) dan kesalahan memesan kopi dimana saya pesan white capuccino dengan rasa yang keterlaluan pahitnya, saya terbangun diantara matahari pagi yang mulai menanjak pukul 08.30 WIB. Wajar saja karena saya baru sampai kos sekitar pukul tiga pagi dan itupun masih diselingi mengapresiasi Humi Dumi sekali lagi via handsfree hingga akhirnya tertidur pas saat azan subuh. Jika kalian kader PKS kalian pasti sudah melempari saya dengan sendal tapi persetan karena it's a fun night. Terlepas dari betapa hinanya geng sopir truk dari situs musik so called indie www.ronascent.biz yang membully saya habis-habisan karena alasan klasik sepanjang masa: JOMBLO, dan saya resmi menerima wejangan absurd dari Bang Awik, seorang wartawan lifestyle Jawa Pos yang mempunyai kecenderungan gila, dimana dengan kantor Graha Pena Surabaya yang cukup dekat dengan tempat nongkrong tersebut, orang gila ini berencana mengenalkan saya dengan temannya sesama wartawan yang--menurut semua yang hadir--cukup imut dan manis deh. Teman Bang Awik ini sudah setuju dan akan keluar dari kantor untuk menemui saya (yang dengan bodohnya saya sempat difoto oleh Bang Awik dan dikirimkan pada mbak-mbak ini). Tapi untung hal tolol tersebut tak sampai kejadian karena pihak Coffe Toffe sudah pasang sikap mengusir dengan menutup tirai dan mematikan lampu. Saya resmi pulang dan enyah dari forum webzine yang mempersyaratkan pacar sebagai syarat keanggotaan utama. Saya hanya bisa pasrah dan mengangguk-angguk saja, betapa hinanya menjadi jomblo.

"Kuliah jomblo iku ngenes to! Pokoke Juni iki awakmu kudu wes gak jomblo lho ha-ha-ha!" 

Tapi saya sebagai lelaki jantan let it flow aja lah menghadapi tekanan amoral yang gak penting-penting amat ini. Bah wes jomblo cuk hahaha!

Dengan mata terkantuk-kantuk saya terbangun--ya masih bodoh seperti biasanya--dan langsung tancap gas menuju kampus. Masih dengan t-shirt MCR yang sempat dikomen Mini.

"Wee kamu suka MCR tah?"
"Lumayan!"
"Aku yok suka!"

Biasanya model percakapan macam beginilah yang saya suka. Sama-sama memfavoritkan band dan akhirnya membahas secara komprehensif bagaimana efek yang dialami jutaan pemuda sok emo saat Gerard Way akhirnya membubarkan band ini, atau bagaimana album studio full terakhir MCR yang tak lebih dari sampah, atau dimana letak inti keseruan Three Cheers For Sweet Revenge sehingga mampu menjadi soundtrack remaja labil di masa lampau (kalian cukup menyedihkan jika tak pernah mengenal MCR semasa SMP), atau bagaimana band ini bisa menjadi lebih ngehype dibanding The Used atau Saosin yang secara musikalitas lebih ciamik, atau dan atau-atau yang lain. Percakapan berlanjut. 

"Wih sip iku Min! Favoritmu album yang apa?"
"Aku nggak apal kalo album!"
"Yawes kamu suka lagu yang apa?"
"Aku nggak apal lagu-lagunya."
"..."

Dan semuanya masih berakhir klise seperti biasanya. Sulit menemukan kawan ngobrol musik seintim itu kecuali dengan para kru Ronascent.

Latihan drama hari ini bisa dibilang melelahkan. Lebih amburadul dibanding tulisan ini. Hal ini karena di suatu scene, saya yang minim kemampuan drama macam begini diharuskan menjadi seorang dengan deskripsi:

1. Bos preman 
2. Suka mabok
3. Suka main cewek
4. Kasar
5. Suka memaki istri 
6. Dan hal-hal lain yang menjadi inspirasi lirik lagu sendu Betharia Sonata

Dengan istri yang diperankan Merpati yang notabene adalah cewek yang lemah lembut, saya hanya bisa meminta maaf saat diharuskan membentak-bentaknya.

"KAREPMU OPO RENE MORO-MORO CERAMAH! LEK CERAMAH KONO LOH NANG MASJED! NDEK KENE IKI KALI, NGGENE WONG NGESENG AMBEK GOLEK PASIR GAWE MAKANI RAIMU IKULO (COK!)" 

Dan Merpati pergi dan menangis entah kemana.

Kemudian datanglah manusia-manusia yang berperan sebagai anak buah saya. Dengan klise peran anak buah sebagai orang yang tolol dan goblok, it's easy untuk membentak-bentak mereka, menggertak mereka, memukul kepala mereka dan hal-hal lain yang jika dilakukan di dunia nyata berujung pada sodomi. Untungnya Sony ataupun Rojak sebagai pria beruntung yang memerankan ini bukan simpatisan Jonru atau Felix Siauw.

Beberapa tambahan scene juga mulai diungkap Mas Ilham. Dan saya juga sudah kelaparan untuk sekedar bercerita, tugas Karya Ilmiah juga belum disentuh sama sekali, jadi cerita gak jelas ini sampai disini dulu. Yang paling penting cerita ini adalah saya yang barusan mandi seperti kembali ke jaman batu, jaman Mansur, jaman Ibung, jaman Bagus, dimana lampu kamar mandi kos error dan jadilah saya bergelap-gelapan saat mandi--dengan pintu terbuka. (Bersambung)

Saturday, January 10, 2015

Karena Hidup Serba Drama (Day #1)

Saya masih belum benar-benar yakin akan kemampuan pentas saya.

Dengan keputusan Bu Ririe, dosen apresiasi prosa fiksi yang menunjuk kelas sastra 2013 untuk memainkan drama dengan lakon yang tidak main-main "Bidadariku Harapanku", ini berarti kelas dengan mahasiswa--yang seperti dibilang Pak Najid--kebanyakan salah masuk jurusan sastra ini harus berlatih dengan cukup keras dalam waktu yang sangat tidak sesuai dengan waktu normal orang berlatih drama untuk pentas--menurut Mas Ilham Sendratasik, pelatih senior kami-- yakni 6 bulan dan seluruh penghuni kelas tanpa kecuali harus melakukan latihan mulai Sabtu, Minggu, Senin dan Selasa, kira-kira 4 hari untuk kemudian melaksanakan tugas suci memainkan lakon drama itu di hari Rabu. Yieeehhh! 

Sabtu ini adalah hari pertama saya dan kawan-kawan berlatih. Dengan jam molor yang sudah terlampau biasa bagi kelas sekece ini, janji berkumpul pukul 8.30 pun meleset hingga pukul 9.30 dengan saya yang baru datang seusai ketiduran karena kelelahan menempuh perjalanan yang sebenarnya gak jauh-jauh amat sih Pandaan-Surabaya. Hanya dengan menyantap sari roti keju favorit saya langsung tancap gas ke kampus dengan kostum paling nyantai dan easy going kaos metal dan celana pendek plus beanie. Fuck the mainstream dimana seluruh kawan-kawan memakai baju yang sopan tapi apa daya pesona Sabtu pagi yang sudah terprogram di otak sebagai liburan membuat saya tetap memakai kostum yang bisa dikatakan seperti orang yang belum mandi. 

Langsung saja setelah briefing yang saya juga gak ngerti karena masih ngantuk, Mas Ilham memulai dengan sebuah sandal yang gantian dilemparkan pada kawan-kawan. Sandal itu harus diubah menjadi benda lain sesuai imajinasi (ngerti gak?). Dan pasti ada sedikit momen canggung, jika tak tolol dimana sandal dipraktekkan dengan khusyuk menjadi setrika, handphone, sikat WC dan saya dengan idiotnya menggunakan sandal tersebut sebagai sikat gigi dan raket tenis. But it's doesn't matter 'cause it's fun. 

Dan dimulailah latihan drama dimana datanglah ibu-ibu desa yang sedang cuci-cuci di sungai sebagai pembuka drama. Dengan banyaknya peran yang diisi oleh geng super that called Oplosan (atau Ops dalam versi lebih dramatik), pembuka drama menjadi hidup. Tanpa adanya teks dan aturan-aturan kaku khas drama, mereka sukses membukanya dengan gaya lenong dan karena ini adalah memang drama komedi. Mereka bisa-lah ngomong apa aja ngalor-ngidul di atas panggung, sedikit mengingatkan pada OVJ atau YKS deh versi goblok-goblokannya. Dengan ini kami merasa yakin akan membuat penonton terbahak-bahak. Tapi dengan ini juga kami tak yakin apakah kami akan melakukan hal yang sama persis dengan latihan saat drama berlangsung. (Bersambung)