Rolling
Stone ‘40 Tahun Ramones + Lists 40 Album Punk Terbaik Sepanjang Masa’
Setelah edisi-edisi sebelumnya tidak
cukup menarik untuk dibeli, Rolling Stone Indonesia akhirnya membuat saya
membeli majalahnya lagi. Cover yang greget, lebih greget dari Isyana Sarasvati
sebagai cover bulan lalu (walaupun saya akui foto Isyana paling cakep ada di
cover RSI). Rolling Stone seperti menghormati Ramones dengan menampilkan
ilustrasi cover Ramones karya John Varvatos tanpa diubah sedikitpun, berbeda
dengan tradisi Rolling Stone yang selalu memproduksi cover ekslusif nan
artistik. Tapi toh inilah semangat punk itu: orisinal dan tidak perlu banyak
polesan. Cukup taruh logo Ramones berisi Joey, Johnny, Dee Dee, dan Tommy,
dengan ornamen khas dan hanya nuansa hitam putih, jadilah cover ini membuat
Rolling Stone berbahaya lagi. Isu yang diangkat adalah 40 tahun Ramones, berisi
feature panjang tentang bagaimana Ramones, band yang akhirnya diakui Rolling
Stone sebagai band punk pertama dan paling berpengaruh – dan bukannya Sex
Pistols – menjalani hari-hari mereka sebagai band: di panggung dan di dunia
nyata. Lists 40 album punk terbaik juga disabet Ramones dengan The Ramones
sebagai urutan pertama, dan jika kalian menebak Nevermind The Bollock’s sebagai
urutan dua, sama seperti saya, anda salah besar karena Sex Pistols berada di
urutan ketiga. Urutan keduanya mungkin sudah tidak asing lagi tapi saya
persilahkan kalian membaca sendiri. Satu album Green Day Dookie, muncul di
urutan yang saya lupa, beberapa nomor setelah Nevermind dari Nirvana. Muncul di
urutan hampir terakhir, Blink 182 dengan Enema Of The State. Menjadi punk
memang sebegitu asyiknya.
National
Geographic Indonesia ‘Ganja Apa Benar Bermanfaat?’
Uang lebih dan usil mengambilnya dari
rak toko buku. Mencerahkan dan berhasil. Seperti yang kita duga, ganja ternyata
punya banyak manfaat medis dan apabila dimanfaatkan secara benar, bukan hanya
giting yang didapat tapi juga terapi kesehatan. Saya lupa di edisi berapa
Natgeo berhasil membodohi saya untuk membeli isunya (kalau tidak salah tentang
kebohongan pendaratan Neil Armstrong), saya pikir Natgeo menulis artikel
tentang kebohongan itu, ternyata malah membantah. Saya pikir edisi ganja ini
juga sama, bakalan membantah khasiat ganja, ternyata tidak. Saya jadi
berkesimpulan bahwa Natgeo yang bagus adalah yang memancing rasa penasaran.
Dengan cover yang bertanya-tanya: benar-atau-salah, iya-atau-tidak. Dan kita
akan menerima mentah-mentah apa yang dikatakannya. Natgeo sudah tidak perlu diragukan
lagi sebagai referensi ilmiah terpercaya.
Deafheaven
– ‘Sunbather’ (Album)
Black metal lucu yang saya dengar
bertahun silam adalah Hellgods dengan Kabut Keabadian (masuk kompilasi Metalik
Klinik I tahun 1999), setelah itu tidak ada lagi. Nyaris saya tidak punya
keterkaitan dengan genre ini, dibandingkan dengan hardcore, grindcore atau
deathmetal dimana saya sudah cukup akrab semenjak jaman sekolah. Saya pikir
black metal adalah musik yang cukup epik, berkecepatan satu hempasan cangkul ke
kepala, lirik beraroma anyir darah kelelawar, filosofi main band penyembah
syaithon, Anton Lavey, The Satanic Verse, dhemit, genderuwo, menjual jiwa pada
iblis, Ghost Rider, dan bayangan-bayangan kelam lainnya. Tapi ini seperti
didekonstruksi saat saya mendengarkan band super cult bernama Bvrtan dengan
albumnya Pemuja Sawah Tebu. Kalian akan terpingkal sampai dasar sumur tatkala
mendengar lagu dengan judul macam Ritual Menanam Singkong di Kebun Kegelapan,
Cangkul Pusaka Dari Pak Kades, dan bukan karena iramanya yang seperti Teamlo,
tapi ya memang lucu saja karena membahas sawah tebu dari perspektif yang ultra
gelap, lebih gelap dari cerita-cerita pembantaian PKI di sawak tebu. Citra
black metal yang ‘negatif’ tersebut nyatanya bisa berubah tatkala mendengarkan
Deafheaven. Sebelumnya album metal yang terakhir saya dengar dengan intens adalah
Profanatik dari Deadsquad, jujur saja, setelah itu vakum dan tidak intens
mendengarkan metal lagi. Kadang memang masih berburu dan mendapat kiriman album
dari band-band metal yang katanya bagus, tapi selalu saja, bosan. Begitu-begitu
terus. Sampai akhirnya Deafheaven lewat Sunbather memberi saya harapan baru
untuk mendengar metal. Perpaduan antara blackmetal, shoegaze dan post-rock,
dimana saya kebetulan sedang mendalami dua musik terakhir, membuat blackmetal
dari Deafheaven mudah diterima dan dicerna. Hebatnya lagi stigma miring tentang
blackmetal hilang seketika. Blackmetal nyatanya cukup keren, apalagi vokalis
Deafheaven begitu total dalam bersuara seperti iblis, dalam, menyayat dan
mencekam. Gayanya juga tidak norak: pakai jubah hitam-hitam dan make up bak
lucifer. Cukup biasa saja, kemeja, atau kaus dan fantofel. Dengan rambut yang
tidak tipikal blackmetal yang gondrong menjuntai kuntilanak, tetapi biasa saja,
pendek rapi. Apalagi dengan cover album yang berwarna pink, hhm. Saya pikir
band ini akan terdengar seperti band so called hardcore yang sok-sok-an
mengawinkan musiknya dengan pop, atau EDM, atau RnB dan jadinya malah lagu emo
tai yang merusak telinga. Track pertama Dream House adalah kebrutalan yang bisa
dibilang manis, saya menemukan kembali kenikmatan mendengar metal. Ada
rasa-rasa beautiful chaos pada musiknya, membuat saya terpukau dan sanggup
headbang dengan mata terpejam, sambil merasakan emosi kesedihan yang
dipancarkan. Jika terlalu menghayati mungkin bisa saja sampai menitikkan air mata,
walaupun ini blackmetal sekalipun. Track lainnya sila dengar sendiri.
Rekomendasinya Irrestible, yang bisa dibilang warming up dan cukup
kontemplatif, dan Sunbather (lagu) yang masih bagus sekali sebagai teman saat
sendirian di kamar (saya merindukan variasi gitar semacam ini seperti di album
BMTH saat masih diisi Jona Weinhofen). Rekomendasi lain yang penting dan fardhu
‘ain adalah Dream House yang direkam live di entah apa lupa namanya, dimana di
video hitam putih tersebut terlihat seorang fans berat yang sepertinya seorang
geek atau gamer, memakai kaca mata, dan bukan tipikal anak metal, tetapi bisa
amat sangat menikmati Dream House seolah seperti kerasukan saat headbang sambil
merapal lirik. Video lain yang dapat disaksikan di YouTube adalah Deafheaven
yang bermain fullset di Pitchfork Musik Festival 2015 lalu. Versi live yang tak
kalah hebat dengan album, termasuk suara vokal yang lebih kentara dan
menggetarkan ulu hati.
Yusi
Avianto Pareanom ‘Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi’
Fuck! Adakalanya kita muak terhadap
novel-novel rekomendasi, yang justru setelah dibaca malah terlalu berat dan
kita tidak paham cara untuk menikmatinya. Novel-novel bagus kebanyakan keluar
dari jalur pemikiran orang-orang dengan patokan bahwa bagus itu harus
begini-begitu. Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 dan Dia Adalah Dilanku Tahun 1991
(biasa disingkat Dilan 1 dan Dilan 2), adalah salah satu buku yang tidak
memenuhi prasarat mahasiswa (atau dosen juga?) yang berkata bahwa karya sastra
itu harus ‘sastra’, berat, feminis, antropologis, atau apalah itu, semuanya
serba dikotak-kotakkan. Saya tidak memungkiri bahwa seluruh novel yang disuruh
baca oleh dosen saya masih kalah jauh dibanding Dilan, entah karena masalah
selera, saya yang bodoh, saya yang tidak nyastra, terserah. Intinya buku ini
bagus luar dalam. Itu tahun lalu, dan tahun ini juga sama. Mungkin semuanya
menggembor-gemborkan O karya Eka Kurniawan, yang jujur entah mengapa saya tidak
tertarik membeli bukunya (atau belum tertarik), meski beberapa bukunya sudah go
international. Pada saatnya saya akan baca, tapi untuk saat ini saya lebih suka
membaca Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom.
Novel nir pesan moral dan seperti mengobrak-abrik legenda yang sudah mapan ini
tidak seberat yang kalian kira. Tapi juga tidak remeh-temeh. Intinya bisa
dinikmati oleh kelas cupu macam saya. Banyak punch-line yang menyentil (seperti
anjing menyantap tahi teman anjingnya atau hukuman mati yang unik dimana
pesakitan dilempar telur sampai mampus), dan bahasanya yang tidak terlalu sopan
seperti buku so called dongeng pada umumnya membuat buku ini amat sangat
menarik. Bahwa mengumpat dalam novel ini adalah budaya juga (anjing, kutu
busuk, tapir buntung, melegakan sekali untuk diucapkan). Novel yang sepertinya
juga menggabungkan deskripsi ala penulisan food writer sehingga daging sapi,
yang digambarkan dalam novel ini, bisa begitu membuat kalian tergiur dan ingin
segera memesan tengkleng. Atau babi guling masakan keahlian si Loki Tua, yang
dari awal hingga akhir cerita, selalu membuat penasaran seperti apa rasanya.
Seandainya
Saya Wartawan Tempo
Mungkin saya tidak terlalu jago dalam
menulis, hingga akhirnya butuh buku teknik menulis. Beberapa ebook dari AS
Laksana kiriman Mas Faris JMC (jmcnation.blogspot.com) sudah saya baca
seluruhnya (syuwun mas!). Dan sudah banyak bermanfaat mengubah mindset atau
pandangan saya mengenai menulis, dalam hal ini karena AS Laksana sendiri
sepertinya berkecimpung di dunia hypnotherapy. Juga teknik-teknik ringan yang
bisa digunakan untuk pacu ide. Seandainya Saya Wartawan Tempo sendiri merupakan
buku terbitan lama, dan tidak jauh beda dengan ebook AS Laksana, sama-sama
teknis. Hanya saja AS Laksana untuk fiksi, sedangkan Tempo untuk nonfiksi. AS
Laksana bicara mental dan mindset, Tempo lebih pada teknik menulis feature agar
menarik. Cukup menarik membaca keduanya, dan kemudian menggabungkan ilmunya
jika memungkinkan. Itu mungkin bisa diterapkan pada tulisan saya yang
kebanyakan nonfiksi, sekaligus proyek buku fiksi saya.
#NARASI:
Antologi Prosa Jurnalisme
#NARASI adalah proyek Pindai.org yang
mengumpulkan karya-karya prosa jurnalisme dari beberapa penulis jempolan.
Beberapa nama yang saya tahu seperti Yusi Avianto Pareanom, Raka Ibrahim, Nody
Arizona dan Puthut EA juga turut menyumbang naskah prosa jurnalisme. Sebenarnya
ini bukan genre baru dalam kepenulisan nonfiksi: karya jurnalistik dengan unsur
sastra di dalamnya. Penjelasan simpelnya adalah kita membaca sebuah cerpen atau
novellette, tetapi kisah di dalamnya benar-benar terjadi tanpa tambahan bumbu
penyedap apapun, real, tidak dibuat-buat dan tidak ngarang. Antologi macam
begini sebelumnya pernah dibuat oleh Pantau berjudul Jurnalisme Sastrawi,
dimana jurnalis kenamaan seperti Andreas Harsono – yang juga berkontribusi
dalam #NARASI – mengajak penulis-penulis nonfiksi untuk mengembangkan genre
ini. Di kampus, gaya tulisan macam begini masih belum banyak orang yang tahu.
Dua dosen yang saya tanyai tentang genre ini masih kebingungan: apakah ada?
Memang jurnalistik dan sastra seperti saling bertolak belakang karena satu
nonfiksi sementara satunya fiksi. Tetapi jika dipadukan akan menghasilkan
tulisan bagus dengan panjang kira-kira sampai 15.000 kata. Tulisan terpanjang
saya tidak pernah sampai puluhan ribu karakter; mentok 5000 itu juga sudah
syukur-syukur. Bagi kalian yang tertarik dengan genre ini mungkin kita bisa
berdiskusi.