Friday, September 16, 2016

14 Hari Untuk Selamanya (Bagian 2)

merencanakan kegiatan mokel bersama
II.
Welcome To Sidowangi, Baby!

Matahari menyengat tepat di ubun-ubun, menghajar apapun yang ditimpa, kekuning-keningan, silau. Membara. Membakar kepala-kepala yang walaupun terlindung helm berbentuk apapun, tetap akan terasa pening. Dan anjingnya, siapapun tahu ini masih Bulan Ramadan. Tidak akan ada kesempatan untuk menyiramnya dengan Cola, atau Radler macam apapun. Tidak juga soda. Atau teh campur es batu. Bir dingin apalagi. Panas tetaplah panas. Puasa tetaplah puasa. Siang bolong tetaplah neraka. Tiada toleransi tentu saja.

Tapi bagi Hengki, selalu ada toleransi.

“Pantesan maeng sampek kene keri dewe, lah wong mampir mokel sek!” ujar Wiendo, punggawa motor box tambun yang membongkar isi tas kecil Hengki—yang dibawanya selain tas kresek biadab itu—sesaat seusai salat Jumat. Dia menemukan dua buah Sari Roti coklat. Andai saja ini bukan siang hari bulan puasa, Wiendo tidak perlu sungkan dan berpikir lama untuk mencomot dua-duanya sekaligus.

Saya hanya tertawa menelan ludah sembari mendinginkan badan di lantai masjid dusun yang untungnya lumayan dingin.

Bayangan nasi padang dan es teh, tampak di awang-awang...

***

Kami sedang berada di sebuah dusun antah-berantah, dan akan begitu terus hingga 14 hari ke depan. Dusun yang entah, tidak pernah kami bayangkan dalam fantasi atau mimpi. Dusun yang akhirnya kami tahu bernama Sidowangi. Dusun, tempat segalanya bermula.

Kami sampai disini pada Jumat siang, setelah drama hujan badai dan kegopohan. Perjalanan kurang lebih 50 km Surabaya - Mojokerto mendadak membuat saya tidak ingat apakah saya sahur tadi pagi. Saya rasa tidak karena perut rasa-rasanya hanya berisi angin. Untuk urusan perut saya memang masih bisa tahan, tapi untuk urusan kerongkongan, rasa-rasanya air wudhu itu tadi begitu segar untuk diteguk barang sekali atau dua. Tapi saya sudah berjanji terlebih dulu untuk tidak melakukan dosa di hari pertama di tempat KKN—takut apes dan tidak diridhoi. Dan tidak akan melanggarnya atas nama toleransi sekalipun.

Tapi godaan, Ya Tuhan. Entah, tanpa sadar tahu-tahu saja saya sudah berada di sebuah warung kecil pinggir jalan. Dengan segelas es teh gelas besar di depan mata. Bersama si bos besar, perusuh utama di GTA San Andreas dalam versi nyata, Thug Life baby boy: Eko a.k.a Tyo.

Saya hanya niat memesan segelas es teh saja. Sepertinya masih cukup kuat untuk tidak makan sampai berbuka nanti. Tapi Tyo membuat hari bulan Ramadan jadi seperti hari-hari biasa saja.

“Kulo pecel setunggal!”

Bangsat. Dia malah memesan sepiring. Tahu begitu saya pesan juga. Tapi sudah kepalang gengsi dengan bibi-bibi penjualnya. Saya geledah saja isi tas, menyulut tumbuh-tumbuhan yang tinggal beberapa batang. Sementara Tyo makan dengan lahapnya, saya mengasap sendirian. Menyalakan dupa beraroma.

Seusai melakukan aktivitas berbuka sebelum magrib, saya dan Tyo kembali menuju basecamp. Sepatu saya yang basah kuyup kena hujan keparat tadi pagi sempat saya jemur sebelum salat Jumat. Dan sulit dipercaya, sepatu tersebut sudah kering tanpa sisa lembab sedikitpun padahal hanya saya jemur tidak lebih dari dua jam. Keajaiban. Pantas orang zaman dulu sempat beramai-ramai menyembah matahari. Sementara itu, teman-teman yang ada di basecamp terlihat sudah roboh, terkapar dengan mulut memutih dan kerongkongan yang mencekik perih. Balai dusun tempat kami bermalam untuk dua minggu kedepan tidak sempat diperhatikan lebih dalam lagi. Ada lantai dingin, ada bantal tergeletak, persetan tas dan tetek bengek lainnya yang berserakan, langsung saja tiduri demi membunuh lemas dan mata kunang-kunang. Saya saja yang sempat meneguk es sudah sedemikian tidak tahan untuk segera tiduran, apalagi teman-teman yang masih menjaga puasanya. Beberapa anak terlihat masih membereskan barang-barangnya, beberapa lainnya melamun di pojokan, beberapa lainnya sibuk mengutak-atik gadgetnya, beberapa pemalas seperti saya dan Aminul, tentu saja sudah rebah dengan mulut terbuka. Tyo malah terlihat membongkat tas gunungnya, mengeluarkan bantal balon anak pendaki, meniupnya sampai jadi empuk, dan secepat itulah dia pergi ke alam nirwana.

“Kadal, wareg sego pecel langsung tepar!” batin saya.

Kami terbangun tidak terlalu lama dari waktu kami tidur. Dua jam cukup untuk tidur siang, setidaknya bagi saya. Sementara bagi si jangkung yang saya baru kenal beberapa menit sebelum berangkat kesini, tidur sampai hampir mampus sekalipun mungkin tetap terasa kurang. Ikbal, bocah Pamekasan, salah satu tukang pukul jurusan, bajingan tidak tahu adat, pemalas cungkring gemar ngorok yang bisa tidur hampir seharian, mengajari saya trik mendominasi bantal orang.

“Liyane turu bantal siji gawe wong telu, Bajingan Ikbal iki bantal siji diijeni dewean.” Gumam saya. Tentu saja karena Ikbal memencar jauh dari gerombolan tukang tidur, menjauh demi mendominasi gumpalan kapuk.

Badan sudah segar kembali. Tinggal menunggu adzan maghrib dan kita resmi berbuka di desa orang untuk pertama kalinya. Siapa pemegang tampuk kuasa dapur sudah tidak penting: yang penting makan, kenyang dan ‘hidup kembali.’ Tim dapur yang saya tahu adalah Ayuk dan Nila: keduanya sama-sama kurus (atau cungkring, atau langsing? Saya bingung mendefinisikannya), kecil, imut-imut, tapi jadi paling berkuasa atas hidup matinya anak KKN dari siapapun yang berada disitu. Bila keduanya tidak bisa memberi jaminan, serahkan saja pada koki dadakan Wiendo, yang sepertinya sudah teruji dan terbukti dengan badannya yang jumbo: tipikal orang macam begini biasanya ahli urusan perut dan penggorengan. Yah meski tiap hari tempe lagi-tempe lagi. Tempe goreng, siap. Tumis tempe, siap. Orak-arik tempe, siap. Tempe balado, siap. Soto tempe, siap. Soto tempe sodara!

Hari ini tiada kegiatan apapun yang berarti—kecuali permainan tebak-tebak buah manggis dari tim SDM dimana awalnya kalian diberi nama palsu nan busuk (saya mendapat nama Entong entah bagaimana asal muasalnya), disuruh menghafalkan, dan akan tiba gilirannya kamu akan disuruh menyebut nama asli dan nama palsu seluruh temanmu atas nama kekompakan, dan hukuman menyedihkan dicelonteng di muka bila salah menebak: saya seperti sedang berada di diklat pramuka saja—dan untuk itu saya kemudian hanya melihat-lihat dan mengamati seperti apa desa tempat saya berada ini.

Mendeskripsikan Sidowangi agaknya tampak seperti desa pada umumnya saja. Cenderung sepi dan kondusif. Tetangga sekeliling juga tampaknya baik dan welcome, apalagi Pak RT yang tinggal bersebelahan dengan balai dusun dimana beliau sudah turut membantu memasangkan pelindung atap sampai tanjakan parkir khusus untuk kami. Dari balai desa, Dusun Sidowangi tempat kami berada ini dapat ditempuh dengan jarak hanya 5 menit, dengan melewati hamparan sawah tebu nan luas yang sepertinya jadi mata pencaharian utama warga sini. Desa yang kami tempati juga hanya 20 menit saja dari pusat kota, jadinya tidak bisa dibilang terpencil dan bahkan ada loundry kiloan dan minimarket juga. Tak kalah penting ada pom bensin yang menandakan desa ini bukan seperti desa primitif di pedalaman Zimbabwe. Dan yang paling krusial, sinyal, juga tak mengecewakan. Jaringan H+ lancar-lancar saja, cukup ngebut untuk melihat YouTube sekalipun (mengingat saya sering melakukannya karena waktu itu sedang penasaran seperti apa lagu di album terbaru Blink 182 dan The Strokes). Lupakan miss komunikasi dengan pacar karena jaringan desa yang busuk; jaringan disini bahkan lebih dari mampu untuk melakukan Skype. Meski di sehari-dua hari ada gangguan resmi dari Indosat, tapi selebihnya tidak ada, lancar jaya aman sentosa.

Tempat tinggal kami sendiri (atau sebut saja basecamp biar keren) mungkin awalnya terlihat payah. Bayangkan, kami tampak seperti pengungsi yang harus tidur di balai dusun; sebuah ruangan terbuka berbentuk joglo dimana disitulah kami melakukan aktivitas sehari-hari: makan, tidur, rapat, ngelamun, ngerasani, dan lain-lain. Ada tiga ruang tersisa memang di dalam: satu kamar mandi (sepertinya tempat memandikan mayat dimana di dalamnya berisi peralatan dan juga payung jenazah menyeramkan), satu ruang kosong untuk menaruh barang-barang; tas, beras, sandal, sarung, make up, boneka, dingdong, dan lain sebagainya, dan satu lagi ruang untuk tidur, ganti baju dan dandan para perempuan (mengingat hanya dua orang perempuan yang tidur di luar yakni Ayuk dan Manda, sisanya meringkuk di dalam dengan enjoynya). Bisa dibayangkan kami seperti jemaah sekte sesat yang terusir, untuk kemudian tinggal di barak pengungsian dengan seluruh aktivitas tumplek blek di pelataran balai desa. Kita terbiasa untuk tidur dengan nyaman di tempat dimana kita sebelumnya makan dan masak dengan berkotor-kotor ria. Seluruh laki-laki tidur di luar tanpa kecuali (mau dimana lagi). Dengan dua perempuan yang kami kelilingi: Ayuk dan Manda dengan kasur lipat, bantal empuk, dan selimut, sementara kaum lelaki hanya bermodalkan sarung, kadang hanya lantai tanpa alas. Itulah sebabnya mengapa para lelaki jadi kalap dan sering berebut untuk tidur di sisi Ayuk dan Manda: berangkali bisa mencicipi selimut, kasur atau sedikit bantal—atau, ehm, kapanlagi coba tidur di sebelah cewek—kan lumayan.

Tapi entah mengapa saya selalu tidak kebagian jatah. Selalu saja Anugrah, Breng dan Aminul, tiga bajingan beruntung yang kebagian kebahagiaan tersebut. Gerombolan lelaki lain cukup hanya tidur di lantai—kadang beralas karpet kadang tidak—dengan bantal, jika ada—seringkali dengan berbantal tangan sendiri atau pantat teman. Dan mau tak mau kami harus menyusun rencana demi kemaslakhatan dan kesejahteraan bersama.

Dan, Fitra, ceblong murah senyum, teknisi mesin keparat, tukang tertawa cekikik dengan nada paling menghina ini, membuka jalan kesejahteraan itu.

Problematika utama tidur di luar adalah udaranya yang dingin. Apalagi saat hujan turun di malam hari. Tanganmu serasa beku. Telapak kakimu mati rasa. Dan, ehm, kamu jadi ingin kencing melulu. Bangsat. meskipun sudah ada jaket tapi toh sama saja, dinginnya bak bandeng presto, menembus melunakkan tulang. Lucky bastard Anugrah, Aminul dan Breng masih cukup beruntung karena tidur mereka selalu mengelilingi para perempuan yang dengan begitu mereka masih kebagian hangat—dan sensasi bobo sama gadis. Tetapi 76% lelaki tetap akan menyumpah serapah dan memaki betapa bangsatnya udara, dan menyesali kebodohan kenapa tidak membawa selimut atau tenda saja saat berangkat.

Di saat situasi macam itu, saya kebetulan mendapat satu panggilan masuk, yang membuat saya terpaksa harus bangun dan mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol sekaligus ngudud. Di luar sungguh bajingan, terlalu dingin untuk tidur apalagi untuk telfonan. Saya memutuskan memasuki ruangan dimana tempat penyimpanan barang berada. Tempat yang penuh sesak oleh barang gawanane arek-arek. Penuh tas, koper, beras, elpiji, cucian kotor, sampah, dan lain sebagainya. Saya tertegun sejenak. Sesosok jin tomang dengan mulut terbuka, tergeletak tepat di depan mata saya.

Naaah, yoikiiiiii sing digoleki...

Ternyata itu adalah Fitra yang sedang tertidur dengan pulasnya. Berbantal tas, berselimut sarung-sarung yang bergeletakan, di tengah udara ruangan yang tentu saja cukup hangat dibanding salju di luar. Pintar juga ini musang, pikir saya. Ide bagus. Brillian. Meski kaki-kakinya menyerobot barang-barang anak-anak, ah tidak peduli, yang penting hangat dan nyaman.

Dan, setelah itu kami mengenal ruangan itu sebagai kandang macan. Ruang tidur lima orang begundal yang ogah merasakan dingin dan gaduh di luar. Tidak pernah ada yang tidur di dalam selain kami: saya, Fitra, Hengki, Tyo dan Ikbal; gerombolan penolak dingin, para pemuda menye yang butuh belai kehangatan, sekumpulan jablay haus kasih sayang yang tak pernah dapat kesempatan ‘bobo sama gadis.’

Kamar baru nan nyaman untuk dua minggu ke depan sudah ditemukan. KKN ini sepertinya akan terus berlanjut.

Welcome To Sidowangi, Baby!

penghuni tetap kandangxmacan
yoiki
(bersambung)