Tuesday, August 30, 2016

14 Hari Untuk Selamanya (Bagian 1)

rundown perdana di hari jumat: tepar!
I.
Jumat Keparat

Jumat pagi dengan suhu kurang dari 30 derajat celcius. Bisa apa selain meringkuk di kasur sembari—mungkin—mengigau tentang KKN dimana hari ini adalah keberangkatannya. Untung saja keberangkatan yang hanya kurang sejam lagi ini tidak menjadi mimpi buruk—secara harfiah. Jadi nikmati sedikit waktumu di kos sebelum berpisah selama dua minggu ke depan. Saya akan makin erat memeluk guling jika saja seorang bernama Nila tidak menelepon di pagi dimana sang surya saja enggan untuk menampakkan diri.

“Tito, Halo? Bisa ikut upacala nggak hari ini? Sekalang, kutunggu di rumah ya!”

Sial. puluhan kali mengucek mata tetap tidak bisa menguasai keadaan. Air putih, mana air putih. Mungkin butuh seteguk baru bisa konsentrasi. Karena setelah itu saya sadar bahwasanya saya menghadapi Nila dalam kondisi setengah sadar: mungkin hanya kata 'upacala' dan ‘sekalang’ yang bisa membuat saya sedikit ngeh bahwa yang mengontak benar-benar si cadel ini.

“Hey! Halo! Tito! Kamu sadal nggak sih ini?”

Anjing. Ternyata sudah pukul enam kurang. Dan matahari masih belum membias di jendela. Tumben. Mungkin hari mendung. Sebenarnya saya sudah sempat sadar antara beberapa menit yang lalu: saat bocah-bocah kos berpamitan untuk upacara pembukaan KKN. Pagi benar mereka berangkat, pikir saya. Sedangkan saya, pemalas yang tak kebagian ikut upacara, santai-santai saja: mungkin berangkat agak siangan. Lagipula semalam grup BBM—yang khusus berisi kawan-kawan KKN—sudah ramai: kami belum mendapat topi (sebagai atribut wajib upacara), dan itu berarti kami tidak wajib upacara. Disepakati, disetujui oleh ketua dan beberapa kawan bahwa besok kelompok kami tidak menghadiri upacara, dan akan berangkat bersama-sama menuju tempat KKN sehabis upacara, yang itu berarti tidak perlu pagi-pagi benar.

Tapi telfon dari Nila dan nada pemberitahuan BBM yang deras membuat saya semakin sadar bahwa handuk sudah tak perlu lagi diraih dari jemuran. Bahkan mandi sudah tidak penting. Setelah beberapa tegukan Aqua, saya sadar-sesadar-sadarnya untuk segera menjemput Hengki: dia wakil ketua, orang penting di dalam kelompok, dan mungkin tidak bisa bangun pagi hari ini. Tugas saya membangunkannya secara mendadak. Ya, mendadak. Grup membuat keputusan tiba-tiba setelah mendapat info yang entah darimana rimbanya: boleh tidak memakai topi saat upacara. Semua tergopoh. Semua berjingkat. Yang ditugaskan ikut upacara pun menjadi fleksibel: siapa yang bisa berangkat boleh ikut. Termasuk pemalas seperti saya yang jika saja tidak ditelfon oleh Nila, masih meringkuk di bawah selimut kedamaian kasur.

Hengki saya jemput setelah saya PING!!! Tiga kali berturut-turut. Dan ditengah carut-marut, saya yang juga belum packing dan mandi menunggu Hengki di depan kosnya dengan perasaan amburadul. Grup semakin gaduh. Upacara sekitar sejam lagi. Hengki sialan entah berada dimana—apa buang air memakan waktu begitu lamanya. Hingga ia muncul di depan pagar kosnya. Tanpa tas. Tanpa sesuatu yang secara harfiah bisa digunakan untuk membawa barang saat bepergian. Tanpa rasa malu. Tanpa ekspresi. Hengki membawa kresek loundry, dan disitulah semua barangnya berada.

Temenan ta arek iki KKN mek sangu kresek?” batin saya dalam hati.

Tapi saya sudah tidak mampu melanjutkan kata-kata lagi. Mungkin Hengki sudah menitipkan barang-barangnya di rumah Nila (yang ternyata tidak dan Hengki benar-benar KKN hanya bermodal kresek bekas loundry, he’s really live a thug life). Hengki segera saya ajak menuju kos saya. Gantian. Dia yang menunggu saya packing dan cuci muka sebentar. Jumat sesejuk ini sungguh tega membiarkan saya berangkat KKN tanpa mandi dan buang air—tidak seperti kebiasaan umum bahwa saat berangkat orang mestinya kudu ganteng, harum dan memiliki sex appeal tinggi.

Dan akhirnya tanpa banyak doa dan nuansa duka akan menghadapi dua minggu di desa orang, saya berangkat. Jalanan menjadi agenda kami selanjutnya. Hengki memegang alih kemudi motor saya yang dalam sekali sentak, sudah berada di titik krusial dimana motor seharusnya dipacu lebih dari 60 km/jam. Saya pikir Hengki tahu kita akan berkumpul dimana.

Ternyata tidak.

“Lho, nangndi Heng! Bukane kumpul di rumah Nila sik, terus berangkat bareng-bareng?” Ujar saya saat Hengki mulai melewati tempat dimana seharusnya meeting point kelompok berada.

“Lho aku langsung cus Mojokerto iki! Kumpul omahe Nila sik ta?” Hengki bertanya seperti kesetrum.

“Yo iyolah mbut!” saya mengumpat lagi sambil mengiyakan.

Sambil menahan dongkol, Hengki berputar-balik. Kami sampai di rumah Nila sebelum berjalan terlalu jauh. Disana sudah ada Anugrah, si ketua, dan tentu saja Nila, si empunya rumah.

“Ngenteni sopo?” tanya saya. Itu karena waktu menunjukkan titik dimana keputusan untuk segera berangkat sudah saatnya dilakukan.

“Sik diluk, To! Nunggu Aminul sama yang lain. Fitra juga.” Ujar Anugrah. Matanya terlihat mengantuk—oh apa karena dia sipit? Dan beberapa saat kemudian si bajingan Fitra memamerkan gambar mobil di grup; entah mobil siapa dan kami tentu saja tidak peduli. apa-apaan?

“Woy, cuk!” terdengar sapaan dari dalam rumah. Saya tidak melihat si penyapa, tapi dari kadar suaranya, itu adalah suara-suara yang hanya dimiliki oleh biadab tak tahu sopan santun.

Sulit menduga bahwa ada salah satu bromocorah di kelompok KKN saya. Eko Setyo Budi, mahasiswa teknik mesin sandal jepit dengan tinggi badan amat proporsional, ternyata sudah disitu terlebih dahulu. Entah sembunyi dimana dia sampai tiba-tiba bisa datang. Saya memanggilnya Eko sebelum tahu bahwa ia tidak mau dipanggil Eko.

“Dia nggak mau dipanggil Eko. Maunya Tyo!” ujar Anugrah sambil tersenyum saat rapat di rumah Nila beberapa waktu silam. Ada nada prihatin dari senyumnya. Saya tidak bisa berkomentar.

Oke baik, jadi keadaan di rumah Nila dalam posisi aman terkendali. Tinggal menunggu beberapa orang lagi dan kemudian berangkat ke Mojokerto—tempat KKN kelompok kami—dan langsung ikut upacara. Tapi Jumat, lagi-lagi membuat gempar. Hujan, tiba-tiba turun dengan derasnya.

“Coookkkkkkk udan faakkkkkkk!” saya mengumpat lagi.

Keparat. Sama sekali tidak barokah dan bahkan beberapa teman berkomentar: ‘KKN yang tidak diridhoi’. Tapi saya lebih kepada kenapa harus hujan di pagi sesakral ini: padahal hari sebelum-sebelumnya belum pernah turun hujan di pagi hari. Cobaan hari pertama KKN berupa air bah turun dari langit: siapa yang menyangka kehendak Mikail. Dengan hujan yang tidak tanggung-tanggung, seperti tumpah ruah dari angkasa, kita tidak mungkin melawan badai dengan hanya bermodalkan jas hujan. Sneakers saya bisa basah. Itu haram hukumnya. Setidaknya dalam kitab tak resmi Conversehead abal-abal.

Tidak ada pilihan lain selain menunggu. Saya mengikuti Eko, ehm maksud saya, Tyo, menuju lantai dua. Jadi rumah Nila juga dihuni sepupu cowoknya yang berkamar di lantai dua. Kebetulan sepupunya adalah teman sekelas Tyo (dan untung saja tidak sama belelnya). Ada televisi dan kasur: pilihan yang sulit, tapi saya memilih rebahan saja. TV kemudian disetel oleh si empunya ruangan: berita bola yang sama sekali tidak terdengar karena hujan turun begitu jancuknya.

Tiba-tiba Wisnu, kawan KKN yang sudah ada di Mojokerto lebih dulu, mengontak saya.

“Piye, Bro! Wis budal durung?” tanyanya.
“Hujan badai, Pakdhe! Dueres!” jawab saya.
“Lho, mosok? Ndek Mojokerto terang-benderang bos!” timpal Wisnu seperti melupakan teritori, letak awan, curah hujan, takdir, dan penugasan Malaikat Mikail.

Sementara itu, beberapa kawan yang mau berangkat juga akhirnya batal.

“Arep berangkat bos entas, eh udan, deres. Nunggu redaan syek!” Aminul, ceking afro ini juga menguhubungi saya.

Saya hanya bisa membalas kira-kira dengan kata yang berkonotasi sama: santai, tenang, woles, selaw, calm, and whatever that have the same fucking meaning. Tapi apa yang saya balaskan itu sepertinya tidak berlaku karena tiba-tiba Anugrah berteriak dari depan pintu.

“Sepatunya siapa rek di depan! Basah!”

Anjing! Anjing! Anjing!

Dan cobaan kedua dari Jumuah keparat ini terjadi sudah: sepatu saya basah sebasah-basahnya.

Yakin ingin melanjutkan KKN?

(bersambung)

rundown kedua hari jumat: tepar!
*judul dicomot serampangan dari judul film mbak Adinia Wirasti, 3 Hari Untuk Selamanya.

The Strokes – Future Present Past (EP): Empat Lagu Tanpa Banyak Kejutan


Julian Casablancas—atau Jules—seperti tidak banyak berubah sejak Is This It (2001) menyeruak ke permukaan dan mengubah tatanan rock dunia. Ia bersama empat temannya yang tergabung dalam The Strokes bertanggung jawab penuh atas ramainya kembali garage rock 60-an yang sudah lama padam ke seantero dunia. Grunge mati di tahun 1994, dan penggantinya hadir di era 2000-an: indie rock yang mengembalikan fitrah rock and roll pada kekuatan drum, gitar, bas, vokal, alkohol 5% ABV, dan linting tembakau merah. Era itu tentu saja sudah berlalu: lihat saja sekitar. Tapi Jules, masih saja tampil dengan potongan rambut, gaya, suara cuek dan kostum yang sama. Meski sudah terhuyung-huyung di dua album terakhir: Angles (2012) dan Comedown Machine (2014) yang seolah menandai kemunduran The Strokes – di banyak review negatif yang ditulis tentang kedua album ini – mereka masih betah bermain di ranah ini. Dan akhirnya, di tahun ini setelah melewati banyak isu dan masalah internal, mereka menelurkan Future Present Past dalam bentuk EP. Empat lagu, dengan satu lagu versi remix, yang dirilis oleh Cult Records (setelah sebelumnya RCA). Future Present Past seperti tidak berusaha atau bersusah payah menjadi seperti Is This It, Room On Fire, dan First Impression On Earth: tiga album awal The Strokes yang sangat dipuja-puji khalayak. Di track pertama Drag Queen, itu saja kadang masih terdengar membingungkan pada awalnya. Dengan efek gitar yang mengawang, juga vokal Jules yang amat sangat cuek dengan gaya vokal perokok alkoholik yang malas bernyanyi, membuat butuh lebih dari sekali untuk menikmati lagu ini. Mungkin The Strokes tidak menghasilkan banyak kejutan; seperti menjelang akhir lagu tampak ceracau vokal bak anak-anak pengidap cacat mental bernyanyi dengan sengaknya. Atau pada Oblivion dimana gitar Nick Valensi (yang dikabarkan juga akan segera membuat proyek baru) dan Albert Hammond Jr. (sudah membuat proyek baru yang kurang sukses) kembali saling mengisi dan tumpang tindih. Single perdana yang dilempar Threats Of Joy mungkin yang paling mendekati The Strokes yang sempat menjadi kesayangan semua orang di era awal: memakai banyak lick-lick klasik dan tentu saja beratmosfer 70-an. Track terakhir adalah Oblivion versi remix: entah mengapa kami rasa ini tidak perlu terlalu banyak ditulis karena kami trauma dengan Jules dan instrumen remix; seperti saat ia berduet dengan Daft Punk di Random Access Memories, atau di proyek aneh Julian Casablancas and The Voidz. Kami mungkin belum sepenuhnya mendengar influence mereka seperti misal The Velvet Underground atau Television—kesemuanya punk avant garde yang makin kesini dianggap cult dan jenius. Tapi dengan mendengar The Strokes di album ini saja kami sudah bisa menebak bagaimana musik yang dimainkan oleh influence mereka: rock purba dengan formula sederhana, cenderung cult, tak tertebak, namun tetap punya hulu ledak berbahaya.

versi edit dari ronascent webzine bisa dibaca disini

Monday, August 15, 2016

Seperti Seharusnya, Noah dan Playlist Abadi


Kurang lebih saya mengenal Ariel dkk di usia SD. Tidak begitu fanatik, malah saya lebih interest pada Dewa 19. Bapak saya pertama kali beli kaset Peterpan di pasar, juga kakak yang punya kaset tape Bintang di Surga. Itu jadi konsumsi sehari-hari akhirnya. Beberapa lagu cukup lumayan untuk diikuti, tapi saya tidak candu-candu amat. Saya berpikir Peterpan adalah band biasa-biasa saja. Yah keren lagunya, tapi belum cukup untuk membuat saya jatuh cinta. Sewaktu SMP saya sempat menonton Insert di Trans TV, waktu itu host-nya masih Indra Herlambang sama Cut Tari. Itu sekitar kelas 9. Disitu diberitakan bahwa Ariel, vokalis Peterpan, terlibat kasus video porno bersama Luna Maya. Yang memberitakan adalah Cut Tari. Tapi host seksi yang cukup sintal dan menggemaskan ini berkomentar di akhir berita:

“Masak sih itu Ariel? Itu bukan Ariel, tapi Andhika Kangen Band!”

Minggu depannya Cut Tari sudah tidak ada lagi di acara Insert. Sekarang dia yang ganti diberitakan media gosip karena video kedua Ariel ternyata nyebar juga, dan itu pemainnya Cut Tari. Mungkin dia terkena kutukan Andhika Kangen Band karena ‘orang nggak salah malah dibawa-bawa.’ Saya ingat betul juga di zaman itu. Zaman Peterpen buat reality show pencarian nama baru di Trans 7. Nama Peterpan memang milik Andika, mantan kibordisnya, jadi dia ngerasa Ariel dkk. tidak berhak lagi memakai nama itu. Saya berpikir bahwasanya  baru kali ini band indonesia mau ganti nama saja begitu hebohnya; masalahnya Ariel dkk tidak tahu akan memakai nama apa. Alhasil ada banyak usul, dan dibikinkan reality show pula. Dag-dig-dug tiap ada yang membahas nama baru Peterpan, selalu saja mikir, nama apa ya yang jadi dipakai. Tapi pas lagi genting-gentingnya nyari nama itu, Ariel kena skandal, jadi tersangka, dan akhirnya dipenjara. Berhenti sudah drama Peterpan. Berhenti sudah urusan ganti nama. Uki dkk, yang tidak ikutan main bokep jadi berjalan sendiri. Sempat membuat proyek Peterpan On Piano oleh David yang kemudian dikembangkan menjadi album Suara Lainnya dimana lagu Peterpan dicover jadi instrumental tanpa vokal.

Di titik inilah, saya mulai interest dengan Peterpan. Ketertarikan ini sebenarnya diawali saat mereka membuat album Sebuah Nama Sebuah Cerita—saya lupa periode pembuatan album itu kapan, sesudah skandal Ariel atau sebelumnya, seingat saya sebelumnya. Disitu ada lagu yang ‘Cobain’ sekali menurut saya: “Walau Habis Terang.” Saya suka liriknya. Itu seperti ‘it’s better been burn than fade away,’; lebih baik kamu padam daripada memudar sedikit-demi-sedikit. Ada satu punch yang saya ingat: peluk tubuhku untuk sejenak, dan biarkan kita memudar dengan pasti.’ Itu adalah salah satu bait terbaik di lirik Indonesia menurut saya. Dan saya berpikir, siapa lagi yang membuat ini jika bukan Ariel. Saya ingat di era ini Ariel tidak lagi berambut sebahu ala-ala Luke Skywalker. Tapi sudah lebih cepak. Dan tidak hanya rambut yang berubah, tapi juga kedewasaan musik di lagu-lagu mereka, sound yang lebih terasa, lirik yang lebih memukau juga influence mereka yang lebih terdengar melebur bersama orisinalitas Peterpan. Itu semua mulai tampak jelas di album Hari yang Cerah, dimana lewat lagu “Cobalah Mengerti” yang sempat saya simak klipnya di MTV, jauh berbeda secara kualitas dengan lagu macam “Mungkin Nanti” yang menye atau “Ada Apa Denganmu” yang terlalu sakarin—dengan intro mirip “Am I Wry” dari Mew. Bandingkan sendiri.

Saya benar-benar suka dengan Peterpan di album Sebuah Nama Sebuah Cerita, yang memuat seluruh hits besar Peterpan dari era debut sampai album terakhir. Melihat tajuknya kita akan segera tahu bahwa ini semacam obituari; album terakhir mereka dengan memakai nama Peterpan. Tapi karena memang berkonsep ‘kompilasi’ atau kumpulan lagu-lagu lawas yang saya tidak pernah terlalu interest, saya hanya mengamati dua lagu baru saja yang jujur, menurut saya lagu baru itu, alias lagu terakhir Ariel dkk saat menggunakan nama Peterpan, adalah lagu terbaik Peterpan sejak awal karir. Mungkin ada satu lagu baru lagi yakni “Kisah Cintaku” yang juga dibawakan bagus tapi itu cover dari Chrisye. “Walau Habis Terang” -lah yang saya maksud. Lepas dari lirik paling puitis yang pernah diciptakan Ariel seperti saya jelaskan diatas, nuansa kelam dan gelap, lesu darah, dari lagu ini begitu menghipnotis. Simak bagian:

“Berjalanlah walau habis terang, ambil cahaya cinta ‘tuk terangi jalanmu...”

Dan lagu ini sudah menjadi abadi, kapanpun, ini tidak akan lekang dimakan zaman, akan selalu relevan dengan telinga saya. Ada semacam kepasrahan yang elegan, entahlah, dalam lagu ini yang membuatnya patut masuk salah satu lagu pop terbaik Indonesia. Ini pulalah yang membuat saya menunggu Ariel dibebaskan, mengutuk orang-orang sialan yang sok moralis dengan mengkafirkan dia, dan secara tidak langsung, pro terhadap Ariel karena dia tidak bersalah; penyebar viedo-nya yang bersalah. Lagipula tanpa bokep Ariel masa SMP saya tidak akan berkesan: setiap hari membayangkan Cut Tari sebagai bahan fantasi dan akhirnya muncul video saat dia sedang main seks dan memamerkan lekuk tubuh sensitifnya; apapun itu, Peterpan, Ariel dan segala skandalnya adalah hal yang indah untuk dikenang.

Hari demi hari berlalu, Ariel akhirnya bebas. Kembali berkumpul bersama Peterpan yang belum ganti nama. Uki sudah makin brewokan, Reza semakin gemuk, Lukman semakin cacingan, dan muncul satu bocah yang kelihatannya jenius bernama David; kembali berkumpul bersama sang frontman. Menjalankan fitrah sebagai anak band, kembali lagi ke studio, menggodok materi-materi yang tertunda. Dan jadilah, nama baru mereka resmi memakai Noah, dan setelahnya album Ariel dkk dengan nama Noah dirilis dengan tajuk Seperti Seharusnya. Saya ingat betul waktu itu saya kelas 12 SMA. Mungkin menjelang akhir kelulusan. Single “Separuh Aku” dilepas dan benar, saya yakin-seyakin-yakinnya, Noah sudah bukan Peterpan dengan sound busuk itu lagi. Mereka berkontemplasi dan bertransformasi menjadi band berkualitas tinggi dengan sound mumpuni dan ya, apa yang saya tunggu akhirnya datang juga. Saya jatuh cinta dengan lagu mereka. Jujur saja waktu itu saya sedang banyak dikepung aliran hardcore, rock and roll dan sejenisnya. No time for menye, no time for pop. Tapi disaat Noah datang, itu semua tidak saya hiraukan. Satu hal yang saya catat adalah kedewasaan Noah ini tidak mungkin terjadi tanpa kehadiran David. Give applause for him, dan karenanya “Separuh Aku” mempunyai melodi yang menggoda.

Album Seperti Seharusnya rilis juga via KFC, dan keluarga yang memang biasanya makan disana saat keluar kota kedapatan mendapat album gratis dari pembelian ayam. Tidak butuh waktu lama saya langsung menunjuk Noah, fuck you Judika, fuck you pop generic, fuck you all chicken musicians: saya hanya cinta Noah dan tentu saja akan memilihnya tanpa berpikir panjang. Album ini akhirnya menjadi album sehari-hari. Semacam playlist wajib yang pagi, sore, atau malam selalu saya dengarkan. Saya me-rip kasetnya sehingga bisa didengarkan lewat ponsel—apalagi pemutar musik yang lebih baik bagi generasi Z macam kami selain headset menancap di ponsel. Noah juga sempat menjadi backsound pernikahan kakak saya, Rina, yang waktu itu mengadakan acara satu hari dua malam. Di tengah gempuran campursarian orang tua yang membosankan, koplo yang memuakkan, dan pop-pop Betharia Sonata yang sudah seharusnya masuk tempat sampah, saya memboyong kaset Noah untuk kemudian diputar seantero kampung. Bayangkan apa yang terjadi: itu pukul tujuh malam, dan “Raja Negeriku” sebagai track pertama berkumandang. Lagu yang banyak meminjam pengaruh dari U2 dan Angels And Airwaves ini adalah track terkeras di album ini, juga paling distortif. Pidato Bung Karno yang meledak-ledak di pertengahan lagu adalah efek kejut bagi para veteran keluarga saya yang sedang merokok kretek: mereka mengingat kembali nasionalisme yang ternyata bisa juga dihempas oleh anak muda. Rina pun enjoy-enjoy saja saya putarkan Noah, begitupun orang-orang yang hadir kondangan. Soundtrack prasmanan nasigoreng dan rawon yang memacu testosteron! Meski kakek saya ngedumel terus karena menganggap lagunya terlalu ‘keras’; yeah, if it’s too loud you’re too old. Kakek memang sudah tua, bahkan untuk Noah sekalipun. Untung saya tidak putar Seringai.

Setelah “Raja Negeriku” yang ngeri, sound system nikahan Rina menampilkan lagu-lagu manis yang mulai track dua dan seterusnya, membuat perasaan terbawa dan suasana kondangan jadi romantis. Saya hanya duduk, mengamati operator di seberang sana menjalankan tugasnya dengan baik, sambil sesekali mencomot lemper dan lumpia. “Jika Engkau” mengalun, dengan opening gamelan jawa yang benar-benar diekspos sewaktu Noah konser. Sekali lagi kedewasaan terdengar; ini adalah pop dengan persenyawaan terbaik. Uki dan Lukman saling mengisi dengan sound gitar yang melankolis, plus suara Ariel yang tidak ada tangingannya. Lalu “Hidup Untukmu Mati Tanpamu” yang diciptakan Rian D’Masiv—dan untung saja tidak dinyanyikan band-nya—memulai lagi mengumbar pop rock yang walaupun tanpa gitar delay ala-ala The Edge seperti “Raja Negeriku,” tapi cukup menyentak saat memasuki refrain. Lagi-lagi kita bisa mengamati sound gitar berkelas yang ditampilkan Uki dan Lukman. Jangan pula lupakan isi-isian dari si jenius David. Peterpan naik jutaan tingkat lewat track ini.

Untuk track satu ini, saya pikir inilah lagu terbaik di Seperti Seharusnya. Sungguh subjektif, namun “Ini Cinta,” yang seperti bercerita tentang Ariel yang melakukan segalanya karena cinta dan bukan nafsu, sungguh tidak bisa saya enyahkan, atau saya dengarkan sekali-dua kali. “Ini Cinta” entah bagaimana selalu ada dalam playlist saya dimulai saat acara nikahan Rina. Salah satu lagu romantis terbaik yang pernah dinyanyikan musisi Indonesia. Lirik yang tidak terlalu puitis, ringan, sederhana, namun punya melodi yang membuat siapapun rela hanyut dalam pusaran. “Ini Cinta” tidak bertendensi menjadi megahits seperti “Separuh Aku” dan “Jika Engkau”, tapi dengan permainan David yang minimalis di lagu ini, sungguh lagu ini tidak boleh disepelekan. Termasuk underrated juga karena kalah dengan “Hidup Untukmu Mati Tanpamu” ataupun “Tak Lagi Sama”. Saya membayangkan saat mereka ngejam lagu ini, diiringi rintik hujan di luar studio, dan secangkir teh diletakkan diatas ampli: lagu penting kadang hadir begitu sederhana. Simak menit magis: 1:38, dimana David melempar sebuah alunan disambut kesenduan backing vokal tipis-tipis yang serasa diambil dari surga. Seterusnya terus begitu, David, backing vokal, Ariel, sampai saya yang sudah berkali-kali menemukan letak keindahannya tidak bosan-bosannya untuk terus mendengarkannya.

Track lain yang menurut saya haram dilewatkan adalah cover dari Chrisye, “Sendiri Lagi.” Entah bagaimana jika Ariel dkk, dalam Peterpan ataupun Noah, mengcover Chrisye, hasilnya selalu diatas rata-rata, menyamai kualitas lagu aslinya. Tapi untuk “Sendiri Lagi” versi Noah, saya kira mereka melampaui lagu aslinya. Ini adalah upaya David, yang menjadikannya begitu berkesan dan banyak warna—padahal aslinya hanya sewarna: sendu. Saya suka lagu pop dengan banyak isian manis seperti ini, dan tetap terdengar minimalis. Memasuki menit ke 3.00, saat itulah Noah dengan Uki, Lukman dan Reza hadir, mengiringi David dan Ariel. Memuncak sempurna, berhasil dan saya menunggu Noah mengcover lagu dari Chrisye lagi tanpa harus terdengar sepertinya.

Terakhir, “Puisi Adinda.” Lagu yang cukup lama saya lewatkan karena berada di track terakhir. Tapi nyatanya ini adalah harta karun, benar-benar harta karun. Suara denting piano beradu dengan suara malaikat di intro. Dengan durasi yang cukup singkat, dan vokal Ariel yang biasa saja dan tidak berusaha memberikan gaya terbaiknya: track paling menyentuh di Seperti Seharusnya. Dan seperti inilah seharusnya lagu pop Indonesia: mulai memasuki menit 1:50 ada bermacam isian yang seperti dipinjam dari langit. Track yang surgawi. Dan nyatanya, setelah sekian tahun menjadi playlist, Noah dengan Seperti Seharusnya belum pernah bisa hilang dari playlist saya: semua lagu di album ini penting, dan inilah pencapaian tertinggi Ariel dkk mulai dair awal karir mereka: dan bahkan ini adalah album terbaik mereka, baik dengan nama Peterpan atau Noah. Saya masih menunggu Noah membuat album penuh lagi, bukan album tak penting semacam Second Chance atau yang terbaru, Sings Legend: siapa yang ingin mendengar yang seperti itu. Buatlah yang seperti seharusnya. Meski kaset saya sudah raib diembat seseorang bernama Roni yang ternyata adalah adik ipar Rina: bajingan bertampang lebih cabul dari Andhika Kangen Band yang jika saya tanya mana kaset Noah, selalu menjawab sedang dibuat mainan anaknya dirumah.

Tapi meski begitu, Noah tetap abadi, dalam playlist dan dalam ingatan, seperti seharusnya.

Blink 182 – California: Memaknai Pop Punk Setelah DeLonge Hengkang


Sempat sinis dan berpendapat bahwa Blink 182 seharusnya bubar saja. Atau ganti nama. Atau segera reuni: Tidak ada yang pernah bisa menggantikan punkers futuristik bernama Tom DeLonge, dan bahkan walaupun dua personil yang tersisa mencoba mengkloning begundal-bedundal punk rock dari seluruh dataran Los Angeles sekalipun. Tapi nyatanya tidak. Blink hidup kembali. Tak ada ganti nama. Tak ada upaya reuni. Tak ada bubar. Tak ada kloningan DeLonge: yang ada hanyalah Mark Hoppus, Travis Barker, plus Matt Skiba dari Alkaline Trio sebagai kudahitam baru yang bermain lepas dan seolah menjadi The New Blink 182, merilis album penuh bertajuk sebuah kota penuh dosa di daratan Amerika: California.

Jutaan orang sudah jadi pendengar Blink sejak usia mereka masih belia: saat toilet jokes yang tidak lucu-lucu amat seringkali mereka tampilkan. Saat betapa cueknya mereka bugil, entah dalam videoklip atau sekedar foto. Saat seenak-udel mengubah kemarahan punk menjadi selucu dan seusil buang air di celana. Saat mereka menguasai MTV dan membuat industri hiburan melirik pop-punk sebagai sesuatu yang menjanjikan: ini era Blink dimana hits seperti All The Small Things, sampai Stay Together For The Kids menjadi langganan radio mainstream. Ini era Blink dimana lagu macam Miss You atau Always menjadi teman mereka yang sedang belajar berciuman lidah waktu ABG. Blink 182, tanpa disadari, adalah pahlawan tanpa tanda jasa bagi generasi muda yang akhirnya gemar bertopi terbalik dengan celana tiga-perempat dan memakai sneakers dengan kaus kaki tinggi-tinggi. Haram hukumnya pergi ke sekolah tanpa pakai items dari Macbeth. Efek yang sebegitunya.

Tapi pahlawan generasi itu tidak lagi tampak harmonis. Hubungan personil Blink tiba-tiba saja memanas. Merenggang. Makin kesini makin rumit. Proyek supergrup Angels And Airwaves milik Tom, dikatakan seperti punya pengaruh terhadap pertikaian ini. “Tom ingin membuat musik Blink seperti Angels And Airwaves,” ujar Mark di sebuah wawancara. Alhasil, Tom dipecat dari band, sementara Mark dan Travis terus berjalan, merekrut Matt Skiba dari Alkaline Trio. Berpuluh sesi jamming dan shift, dan akhirnya... muncullah California.

Ini bukan yang terbaik dari Blink 182. Dan tidak akan pernah bisa menyaingi album-abum Blink di era sebelumnya. Tapi juga tidak bisa dipandang remeh. Matt Skiba bukanlah Tom DeLonge dengan segala ciri khasnya, dan bagusnya dia sadar akan hal itu. Alhasil, Matt menjadi dirinya sendiri dan bermain tanpa tekanan. California sendiri masih mempertahankan benang merah Blink 182 yang dijaga oleh gaya vokal Mark dan permainan drum khas Travis: sementara Matt, memberi kesegaran dan nafas baru. Mungkin secara teknik juga tidak kalah dibanding Tom.

Dalam California, pembuka Cynical mungkin sedikit membosankan dan kurang ‘uh!’—sebagai pembuka yang biasaya diisi oleh lagu yang ‘grrr!’. Tapi track selanjutnya, Bored To Death memberi kesegaran baru: meskti tidak ada perubahan drastis, juga tidak terlalu berpatokan pada gaya lama. Semua normal saja meski harus diakui era pop punk selalu berada di titik sulit. Bila dibandingkan dengan Neighborhood sebagai album terakhir dengan Tom, California mempunyai lagu yang agak sedikit lebih pelan dan ‘sopan’. Tapi tidak mengapa toh keriput di wajah Mark Hoppus tidak bisa lagi berbohong: Blink 182 sudah menjadi bapak-bapak berumur. Simak Home Is Such A Lonely Place yang kontemplatif. Segarang apapun punkers di masamudanya, kegelisahan paruh baya tidak dapat ditutup-tutupi. Tapi lagu-lagu ala masamuda yang tak pernah berakhir pun masih terasa ugal-ugalan di Built This Pool dan Brohemian Rhapsody—sempat mengira ini cover Queen ternyata hanya lelucon. Beberapa track mengingatkan pada era Blink 2000-an seperti Left Alone yang menggabungkan awalan gula-gula di awal, dan jadi keras di intro. Tapi Rabbit Hole menampilkan bagaimana seharusnya pop-punk dimainkan: menghentak dan membuat cewek-cewek kegerahan. Satu hal yang dicatat—dan mungkin bisa diamati sendiri—adalah berkurangnya hook-hook cantik yang dilempar Travis yang biasanya gemar beratraksi dibalik drum set-nya. Ketukan-ketukan standar yang kebanyakan mengisi album ini, dan itu sepertinya bukan gaya dari jagoan kita.

Beruntungnya Blink 182 bukan tipe band dengan satu frontman yang menentukan arah band: selain Tom, mereka juga punya Mark. Jadi tidak terlalu aneh saat mereka merekam California tanpa Tom: Mark masih ada sebagai benang merah dan kita masih bisa merasakan hawa ‘Blink’ di dalamnya. Lain halnya misal Green Day ditinggal Billie Joe atau Rancid ditinggal Tim Armstrong; pastilah akan jadi aneh saat mereka album baru. Jelas tampak bahwa tiang penyangga utama Blink bukan hanya terletak pada Tom, tapi juga Mark. Bahkan Travis. Jadi sebenarnya Blink 182 dapat diibaratkan seperti sebuah segitiga yang untuk bisa tergambar sempurna harus diisi oleh Tom, Mark dan Travis. Tapi dengan Matt Skiba; mungkin masih berbentuk segitiga walaupun tidak lagi sama sisi.

versi edit bisa dibaca disini