Apa daya, masih
ada kuliah hingga siang. Si dosen yang mengincar saya; mengincar cowok-cowok di
kelas yang jumlahnya hanya tiga untuk unjuk diri dan “nggak hanya numpang duduk
saja disini.” Sialan. Kami penghuni tetap bangku belakang. Pun jarang memperhatikan.
Serba ruwet. Apa itu semantis fisiologis atau blah-blah-blah lah itu. Kami
belum paham. Bukan tidak paham, tapi belum. Be-lum. Andai saja kami belajar di
malam hari. Bukan sibuk download film Ganool di Warkop Arjuna, tentu kami bisa
ngerti. Atau andai saja dosen ini seenak Pak Najid, atau Pak Anas misalnya,
tentu saya akan mudeng dan manggut-manggut. Sayangnya ada jarak. Ya, selalu ada
jarak antara bahasa dan sastra. sastra dan bahasa. Kenapa dibikin berjarak sih.
Kesannya musuhan. Padahal aslinya nyambung erat. Siapa yang salah? Ah sudahlah.
Penting selesaikan ini dulu. Selesaikan kecurigaan dosen bermata empat ini.
Tatap balik matanya. Manggut-manggut lihat papan tulis. Perhatikan ujaran
temanmu. Berusaha tidak diremehkan. Itu saja. Walau, duh, cemas juga karena
minggu depan giliran saya presentasi. Sudah diincar. “Kapan cowok-cowok ini
presentasi, kok pada diam saja!” ujar beliau. Anjing. Lihat saja minggu depan.
Kuliah siang
hari membuat saya tak bisa pulang cepat. Pulang kemana? Pulang kampung. Tiap
hari pulang ke kost tidak berefek baik bagi kondisi psikologis. Apalagi
letaknya di Surabaya. Uh, tak bisa berkata-kata lagi. “Suroboyo panase ora umum, fak, aku keringeten pol gobyos!”
Ganyong, sahabat saya berkata begitu kemarin hari. Dia tak bawa motor. Kuliah
jalan. Sebenarnya kasihan. Jalan pukul dua belas siang. PHP dosen. Janji datang
ternyata tidak. Di jadwal ada ternyata alpa. Apa mau dikata. Ia kudu balik kos
siang-siang. “Mateng dikau! Mampus kau dikoyak panas Suroboyo!” saya hanya bisa
berkata itu. Saya yang motoran saja masih sering kebakar sendiri. Rojak si
kacong Madura pun—teman sekelas saya—memakai helm dengan tutup kaca hitam,
sarung tangan, dan jaket tebal ala Go-Jek. Padahal, jarak kost-nya dan kampus
hanya seupil. Mungkin tiap orang punya mekanisme pertahanan dirinya
masing-masing. Kecuali bila alasannya takut kulit jadi hitam. Itu berarti kamu
plastik. Terlalu banyak dibodohi Ponds White dan Vaseline.
Dan karena
kuliah hingga siang. Sekitar pukul satu baru kelar. Maka saya cukup sabar.
Ndilalah dosen ada rapat. Jadi selesai pukul dua belas. Ini baru keberuntungan.
Tak pakai banyak cincong. Langsung kebut kost. Cari makan. Belum makan sedari
pagi. Oh mungkin sudah Indomie kuah pas ngopi tadi. Blangsak. Bisa gendut. Tapi
tak apa. Energi. Saya makan bersama Nita Anda. Dia mantan pacar saya. Tapi
masih sering keluar bareng. Atau mungkin bisa balik, atau tidak. Atau sahabatan
saja. Enaknya apa, terserah. Kita maunya dijalanin saja. Daripada tiap hari
ricuh melulu, tak ada bagus-bagusnya buat kejiwaan. Di warung nasi saya ingin
ngobrol hal-hal yang pribadi. Sayangnya ada teman saya di warung yang sama. Hm
sudah, kalau saya tulis disini takutnya ada yang baca. Saya jadi dicincang di
kelas. Jadi anggaplah semua orang—di dalam kelas—itu baik-baik saja. I love
them very much! Seriously!
Akhirnya setelah
makan, saya dan Nita terpaksa muter dulu ke danau. Kampus saya punya danau.
Walau danaunya goblok karena masih banjir bandang juga kemarin. Ngobrol
sebentar, ya sekitar sepuluh menit. Saya balik kost, langsung cus kampung
halaman. Panas yang keparat. Kesalahan menaruh motor di tempat yang tak
rindang. Sialan. Lagi tak memakai celana dalam pula. Anjing. Pantat saya terasa
digoreng. Sensasi anal tanpa dildo. Teknik anal laser untuk sadomasokis. Apalah
itu, tapi mungkin seperti ini rasanya. Otak kebanyakan bokep. Dasar. Langsung
saja tancap gas. Pukul satu kurang sepuluh.
Dan hidup saya terpaku di motor sekarang.
Saya menuju
Pasuruan. Oh bukan, rumah saya bukan disitu. Bukan di Kota Pasuruan yang penuh
dengan orang-orang ehm—ya begitulah. Juga bukan Bangil. Hey mati saja kau yang
mengidentikkan Pasuruan dengan Kota Pasuruan atau Kota Bangil. Pasuruan saya beda. Beda jauh. Kamu melintasi
Jalan Surabaya – Malang. Rumahku terletak di tengah-tengahnya. Jadi begini skemanya: Surabaya – Rumahku –
Malang. Begitulah jalurnya. Camkan. Kubunuh kau bila masih nanya-nanya dan
berlagak ndeso. Tipikal orang kepo sotoy. Saya perjelas. Biar saya tak hanya
menyalahkan kalian. Rumah saya terletak di Tretes, oh bukan, Prigen. Eh, Tretes
juga bisa sih. Fuck. Kalian bingung kan. Ini adalah ambiguitas sepanjang zaman.
Tretes itu nama desa. Tapi gaungnya di dunia seperti sudah seolah nama kota
saja. Enggak bego. Tretes itu desa. Nah, Prigen itu kecamatannya. Jadi Tretes
itu termasuk Kecamatan Prigen. Jadi, Prigen itu juga desa. Tuh kan kalian jadi
bingung lagi. Memang saya sukanya kalian bingung. Jadi kalian mikir. Dan
membenturkan kepala ke tembok. Terus menari perut. Dan masturbasi. Saya hafal
siklus otak kalian. Nah, ambuguitas itu memang banyak bertebaran dimana-mana.
Saya ingin sekali menjelaskannya secara detail pada kalian—jujur, sumpah demi
paduka raja. Tapi itu bisa kapan-kapan saja. Karena rumah saya berada di daerah
Pandaan. Tuh kan, kalian akan bingung lagi. Daripada ruwet, mending
menyamaratakan daerah tapal kuda itu sebagai Pandaan saja. Damn.
Saya menuju
Pandaan. Sudah, jangan bingung. Kalian
sudah hafal dengan nama daerah ini. Sialan, belum pernah ke Malang dari
Surabaya? Atau ke Surabaya dari Malang? Atau belum pernah kena lempar batu saat
Persebaya kalah melawan Arema, atau dihadang orang di tengah jalan saat Arema
kalah melawan Persebaya? Jika sudah berarti Pandaan sudah ada dalam sejarah
hidup kalian. Kota ini tak seberapa besar, hanya saja jika mengidentikkan
Pandaan dengan Pasuruan mungkin terlalu buru-buru. Beda kultur. Kami sama tapi
beda. Dan kenapa tak dinamai saja dulu Kabupaten Pandaan dengan ibu kota Kota
Pandaan. Ayolah. Tapi sama saja ngobrol dengan tembok. Perjalanan dari Surabaya
menuju Pandaan kira-kira memakan waktu satu setengah jam. Atau hanya satu jam
jika kau mulai perjalanan sewaktu subuh atau pukul setengah satu
dinihari—resiko begal tanggung sendiri. Dan dari Surabaya pukul satu siang,
kita akan sampai paling cepat pukul dua. Setengah tiga, itu jika kalian
menghadapi truk busuk sialan yang ngadat sembarangan. Jalan jadi macet. Atau mobil-mobil sombong yang
serampangan nerobos jalur. Asu. Ludahi saja kacanya jika menjumpai yang seperti
itu. Tapi kalian harus punya jurus kabur yang baik. Tambah jurus balap
motorcross untuk menghadapi kejar-kejaran dengan dia. Atau hafalkan jalur
alternatif. Dan nyasarlah ke Probolinggo.
Memulai
perjalanan pukul satu siang adalah ide bagus yang terburuk. Ide buruk yang
terbagus. Kita bisa cepat sampai rumah. Belum sore. Dan masih ada kesempatan
mbangkong. Nyantai. Menghabiskan isi kulkas. Tiduran di kamar sambil telanjang.
Seenaknya di depan TV. Tak masalah. Surga adalah rumah. Tak ada lagi,
tentu. Pulang awal berarti mengurangi
beban. Sampai di rumah lebih awal berarti waktu istirahat akan jadi lebih
panjang. Tapi buruknya adalah suhu. Ya, brengsek. Suhu jalanan yang pelan-pelan
membuat kulit melepuh. Mengering. Keemasan jadi kecoklatan. Lembab jadi kering.
Tapi karena kita adalah golongan orang-orang django yang jantan, itu tak pernah
jadi masalah besar. Permasalahannya adalah pakaian yang saya kenakan, rangkap
tiga. Pertama kaus. Walaupun cotton 30s, tapi panas tetaplah panas. Meski saya
akui kemampuan menyerap keringatnya lebih elegan dibanding kaus pasaran yang
kaku dan hm, agak sedikit gatal—padaha habis mandi. Kedua, kemeja. Ini kemeja
klasik pemberian tante. Sudah agak lama. Tapi tetap nyaman. Dan cukup keren.
Masalahnya, jika kau rangkap, keringat dari kaus akan menguap kembali ke
kemejamu. Dan jadi agak kecut. Rangkap ketiga: jaket. Tak perlu banyak
dijelaskan. Inilah penyebab adanya neraka. tapi tanpa jaket, kulitmu bisa
iritasi, dan tak nyaman juga karena dadamu akan sesak terkena angin dari
perjalanan jauh—dan saya tak mau ambil risiko.
Kata siapa perjalanan
naik motor itu semriwing, adem, terkena angin sepoi jalanan. Itu Bandung bung
yang kau maksud. Atau Bogor. Atau Malang. Tapi hentikan asumsi macam begitu
lagi karena ini Surabaya. Selanjutnya Sidoarjo. Hm mau bicara apa lagi. Semakin
kau memacu motor, semakin panas rasa aspal. Sial. Atau helm yang menguap. Jaket
yang mengering. Dan jika kamu menaruh panci berisi air di atas helm, dengan
telur mentah di dalamnya, mungkin ia sudah matang saat kamu sampai, dan kamu
bisa memakannya. Telur jalanan. Dan jalanan. Sungguh, kita mau membahas
jalanan? Ayolah. Jika kamu diberi
pertanyaan apa-apa saja yang menyebalkan di jalanan, kalian mungkin akan
kehabisan napas jika menjawab semuanya. Ini bukan berlebihan. Tapi ironi.
Jalanan ramai pukul satu siang saat matahari mengganas? Tanyakan pada Alfamart.
Dan dia akan mengobati suntukmu.
Pilihan saya
melipir sebentar ke Indomaret, maaf, maksud saya Alfamart adalah pilihan yang
cukup bijak. Otak saya masih jalan untuk sejenak beristirahat dari aktivitas
neraka dan meneduhkan badan dari gerah. Saya mampir di Alfamart besar di SPBU
Jenggolo. Kalian tahu jembatan layang Sidoarjo. Persis beberapa meter
setelahnya ada sebuah surga dengan label Pertamina. Saya sampai hafal kasirnya.
Ia dulu seksi. Manis juga. Dadanya, ehm. Tapi entah kenapa karena baju
kekecilan atau insiden beberapa malam sebelumnya, perutnya jadi kelihatan
membuncit. Tapi daripada ribut-ribut masalah seks disini, mending menuju ke
kulkas pendingin dan wow, saya sudah tak butuh apa-apa lagi selain ini. Tentu
sebagai garis keras softdrink saya langsung mengenyahkan pandangan dari Big
Cola rasa melon. Atau jeruk—sama anehnya. Pilihan Bear Brand—sebagai
satu-satunya susu steril terserius menurut saya—cukup masuk akal juga mengingat
kondisi badan sedang flu, batuk dan menurut mitos kalsium susu bisa
memulihkannya. Tebs. Hm. Ini susah sekali dilawan. Bukan Tebs Maroon. Itu
buruk. Ambil Tebs original saja, tujuh atau delapan ribu rupiah, dan dengan kurang
dari sepuluh ribuan kamu bisa duduk sejenak dan dimanja soda. Tapi mata rupanya
membimbing hal lain. Hal yang menjadi favorit saat memilih minuman di kulkas
minimarket. Benar, lemon. Big Cola Fress saya akui mampu memberikan sensasi
itu, dan bahkan mengalahkan Sprite! Tapi
saya sedang melihat Radler. Produk dari Bintang yang menyala terang di depan
mata. Tidak ada pilihan lagi. Comot, lihat mbak kasir, sedikit membelalak, lalu
bayar.
Bintang Radler
adalah bir dan lemon. Tapi ini Alfamart. Dan peraturan masih milik Rahmat
Gobel—meski tolol itu sudah lengser. Jadi peraturan nol alkohol tetap berlaku.
Jika kalian sempat melihat Bintang Zero, maka ini adalah Bintang Radler 0.0%.
Sama-sama menggelikan. Harganya setengah dari harga yang beralkohol. Lain lagi
jika beli di pengecer. Botol literan hanya menghabiskan kurang dari lima puluh
ribu. Tapi tak mengapa. Tak menyesal meski tiga belas ribu. Buka kaleng, dan
sesap lemonnya. Segar. Ada rasa malt ala Bintang di dalamnya. Dan cukup unik.
Nagih untuk diteguk lagi-dan-lagi. Kerongkongan sudah menemukan pemuasnya.
Menyentuh kaleng, tangan kalian akan merasakan dingin dari Radler tersebut.
Sensasi apa lagi yang akan timbul. Selain malt Bintang yang dikenal punya
banyak buih bak soda, juga lemon asam segar yang seperti membuat otakmu bekerja
lebih pelan, lebih santai, dan lebih dingin. Cobalah. Toh 0.0% alkohol. Jika
ingin yang lebih, silakan berburu sendiri lain waktu—dan ingat ungkapan don’t
drink and drive.
Rasa-rasanya
memang begitu. Dengan beristirahat, psikologis kita merasakan bahwa perjalanan
kita jadi cepat. Tahu-tahu sudah sampai Porong. Dan betul, sebentar lagi lumpur
gulita. Hei kita sudah bisa main bola diatasnya. Atau mendirikan rumah baru
dari pondasi lumpur. Ulah Bakrie. Lapindo sudah seharusnya dibubarkan. Atau
diboikot. Atau gantung semua korporat uang disana. Rendam kepalanya ke lumpur.
Jangan kambing. Jangan sapi. Tapi Bakr... ah sudahlah. Daripada tulisan ini
kena sensor. Atau saya yang dipenjara. Atau dibully netizen jika nyebar. Tapi
blog kecil jelek gini mah siapa yang baca. Kecuali kalian-kalian saja tentu saja.
Dan setelah menopang tubuh beberapa jauhnya, saya sampai di Arteri. Ini adalah
pintu utama menuju kampung halaman. Sudah dekat saja rasanya, padahal masih
jauh.
Dan... itulah
perjalanan pulang kampung saya yang kampungan. Ini, saya sedang bersama adik-adik
kecil. Ada Abi dan Lia. Dia dua jagoan saya. Yang satu kelas tiga SD. Yang satu
belum sekolah. Ada kegembiraan tersendiri sih saat kedua bocah yang beratnya
makin hari makin ‘antep’ ini menaiki tubuh saya dan tidur seenaknya di atasnya.
Dua-duanya. Sekaligus. Ugh, berat. Hm tapi, lebih berat perjalanan tadi tentu
saja. Ya, nggak?