Thursday, April 16, 2015

Mirror

On your way
First time I saw you
On your way
I learned to enjoy staring at you
On your way
I found the very sweet mirror
On your way
I couldn’t as such loose
from mirror
On your way
I started to be in action to sidewalk
To let our eyesight go
On your way
I sang loudly wherever
To steer clear of your sound pulling

How to use your way correctly
Almost, I couldn’t back from the blue pain ~

***

Sedikit cerita:
Track terbaik di I Am Ij Sin A. 10 dari 10. Sempurna. Magis. Manis. Menyentuh. Spiritual. Gelap. Muram. Nikmat:  saya seperti kehabisan kata-kata mendeskripsikan lagu ini. Lagu ini selalu hampir membuat saya menitikkan air mata, tapi kemudian tak jadi. Lagi-lagi momen magis adalah di pertengahan sampai akhir lagu. Kalian bisa mengalami puncak emosi yang intens jika kalian masih cukup waras kala mendengar lagu ini. Keajaiban musik memang ada. Lagu ini adalah penyembuh yang begitu indah. Semenit terakhir sebelum lagu ini berakhir adalah surga auditori, berdampingan dengan segala  momen melankolia hidup. Merdu. Sungguh. Teriakkan Nitnot mengisi backsound membuat urat ngeri. Merinding. Rintihan gitar kerlap-kerlip, tempo naik seirama jantung. Kata-kata apalagi yang bisa saya tulis? Tidak ada. Segalanya sempurna dan Humi Dumi—menurut saya—resmi sudah mengalahkan Mocca jauh. Jauh sekali. Masa bodoh dengan kesubjektifan. Mendengar “Mirror”; tak ada tandingan dan bandingannya. 10 dari 10. Sekali lagi, mereka sempurna.

Walking In The Pillow

In the night
I  felt it’s difficult
To sleep upstairs
Then I walk around kitchen
Wishing to find a pillow
Which helps me sleep
I don’t wanna be quiet
Seeing bed which wave the dream
‘Cause I’m scared
I can’t sleep walking anymore

There’s a dream in my pillow ~

Dance when fall asleep
Sing when fall asleep
Going through the pole
Going through the south
And find the discussion
Come to the oudor
Feel the oudor
Don’t you ever break the dream

There’s a dream in my pillow
There’s noise near with you
There’s an ego holding me on warmly
When I was blind

***

Sedikit cerita:
“Walking In The Pillow” adalah kumpulan kesedihan, kebahagiaan, momen dan waktu yang dikumpulkan dalam bentuk lagu. Ini adalah track kedua terbaik di album I Am Ij Sin A versi saya. Saya sudah hampir gila mendengar lagu ini tanpa pernah bosan sedikitpun. Simak momen magis jelang akhir lagu saat Humi Dumi seperti menumpahkan seluruh potensinya: suara gitar elektrik; post-rock! Gila sekali lagi ini adalah pencapaian artistik luar biasa memukau yang pernah dilakukan musisi Surabaya. Ada nuansa misterius; seperti anak kecil yang tertawa ceria tapi menyimpan memar bekas cubitan mamanya. Atau seperti bocah yang kelelahan bermain layang-layang dan kemudian tidur memeluk guling dengan rapat. Lagu ini menyenangkan tapi juga tak 100% menyenangkan. Lagu ini melankolik tapi hanya 65% sisi yang bisa dianggap melankolik. Sebuah penciptaan yang matang—atau jika belum matang ini adalah bukti bahwa ketidaksempurnaan dalam musik justru menjadikannya mahakarya. Pengantar yang bagus sebelum lagu selanjutnya yang menjadi klimaks dari I Am Ij Sin A. Saya selalu merasa lagu ini tak pantas untuk didengarkan saja; ini patut diapresiasi dan dihayati sampai tingkatan sufi—maafkan hiperbola saya.

Bella In 79 Seconds

Bella is smiling
But i know her smile for who
Bella is staring
But i know her stare for who
Bella said “stay here!”
But i don’t wanna stay
Bella wear black dress
But Bella’s heart never get black, for me
And Bella said “we must sink”
And i cannot breath
And i cannot smile

As Bella i know
Why it’s suddenly disappeared
And because Bella too,
I know why it’s suddenly come
Bella don’t like came and go
Just on 79 seconds
Bella like clockwork
When it was number 10

I know it’s not Bella
Anymore

I know
I know what her wanted anymore

***

Sedikit cerita:
Menceritakan tentang Bella, inilah lagu di album I Am Ij Sin A yang menduduki urutan terbaik ketiga menurut saya (sama dengan “Ceria Cerita” karena susah sekali menentukan dari kedua track ini mana yang terbaik). Lagu ini masuk dalam kompilasi Safe & Sound yang dirilis webzine tempat saya bekerja dan berhura-hura Ronascent Webzine, dan sambutan yang didapat publik Surabaya tentu saja tak mengecewakan. Lagi-lagi suara Nitnot pada lagu ini membuat saya kembali berlebihan: bahwa Nitnot adalah penyanyi perempuan paling luar biasa yang pernah ada di Surabaya. Fak!

Ceria Cerita

Pergi
Bersama dirimu
Nyanyikan
Nyanyikan lagu
Biaskan semu
Semua yang tersisa

Jemput bayangmu di perahuku
Lakukan dengan ceria cerita
Masa kecilmu
Masa, masa kecilmu

Diam
Tatap wajahku perlahan
Derukan, derukan
Angin panjang
Sisakan bebas
Bebas yang tertinggal

Hu~uu

***

Sedikit cerita:
Entah sudah seberapa sering saya memutar “Ceria Cerita” dan selanjutnya seperti balon yang terbang dengan sendirinya. Lagu ini selaras dengan denyut jantung. Ajaib. Menggetarkan. Momen magis terjadi saat bait “Huu uu” didendangkan berulang menjelang akhir lagu. Dan sepertinya tak ada salahnya untuk mengenang kembali masa kecil dimana nenek suka membelikan balon untuk kita saat berkunjung ke rumahnya. Yang membuat saya kagum tak henti-henti pada kolektif ini sekali lagi adalah musik mereka selaras-senada-seirama dengan denyut jantung. Saya masih mengalaminya bahkan setelah ribuan kali memutar lagunya.

Pack Of Friend

Are you sure
This is night no stars
My coffee cup can not
To interpretation
What’s out there
In the sky or sorrounding bustle
Huooooo
I’m just alone
Sitting with adventures imagination
She said shippidly enough to miss this
I miss so one half of the music
Miss
All i know history there

When i meet you
In the bookstore
You give me a new hug a smile for me
We walk together
And i just thought about my home
So we can watch a movie every time

You come to me come closer
A ya ya ya-a ya ya ya
You will find some places
A-yaa-aaa-aaaaaa...

We, we are young cheerful

If united voice
One become splash
Crowding in the head (2x)
History becomes work

Are you sure this is night no stars
Are you sure? Oh are you sure
Are you Are you sure

***

Sedikit cerita:
Setelah melempar EP dengan kemasan unik I Am Ij Sin A, buru-buru sekali saya putar lagu-lagu mereka selain “Sleep” tentunya. “Pack Of Friend” adalah juga sebuah kegemilangan. Dibalut hanya dengan kesederhanaan gitar bolong dan cajoon, sedikit lebih ceria dan cair dibanding “Sleep”. Sama seperti semua lirik di album ini yang kebanyakan puitis dan penuh metafor (dengan mbak Qanita alias Nitnot sebagai penulis seluruh lirik), “Pack Of Friend” menceritakan tentang perasaan rindu pada seorang teman. Simpel sekali. Ada suasana kesepian disini, namun di saat bersamaan ada perasaan riang. Saya jatuh cinta untuk yang kesekian kali. Tapi syukurlah saya tak berhenti di “Sleep” dan “Pack Of Friend” karena track-track setelahnya mungkin limabelas kali lebih baik dari dua track pembuka ini. 

Sleep

Postingan ini dan selanjutnya saya persembahkan untuk Humi Dumi, band innocence folk-pop Surabaya dengan debut EP-nya yang bergelimang kejora I Am Ij Sin A. Meski masih agak underrated di skena nasional dan bahkan di Surabaya sendiri, saya mencintai Humi Dumi dengan setulus hati jiwa dan raga. Karena setelah googling saya belum menemukan lirik di semua lagu dalam I Am Ij Sin A, maka saya memutuskan untuk menyalin lirik dari kemasan albumnya yang unik itu dan mempostingnya di blog. Karena saya yakin, menyebarkan Humi Dumi walaupun hanya sebatas liriknya adalah bentuk balas budi paling masuk akal karena EP ini telah menyelamatkan hidup saya dari guncangan patah hati dan akhirnya membimbing saya untuk merenung lebih dalam hingga saya bisa sembuh kembali. Berikut ini adalah lagu pembuka "Sleep" dan selamat menikmati dan berspiritual lewat I Am Ij Sin A!

***

I saw a lot of thing in here
Anyway to remind that
I must go back to the sound
I want to go somewhere
That i don’t want anyone
To know when and whenever

I forgot all lying of thing
I don’t want too, distance
I like you, remember
Eyes, said to start get a light over
Anything you anything founded?
Distance we were

Other place
Some other place
I can do anything you want
I find anything you find
We can be together
Everything we can through
Without lie

And other place
Some other place
And other place
So we ca do anything you want
You can find anything you find
We can do this something
Every after to distance to like
We didn’t meet up

***

Sedikit cerita:
Lepas dari bagaimana debut album Humi Dumi I Am Ij Sin A yang kurang begitu meledak di skena lokal—khususnya Surabaya—padahal menurut saya hanya dengan “Sleep” saja mereka sudah cukup mampu bersaing di industri pop mainstream (dan tolong lepaskan stigma mainstream itu dari seberapa sering sebuah band main di Inbox) untuk kemudian menjadi idola indie pop baru setelah Mocca (dan hebatnya Mocca sempat memuji Humi Dumi via Twitter), Humi Dumi dengan “Sleep” adalah sebuah kegemilangan. Surabaya kering rilisan folk beberapa tahun terakhir, apalagi dengan vokalis wanita dengan suara benzodiazepine yang menenangkan . “Sleep” saya dengar beberapa saat setelah berputar menjelajahi Sunday Market. Saya ingat betul suasana malam itu: saya berada persis di dekat panggung, sebelah sound besar dimana Humi Dumi mulai memainkan lagu. Saya termenung beberapa saat saat intro “Sleep” dimainkan, mengingat saya baru pertama kali mendengarnya. Folk juga bisa seindah dan semelankoli ini. Momen magis yang tiap detik terus terjadi sampai mendekati akhir lagu. Dan lagi-lagi suara Nitnot si vokalis yang kekanakan-imut-lucu-menggemaskan—dan itu semua tercermin dalam suara dan gaya khasnya membuat saya jatuh cinta berkali-kali. Bahagia berlipat-lipat. Tak berlebihan karena setelah pulang dari Sunday Market yang saya lupa volume keberapa itu hidup saya tak pernah sama lagi: “Sleep” adalah playlist favorit di Soundcloud. Dan saya berani menjamin mungkin hanya 10% dari total populasi kampus yang mengenal Humi Dumi dan keajaiban yang ditimbulkannya—mengingat waktu itu mereka adalah band baru serta baru mengeluarkan satu single dan album juga belum kelar. Saya optimis bahwa mereka nantinya akan menjadi band skala nasional, bahkan go internasional secepatnya dengan hanya single “Sleep” saja. “Sleep” sendiri menurut interpretasi saya adalah lagu tentang LDR, dimana jarak jauh tak jadi penghalang karena saat kita tidur, kita bisa bermimpi dan melakukan apapun dengan orang yang kita sayang. Selain Nitnot, saya juga memuji performa cantik-menghanyutkan dari bassist-nya (saya lupa namanya) yang juga seorang perempuan. Komposisi ini adalah harta karun musik Surabaya yang walaupun hype dari skena nasional belum tampak, tapi seiring berjalannya waktu I Am Ij Sin A akan menjadi salah satu artefak paling jenius dalam sejarah musik Surabaya itu sendiri.

Wednesday, April 15, 2015

2015 Dan Candu Itu

Hal-hal dibawah ini adalah bagian dari hidup. Saya kurang begitu yakin nantinya akan mampu bertahan hidup tanpa hal-hal dibawah ini. Bisa dibilang ini semua adalah sebuah candu: menyenangkan sekaligus susah sekali untuk ditinggalkan. Beberapa diantaranya sudah melekat dengan saya semenjak sekolah dasar, beberapa lainnya dimulai di sekolah menengah pertama. Beberapa diantaranya cenderung negatif dan coba saya kurangi. Beberapa diantaranya positif dan masih saya lakoni sepenuh hati. Istimewanya adalah, hanya segelinitr orang saja yang tahu jika saya mempunyai candu pada hal-hal ini. Memilih menuliskannya di blog mungkin terlalu naif. Tapi karena ini adalah blog pribadi dan saya menuliskannya tanpa peduli akan dibaca orang atau tidak, anggap saja ini adalah bentuk homage/tribute/penghormatan terhadap segala candu yang mengisi hidup saya.

Kesemuanya dibawah ini mungkin bisa juga dibilang passion. Mereka punya andil besar membuat hidup saya tak pernah sama lagi. Dalam daftar ini banyak ditemui merek-merek dagang; saya sudah siap untuk mempertanggung-jawabkan semuanya karena menuliskannya tanpa izin. Sekali lagi, kedelapanbelas hal dibawah adalah candu personal yang masih menjadi bagian tak terpisah bahkan sampai 2015 ini. Dan apabila kalian ragu seperti apa rasanya candu: jangan sekali-sekali berburu ganja medis lalu giting demi memahami istilah itu—karena sebenarnya cannabis sativa tak secandu itu. Kunyahlah pil ‘e’.

1. Indomie
Andaikata FPI sempat berkicau bahwasanya di dunia ini tak ada mie instan seenak Indomie, maka mungkin jutaan fanboy Indomie fasis secara membabi buta akan langsung menjustifikasi manusia penyuka Supermi ataupun Mie Sedap sebagai kafir, yahudi, dajjal, liberal, illuminati, konspirasi terencana, sistematis dan masif. Tapi ada baiknya kita—sebagai manusia dengan IQ yang saya kira jauh lebih tinggi dari keledai—sama-sama tahu bahwa semua selera adalah masalah personal sehingga tak perlulah membabi-buta memaksakannya dan menggebuki yang kebetulan berbeda. Termasuk selera akan mie instan yang hingga hari ini kita tahu memiliki bermacam merek, rasa dan varian—yang mulai memunculkan rasa paling aneh seperti pecel ataupun sate. Saya pribadi masih menganggap Indomie Goreng, dengan atau tanpa Al Gazali dan Maudy Ayunda sebagai bintang iklan sebagai mie instan terbaik hingga detik ini. Setidaknya hingga hanya tinggal sisa bumbu dalam mangkuk saya sekarang. Sampai pada pemahaman artikel di Detikhealth.com yang saya baca beberapa waktu silam, saya akhirnya menyadari bahwa saya adalah seorang Indomie junkie. Tak ada rasa bangga akan hal tersebut, karena ironisnya ini adalah artikel kesehatan tentang bagaimana hobi makan mie instan secara berlebihan lebih dari mampu membuat ususmu melilit. Tapi bagaimana bila Indomie sudah menjadi keseharian dan kita tak pernah sadar akan hal itu karena stok Indomie di laci dapur selalu berlebih. Tambah lagi keadaan rumah yang selalu sepi sehingga sah-sah saja memakai kompor untuk merebusnya barang sebentar. Indomie adalah bagian dari hidup jika kalian sudah pernah merasakan betapa indahnya sendirian di rumah sepulang sekolah kala hujan turun dengan rambut lepek sembari menikmati semangkuk Indomie dan siaran MTV dengan VJ Marissa yang aduhai itu di siang hari. Dan alasan paling penting mengapa Indomie jadi mie instan terbaik selain racikan bumbu dan kekenyalan mie yang sempurna adalah kenyataan bahwa saya tak pernah terlalu pintar untuk sadar bahwa sudah sejak lama saya menjadi Indomie junkie karena mungkin, kelezatan mie instan satu ini sudah terlalu melekat dalam hidup. Sampai pada sisa bumbu yang sebenarnya sah-sah saja bila dijilati.

2. Coca-Cola/Tebs
Coca-Cola, Tebs and another fuckin’ softdrink in minimarket cooler adalah sebuah passion. Dan kita lebih membutuhkan mood dibanding pemuas haus bandel. Walaupun akhir-akhir ini muncul softdrink KW5 macam Big Cola yang rasanya lebih mirip air tajin, Coca-Cola dan Tebs masih berada di kelasnya sendiri: dua tingkat lebih tinggi dari rak Mizone rasa unik yang bikin gemetar itu. Sewaktu SMP, memastikan bahwa toko kecil seberang jalan masih buka untuk sekedar mencomot Tebs sepulang sekolah mungkin terdengar kekananakan dan cenderung alay. Tapi seberapapun seringnya saya mengeluarkan seragam ketika lewat ruang guru, masa SMP saya tetap saja tak pernah sekeren itu tanpa kehadiran tea with fucking soda. Jika saya pernah mengalami fase kecemburuan garing, keposesifan konyol dan ketololan apapun itu terhadap mantan pacar sewaktu masih SMA sebelum menjadi jomblo hina seperti sekarang, softdrink adalah candu segar yang tak pernah membosankan untuk diteguk sebagai substansi penyeimbang kala kondisi emosi, mood dan pikiran sedang labil. Tak ada yang tahu bahwa sebagian besar momen perenungan dalam hidup saya ditopang oleh softdrink. Termasuk dalam perjalanan penuh melankoli untuk menemui mantan pacar ketika belum lama putus, menatap langit yang sedikit terhalang tali jemuran saat sedang seorang diri di kos-kosan, menghabiskan senja berdua sembari saling bersandar, berangkulan dan bercerita apapun di tepian danau, menonton gigs indie pop penuh haru biru sampai menitikkan air mata, ataupun perjalanan pulang kampung dengan bus penuh tukang cangcimen dan pengamen acakadut yang melelahkan. Coca-Cola dan Tebs adalah substansi perenungan yang baik selain Heineken. Dan dengan meyakinkan diri bahwa sesungguhnya Big Cola rasa melon adalah ekstraksi dari sirup Marjan, maka niscaya godaan untuk mencoba another absurd taste dari merek-merek softdrink medioker yang dipampang serampangan di kulkas Indomaret akan hilang dengan sendirinya. Cheerssss!

3. Headset
Apalah arti musik cadas jika tetangga kanan-kirimu kader PKS? Percayalah, headset membantumu dari lemparan batu yang pasti akan terjadi kala Napalm Death kau putar dengan digital surround 7.1 dua puluh menit sebelum azan subuh. Headset termasuk dalam penemuan paling penting abad 21, jika kalian percaya bahwa tak pernah ada penemuan penting sampai kalian sendiri yang menyadari betapa pentingnya hal tersebut. Dan hingga detik ini, tak ada yang lebih terasa penting dibanding menikmati musik secara intim dan personal, jernih tanpa gangguan, bebas dari cacimaki penggemar Wali yang mungkin saja gerah saat saya memutar Oasis lewat loudspeaker, bahkan terhindar dari kutukan simpatisan MUI yang bisa saja mengharamkan musik di tengah-tengah saya memutar album The Ghost Of A Saber Tooth Tiger. Kita takkan menjumpai manfaat yang begitu besar tanpa adanya headset dalam hidup yang serba monoton ini. Sedikit nostalgia dengan handphone pertama saya sewaktu kelas 7 SMP dengan merek Walkman, ditengah bombardir SMS tak jelas yang di jaman itu benar-benar terjadi, saya lebih bisa mencintai pemutar musik sebagai fitur favorit dengan headset yang selalu terpasang. Tak pernah ada waktu belajar yang menyenangkan tanpa headset yang menancap dengan alunan Top 40’s dari Merdeka FM. Dan kenyataan bahwa kawan-kawan sekelas pernah memergoki telinga saya berdarah-darah setelah memakai headset over-frekuentif, juga mitos pribadi bahwa headset saya tak pernah bisa bertahan selama lebih dari dua bulan sehingga lemari selalu penuh oleh tumpukan headset rusak, maka menganggap headset sebagai candu sudah semestinya disadari. Tak ada yang salah dengan hari suntuk, yang ada hanyalah kesalahan untuk tak segera menyusun playlist punk rock dan menancapkan headset ke telinga. Dan apabila kalian masih belum menemukan alasan tepat untuk mencintai headset, segeralah menyadari bahwa tanpa headset handphone tercanggih kalian takkan pernah mampu berfungsi sebagai radio FM.

4. Listicle
Listicle termasyhur versi televisi mungkin adalah On The Spot Trans7. Tapi dengan iklan So Nice dan ekstrak kulit manggis yang over-frekuentif, menonton TV hanya untuk pengetahuan sepertinya akan melelahkan. Yang paling ditakutkan adalah kita akhirnya menyerah dan kembali menonton TvOne dengan harapan akan ada sedikit wawasan dari banyaknya celoteh kurang bermanfaat dari partai koalisi Bakrie. Tapi tenang, pengetahuan tak selalu harus dari benda menyedihkan berbentuk kotak itu. Tinggal pencet Smartphone, aktifkan paket data dan meluncur dalam maya. Situs listicle keren seperti hipwee.com, inilah.com sampai blog terselubung—yang kini dengan brengseknya telah diblokir Google—memang bisa jadi ajang tambah wawasan, bahan-bahan untuk referensi plus sarana pancingan inspirasi. “8 Cara Jadi Ganteng Banget”, “10 Trik Mendekati Dosen Muda” atau “6 Obat Nyamuk Murah Untuk Mengakhiri Hidup Pasca Patah Hati” mungkin bisa jadi artikel yang nantinya punya peran besar dalam hidup kalian. Tak hanya sekedar tips penting, listicle juga merupakan hiburan menyenangkan kala situs 21-tahun-keatas yang jadi langganan jarang sekali update. “5 Bintang Sinema Pagi Indosiar Paling Menderita,” “18 Rahasia Paling Intim Haruka Nakagawa,” sampai “6 Prestasi Nasar dan Musdalifah” mungkin akan membuat wawasan kalian over the horizon. Dan lagi-lagi semenjak handphone canggih pertama saya, listicle adalah bagian tak terpisahkan dalam search history, tak peduli betapa seringnya artikel dengan tag #hubungan #mantan #moveon dan #jomblo membuat tidur saya sedikit terganggu.

5. Blogger
Reading Is Hot, Writing Is Cool. Entah siapa yang pernah berkata seperti itu dan jujur saja, saya tak pernah menulis hanya untuk sekedar menjadi cool as fuck. Beuh! Menulis adalah hal paling menyenangkan di dunia—selain makan, tidur dan ngupil tentunya. Dan, menulis di blog tanpa peduli entah dibaca orang atau tidak adalah surga dunia—selain harta, tahta dan wanita tentunya. Segala risau di hati, segala macam gundah gulana, segala macam klise yang ingin dibagi dan segala hal yang numpang lewat asal-asalan di pikiran bisa segera kau tulis dan publikasikan. Blogger adalah tempat terbaik setelah saya sempat berkelana dalam Wordpress, Tumblr sampai Blogdetik. Simple is a king. Dari awal Blogger memang mempunyai fitur yang teramat sederhana yang memudahkan semua orang untuk menggunakannya. Blog pertama saya tercipta saat SMA, di tengah gejolak meninggalkan ke-gaptek-an dan mengikuti tren yang waktu itu sedang nge-hype. Alhasil blog sebagai media pribadi dan tempat kalian membaca tulisan tak penting-penting amat ini sudah menjadi candu seperti Andhika Kangen Band saat sedang asyik-asyiknya mengisap ganja—sebelum akhirnya digerebek. Awalnya, tuntutan agar blog tampil layaknya blog paling keren sejagad yang dibikin buku sekaligus filmnya, Kambing Jantan milik Raditya Dika sempat mengjangkiti blog milik teman-teman saya. Menulis pengalaman so called funny yang sebenarnya cukup tolol sampai membuat saya muak dengan tren ikut-ikutan—dan yang paling bikin eneg tentu saja pemakaian kata ‘loe-gue’ yang sangat Radit. Uhh! Untunglah saya tak pernah sekalipun ikutan tren sialan ini. Karena waktu itu saya sedang terobsesi berat dengan segala macam album musik, jadilah saya concern bikin blog musik. Cukup sering saya gonta-ganti platform, style bahkan nama blog, tapi sialnya blog musik saya hingga saat ini tak pernah rutin mengudara dan memang lebih baik dilupakan. Dan blog ugal-ugalan inilah yang akhirnya bertahan dan semoga tak akan bosan-bosan menampung berbagai macam tulisan jelek saya. Don’t Judge A Blog With An Internet Connections.

6. New Album.rar
Berburulah vinyl. Atau jika kalian benar-benar hipster sejati, berburulah tape. Tapi kebanyakan dari kita adalah cheap bastards yang cenderung malu untuk mengakuinya. Mengunduh bebas apapun itu jenis mp3, flv sampai 3gp jika sedang kepepet memang sudah jadi kebiasaan yang mengakar. Internet murah, dan kita masih bisa mengunduh album dengan kecepatan gini-gini aja sambil mengutuk Tifatul Sembiring—yang untungnya kini sudah lengser. Crack IDM bertebaran dimanapun dan itupun bisa diunduh via IDM pula. Mendapat album The Velvet Underground kini semudah ngupil dengan kelingking: mp3boo adalah satu diantara banyak solusi (dan semoga situs ini akan bangkrut kelak jika saya mendapat DVD baru saat kondisi keuangan lebih baik). Saya tak munafik. Dulu saat DVD di rumah berada dalam kondisi jaya-jayanya, saya dan keluarga selalu menyempatkan membeli CD/DVD tiap minggu dan diputar secara bergiliran, mulai dari ibuk saya yang Chrisye sekali, bapak sewaktu masih mencintai Guns N’ Roses dan saya dengan kaset Naif. Tapi semenjak benda berharga itu rusak, praktis menikmati musik yang sudah menjadi bagian dari keluarga akhirnya terhenti. Penyakit free-download, se-illegal dan sejahat apapun itu, harus tetap saya akui sebagai salah satu cara agar bisa mendengarkan musik-musik baru yang bahkan dari segi aliranpun saya masih ragu (ambient contohnya, ini aliran musik atau penyakit pencernaan?). Keluarga saya pun lama-lama tergerus juga oleh zaman dan tak lagi memasukkan DVD ke dalam daftar barang penting untuk dibeli karena menurut mereka: ‘it’s oke for DVD but, kalo bisa download pake wifi ngapain ribet sih?’ Fakkkk! Sebaiknya sayalah yang harus tekun menabung demi mimpi ini. Dan memang sebelum itu semua terjadi, IDM, mp3boo.com, WinRar Archive dan WMP adalah teman sehari-hari saya. Maaf.

7. Comedy Movies
Dari sini saya sebenarnya kurang suka film horror—kecuali horror medioker Indonesia yang ehem itu tentunya. Trik menjadi cabe-cabean nomor satu adalah sok-sokan ke bioskop, pesan tiket horror Indonesia dan teriak-teriak heboh sendiri padahal yang ditonton hanyalah kuntilanak keramas yang diperankan bintang JAV. Kecuali bila kalian menonton The Conjuring misalnya, maka saya bisa mengetahui penonton mana yang tertidur dan yang tidak dari frekuensi teriakkan mereka. Saya tentu tak akan terdengar berteriak karena sudah bisa dipastikan saya merem. Sebenarnya saya sendiri tak pernah takut dengan apapun. Setan lonjong, jin loreng, dedemit tanktop; itu sudah biasa. Saya hanya malas menonton horror karena ini menaikkan denyut nadi secara konstan. Dan jika dari awal  kalian menganggap saya pintar beralasan demi menyembunyikan rasa takut dan cemen, saya akan berani menjawab bahwa hanya dengan kebohongan seperti inilah gengsi bisa tetap terjaga. Dari segala pengakuan brengsek diatas, dari dulu saya menemukan gairah yang besar pada film-film komedi. Jika Dono Kasino Indro sudah saya tonton sejak SD, dan Dumb And Dumber adalah film lawas paling lucu yang berkali-kali saya tonton saat SMP, maka janganlah heran jika film komedi sudah menjadi candu yang terlalu lucu. Betapa bodohnya film TED, atau trilogi The Hangover yang sampai saat ini masih sering saya tonton berulang-ulang. Atau konyolnya Kim Jong Un di The Interview yang membuat saya menyadari, tawa akan selalu ada bahkan di negeri yang penuh tekanan dan dihantui misil nuklir. Jika Kim Jong Un saja bisa sekonyol itu—dalam konteks The Interview, bukan dalam konteks saya ingin memulai perang—maka sesungguhnya manusia-manusia canggung seperti saya tentu terlampau bisa untuk terbahak sambil terisak. Ditengah bombardir film-fim parodi sampah (fuckin’ Scary Movies etc.), koleksi film komedi yang paling saya suka adalah film dengan humor sarkas dan cenderung rasis dengan banyaknya kosakata ‘damn-you fuckin-idiot-you-asshole  atau hanya suck-my-dick-bastard  dengan penceritaan yang cerdas. Tapi, sekonyol apapun 21 Jump Street sampai 22 Jump Street, saya akan bilang bahwa film ini terlalu membosankan dan kurang memuaskan. Bahkan walaupun bintang film komedi favorit saya, Jonah Hill bermain disitu.

8. Blogwalking
Berkunjung ke rumah teman memungkinkan kita untuk mendapat camilan gratis—minimal sirup Marjan. Tapi mengunjungi blog teman-teman atau bahkan orang lain yang belum pernah kita jumpa memungkinkan kita lebih memahami bahwa memang kegalauan itu ada dimana-mana. Dan yang lebih happy-nya lagi adalah bahwa kita tak sendiri: masih banyak pemuda tanggung di luar sana yang menulis kisah putus cintanya di blog sambil terisak. Jika kalian sebagai teman saya, merasa punya blog dan ke-GR-an karena dikiranya saya menjadi pembaca setia, maka cukup, sudahilah ke-GR-an kalian karena toh saya juga masih pilih-pilih blog mana yang kira-kira enak untuk rutin dikunjungi. Dan hal yang paling sering terjadi ialah, saya yang tiba-tiba nyasar di blog antah-berantah tanpa tahu itu blog siapa. Dengan mempersetankan celotehan galau ataupun ratapan bunuh diri, dalam blog itu ternyata kebanyakan ada banyak referensi dari sudut pandang lain dari album musik, film ataupun humor-humor sarkas yang selalu membuat tertawa walaupun pedih. Tulisan-tulisan musik, film, seni ataupun politik-lah yang membuat saya sering nyasar di blog-blog unknown macam itu. Saya juga ingin membuat pengakuan: bahwa tiap saya blogwalking di blog-blog teman-teman saya dan semakin galau postingan mereka, maka semakin keras saya bertepuk tangan sambil bergumam: saya tak sendiri.

9. Zine
Buatlah zine tanpa perlu banyak berpikir. Corat-coret itu kertas, tempel di mading kampus. Tulis saja seenak-hati, sesuka udel, maka kalian resmi jadi zinemaker. Tapi dari dulu esensi zine memang cenderung punk; nglawan, ngelunjak, dan nonjok. Tak apa, toh tulisan corat-coret ugal-ugalan juga termasuk perlalawanan terhadap media mainstream yang menancapkan pakem bahwa menulis itu harus begini-begitu—fuck you! Oke sebelum saya makin sok tentang zine dan akhirnya ingin membentuk band hardcore straight-edge dengan nama yang dipanjang-panjangkan, ada baiknya saya bercerita awal perjumpaan saya dengan zine. Kakak saya sebagai mantan drummer band legendaris Haus Kasih Sayang (parodi band) dan Disharmony Terror (grindcore punk)—keduanya telah lama bubar dan kakak saya kini telah bertobat dan menjadi agen MLM—punya banyak koleksi zine cetak fotokopian di kamarnya yang penuh ornamen death metal dewa kegelapan. Waktu itu saya masih SD, dan kemudian tumbuh sedikit-demi-sedikit ditemani musik begajulan. Mulai SMP, kuping sudah resmi terkontaminasi dan di SMA-lah saya makin mendalami dosa-dosa itu diiringi zine sebagai bahan bacaan yang raw. Era digital. Segalanya main comot. Tak ada lagi fotokopi. PDF zine berbagai bentuk banyak bertebaran di maya. Ada yang masih berpakem punk layaknya dulu-dulu, banyak juga yang sekedar menampilkan foto, cerpen atau apapun itu hal keren yang tak pernah diungkap majalah Hai. Bikin zine menjadi rutinitas—meski baru terhitung tiga zine buah karya saya dan teman-teman yang telah terbit hingga saat ini—dan saya punya banyak teman baik dari komunitas pencinta zine ini. Bahwa akhirnya saya kemudian tergabung di salah satu webzine indie Surabaya dan sering dapat tiket konser dan minum-minum gratis adalah sebuah keberuntungan. Saya selalu rutin membuka grup-grup zine di Facebook, tweet dari pegiat zine di Twitter bahkan memantau update dari Tumblr ataupun Issuu sebagai penyedia pdf zine gratis. Hingga saat ini, tak terhitung lagi berapa banyak koleksi zine digital yang saya sedot, baik bahasa Indonesia maupun bahasa luar angkasa. Sekali lagi, membuat zine lebih keren ketimbang membuat notes Facebook berisi puisi ratapan putus cinta dengan menandai semua akun teman. Unfriend saja mereka.

10. Action Figure
Hanya di dunia mainanlah saya bisa mengadu domba antara Rangers Pink dengan Digimon. Menubrukkannya satu sama lain sebagai pelampiasan dendam dan emosi. Tak banyak yang tahu koleksi action figure saya: ini tersembunyi rapat dalam lemari sejak zaman prasejarah dan akhirnya terbukalah kedok oleh adik-adik saya hingga semua koleksi paling personal ini lenyap entah kemana. Pelakunya sudah bisa dipastikan dan mengambil kembali koleksi itu sama saja mempertaruhkan harga diri sebagai pria dewasa. Dengan jakun sok jantan, tak ada yang lebih memalukan dibanding ketahuan mengadu gulat kembali mainan tersebut. Saya ingat dulu sewaktu SD sempat begitu terobsesi dengan Smackdown!, ngefans berat dengan Rey Mysterio dan akhirnya membuat ring Wrestlemania sendiri dari kardus sepatu Converse pertama saya. Dengan action figure power-ranger kecil-kecil pemberian tante, segera saja tiap hari sepulang sekolah selalu ada pertandingan seru di kamar saya. Kebiasaan ini berlanjut hingga SMP dan SMA, tentu saja sambil ngumpet di kamar—dengan action figure baru yang lebih gede dan lebih keren hasil nabung seminggu. Tapi tetap saja ketahuan penghuni rumah yang hobi kepo-kepo. Dan hari ini, saya resmi membuka kedok bodoh ini di blog. Tentu tanpa rasa bangga karena stok action-figure saya sudah punah direbut begundal-begundal kecil, jika tidak hancur kehilangan kaki dan tangan karena ditabrakkan terlalu keras satu sama lain. Biarkan saja menjadi artefak sejarah. Tapi, rupanya candu ini selalu saja timbul saat tak sengaja melihat mainan orang-orangan, apapun dan dimanapun itu. Saya menyerah.

11. New/Old-Magazine
Alkisah seorang anak 10 tahun berdiri di rak Gramedia dengan muka penasaran. Ia terpaku pada satu rak dimana di dalamnya berisi dunia; John Lennon, Saddam Husein, Dalai Lama, Hutan Afrika, Jeremy Thomas sampai Dian Sastro. Anak itu adalah saya sepuluh tahun lalu, dan rak itu adalah rak majalah di sudut toko buku yang seringnya kalah pamor dibanding rak teenlit dan buku motivasi. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk segera mencintai majalah. Hal paling menyenangkan di masa kecil salah satunya adalah saat Ibunda tercinta berlangganan majalah Bobo yang untuk saya. Bahkan sewaktu SMP saya masih sering membuka-baca Tiko. Puluhan majalah sudah berada di rak dan hingga SMA, saya sudah mulai keranjingan majalah impor dan kecanduan membelinya tiap bulan. Rolling Stone kini masih berjajar rapi di sudut kamar, dengan Playboy di tumpukan tengah sendiri agar tak ketahuan. Dan tiap kali melihat tumpukan majalah impor bekas seharga tujuhribuan, naluri konsumtif saya langsung bangkit tanpa peduli dompet sedang pas-pasan. Membaca majalah sungguh berbeda dengan membaca buku biasa secara kovensional. Selain saya mudah sekali bosan pada banyak hal, membaca buku kadang hanya membat saya terpaku pada pandangan si penulis itu saja. Lain halnya dengan majalah, dengan layout dan foto yang super menarik, juga dengan banyaknya penulis yang membuat saya tidak terpaku pada satu style bacaan. Dan bagi saya, sekali lagi hal yang paling membahagiakan dari sebuah toko buku adalah rak majalahnya. Setidaknya sebelum Gramedia resmi menjadi stationery penjual berkakas dan berhenti menjual buku.

12. Printed T-Shirt
Pencinta musik seharusnya tak hanya mendengarkannya, tapi juga memakainya. Wear your music! Saya sebagai pencinta musik ecek-ecek medioker pencandu download gratisan agaknya sepaham dengan pendapat itu. Bongkar lemari dan kalian akan menemukan t-shirt musik yang bejibun—sayangnya sudah tak muat seiring bertambahnya usia dan ukuran tubuh. Peter Says Denim sebagai brand lokal yang menawarkan konsep music denim attitude sempat juga saya gilai karena kesamaan ide. Brand ini mendukung band-band hardcore lokal sampai internasional yang sempat menjadi soundtrack saya sewaktu SMA semisal Everytime I Die sampai Chunk! No! Captain Chunk! Lebih keren melihat t-shirt dengan gambar Hello Kitty ketimbang kaus v-neck tanpa gambar yang berlengan hampir seketek yang dipakai host Inbox. Lebih keren juga melihat cewek pakai t-shirt tanpa celana dibanding kalau mereka pakai celana saja tanpa t-shirt. Sebegitu tertariknya pada gambar t-shirt sehingga memungkinkan bagi saya untuk memuji penjual rujak buah karena memakai kaus Sepultura. Atau lebih ekstremnya lagi saat saya sudah berani merepresentasikan pemakai kaus bersablon cover album The Bagindas C.I.N.T.A sebagai homo. Intinya adalah bahwa terkadang terlalu lama untuk bisa menentukan sikap seseorang yang baru dikenal dari apa yang dilakukannya: lihat saja gambar di kausnya. Segera tinggalkan jika dia memakai kaus bertulis ‘tampang heavy metal hati heavy rotation’. Menjijikkan.

13. Flannel
Semua orang yang mengakui rock sebagai agama pasti pernah menobatkan Kurt Cobain sebagai nabi—sebelum akhirnya sadar seiring bertambahnya usia. Dan seperti klise kyai-kyai saat Maulid Nabi berlangsung: “Jika kita mencintai nabi, harusnya kita mencontoh tingkah lakunya,” maka sah-sah kita menggunakan flannel sebagai cap identitas—yang merupakan pakaian resmi nabi kita kala manggung. Tak ada itu istilahnya grunge-is-dead selama kain keren yang menghangatkan itu masih melekat di badan dengan kekusaman yang terjaga. Menghindari membeli flannel—semahal apapun dan merek apapun itu—dengan alasan klise bahwasanya flannel selalu dicap sebagai baju rombeng dan gembel memang cukup menyakitkan hati. Tapi demi semua dewa 90-an dan Noel Gallegher, saya akan tetap bangga memakai flannel, sedangkal dan seburuk apapun pendapat kalian wahai die-hard-fans boysband. Tentu kita semua tahu dengan jelas perbedaan mencolok antara lelaki yang memakai V-neck hingga menjuntai menampakkan bulu dada yang masih tipis-tipis dengan lelaki yang memakai kemeja flannel dengan lengan yang terlipat sambil menyisir rambut dengan jari. Saya pilih yang kedua.

14. Sneakers
Saya dididik dengan sepatu original. Pembelian KW super sekalipun tak pernah ditolerir karena pernah suatu masa saya dibelikan Ibuk sepatu murah sekali dan dalam sehari langsung jebol sejebol-jebolnya. Inilah yang menjadi dasar bahwa tiap semester sekolah bapak saya selalu mengajak ke toko sepatu dan memilihkan yang mahal-mahal agar awet. Tapi kecintaan bapak pada merek Adidas, Nike, Reebok, Piero, serta merek-merek sport lainnya menular ke saya. Saya juga jatuh cinta setengah mati dengan Converse, dan memulai hormat yang setinggi-tingginya pada merek sekelas Vans. Menabung untuk sepatu sudah tak perlu ngoyo karena berapapun jumlah tabungan, pada akhirnya pasti ditambahi bokis untuk beli sepatu. Inilah candu paling menyenangkan karena suntikan dana untuk membelinya selalu mengalir lancar dari kantong orang tua. Selain itu, patokan saya dalam menilai keren atau tidaknya seseorang adalah dari sneakers apa yang mereka pakai. Lupakan kegantengan jika sneakers kalian masih saja KW10. Dan cewek paling keren diantara pemakai high-heels setinggi bukit adalah mereka yang masih bertahan memakai Converse sekusam apapun itu. Filosofi sepatu yang saya suka: segalanya dimulai dari bawah. Tapi bagaimanapun itu, saya belum menemukan alasan yang tepat untuk menyukai Bata.

15. Free-Run
Berlari adalah berjalan dalam versi yang lebih cepat, dengan gaya lompatan dan juga gesekan yang lebih besar. Berlari berfungsi membakar kalori—dan persetan dengan produk Kozui yang konon katanya mampu menurunkan berat badan hanya dengan berdiam diri. Sekalipun kalian hobi berlari dari kenyataan, itu tak menjamin kalian tak ngos-ngosan di arena lari 10k. Tapi jika menginginkan jaminan, maka free-run secara rutin agaknya bisa sedikit membantu. Saya terlahir dengan jantung lemah, hasil diagnosa dokter yang sempat saya renungkan. Akhirnya fisik saya yang hancur ini coba saya perbaiki lagi dengan olahraga cukup sering. Karena saya tak punya cukup bakat di bola sepak dan basket, maka lari jauh bolehlah jadi pilihan. Awalnya sempat ngos-ngosan. Tapi karena dorongan dari—lagi-lagi—bapak saya yang olahragawan itu, maka sedikit-demi sedikit rasa itu mulai terkikis. Energi untuk lari-lari juga makin besar. Saya tak pernah menghitung seberapa jauh saya lari, tapi yang pasti—karena saya lari menggunakan handsfree—maka saya bisa menghabiskan tiga album sekaligus dalam sekali lari, dengan catatan album yang saya dengar bukan dari genre progressive metal, djent, post-rock atau apapun itu yang satu lagu berdurasi 20 menit. Saya jadi ketagihan lari. Ngos-ngosan dan keringat membuat tubuh segar-bugar. Apalagi bila berpapasan dengan gadis-gadis Cina muda yang kadang juga jogging. Empat sehat lima sempurna.

16. Seeing Sky Everytime
Langit kemungkinan besar adalah proyeksi dari surga yang dapat kita lihat dengan jelas di muka bumi—jika kalian mau meluangkan waktu untuk sekedar memandangnya. Mengabaikan pesona langit berarti menghina lukisan paling jujur dan paling polos dari Sang Maha Kuasa. Bahkan walau lukisan langit terlalu jujur dan terlampau polos sekalipun, tak ada satupun yang bisa menggantikan ke-maha indah-annya yang luar biasa. Obat dari segala tekanan hidup: seakan lepas dalam bebasnya cakrawala. Awan putih di siang. Kilau bintang di malam; sulit membayangkan segila apa keindahan surga jika bumi saja sudah sesempurna ini. Tuhan, ada yang lebih indah dari langit nggak nih? Saya cukup ragu, mengingat seluruh lapisan keindahan muka bumi ditopang oleh lapisan sempurna ini. Sedari dulu saya sering memandang langit lama sekali sampai ada layang-layang lepas di atasnya. Mungkin ini dimulai dari sang kakek yang sewaktu kecil selalu hobi mengajak saya melihat senja yang merekah indah kekuning-kuningan kemerah-merahan itu. Saya juga sudah terlampau percaya dengan anggapan bahwa surga itu berada di langit. Meski keberadaan surga sudah saya dekonstruksi sedemikian rupa dengan perdebatan antar teman sekelas beda agama yang mengobrak-abrik keimanan, tetap saja, jika melihat langit, saya tanpa sadar selalu mengumam: itulah surga, dalam kiasan maupun harfiah. Saya rela menyerahkan segalanya untuk bisa terbang di angkasa. Tentu saja bukan dengan Citilink atau AirAsia.

17. Bathroom
Kemungkinan terbesar yang terjadi tatkala saya sudah dua jam tak keluar dari kamar mandi bukanlah saya sedang berendam di bathub dan kemudian mati terkena serangan jantung. Itu adalah kisah ‘tuhan’ kita bersama Jim Morrison tapi ini lain cerita. Entah ada apa saja di kamar mandi sehingga saya betah berlama-lama di dalamnya—tentu saja dengan pengecualian kamar mandi kosan yang memprihatinkan itu. Jika sedang dirumah, seperdelapan waktu hidup saya habiskan di kamar mandi. Saya suka bernyanyi dan suara saya juga tak buruk-buruk amat: kamar mandi menjadi studio rekaman. Saya suka mainan robot-robotan yang bertempur di bak mandi yang diibaratkan laut: kamar mandi jadi arena perang. Saya suka air-guitar dan air-drum: kamar mandi jadi studio musik. Saya suka menembaki apapun dengan shower sampai semua tembok basah: kamar mandi jadi arena airsoftgun. Kamar mandi bisa berubah jadi apa saja sekehendak saya. Saya tak perlu meminjam pintu kemana saja milik Doraemon karena hanya dengan mengambil handuk untuk kemudian menceburkan diri di kamar mandi sampai dua jam kemudian, saya bisa berada di tempat manapun yang ingin saya tuju. Mandi lama adalah kebiasaan yang menyehatkan: pikiran saya jadi fresh, sumpek hilang, badan mendingin dan tubuh jadi lebih lembab. Dan saya berterus terang tak ada lagi yang saya lakukan selama dua jam di kamar mandi selain hal diatas. Tak ada lagi. Meski sabun cair memungkinkan untuk itu.

18. Bracelet
Sewaktu SMP, hal paling bodoh selain disuruh Ibu Guru maju di depan kelas karena tak mengerjakan PR adalah gelang yang tertinggal. Ada fase dalam hidup dimana saya menjadi tidak PD sama sekali jika tak memakai gelang, bracelet, atau apapun itu kalian menyebutnya. Gelang berumbai-rumbai adalah keren dalam arti sesungguhnya; gelang karet bertingkat-tingkat adalah hair metal yang hidup kembali; bracelet brand original adalah kampanye post-hardcore yang sebenarnya sebelum semua tampak berlebihan dan terlalu fashionable. Jujur saya memulai menggunakan atribut ini semenjak SD—dengan gelang tali sederhana pemberian kakak-kakak keren. Berlanjut bertahun-tahun kemudian; membuat tangan saya tak pernah sepi dari manik-manik. Jika ibunda tercinta pergi ke luar kota atau luar pulau, oleh-oleh terbaik yang selalu dibawa pulang adalah gelang, selain keripik dan kain batik. Dengan mengetahui bahwa banyak gelang saya yang dipotong, dirampas dan dilarang pakai oleh guru-guru over-disiplin sewaktu SMA, memakai gelang sesungguhnya adalah sarana pemberontakan yang begitu mudahnya; tinggal selipkan di tangan kanan atau kiri kalian, semenjak itu pula kalian resmi melawan dunia—meski ini agak absurd. Rebel With The Bracelet.

*Disusun mulai Januari 2015