Hal-hal
dibawah ini adalah bagian dari hidup. Saya kurang begitu yakin nantinya akan
mampu bertahan hidup tanpa hal-hal dibawah ini. Bisa dibilang ini semua adalah
sebuah candu: menyenangkan sekaligus susah sekali untuk ditinggalkan. Beberapa
diantaranya sudah melekat dengan saya semenjak sekolah dasar, beberapa lainnya
dimulai di sekolah menengah pertama. Beberapa diantaranya cenderung negatif dan
coba saya kurangi. Beberapa diantaranya positif dan masih saya lakoni sepenuh
hati. Istimewanya adalah, hanya segelinitr orang saja yang tahu jika saya
mempunyai candu pada hal-hal ini. Memilih menuliskannya di blog mungkin terlalu
naif. Tapi karena ini adalah blog pribadi dan saya menuliskannya tanpa peduli
akan dibaca orang atau tidak, anggap saja ini adalah bentuk
homage/tribute/penghormatan terhadap segala candu yang mengisi hidup saya.
Kesemuanya
dibawah ini mungkin bisa juga dibilang passion. Mereka punya andil besar membuat hidup
saya tak pernah sama lagi. Dalam daftar ini banyak ditemui merek-merek dagang; saya
sudah siap untuk mempertanggung-jawabkan semuanya karena menuliskannya tanpa
izin. Sekali lagi, kedelapanbelas hal dibawah adalah candu personal yang masih
menjadi bagian tak terpisah bahkan sampai 2015 ini. Dan apabila kalian ragu
seperti apa rasanya candu: jangan sekali-sekali berburu ganja medis lalu giting
demi memahami istilah itu—karena sebenarnya cannabis sativa tak secandu itu.
Kunyahlah pil ‘e’.
1. Indomie
Andaikata FPI sempat berkicau
bahwasanya di dunia ini tak ada mie instan seenak Indomie, maka mungkin jutaan
fanboy Indomie fasis secara membabi buta akan langsung menjustifikasi manusia
penyuka Supermi ataupun Mie Sedap sebagai kafir, yahudi, dajjal, liberal,
illuminati, konspirasi terencana, sistematis dan masif. Tapi ada baiknya
kita—sebagai manusia dengan IQ yang saya kira jauh lebih tinggi dari
keledai—sama-sama tahu bahwa semua selera adalah masalah personal sehingga tak
perlulah membabi-buta memaksakannya dan menggebuki yang kebetulan berbeda.
Termasuk selera akan mie instan yang hingga hari ini kita tahu memiliki
bermacam merek, rasa dan varian—yang mulai memunculkan rasa paling aneh seperti
pecel ataupun sate. Saya pribadi masih menganggap Indomie Goreng, dengan atau
tanpa Al Gazali dan Maudy Ayunda sebagai bintang iklan sebagai mie instan terbaik
hingga detik ini. Setidaknya hingga hanya tinggal sisa bumbu dalam mangkuk saya
sekarang. Sampai pada pemahaman artikel di Detikhealth.com yang saya baca
beberapa waktu silam, saya akhirnya menyadari bahwa saya adalah seorang Indomie
junkie. Tak ada rasa bangga akan hal tersebut, karena ironisnya ini adalah
artikel kesehatan tentang bagaimana hobi makan mie instan secara berlebihan
lebih dari mampu membuat ususmu melilit. Tapi bagaimana bila Indomie sudah
menjadi keseharian dan kita tak pernah sadar akan hal itu karena stok Indomie
di laci dapur selalu berlebih. Tambah lagi keadaan rumah yang selalu sepi
sehingga sah-sah saja memakai kompor untuk merebusnya barang sebentar. Indomie
adalah bagian dari hidup jika kalian sudah pernah merasakan betapa indahnya
sendirian di rumah sepulang sekolah kala hujan turun dengan rambut lepek
sembari menikmati semangkuk Indomie dan siaran MTV dengan VJ Marissa yang
aduhai itu di siang hari. Dan alasan paling penting mengapa Indomie jadi mie
instan terbaik selain racikan bumbu dan kekenyalan mie yang sempurna adalah
kenyataan bahwa saya tak pernah terlalu pintar untuk sadar bahwa sudah sejak
lama saya menjadi Indomie junkie karena mungkin, kelezatan mie instan satu ini
sudah terlalu melekat dalam hidup. Sampai pada sisa bumbu yang sebenarnya
sah-sah saja bila dijilati.
2.
Coca-Cola/Tebs
Coca-Cola, Tebs and another fuckin’
softdrink in minimarket cooler adalah sebuah passion. Dan kita lebih
membutuhkan mood dibanding pemuas haus bandel. Walaupun akhir-akhir ini muncul
softdrink KW5 macam Big Cola yang rasanya lebih mirip air tajin, Coca-Cola dan
Tebs masih berada di kelasnya sendiri: dua tingkat lebih tinggi dari rak Mizone
rasa unik yang bikin gemetar itu. Sewaktu SMP, memastikan bahwa toko kecil
seberang jalan masih buka untuk sekedar mencomot Tebs sepulang sekolah mungkin
terdengar kekananakan dan cenderung alay. Tapi seberapapun seringnya saya
mengeluarkan seragam ketika lewat ruang guru, masa SMP saya tetap saja tak
pernah sekeren itu tanpa kehadiran tea
with fucking soda. Jika saya pernah mengalami fase kecemburuan garing,
keposesifan konyol dan ketololan apapun itu terhadap mantan pacar sewaktu masih
SMA sebelum menjadi jomblo hina seperti sekarang, softdrink adalah candu segar
yang tak pernah membosankan untuk diteguk sebagai substansi penyeimbang kala kondisi
emosi, mood dan pikiran sedang labil. Tak ada yang tahu bahwa sebagian besar
momen perenungan dalam hidup saya ditopang oleh softdrink. Termasuk dalam
perjalanan penuh melankoli untuk menemui mantan pacar ketika belum lama putus,
menatap langit yang sedikit terhalang tali jemuran saat sedang seorang diri di
kos-kosan, menghabiskan senja berdua sembari saling bersandar, berangkulan dan
bercerita apapun di tepian danau, menonton gigs indie pop penuh haru biru sampai
menitikkan air mata, ataupun perjalanan pulang kampung dengan bus penuh tukang
cangcimen dan pengamen acakadut yang melelahkan. Coca-Cola dan Tebs adalah
substansi perenungan yang baik selain Heineken. Dan dengan meyakinkan diri
bahwa sesungguhnya Big Cola rasa melon adalah ekstraksi dari sirup Marjan, maka
niscaya godaan untuk mencoba another
absurd taste dari merek-merek softdrink medioker yang dipampang serampangan
di kulkas Indomaret akan hilang dengan sendirinya. Cheerssss!
3.
Headset
Apalah arti musik cadas jika tetangga
kanan-kirimu kader PKS? Percayalah, headset membantumu dari lemparan batu yang
pasti akan terjadi kala Napalm Death kau putar dengan digital surround 7.1 dua
puluh menit sebelum azan subuh. Headset termasuk dalam penemuan paling penting
abad 21, jika kalian percaya bahwa tak pernah ada penemuan penting sampai
kalian sendiri yang menyadari betapa pentingnya hal tersebut. Dan hingga detik
ini, tak ada yang lebih terasa penting dibanding menikmati musik secara intim
dan personal, jernih tanpa gangguan, bebas dari cacimaki penggemar Wali yang mungkin
saja gerah saat saya memutar Oasis lewat loudspeaker, bahkan terhindar dari
kutukan simpatisan MUI yang bisa saja mengharamkan musik di tengah-tengah saya
memutar album The Ghost Of A Saber Tooth Tiger. Kita takkan menjumpai manfaat
yang begitu besar tanpa adanya headset dalam hidup yang serba monoton ini.
Sedikit nostalgia dengan handphone pertama saya sewaktu kelas 7 SMP dengan merek
Walkman, ditengah bombardir SMS tak jelas yang di jaman itu benar-benar
terjadi, saya lebih bisa mencintai pemutar musik sebagai fitur favorit dengan
headset yang selalu terpasang. Tak pernah ada waktu belajar yang menyenangkan
tanpa headset yang menancap dengan alunan Top 40’s dari Merdeka FM. Dan kenyataan
bahwa kawan-kawan sekelas pernah memergoki telinga saya berdarah-darah setelah
memakai headset over-frekuentif, juga mitos pribadi bahwa headset saya tak
pernah bisa bertahan selama lebih dari dua bulan sehingga lemari selalu penuh
oleh tumpukan headset rusak, maka menganggap headset sebagai candu sudah
semestinya disadari. Tak ada yang salah dengan hari suntuk, yang ada hanyalah
kesalahan untuk tak segera menyusun playlist punk rock dan menancapkan headset
ke telinga. Dan apabila kalian masih belum menemukan alasan tepat untuk
mencintai headset, segeralah menyadari bahwa tanpa headset handphone tercanggih
kalian takkan pernah mampu berfungsi sebagai radio FM.
4.
Listicle
Listicle termasyhur versi televisi
mungkin adalah On The Spot Trans7. Tapi dengan iklan So Nice dan ekstrak kulit
manggis yang over-frekuentif, menonton TV hanya untuk pengetahuan sepertinya
akan melelahkan. Yang paling ditakutkan adalah kita akhirnya menyerah dan kembali
menonton TvOne dengan harapan akan ada sedikit wawasan dari banyaknya celoteh
kurang bermanfaat dari partai koalisi Bakrie. Tapi tenang, pengetahuan tak
selalu harus dari benda menyedihkan berbentuk kotak itu. Tinggal pencet
Smartphone, aktifkan paket data dan meluncur dalam maya. Situs listicle keren
seperti hipwee.com, inilah.com sampai blog terselubung—yang kini dengan
brengseknya telah diblokir Google—memang bisa jadi ajang tambah wawasan,
bahan-bahan untuk referensi plus sarana pancingan inspirasi. “8 Cara Jadi
Ganteng Banget”, “10 Trik Mendekati Dosen Muda” atau “6 Obat Nyamuk Murah Untuk
Mengakhiri Hidup Pasca Patah Hati” mungkin bisa jadi artikel yang nantinya
punya peran besar dalam hidup kalian. Tak hanya sekedar tips penting, listicle
juga merupakan hiburan menyenangkan kala situs 21-tahun-keatas yang jadi
langganan jarang sekali update. “5 Bintang Sinema Pagi Indosiar Paling
Menderita,” “18 Rahasia Paling Intim Haruka Nakagawa,” sampai “6 Prestasi Nasar
dan Musdalifah” mungkin akan membuat wawasan kalian over the horizon. Dan
lagi-lagi semenjak handphone canggih pertama saya, listicle adalah bagian tak
terpisahkan dalam search history, tak peduli betapa seringnya artikel dengan
tag #hubungan #mantan #moveon dan #jomblo membuat tidur saya sedikit terganggu.
5.
Blogger
Reading Is Hot, Writing Is Cool. Entah
siapa yang pernah berkata seperti itu dan jujur saja, saya tak pernah menulis
hanya untuk sekedar menjadi cool as fuck. Beuh!
Menulis adalah hal paling menyenangkan di dunia—selain makan, tidur dan ngupil tentunya. Dan, menulis di blog tanpa peduli entah dibaca orang atau tidak
adalah surga dunia—selain harta, tahta dan wanita tentunya. Segala risau di
hati, segala macam gundah gulana, segala macam klise yang ingin dibagi dan
segala hal yang numpang lewat asal-asalan di pikiran bisa segera kau tulis dan
publikasikan. Blogger adalah tempat terbaik setelah saya sempat berkelana dalam
Wordpress, Tumblr sampai Blogdetik. Simple
is a king. Dari awal Blogger memang mempunyai fitur yang teramat sederhana
yang memudahkan semua orang untuk menggunakannya. Blog pertama saya tercipta
saat SMA, di tengah gejolak meninggalkan ke-gaptek-an dan mengikuti tren yang
waktu itu sedang nge-hype. Alhasil blog sebagai media pribadi dan tempat kalian
membaca tulisan tak penting-penting amat ini sudah menjadi candu seperti
Andhika Kangen Band saat sedang asyik-asyiknya mengisap ganja—sebelum akhirnya
digerebek. Awalnya, tuntutan agar blog tampil layaknya blog paling keren
sejagad yang dibikin buku sekaligus filmnya, Kambing Jantan milik Raditya Dika
sempat mengjangkiti blog milik teman-teman saya. Menulis pengalaman so called funny yang sebenarnya cukup
tolol sampai membuat saya muak dengan tren ikut-ikutan—dan yang paling bikin
eneg tentu saja pemakaian kata ‘loe-gue’ yang sangat Radit. Uhh! Untunglah saya
tak pernah sekalipun ikutan tren sialan ini. Karena waktu itu saya sedang
terobsesi berat dengan segala macam album musik, jadilah saya concern bikin
blog musik. Cukup sering saya gonta-ganti platform, style bahkan nama blog,
tapi sialnya blog musik saya hingga saat ini tak pernah rutin mengudara dan
memang lebih baik dilupakan. Dan blog ugal-ugalan inilah yang akhirnya bertahan
dan semoga tak akan bosan-bosan menampung berbagai macam tulisan jelek saya. Don’t Judge A Blog With An Internet
Connections.
6.
New Album.rar
Berburulah vinyl. Atau jika kalian
benar-benar hipster sejati, berburulah tape. Tapi kebanyakan dari kita adalah
cheap bastards yang cenderung malu untuk mengakuinya. Mengunduh bebas apapun
itu jenis mp3, flv sampai 3gp jika sedang kepepet memang sudah jadi kebiasaan
yang mengakar. Internet murah, dan kita masih bisa mengunduh album dengan
kecepatan gini-gini aja sambil
mengutuk Tifatul Sembiring—yang untungnya kini sudah lengser. Crack IDM
bertebaran dimanapun dan itupun bisa diunduh via IDM pula. Mendapat album The
Velvet Underground kini semudah ngupil dengan kelingking: mp3boo adalah satu
diantara banyak solusi (dan semoga situs ini akan bangkrut kelak jika saya
mendapat DVD baru saat kondisi keuangan lebih baik). Saya tak munafik. Dulu
saat DVD di rumah berada dalam kondisi jaya-jayanya, saya dan keluarga selalu
menyempatkan membeli CD/DVD tiap minggu dan diputar secara bergiliran, mulai
dari ibuk saya yang Chrisye sekali, bapak sewaktu masih mencintai Guns N’ Roses
dan saya dengan kaset Naif. Tapi semenjak benda berharga itu rusak, praktis
menikmati musik yang sudah menjadi bagian dari keluarga akhirnya terhenti.
Penyakit free-download, se-illegal dan sejahat apapun itu, harus tetap saya
akui sebagai salah satu cara agar bisa mendengarkan musik-musik baru yang
bahkan dari segi aliranpun saya masih ragu (ambient contohnya, ini aliran musik
atau penyakit pencernaan?). Keluarga saya pun lama-lama tergerus juga oleh
zaman dan tak lagi memasukkan DVD ke dalam daftar barang penting untuk dibeli
karena menurut mereka: ‘it’s oke for DVD
but, kalo bisa download pake wifi ngapain ribet sih?’ Fakkkk! Sebaiknya
sayalah yang harus tekun menabung demi mimpi ini. Dan memang sebelum itu semua terjadi,
IDM, mp3boo.com, WinRar Archive dan WMP adalah teman sehari-hari saya. Maaf.
7.
Comedy Movies
Dari sini saya sebenarnya kurang suka
film horror—kecuali horror medioker Indonesia yang ehem itu tentunya. Trik
menjadi cabe-cabean nomor satu adalah sok-sokan ke bioskop, pesan tiket horror
Indonesia dan teriak-teriak heboh sendiri padahal yang ditonton hanyalah
kuntilanak keramas yang diperankan bintang JAV. Kecuali bila kalian menonton
The Conjuring misalnya, maka saya bisa mengetahui penonton mana yang tertidur
dan yang tidak dari frekuensi teriakkan mereka. Saya tentu tak akan terdengar
berteriak karena sudah bisa dipastikan saya merem. Sebenarnya saya sendiri tak
pernah takut dengan apapun. Setan lonjong, jin loreng, dedemit tanktop; itu
sudah biasa. Saya hanya malas menonton horror karena ini menaikkan denyut nadi
secara konstan. Dan jika dari awal
kalian menganggap saya pintar beralasan demi menyembunyikan rasa takut
dan cemen, saya akan berani menjawab bahwa hanya dengan kebohongan seperti
inilah gengsi bisa tetap terjaga. Dari segala pengakuan brengsek diatas, dari
dulu saya menemukan gairah yang besar pada film-film komedi. Jika Dono Kasino
Indro sudah saya tonton sejak SD, dan Dumb And Dumber adalah film lawas paling
lucu yang berkali-kali saya tonton saat SMP, maka janganlah heran jika film
komedi sudah menjadi candu yang terlalu lucu. Betapa bodohnya film TED, atau
trilogi The Hangover yang sampai saat ini masih sering saya tonton
berulang-ulang. Atau konyolnya Kim Jong Un di The Interview yang membuat saya
menyadari, tawa akan selalu ada bahkan di negeri yang penuh tekanan dan
dihantui misil nuklir. Jika Kim Jong Un saja bisa sekonyol itu—dalam konteks
The Interview, bukan dalam konteks saya ingin memulai perang—maka sesungguhnya manusia-manusia
canggung seperti saya tentu terlampau bisa untuk terbahak sambil terisak.
Ditengah bombardir film-fim parodi sampah (fuckin’ Scary Movies etc.), koleksi
film komedi yang paling saya suka adalah film dengan humor sarkas dan cenderung
rasis dengan banyaknya kosakata ‘damn-you
fuckin-idiot-you-asshole atau hanya suck-my-dick-bastard dengan penceritaan yang cerdas. Tapi, sekonyol
apapun 21 Jump Street sampai 22 Jump Street, saya akan bilang bahwa film ini
terlalu membosankan dan kurang memuaskan. Bahkan walaupun bintang film komedi
favorit saya, Jonah Hill bermain disitu.
8.
Blogwalking
Berkunjung ke rumah teman memungkinkan
kita untuk mendapat camilan gratis—minimal sirup Marjan. Tapi mengunjungi blog
teman-teman atau bahkan orang lain yang belum pernah kita jumpa memungkinkan
kita lebih memahami bahwa memang kegalauan itu ada dimana-mana. Dan yang lebih
happy-nya lagi adalah bahwa kita tak sendiri: masih banyak pemuda tanggung di
luar sana yang menulis kisah putus cintanya di blog sambil terisak. Jika kalian
sebagai teman saya, merasa punya blog dan ke-GR-an karena dikiranya saya
menjadi pembaca setia, maka cukup, sudahilah ke-GR-an kalian karena toh saya
juga masih pilih-pilih blog mana yang kira-kira enak untuk rutin dikunjungi.
Dan hal yang paling sering terjadi ialah, saya yang tiba-tiba nyasar di blog
antah-berantah tanpa tahu itu blog siapa. Dengan mempersetankan celotehan galau
ataupun ratapan bunuh diri, dalam blog itu ternyata kebanyakan ada banyak
referensi dari sudut pandang lain dari album musik, film ataupun humor-humor
sarkas yang selalu membuat tertawa walaupun pedih. Tulisan-tulisan musik, film,
seni ataupun politik-lah yang membuat saya sering nyasar di blog-blog unknown
macam itu. Saya juga ingin membuat pengakuan: bahwa tiap saya blogwalking di blog-blog
teman-teman saya dan semakin galau postingan mereka, maka semakin keras saya
bertepuk tangan sambil bergumam: saya tak sendiri.
9.
Zine
Buatlah zine tanpa perlu banyak
berpikir. Corat-coret itu kertas, tempel di mading kampus. Tulis saja
seenak-hati, sesuka udel, maka kalian resmi jadi zinemaker. Tapi dari dulu
esensi zine memang cenderung punk; nglawan,
ngelunjak, dan nonjok. Tak apa, toh tulisan corat-coret ugal-ugalan juga
termasuk perlalawanan terhadap media mainstream yang menancapkan pakem bahwa
menulis itu harus begini-begitu—fuck you!
Oke sebelum saya makin sok tentang zine dan akhirnya ingin membentuk band
hardcore straight-edge dengan nama yang dipanjang-panjangkan, ada baiknya saya
bercerita awal perjumpaan saya dengan zine. Kakak saya sebagai mantan drummer
band legendaris Haus Kasih Sayang (parodi band) dan Disharmony Terror
(grindcore punk)—keduanya telah lama bubar dan kakak saya kini telah bertobat dan
menjadi agen MLM—punya banyak koleksi zine cetak fotokopian di kamarnya yang
penuh ornamen death metal dewa kegelapan. Waktu itu saya masih SD, dan kemudian
tumbuh sedikit-demi-sedikit ditemani musik begajulan. Mulai SMP, kuping sudah resmi
terkontaminasi dan di SMA-lah saya makin mendalami dosa-dosa itu diiringi zine
sebagai bahan bacaan yang raw. Era digital. Segalanya main comot. Tak ada lagi
fotokopi. PDF zine berbagai bentuk banyak bertebaran di maya. Ada yang masih
berpakem punk layaknya dulu-dulu, banyak juga yang sekedar menampilkan foto,
cerpen atau apapun itu hal keren yang tak pernah diungkap majalah Hai. Bikin
zine menjadi rutinitas—meski baru terhitung tiga zine buah karya saya dan
teman-teman yang telah terbit hingga saat ini—dan saya punya banyak teman baik
dari komunitas pencinta zine ini. Bahwa akhirnya saya kemudian tergabung di
salah satu webzine indie Surabaya dan sering dapat tiket konser dan minum-minum
gratis adalah sebuah keberuntungan. Saya selalu rutin membuka grup-grup zine di Facebook, tweet dari pegiat zine di Twitter bahkan memantau update dari Tumblr
ataupun Issuu sebagai penyedia pdf zine gratis. Hingga saat ini, tak terhitung
lagi berapa banyak koleksi zine digital yang saya sedot, baik bahasa Indonesia
maupun bahasa luar angkasa. Sekali lagi, membuat zine lebih keren ketimbang
membuat notes Facebook berisi puisi ratapan putus cinta dengan menandai semua
akun teman. Unfriend saja mereka.
10.
Action Figure
Hanya di dunia mainanlah saya bisa
mengadu domba antara Rangers Pink dengan Digimon. Menubrukkannya satu sama lain
sebagai pelampiasan dendam dan emosi. Tak banyak yang tahu koleksi action
figure saya: ini tersembunyi rapat dalam lemari sejak zaman prasejarah dan
akhirnya terbukalah kedok oleh adik-adik saya hingga semua koleksi paling
personal ini lenyap entah kemana. Pelakunya sudah bisa dipastikan dan mengambil
kembali koleksi itu sama saja mempertaruhkan harga diri sebagai pria dewasa.
Dengan jakun sok jantan, tak ada yang lebih memalukan dibanding ketahuan mengadu
gulat kembali mainan tersebut. Saya ingat dulu sewaktu SD sempat begitu
terobsesi dengan Smackdown!, ngefans berat dengan Rey Mysterio dan akhirnya
membuat ring Wrestlemania sendiri dari kardus sepatu Converse pertama saya.
Dengan action figure power-ranger kecil-kecil pemberian tante, segera saja tiap
hari sepulang sekolah selalu ada pertandingan seru di kamar saya. Kebiasaan ini
berlanjut hingga SMP dan SMA, tentu saja sambil ngumpet di kamar—dengan action
figure baru yang lebih gede dan lebih keren hasil nabung seminggu. Tapi tetap
saja ketahuan penghuni rumah yang hobi kepo-kepo. Dan hari ini, saya resmi
membuka kedok bodoh ini di blog. Tentu tanpa rasa bangga karena stok
action-figure saya sudah punah direbut begundal-begundal kecil, jika tidak
hancur kehilangan kaki dan tangan karena ditabrakkan terlalu keras satu sama
lain. Biarkan saja menjadi artefak sejarah. Tapi, rupanya candu ini selalu saja
timbul saat tak sengaja melihat mainan orang-orangan, apapun dan dimanapun itu.
Saya menyerah.
11.
New/Old-Magazine
Alkisah seorang anak 10 tahun berdiri
di rak Gramedia dengan muka penasaran. Ia terpaku pada satu rak dimana di
dalamnya berisi dunia; John Lennon, Saddam Husein, Dalai Lama, Hutan Afrika, Jeremy
Thomas sampai Dian Sastro. Anak itu adalah saya sepuluh tahun lalu, dan rak itu
adalah rak majalah di sudut toko buku yang seringnya kalah pamor dibanding rak
teenlit dan buku motivasi. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk segera
mencintai majalah. Hal paling menyenangkan di masa kecil salah satunya adalah
saat Ibunda tercinta berlangganan majalah Bobo yang untuk saya. Bahkan sewaktu
SMP saya masih sering membuka-baca Tiko. Puluhan majalah sudah berada di rak dan
hingga SMA, saya sudah mulai keranjingan majalah impor dan kecanduan membelinya
tiap bulan. Rolling Stone kini masih berjajar rapi di sudut kamar, dengan
Playboy di tumpukan tengah sendiri agar tak ketahuan. Dan tiap kali melihat tumpukan majalah impor bekas seharga tujuhribuan, naluri konsumtif saya langsung bangkit tanpa peduli dompet sedang pas-pasan. Membaca majalah sungguh
berbeda dengan membaca buku biasa secara kovensional. Selain saya mudah sekali
bosan pada banyak hal, membaca buku kadang hanya membat saya terpaku pada
pandangan si penulis itu saja. Lain halnya dengan majalah, dengan layout dan
foto yang super menarik, juga dengan banyaknya penulis yang membuat saya tidak
terpaku pada satu style bacaan. Dan bagi saya, sekali lagi hal yang paling
membahagiakan dari sebuah toko buku adalah rak majalahnya. Setidaknya sebelum
Gramedia resmi menjadi stationery penjual berkakas dan berhenti menjual buku.
12.
Printed T-Shirt
Pencinta musik seharusnya tak hanya
mendengarkannya, tapi juga memakainya. Wear
your music! Saya sebagai pencinta musik ecek-ecek medioker pencandu
download gratisan agaknya sepaham dengan pendapat itu. Bongkar lemari dan
kalian akan menemukan t-shirt musik yang bejibun—sayangnya sudah tak muat
seiring bertambahnya usia dan ukuran tubuh. Peter Says Denim sebagai brand
lokal yang menawarkan konsep music denim attitude sempat juga saya gilai karena
kesamaan ide. Brand ini mendukung band-band hardcore lokal sampai internasional
yang sempat menjadi soundtrack saya sewaktu SMA semisal Everytime I Die sampai
Chunk! No! Captain Chunk! Lebih keren melihat t-shirt dengan gambar Hello Kitty
ketimbang kaus v-neck tanpa gambar yang berlengan hampir seketek yang dipakai
host Inbox. Lebih keren juga melihat cewek pakai t-shirt tanpa celana dibanding
kalau mereka pakai celana saja tanpa t-shirt. Sebegitu tertariknya pada gambar
t-shirt sehingga memungkinkan bagi saya untuk memuji penjual rujak buah karena
memakai kaus Sepultura. Atau lebih ekstremnya lagi saat saya sudah berani
merepresentasikan pemakai kaus bersablon cover album The Bagindas C.I.N.T.A
sebagai homo. Intinya adalah bahwa terkadang terlalu lama untuk bisa menentukan
sikap seseorang yang baru dikenal dari apa yang dilakukannya: lihat saja gambar
di kausnya. Segera tinggalkan jika dia memakai kaus bertulis ‘tampang heavy
metal hati heavy rotation’. Menjijikkan.
13.
Flannel
Semua orang yang mengakui rock sebagai
agama pasti pernah menobatkan Kurt Cobain sebagai nabi—sebelum akhirnya sadar
seiring bertambahnya usia. Dan seperti klise kyai-kyai saat Maulid Nabi
berlangsung: “Jika kita mencintai nabi, harusnya kita mencontoh tingkah
lakunya,” maka sah-sah kita menggunakan flannel sebagai cap identitas—yang
merupakan pakaian resmi nabi kita kala manggung. Tak ada itu istilahnya
grunge-is-dead selama kain keren yang menghangatkan itu masih melekat di badan
dengan kekusaman yang terjaga. Menghindari membeli flannel—semahal apapun dan
merek apapun itu—dengan alasan klise bahwasanya flannel selalu dicap sebagai
baju rombeng dan gembel memang cukup menyakitkan hati. Tapi demi semua dewa
90-an dan Noel Gallegher, saya akan tetap bangga memakai flannel, sedangkal dan
seburuk apapun pendapat kalian wahai die-hard-fans boysband. Tentu kita semua
tahu dengan jelas perbedaan mencolok antara lelaki yang memakai V-neck hingga
menjuntai menampakkan bulu dada yang masih tipis-tipis dengan lelaki yang
memakai kemeja flannel dengan lengan yang terlipat sambil menyisir rambut
dengan jari. Saya pilih yang kedua.
14.
Sneakers
Saya dididik dengan sepatu original. Pembelian
KW super sekalipun tak pernah ditolerir karena pernah suatu masa saya dibelikan
Ibuk sepatu murah sekali dan dalam sehari langsung jebol sejebol-jebolnya.
Inilah yang menjadi dasar bahwa tiap semester sekolah bapak saya selalu
mengajak ke toko sepatu dan memilihkan yang mahal-mahal agar awet. Tapi
kecintaan bapak pada merek Adidas, Nike, Reebok, Piero, serta merek-merek sport
lainnya menular ke saya. Saya juga jatuh cinta setengah mati dengan Converse,
dan memulai hormat yang setinggi-tingginya pada merek sekelas Vans. Menabung
untuk sepatu sudah tak perlu ngoyo karena berapapun jumlah tabungan, pada
akhirnya pasti ditambahi bokis untuk beli sepatu. Inilah candu paling
menyenangkan karena suntikan dana untuk membelinya selalu mengalir lancar dari
kantong orang tua. Selain itu, patokan saya dalam menilai keren atau tidaknya
seseorang adalah dari sneakers apa yang mereka pakai. Lupakan kegantengan jika
sneakers kalian masih saja KW10. Dan cewek paling keren diantara pemakai
high-heels setinggi bukit adalah mereka yang masih bertahan memakai Converse
sekusam apapun itu. Filosofi sepatu yang saya suka: segalanya dimulai dari
bawah. Tapi bagaimanapun itu, saya belum menemukan alasan yang tepat untuk
menyukai Bata.
15.
Free-Run
Berlari adalah berjalan dalam versi
yang lebih cepat, dengan gaya lompatan dan juga gesekan yang lebih besar.
Berlari berfungsi membakar kalori—dan persetan dengan produk Kozui yang konon
katanya mampu menurunkan berat badan hanya dengan berdiam diri. Sekalipun
kalian hobi berlari dari kenyataan, itu tak menjamin kalian tak ngos-ngosan di
arena lari 10k. Tapi jika menginginkan jaminan, maka free-run secara rutin
agaknya bisa sedikit membantu. Saya terlahir dengan jantung lemah, hasil
diagnosa dokter yang sempat saya renungkan. Akhirnya fisik saya yang hancur ini
coba saya perbaiki lagi dengan olahraga cukup sering. Karena saya tak punya
cukup bakat di bola sepak dan basket, maka lari jauh bolehlah jadi pilihan.
Awalnya sempat ngos-ngosan. Tapi karena dorongan dari—lagi-lagi—bapak saya yang
olahragawan itu, maka sedikit-demi sedikit rasa itu mulai terkikis. Energi
untuk lari-lari juga makin besar. Saya tak pernah menghitung seberapa jauh saya
lari, tapi yang pasti—karena saya lari menggunakan handsfree—maka saya bisa
menghabiskan tiga album sekaligus dalam sekali lari, dengan catatan album yang
saya dengar bukan dari genre progressive metal, djent, post-rock atau apapun
itu yang satu lagu berdurasi 20 menit. Saya jadi ketagihan lari. Ngos-ngosan
dan keringat membuat tubuh segar-bugar. Apalagi bila berpapasan dengan
gadis-gadis Cina muda yang kadang juga jogging. Empat sehat lima sempurna.
16.
Seeing Sky Everytime
Langit kemungkinan besar adalah
proyeksi dari surga yang dapat kita lihat dengan jelas di muka bumi—jika kalian
mau meluangkan waktu untuk sekedar memandangnya. Mengabaikan pesona langit
berarti menghina lukisan paling jujur dan paling polos dari Sang Maha Kuasa.
Bahkan walau lukisan langit terlalu jujur dan terlampau polos sekalipun, tak
ada satupun yang bisa menggantikan ke-maha indah-annya yang luar biasa. Obat
dari segala tekanan hidup: seakan lepas dalam bebasnya cakrawala. Awan putih di
siang. Kilau bintang di malam; sulit membayangkan segila apa keindahan surga
jika bumi saja sudah sesempurna ini. Tuhan,
ada yang lebih indah dari langit nggak nih? Saya cukup ragu, mengingat
seluruh lapisan keindahan muka bumi ditopang oleh lapisan sempurna ini. Sedari dulu
saya sering memandang langit lama sekali sampai ada layang-layang lepas di
atasnya. Mungkin ini dimulai dari sang kakek yang sewaktu kecil selalu hobi
mengajak saya melihat senja yang merekah indah kekuning-kuningan
kemerah-merahan itu. Saya juga sudah terlampau percaya dengan anggapan bahwa
surga itu berada di langit. Meski keberadaan surga sudah saya dekonstruksi
sedemikian rupa dengan perdebatan antar teman sekelas beda agama yang
mengobrak-abrik keimanan, tetap saja, jika melihat langit, saya tanpa sadar
selalu mengumam: itulah surga, dalam kiasan maupun harfiah. Saya rela
menyerahkan segalanya untuk bisa terbang di angkasa. Tentu saja bukan dengan Citilink
atau AirAsia.
17.
Bathroom
Kemungkinan terbesar yang terjadi
tatkala saya sudah dua jam tak keluar dari kamar mandi bukanlah saya sedang
berendam di bathub dan kemudian mati terkena serangan jantung. Itu adalah kisah
‘tuhan’ kita bersama Jim Morrison tapi ini lain cerita. Entah ada apa saja di
kamar mandi sehingga saya betah berlama-lama di dalamnya—tentu saja dengan
pengecualian kamar mandi kosan yang memprihatinkan itu. Jika sedang dirumah,
seperdelapan waktu hidup saya habiskan di kamar mandi. Saya suka bernyanyi dan
suara saya juga tak buruk-buruk amat: kamar mandi menjadi studio rekaman. Saya
suka mainan robot-robotan yang bertempur di bak mandi yang diibaratkan laut:
kamar mandi jadi arena perang. Saya suka air-guitar dan air-drum: kamar mandi
jadi studio musik. Saya suka menembaki apapun dengan shower sampai semua tembok
basah: kamar mandi jadi arena airsoftgun. Kamar mandi bisa berubah jadi apa
saja sekehendak saya. Saya tak perlu meminjam pintu kemana saja milik Doraemon
karena hanya dengan mengambil handuk untuk kemudian menceburkan diri di kamar
mandi sampai dua jam kemudian, saya bisa berada di tempat manapun yang ingin
saya tuju. Mandi lama adalah kebiasaan yang menyehatkan: pikiran saya jadi
fresh, sumpek hilang, badan mendingin dan tubuh jadi lebih lembab. Dan saya
berterus terang tak ada lagi yang saya lakukan selama dua jam di kamar mandi
selain hal diatas. Tak ada lagi. Meski sabun cair memungkinkan untuk itu.
18.
Bracelet
Sewaktu SMP, hal paling bodoh selain
disuruh Ibu Guru maju di depan kelas karena tak mengerjakan PR adalah gelang
yang tertinggal. Ada fase dalam hidup dimana saya menjadi tidak PD sama sekali
jika tak memakai gelang, bracelet, atau apapun itu kalian menyebutnya. Gelang
berumbai-rumbai adalah keren dalam arti sesungguhnya; gelang karet
bertingkat-tingkat adalah hair metal yang hidup kembali; bracelet brand
original adalah kampanye post-hardcore yang sebenarnya sebelum semua tampak
berlebihan dan terlalu fashionable. Jujur saya memulai menggunakan atribut ini
semenjak SD—dengan gelang tali sederhana pemberian kakak-kakak keren. Berlanjut
bertahun-tahun kemudian; membuat tangan saya tak pernah sepi dari manik-manik.
Jika ibunda tercinta pergi ke luar kota atau luar pulau, oleh-oleh terbaik yang
selalu dibawa pulang adalah gelang, selain keripik dan kain batik. Dengan
mengetahui bahwa banyak gelang saya yang dipotong, dirampas dan dilarang pakai
oleh guru-guru over-disiplin sewaktu SMA, memakai gelang sesungguhnya adalah sarana
pemberontakan yang begitu mudahnya; tinggal selipkan di tangan kanan atau kiri
kalian, semenjak itu pula kalian resmi melawan dunia—meski ini agak absurd. Rebel With The Bracelet.
*Disusun mulai Januari 2015