Tuesday, March 29, 2016

Cerita Pulang Kampung yang Kampungan


Apa daya, masih ada kuliah hingga siang. Si dosen yang mengincar saya; mengincar cowok-cowok di kelas yang jumlahnya hanya tiga untuk unjuk diri dan “nggak hanya numpang duduk saja disini.” Sialan. Kami penghuni tetap bangku belakang. Pun jarang memperhatikan. Serba ruwet. Apa itu semantis fisiologis atau blah-blah-blah lah itu. Kami belum paham. Bukan tidak paham, tapi belum. Be-lum. Andai saja kami belajar di malam hari. Bukan sibuk download film Ganool di Warkop Arjuna, tentu kami bisa ngerti. Atau andai saja dosen ini seenak Pak Najid, atau Pak Anas misalnya, tentu saya akan mudeng dan manggut-manggut. Sayangnya ada jarak. Ya, selalu ada jarak antara bahasa dan sastra. sastra dan bahasa. Kenapa dibikin berjarak sih. Kesannya musuhan. Padahal aslinya nyambung erat. Siapa yang salah? Ah sudahlah. Penting selesaikan ini dulu. Selesaikan kecurigaan dosen bermata empat ini. Tatap balik matanya. Manggut-manggut lihat papan tulis. Perhatikan ujaran temanmu. Berusaha tidak diremehkan. Itu saja. Walau, duh, cemas juga karena minggu depan giliran saya presentasi. Sudah diincar. “Kapan cowok-cowok ini presentasi, kok pada diam saja!” ujar beliau. Anjing. Lihat saja minggu depan.

Kuliah siang hari membuat saya tak bisa pulang cepat. Pulang kemana? Pulang kampung. Tiap hari pulang ke kost tidak berefek baik bagi kondisi psikologis. Apalagi letaknya di Surabaya. Uh, tak bisa berkata-kata lagi. “Suroboyo panase  ora umum, fak, aku keringeten pol gobyos!” Ganyong, sahabat saya berkata begitu kemarin hari. Dia tak bawa motor. Kuliah jalan. Sebenarnya kasihan. Jalan pukul dua belas siang. PHP dosen. Janji datang ternyata tidak. Di jadwal ada ternyata alpa. Apa mau dikata. Ia kudu balik kos siang-siang. “Mateng dikau! Mampus kau dikoyak panas Suroboyo!” saya hanya bisa berkata itu. Saya yang motoran saja masih sering kebakar sendiri. Rojak si kacong Madura pun—teman sekelas saya—memakai helm dengan tutup kaca hitam, sarung tangan, dan jaket tebal ala Go-Jek. Padahal, jarak kost-nya dan kampus hanya seupil. Mungkin tiap orang punya mekanisme pertahanan dirinya masing-masing. Kecuali bila alasannya takut kulit jadi hitam. Itu berarti kamu plastik. Terlalu banyak dibodohi Ponds White dan Vaseline.

Dan karena kuliah hingga siang. Sekitar pukul satu baru kelar. Maka saya cukup sabar. Ndilalah dosen ada rapat. Jadi selesai pukul dua belas. Ini baru keberuntungan. Tak pakai banyak cincong. Langsung kebut kost. Cari makan. Belum makan sedari pagi. Oh mungkin sudah Indomie kuah pas ngopi tadi. Blangsak. Bisa gendut. Tapi tak apa. Energi. Saya makan bersama Nita Anda. Dia mantan pacar saya. Tapi masih sering keluar bareng. Atau mungkin bisa balik, atau tidak. Atau sahabatan saja. Enaknya apa, terserah. Kita maunya dijalanin saja. Daripada tiap hari ricuh melulu, tak ada bagus-bagusnya buat kejiwaan. Di warung nasi saya ingin ngobrol hal-hal yang pribadi. Sayangnya ada teman saya di warung yang sama. Hm sudah, kalau saya tulis disini takutnya ada yang baca. Saya jadi dicincang di kelas. Jadi anggaplah semua orang—di dalam kelas—itu baik-baik saja. I love them very much! Seriously!

Akhirnya setelah makan, saya dan Nita terpaksa muter dulu ke danau. Kampus saya punya danau. Walau danaunya goblok karena masih banjir bandang juga kemarin. Ngobrol sebentar, ya sekitar sepuluh menit. Saya balik kost, langsung cus kampung halaman. Panas yang keparat. Kesalahan menaruh motor di tempat yang tak rindang. Sialan. Lagi tak memakai celana dalam pula. Anjing. Pantat saya terasa digoreng. Sensasi anal tanpa dildo. Teknik anal laser untuk sadomasokis. Apalah itu, tapi mungkin seperti ini rasanya. Otak kebanyakan bokep. Dasar. Langsung saja tancap gas. Pukul satu kurang sepuluh.  Dan hidup saya terpaku di motor sekarang.

Saya menuju Pasuruan. Oh bukan, rumah saya bukan disitu. Bukan di Kota Pasuruan yang penuh dengan orang-orang ehm—ya begitulah. Juga bukan Bangil. Hey mati saja kau yang mengidentikkan Pasuruan dengan Kota Pasuruan atau Kota Bangil.  Pasuruan saya beda. Beda jauh. Kamu melintasi Jalan Surabaya – Malang. Rumahku terletak di tengah-tengahnya.  Jadi begini skemanya: Surabaya – Rumahku – Malang. Begitulah jalurnya. Camkan. Kubunuh kau bila masih nanya-nanya dan berlagak ndeso. Tipikal orang kepo sotoy. Saya perjelas. Biar saya tak hanya menyalahkan kalian. Rumah saya terletak di Tretes, oh bukan, Prigen. Eh, Tretes juga bisa sih. Fuck. Kalian bingung kan. Ini adalah ambiguitas sepanjang zaman. Tretes itu nama desa. Tapi gaungnya di dunia seperti sudah seolah nama kota saja. Enggak bego. Tretes itu desa. Nah, Prigen itu kecamatannya. Jadi Tretes itu termasuk Kecamatan Prigen. Jadi, Prigen itu juga desa. Tuh kan kalian jadi bingung lagi. Memang saya sukanya kalian bingung. Jadi kalian mikir. Dan membenturkan kepala ke tembok. Terus menari perut. Dan masturbasi. Saya hafal siklus otak kalian. Nah, ambuguitas itu memang banyak bertebaran dimana-mana. Saya ingin sekali menjelaskannya secara detail pada kalian—jujur, sumpah demi paduka raja. Tapi itu bisa kapan-kapan saja. Karena rumah saya berada di daerah Pandaan. Tuh kan, kalian akan bingung lagi. Daripada ruwet, mending menyamaratakan daerah tapal kuda itu sebagai Pandaan saja. Damn.

Saya menuju Pandaan. Sudah,  jangan bingung. Kalian sudah hafal dengan nama daerah ini. Sialan, belum pernah ke Malang dari Surabaya? Atau ke Surabaya dari Malang? Atau belum pernah kena lempar batu saat Persebaya kalah melawan Arema, atau dihadang orang di tengah jalan saat Arema kalah melawan Persebaya? Jika sudah berarti Pandaan sudah ada dalam sejarah hidup kalian. Kota ini tak seberapa besar, hanya saja jika mengidentikkan Pandaan dengan Pasuruan mungkin terlalu buru-buru. Beda kultur. Kami sama tapi beda. Dan kenapa tak dinamai saja dulu Kabupaten Pandaan dengan ibu kota Kota Pandaan. Ayolah. Tapi sama saja ngobrol dengan tembok. Perjalanan dari Surabaya menuju Pandaan kira-kira memakan waktu satu setengah jam. Atau hanya satu jam jika kau mulai perjalanan sewaktu subuh atau pukul setengah satu dinihari—resiko begal tanggung sendiri. Dan dari Surabaya pukul satu siang, kita akan sampai paling cepat pukul dua. Setengah tiga, itu jika kalian menghadapi truk busuk sialan yang ngadat sembarangan. Jalan  jadi macet. Atau mobil-mobil sombong yang serampangan nerobos jalur. Asu. Ludahi saja kacanya jika menjumpai yang seperti itu. Tapi kalian harus punya jurus kabur yang baik. Tambah jurus balap motorcross untuk menghadapi kejar-kejaran dengan dia. Atau hafalkan jalur alternatif. Dan nyasarlah ke Probolinggo.

Memulai perjalanan pukul satu siang adalah ide bagus yang terburuk. Ide buruk yang terbagus. Kita bisa cepat sampai rumah. Belum sore. Dan masih ada kesempatan mbangkong. Nyantai. Menghabiskan isi kulkas. Tiduran di kamar sambil telanjang. Seenaknya di depan TV. Tak masalah. Surga adalah rumah. Tak ada lagi, tentu.  Pulang awal berarti mengurangi beban. Sampai di rumah lebih awal berarti waktu istirahat akan jadi lebih panjang. Tapi buruknya adalah suhu. Ya, brengsek. Suhu jalanan yang pelan-pelan membuat kulit melepuh. Mengering. Keemasan jadi kecoklatan. Lembab jadi kering. Tapi karena kita adalah golongan orang-orang django yang jantan, itu tak pernah jadi masalah besar. Permasalahannya adalah pakaian yang saya kenakan, rangkap tiga. Pertama kaus. Walaupun cotton 30s, tapi panas tetaplah panas. Meski saya akui kemampuan menyerap keringatnya lebih elegan dibanding kaus pasaran yang kaku dan hm, agak sedikit gatal—padaha habis mandi. Kedua, kemeja. Ini kemeja klasik pemberian tante. Sudah agak lama. Tapi tetap nyaman. Dan cukup keren. Masalahnya, jika kau rangkap, keringat dari kaus akan menguap kembali ke kemejamu. Dan jadi agak kecut. Rangkap ketiga: jaket. Tak perlu banyak dijelaskan. Inilah penyebab adanya neraka. tapi tanpa jaket, kulitmu bisa iritasi, dan tak nyaman juga karena dadamu akan sesak terkena angin dari perjalanan jauh—dan saya tak mau ambil risiko.

Kata siapa perjalanan naik motor itu semriwing, adem, terkena angin sepoi jalanan. Itu Bandung bung yang kau maksud. Atau Bogor. Atau Malang. Tapi hentikan asumsi macam begitu lagi karena ini Surabaya. Selanjutnya Sidoarjo. Hm mau bicara apa lagi. Semakin kau memacu motor, semakin panas rasa aspal. Sial. Atau helm yang menguap. Jaket yang mengering. Dan jika kamu menaruh panci berisi air di atas helm, dengan telur mentah di dalamnya, mungkin ia sudah matang saat kamu sampai, dan kamu bisa memakannya. Telur jalanan. Dan jalanan. Sungguh, kita mau membahas jalanan? Ayolah.  Jika kamu diberi pertanyaan apa-apa saja yang menyebalkan di jalanan, kalian mungkin akan kehabisan napas jika menjawab semuanya. Ini bukan berlebihan. Tapi ironi. Jalanan ramai pukul satu siang saat matahari mengganas? Tanyakan pada Alfamart. Dan dia akan mengobati suntukmu.

Pilihan saya melipir sebentar ke Indomaret, maaf, maksud saya Alfamart adalah pilihan yang cukup bijak. Otak saya masih jalan untuk sejenak beristirahat dari aktivitas neraka dan meneduhkan badan dari gerah. Saya mampir di Alfamart besar di SPBU Jenggolo. Kalian tahu jembatan layang Sidoarjo. Persis beberapa meter setelahnya ada sebuah surga dengan label Pertamina. Saya sampai hafal kasirnya. Ia dulu seksi. Manis juga. Dadanya, ehm. Tapi entah kenapa karena baju kekecilan atau insiden beberapa malam sebelumnya, perutnya jadi kelihatan membuncit. Tapi daripada ribut-ribut masalah seks disini, mending menuju ke kulkas pendingin dan wow, saya sudah tak butuh apa-apa lagi selain ini. Tentu sebagai garis keras softdrink saya langsung mengenyahkan pandangan dari Big Cola rasa melon. Atau jeruk—sama anehnya. Pilihan Bear Brand—sebagai satu-satunya susu steril terserius menurut saya—cukup masuk akal juga mengingat kondisi badan sedang flu, batuk dan menurut mitos kalsium susu bisa memulihkannya. Tebs. Hm. Ini susah sekali dilawan. Bukan Tebs Maroon. Itu buruk. Ambil Tebs original saja, tujuh atau delapan ribu rupiah, dan dengan kurang dari sepuluh ribuan kamu bisa duduk sejenak dan dimanja soda. Tapi mata rupanya membimbing hal lain. Hal yang menjadi favorit saat memilih minuman di kulkas minimarket. Benar, lemon. Big Cola Fress saya akui mampu memberikan sensasi itu, dan bahkan mengalahkan Sprite!  Tapi saya sedang melihat Radler. Produk dari Bintang yang menyala terang di depan mata. Tidak ada pilihan lagi. Comot, lihat mbak kasir, sedikit membelalak, lalu bayar.

Bintang Radler adalah bir dan lemon. Tapi ini Alfamart. Dan peraturan masih milik Rahmat Gobel—meski tolol itu sudah lengser. Jadi peraturan nol alkohol tetap berlaku. Jika kalian sempat melihat Bintang Zero, maka ini adalah Bintang Radler 0.0%. Sama-sama menggelikan. Harganya setengah dari harga yang beralkohol. Lain lagi jika beli di pengecer. Botol literan hanya menghabiskan kurang dari lima puluh ribu. Tapi tak mengapa. Tak menyesal meski tiga belas ribu. Buka kaleng, dan sesap lemonnya. Segar. Ada rasa malt ala Bintang di dalamnya. Dan cukup unik. Nagih untuk diteguk lagi-dan-lagi. Kerongkongan sudah menemukan pemuasnya. Menyentuh kaleng, tangan kalian akan merasakan dingin dari Radler tersebut. Sensasi apa lagi yang akan timbul. Selain malt Bintang yang dikenal punya banyak buih bak soda, juga lemon asam segar yang seperti membuat otakmu bekerja lebih pelan, lebih santai, dan lebih dingin. Cobalah. Toh 0.0% alkohol. Jika ingin yang lebih, silakan berburu sendiri lain waktu—dan ingat ungkapan don’t drink and drive.

Rasa-rasanya memang begitu. Dengan beristirahat, psikologis kita merasakan bahwa perjalanan kita jadi cepat. Tahu-tahu sudah sampai Porong. Dan betul, sebentar lagi lumpur gulita. Hei kita sudah bisa main bola diatasnya. Atau mendirikan rumah baru dari pondasi lumpur. Ulah Bakrie. Lapindo sudah seharusnya dibubarkan. Atau diboikot. Atau gantung semua korporat uang disana. Rendam kepalanya ke lumpur. Jangan kambing. Jangan sapi. Tapi Bakr... ah sudahlah. Daripada tulisan ini kena sensor. Atau saya yang dipenjara. Atau dibully netizen jika nyebar. Tapi blog kecil jelek gini mah siapa yang baca. Kecuali kalian-kalian saja tentu saja. Dan setelah menopang tubuh beberapa jauhnya, saya sampai di Arteri. Ini adalah pintu utama menuju kampung halaman. Sudah dekat saja rasanya, padahal masih jauh.

Dan... itulah perjalanan pulang kampung saya yang kampungan. Ini, saya sedang bersama adik-adik kecil. Ada Abi dan Lia. Dia dua jagoan saya. Yang satu kelas tiga SD. Yang satu belum sekolah. Ada kegembiraan tersendiri sih saat kedua bocah yang beratnya makin hari makin ‘antep’ ini menaiki tubuh saya dan tidur seenaknya di atasnya. Dua-duanya. Sekaligus. Ugh, berat. Hm tapi, lebih berat perjalanan tadi tentu saja. Ya, nggak?