Berjalan cepat-cepat tanpa
mempedulikan sandal jepit yang keropos, inilah aku yang sedang mencret.
Terburu-buru menuju warung, terbatuk-batuk menahan bakteri yang bergejolak di
silit, demi membeli entrostop—si obat diare—dimana aku yakin dengan meminumnya,
satu atau dua kali eek ku akan kembali jadi seperti batu: keras, panjang dan
kecoklatan (padahal batu adalah berwarna hitam tapi tidak mengapa). Setelah
meminumnya dengan air kran sesungguhnya belum ada efek apa-apa. Bahkan aku
masih takut kentut karena bisa-bisa benteng pertahanan belakangku jebol dan
jadilah aku eek di celana. Tinggal menunggu beberapa jam. Atau mungkin dalam
hitungan menit, zat-zat busuk yang menghuni perutku akan takluk.
Fak
yeah!
Oke
akhir-akhir ini saya jadi tertarik nulis fiksi, meskipun hasilnya jadi cukup
tolol seperti diatas tapi tak mengapa namanya juga iseng-iseng bosku. Semua keisengan ini terjadi setelah saya membaca cerpen dari Yusi Avianto Pareanom yang judulnya lupa, tapi
itu tercantum dalam buku kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa, rilisan
tahun 2011 atau 2010 kalau tidak salah. Saya tertarik ketika cerpen yang saya
baca itu terasa ringan, dan kena banget. Saya belum punya bukunya padahal dan
hanya nemu secara tidak sengaja ketika blogwalking. Tapi tidak heran karena Yus
Arianto sendiri—setelah googling tentunya—ternyata adalah penulis yang
cemerlang. Entah kebetulan atau tidak saya coba bongkar-bongkar kembali majalah
Rolling Stone lama edisi spesial The Big 100. Dalam kategori Best Book saya nemu
itu judul kumcer: Rumah Kopi Singa Tertawa. Awalnya saya pesimis ah kebetulan
nih tapi setelah lihat yang nulis WG alias mbak Wening Gitomartoyo saya jadi
yakin untuk memburu kumcer ini. Wening sendiri adalah editor senior di Roliing
Stone yang karekteristik tulisannya cerdas, dan dia adalah penggemar buku-buku
fiksi. Jadi cukup mempunyai kapasitas lah. Seperti Ricky Siahaan ataupun Wendi
yang kapasitasnya ada di tulisan musik-musik keras/metal/underground. Saya
jadi ngeh kalau menulis itu ada hubungan langsung sama kesenangan. Semakin
senang kita pada suatu hal maka semakin baik kita menuliskannya. Contoh yang
nyata adalah ketika Reno Nismara, editor baru Rolling Stone menulis tentang
konser Dream Theater, karena dia sebenarnya tidak interest-interest amat dengan
bandnya jadi tulisannya cenderung mojokin DT, dia bilang gini: DT adalah band
cover dari Metallica dan Pink Floyd yang buruk, dan itu langsung membuat banyak
orang, termasuk Agung Rahmadsyah, salah seorang kontributor RS gerah dan sampai
bikin tulisan sendiri di blognya, mantap kali kan! Oh ya btw karena sekarang
saya lagi seneng sama seseorang jadi saya kudu menuliskannya sebaik mungkin.
Dia menatap aku. Tapi
tatapannya tak lewat bola mata, tak lewat bayangan visual yang membuatku bisa
bermain mata, juga tak secara langsung dan mengizinkanku bertatap muka. Dia
menatap aku lewat awan yang kini beriringan, membentuk muka babi: mulai dari
telinga, mata dan yang paling ikonik hidungnya yang besar. Tapi darimana aku bisa
merasa kalau dia menatapku? jauh di mata namun dekat di hati, kata RAN. Dan
kini lewat line telepon aku sedang menahan gejolak rindu, dan gejolak mencret
pada silitku.
Huahaha!
Sebuah
tulisan yang membingungkan. Sebenanrnya ini tidak menjelaskan ‘menatap’ secara
harfiah, tapi namanya juga LDR, jadi bisalah menatap dimaknai apa saja. Baik
saya sepertinya kurang baik menelaah pelajaran semiotik jadi masih amburadul
sekali dalam mengolah karya sastra. Tapi sudahlah siapa yang peduli akan hal
itu. Yang lebih penting untuk saat ini adalah istirahat dengan tenang, meninggalkan
jamaah terawih, menyusun playlist pereda mencret dan menuliskannya di blog
tanpa ada ketakutan bahwa ini akan mengakibatkan puasa batal.
Berikut playlist kala mencret yang kini terputar gagah di GOMAudio.
“Is This It”
Lagu pembuka album
bertajuk sama. Ketukan drum malas sekali, sumpah malaaaas sekali. Suara vokalis
malas sekali, malaaaas sekali sumpah. Saya teler mendengarkannya. The Strokes
nama bandnya.
“The Modern Age”
Yang ini agak lebih
ngebeat, tapi ketukan drum dan raungan gitar sungguh amat sangat primitif. Monoton
dan kaku. Lagu terbaik The Strokes sih kalau menurut saya.
“Soma”
Yang menyenangkan adalah
hentakan yang terus meningkat dari awal sampai akhirnya klimaks di akhir. Simak
suara Casablancas dan ketukan drum Johny (saya lupa nama drummernya sih), yang
menggila menuju akhir. Bangsat.
“Barely Legal”
Versi ini masih lebih
sopan dibanding versi Lost Treasures yang raw, mentah, dan kasar. Tempo juga
agak sedikit lebih pelan. Kata adik saya lagu ini pernah jadi soundtrack iklan Mizone
tapi WTF-lah.
“Someday”
Video clip dengan Heineken
dan Marlboro. Muka berminyak dan jaket kulit. Baju mepet dan Converse lusuh.
The Strokes dengan cepat menempati posisi band penting dalam hidup.
“Alone, Together”
Judul paling paradoks
sekaligus paling menarik: sendirian bersama-sama/bersama-sama sendirian. Saya
apal liriknya tapi bingung maksudnya. Instrumennya juga katanya saling
berlawanan tapi bisa ketemu jadi harmoni yang bagus. Paradoks memang
ditakdirkan untuk lagu The Strokes yang ini.
“Last Nite”
Versi sampah pernah
dibawakan Mirza si gondrong cemen anak Indonesian Idol. Versi suangar dibawakan dalam video
clip—yang hebatnya dimainkan live. Albert Hammond Jr. Si kribo menyenggol
microphone drum, sampai drummer akhirnya terpaksa merobohkan cymbal. Jules yang
mabuk, melempar microphone, menyenggol personil lain tanpa kesopanan
sedikitpun. Bener-bener rock and fucking roll.
“Hard To Explain”
Saya sukaaaaaaaaa sekali
sama lagu ini. Susah untuk menjelaskan kenapa saya suka. Hard to explain
memang. Mengalir rasanya seperti naik
Mustang tahun 60-an, atau ikut terbang Neil Armstrong, atau melihat rok Marlyin
Monroe yang terbuka dari bawah. Atau melihat pilot jet tempur memakai helm vespa
bolak-balik di angkasa. Yes akhirnya saya bisa menjelaskannya.
“New York City Cops”
Menceritakan NYC Cops yang
ain’t too smart. Fucking strange. Lagu pertama The Strokes yang saya suka. Di set
konser Bonnaroo si Albert mengotak-atik efek dan gitarnya sampai terdengar seperti
sirine polisi sebelum begajulan ini memulai lagunya. Stop! Dan inilah yang paling
ditinggu karena setelah Jules mengucap Stop, maka segala instrumen terhenti
kecuali hentakan solo drum selama beberapa detik. Lupa tapi nama drummernya.
“Trying Your Luck”
Lagu paling santai,
suaaantaaaiii di Is This It. Sampai-sampai saya juga ikutan santai untuk tidak
memberikan deskripsi banyak-banyak.
“Take It Or Leave It”
Dicover Arctic Monkeys.
Dan setelah itu saya jadi pingin mendengar lagu AM yang lain tapi sampai
sekarang masih belum bener-bener sreg sama lagu-lagunya (yang saya agak pahami
hanya album Whatever People Say). Lagu ini ya, di YouTube konser-konsernya The
Strokes selalu dijadikan penutup. Enak sih. Punk-punk primitif 60-an gimana
gitu.
|
pantat mulus. mencret |
Yaaaaaa! Semuanya diatas
dicomot dari album Is This It-nya Thhhe Strrrokeees! Berhasil bikin saya mencret seketika.
Jebol.
Ya, jebol. WC yang dibuat tahun 2000 itu retak. Eek eek dari dalam septic-tank
menyembur. Mengenai langit-langit toilet. Sabun lifeboy, odol formula, loreal,
garnier, conditioner dove, tre semme, dan barang-barang mandi milik kami
semuanya terkena eek. Ompol, upil, bolot dan jutaan molekul mengenai bathubku
dan meracuni air—karena eek seseptic-tank rusak air sebelangga. Tapi aku senang
power rangers mainanku yang hilang pas aku SD akhirnya ketemu. Ternyata
dulu ia nyemplung WC dan sekarang ikut keluar beserta tisu-tisu berlendir yang baru kemarin kubuang dengan sengaja.
Huekekekek!
Maafkan segala bentuk
ketidakjelasan ini.