Welcome
To Sidowangi, Baby!
Matahari menyengat tepat
di ubun-ubun, menghajar apapun yang ditimpa, kekuning-keningan, silau. Membara.
Membakar kepala-kepala yang walaupun terlindung helm berbentuk apapun, tetap
akan terasa pening. Dan anjingnya, siapapun tahu ini masih Bulan Ramadan. Tidak
akan ada kesempatan untuk menyiramnya dengan Cola, atau Radler macam apapun.
Tidak juga soda. Atau teh campur es batu. Bir dingin apalagi. Panas tetaplah
panas. Puasa tetaplah puasa. Siang bolong tetaplah neraka. Tiada toleransi
tentu saja.
Tapi bagi Hengki, selalu
ada toleransi.
“Pantesan
maeng sampek kene keri dewe, lah wong mampir mokel sek!” ujar Wiendo, punggawa motor box tambun
yang membongkar isi tas kecil Hengki—yang dibawanya selain tas kresek biadab
itu—sesaat seusai salat Jumat. Dia menemukan dua buah Sari Roti coklat. Andai
saja ini bukan siang hari bulan puasa, Wiendo tidak perlu sungkan dan berpikir
lama untuk mencomot dua-duanya sekaligus.
Saya hanya tertawa
menelan ludah sembari mendinginkan badan di lantai masjid dusun yang untungnya
lumayan dingin.
Bayangan nasi padang dan
es teh, tampak di awang-awang...
***
Kami sedang berada di
sebuah dusun antah-berantah, dan akan begitu terus hingga 14 hari ke depan. Dusun
yang entah, tidak pernah kami bayangkan dalam fantasi atau mimpi. Dusun yang
akhirnya kami tahu bernama Sidowangi. Dusun, tempat segalanya bermula.
Kami sampai disini pada Jumat siang, setelah drama hujan badai dan kegopohan. Perjalanan kurang lebih
50 km Surabaya - Mojokerto mendadak membuat saya tidak ingat apakah saya sahur
tadi pagi. Saya rasa tidak karena perut rasa-rasanya hanya berisi angin. Untuk
urusan perut saya memang masih bisa tahan, tapi untuk urusan kerongkongan,
rasa-rasanya air wudhu itu tadi begitu segar untuk diteguk barang sekali atau
dua. Tapi saya sudah berjanji terlebih dulu untuk tidak melakukan dosa di hari
pertama di tempat KKN—takut apes dan tidak diridhoi. Dan tidak akan
melanggarnya atas nama toleransi sekalipun.
Tapi godaan, Ya Tuhan.
Entah, tanpa sadar tahu-tahu saja saya sudah berada di sebuah warung kecil
pinggir jalan. Dengan segelas es teh gelas besar di depan mata. Bersama si bos
besar, perusuh utama di GTA San Andreas dalam versi nyata, Thug Life baby boy: Eko a.k.a Tyo.
Saya hanya niat memesan
segelas es teh saja. Sepertinya masih cukup kuat untuk tidak makan sampai
berbuka nanti. Tapi Tyo membuat hari bulan Ramadan jadi seperti hari-hari biasa
saja.
“Kulo
pecel setunggal!”
Bangsat. Dia malah
memesan sepiring. Tahu begitu saya pesan juga. Tapi sudah kepalang gengsi
dengan bibi-bibi penjualnya. Saya geledah saja isi tas, menyulut
tumbuh-tumbuhan yang tinggal beberapa batang. Sementara Tyo makan dengan lahapnya,
saya mengasap sendirian. Menyalakan dupa beraroma.
Seusai melakukan
aktivitas berbuka sebelum magrib, saya dan Tyo kembali menuju basecamp. Sepatu
saya yang basah kuyup kena hujan keparat tadi pagi sempat saya jemur sebelum
salat Jumat. Dan sulit dipercaya, sepatu tersebut sudah kering tanpa sisa
lembab sedikitpun padahal hanya saya jemur tidak lebih dari dua jam. Keajaiban.
Pantas orang zaman dulu sempat beramai-ramai menyembah matahari. Sementara itu,
teman-teman yang ada di basecamp terlihat sudah roboh, terkapar dengan mulut
memutih dan kerongkongan yang mencekik perih. Balai dusun tempat kami bermalam
untuk dua minggu kedepan tidak sempat diperhatikan lebih dalam lagi. Ada lantai
dingin, ada bantal tergeletak, persetan tas dan tetek bengek lainnya yang berserakan,
langsung saja tiduri demi membunuh lemas dan mata kunang-kunang. Saya saja yang
sempat meneguk es sudah sedemikian tidak tahan untuk segera tiduran, apalagi
teman-teman yang masih menjaga puasanya. Beberapa anak terlihat masih
membereskan barang-barangnya, beberapa lainnya melamun di pojokan, beberapa
lainnya sibuk mengutak-atik gadgetnya, beberapa pemalas seperti saya dan
Aminul, tentu saja sudah rebah dengan mulut terbuka. Tyo malah terlihat
membongkat tas gunungnya, mengeluarkan bantal balon anak pendaki, meniupnya
sampai jadi empuk, dan secepat itulah dia pergi ke alam nirwana.
“Kadal,
wareg sego pecel langsung tepar!”
batin saya.
Kami terbangun tidak
terlalu lama dari waktu kami tidur. Dua jam cukup untuk tidur siang, setidaknya
bagi saya. Sementara bagi si jangkung yang saya baru kenal beberapa menit
sebelum berangkat kesini, tidur sampai hampir mampus sekalipun mungkin tetap terasa
kurang. Ikbal, bocah Pamekasan, salah satu tukang pukul jurusan, bajingan tidak
tahu adat, pemalas cungkring gemar ngorok yang bisa tidur hampir seharian,
mengajari saya trik mendominasi bantal orang.
“Liyane
turu bantal siji gawe wong telu, Bajingan Ikbal iki bantal siji diijeni
dewean.” Gumam saya.
Tentu saja karena Ikbal memencar jauh dari gerombolan tukang tidur, menjauh
demi mendominasi gumpalan kapuk.
Badan sudah segar
kembali. Tinggal menunggu adzan maghrib dan kita resmi berbuka di desa orang untuk
pertama kalinya. Siapa pemegang tampuk kuasa dapur sudah tidak penting: yang
penting makan, kenyang dan ‘hidup kembali.’ Tim dapur yang saya tahu adalah
Ayuk dan Nila: keduanya sama-sama kurus (atau cungkring, atau langsing? Saya
bingung mendefinisikannya), kecil, imut-imut, tapi jadi paling berkuasa atas
hidup matinya anak KKN dari siapapun yang berada disitu. Bila keduanya tidak
bisa memberi jaminan, serahkan saja pada koki dadakan Wiendo, yang sepertinya
sudah teruji dan terbukti dengan badannya yang jumbo: tipikal orang macam
begini biasanya ahli urusan perut dan penggorengan. Yah meski tiap hari tempe
lagi-tempe lagi. Tempe goreng, siap. Tumis tempe, siap. Orak-arik tempe, siap.
Tempe balado, siap. Soto tempe, siap. Soto
tempe sodara!
Hari ini tiada kegiatan
apapun yang berarti—kecuali permainan tebak-tebak buah manggis dari tim SDM
dimana awalnya kalian diberi nama palsu nan busuk (saya mendapat nama Entong
entah bagaimana asal muasalnya), disuruh menghafalkan, dan akan tiba gilirannya
kamu akan disuruh menyebut nama asli dan nama palsu seluruh temanmu atas nama
kekompakan, dan hukuman menyedihkan dicelonteng di muka bila salah menebak:
saya seperti sedang berada di diklat pramuka saja—dan untuk itu saya kemudian hanya
melihat-lihat dan mengamati seperti apa desa tempat saya berada ini.
Mendeskripsikan
Sidowangi agaknya tampak seperti desa pada umumnya saja. Cenderung sepi dan
kondusif. Tetangga sekeliling juga tampaknya baik dan welcome, apalagi Pak
RT yang tinggal bersebelahan dengan balai dusun dimana beliau sudah turut
membantu memasangkan pelindung atap sampai tanjakan parkir khusus untuk kami.
Dari balai desa, Dusun Sidowangi tempat kami berada ini dapat ditempuh dengan
jarak hanya 5 menit, dengan melewati hamparan sawah tebu nan luas yang
sepertinya jadi mata pencaharian utama warga sini. Desa yang kami tempati juga hanya
20 menit saja dari pusat kota, jadinya tidak bisa dibilang terpencil dan bahkan
ada loundry kiloan dan minimarket juga. Tak kalah penting ada pom bensin yang menandakan
desa ini bukan seperti desa primitif di pedalaman Zimbabwe. Dan yang paling
krusial, sinyal, juga tak mengecewakan. Jaringan H+ lancar-lancar saja, cukup
ngebut untuk melihat YouTube sekalipun (mengingat saya sering melakukannya
karena waktu itu sedang penasaran seperti apa lagu di album terbaru Blink 182
dan The Strokes). Lupakan miss komunikasi dengan pacar karena jaringan desa
yang busuk; jaringan disini bahkan lebih dari mampu untuk melakukan Skype.
Meski di sehari-dua hari ada gangguan resmi dari Indosat, tapi selebihnya tidak
ada, lancar jaya aman sentosa.
Tempat tinggal kami
sendiri (atau sebut saja basecamp biar keren) mungkin awalnya terlihat payah.
Bayangkan, kami tampak seperti pengungsi yang harus tidur di balai dusun;
sebuah ruangan terbuka berbentuk joglo dimana disitulah kami melakukan
aktivitas sehari-hari: makan, tidur, rapat, ngelamun, ngerasani, dan lain-lain.
Ada tiga ruang tersisa memang di dalam: satu kamar mandi (sepertinya tempat
memandikan mayat dimana di dalamnya berisi peralatan dan juga payung jenazah
menyeramkan), satu ruang kosong untuk menaruh barang-barang; tas, beras,
sandal, sarung, make up, boneka, dingdong, dan lain sebagainya, dan satu lagi
ruang untuk tidur, ganti baju dan dandan para perempuan (mengingat hanya dua
orang perempuan yang tidur di luar yakni Ayuk dan Manda, sisanya meringkuk di
dalam dengan enjoynya). Bisa dibayangkan kami seperti jemaah sekte sesat yang
terusir, untuk kemudian tinggal di barak pengungsian dengan seluruh aktivitas
tumplek blek di pelataran balai desa. Kita terbiasa untuk tidur dengan nyaman
di tempat dimana kita sebelumnya makan dan masak dengan berkotor-kotor ria.
Seluruh laki-laki tidur di luar tanpa kecuali (mau dimana lagi). Dengan dua
perempuan yang kami kelilingi: Ayuk dan Manda dengan kasur lipat, bantal empuk,
dan selimut, sementara kaum lelaki hanya bermodalkan sarung, kadang hanya
lantai tanpa alas. Itulah sebabnya mengapa para lelaki jadi kalap dan sering
berebut untuk tidur di sisi Ayuk dan Manda: berangkali bisa mencicipi selimut,
kasur atau sedikit bantal—atau, ehm, kapanlagi coba tidur di sebelah cewek—kan
lumayan.
Tapi entah mengapa saya
selalu tidak kebagian jatah. Selalu saja Anugrah, Breng dan Aminul, tiga bajingan
beruntung yang kebagian kebahagiaan tersebut. Gerombolan lelaki lain cukup
hanya tidur di lantai—kadang beralas karpet kadang tidak—dengan bantal, jika
ada—seringkali dengan berbantal tangan sendiri atau pantat teman. Dan mau tak
mau kami harus menyusun rencana demi kemaslakhatan dan kesejahteraan bersama.
Dan, Fitra, ceblong
murah senyum, teknisi mesin keparat, tukang tertawa cekikik dengan nada paling
menghina ini, membuka jalan kesejahteraan itu.
Problematika utama tidur
di luar adalah udaranya yang dingin. Apalagi saat hujan turun di malam hari.
Tanganmu serasa beku. Telapak kakimu mati rasa. Dan, ehm, kamu jadi ingin
kencing melulu. Bangsat. meskipun sudah ada jaket tapi toh sama saja, dinginnya
bak bandeng presto, menembus melunakkan tulang. Lucky bastard Anugrah, Aminul
dan Breng masih cukup beruntung karena tidur mereka selalu mengelilingi para
perempuan yang dengan begitu mereka masih kebagian hangat—dan sensasi bobo sama
gadis. Tetapi 76% lelaki tetap akan menyumpah serapah dan memaki betapa
bangsatnya udara, dan menyesali kebodohan kenapa tidak membawa selimut atau
tenda saja saat berangkat.
Di saat situasi macam
itu, saya kebetulan mendapat satu panggilan masuk, yang membuat saya terpaksa
harus bangun dan mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol sekaligus ngudud.
Di luar sungguh bajingan, terlalu dingin untuk tidur apalagi untuk telfonan.
Saya memutuskan memasuki ruangan dimana tempat penyimpanan barang berada.
Tempat yang penuh sesak oleh barang gawanane
arek-arek. Penuh tas, koper, beras, elpiji, cucian kotor, sampah, dan lain
sebagainya. Saya tertegun sejenak. Sesosok jin tomang dengan mulut terbuka,
tergeletak tepat di depan mata saya.
Naaah,
yoikiiiiii sing digoleki...
Ternyata itu adalah Fitra
yang sedang tertidur dengan pulasnya. Berbantal tas, berselimut sarung-sarung
yang bergeletakan, di tengah udara ruangan yang tentu saja cukup hangat
dibanding salju di luar. Pintar juga ini musang, pikir saya. Ide bagus.
Brillian. Meski kaki-kakinya menyerobot barang-barang anak-anak, ah tidak
peduli, yang penting hangat dan nyaman.
Dan, setelah itu kami
mengenal ruangan itu sebagai kandang macan. Ruang tidur lima orang begundal
yang ogah merasakan dingin dan gaduh di luar. Tidak pernah ada yang tidur di
dalam selain kami: saya, Fitra, Hengki, Tyo dan Ikbal; gerombolan penolak
dingin, para pemuda menye yang butuh belai kehangatan, sekumpulan jablay haus kasih sayang yang tak pernah dapat kesempatan ‘bobo sama gadis.’
Kamar baru nan nyaman
untuk dua minggu ke depan sudah ditemukan. KKN ini sepertinya akan terus
berlanjut.
Welcome
To Sidowangi, Baby!
(bersambung)