IV.
Bagaimana
Pos Daya Ekonomi dan Jins Robek Membuat Kemaluanmu Berpindah
TEKNIK MEMEGANG MICROFONE ALA-ALA VOKALIS SERINGAI DI DEPAN IBU-IBU PKK: TUTORIAL BESERTA GAMBAR |
aku merindukan berdiri di ubin ini |
Ajo Kawir dan Si Tokek, calon kades Sidowangi 2098 |
Bersama Pak Polo membahas pentingnya caption pada sebuah foto. |
Segalanya adalah omong
kosong, pikir saya. Jadi apa saja yang terjadi, lekaslah setuju; daripada lama
dan berbelit-belit. Pun saat saya ditunjuk—dengan sebelumnya celingukan
kesana-kemari mencari sasaran yang pas—oleh si ketua, Anugrah, untuk menjadi
ketua Pos Daya Ekonomi. Mungkin sebaiknya saya menolak habis-habisan: saya
tidak pernah terlalu mengerti apa itu neraca, anggaran, analisis SWOT,
bla-bla-bla meski dirumah, Ibu adalah lulusan fakultas ekonomi. Ekonomi memang
penting, Orde Baru saja sampai memuja-mujanya. Tapi saya tidak terlalu paham
dengan yang semacam itu—kecuali tentu saja uang. Tapi ya sudahlah. Hari sudah
tampak pekat. Saya bosan. Gerah. Ikuti saja maunya dia. Dan masuklah
siapa-siapa yang tidak hadir ke dalam Pos Daya yang terakhir dibahas ini.
Kelompok sisa-sisa? Mereka menyisakan sisa-sisa untuk Pos Daya Ekonomi? Kurang
ajar! Tapi tidak mengapa toh Nila, bendahara paling loyal sepanjang sejarah dan
Sylvia, pakar dari Jurusan Ekonomi, masuk ke dalam tim ini. Sisanya: dua
bajingan yang tidak masuk hari itu, Tyo dari Teknik Mesin dan Wisnu dari Bahasa
Jawa. Ketuanya? Saya dari Sastra Indonesia. Jangan bayangkan bagaimana
anjingnya; ini tim ekonomi tersolid sekaligus terbusuk sepanjang sejarah.
Pos daya ekonomi terus
terang adalah yang paling mblendes dari pos daya yang ada. Saya tidak pernah
membuat terobosan, saya biarkan mengalir saja. Saat beberapa ketua pos daya
mempresentasikan proyek apa yang akan mereka kerjakan, saya hanya akan bilang
sepatah-dua patah kalimat:
“Mohon
maaf, mungkin ini Pos Daya yang paling mbeler, silakan aja kalian-kalian kasih
masukan apa yang harus dikerjakan pos daya ini, mengingat saya dan kawan-kawan
sudah buntu.”
Dan tolong jangan
tafsirkan kebuntuan ini sebagai sikap seorang pemalas. Itu tolol. Saya hanya
beranggapan bahwa KKN kadangkala harus diselingi sedikit improvisasi; membaur
bersama warga, menjadi warga sana setidaknya selama dua minggu, dan melebur
dalam masyarakat. Semua proyek atau proposal rencana kegiatan boleh saja
dikerjakan, tapi jangan lupakan: ini adalah kuliah kerja nyata, jadi kehidupan
disana berbeda dengan kehidupan kuliah yang teoretis. Jika rencana sudah
sedemikian dipakemkan—bahkan sampai terlalu rinci—lalu apa yang menarik dari
KKN? Untuk tim ekonomi sendiri, ada upaya untuk membuat proyek dimana kami
membuat suatu produk, atau sejenis UMKM (atau whatever you name it), untuk
kemudian diajarkan kepada warga sana. Usulan ini saya terima. Dan saya kemudian
berkoordinasi dengan beberapa teman—dan kemudian seluruhnya saat rapat
besar—manakala ada yang bisa membuat kerajinan, atau entahlah, barang yang bisa
meningkatkan taraf ekonomi warga, silakan tolong unjuk diri dan membantu pos
ekonomi. Mereka mungkin bisa mengajarkan ilmunya kepada warga, dan untuk
kemudian warga bisa membuat barang tersebut lalu menjualnya. Jadilah uang. Tapi
nyatanya tidak ada seorang pun yang unjuk diri. Jadi seolah beban ini hanya pos
daya ekonomi yang menanggung.
Lima orang anggota pos
ekonomi kemudian melakukan rapat kecil-kecilan. Nol besar. Kami tidak pandai
membuat kerajinan apapun. Bangsat. Saya anak sastra, mentok bikin puisi cabul
atau cerita dewasa, Tyo, mentok mempreteli mesin kulkas, Wisnu sibuk dengan
gamelan dan wayang goleknya. Sementara andalan pos ekonomi nyatanya juga
menguasai teknik ekonomi dan pemasarannya saja, bukan dengan membuat kerajinan.
Usulan lain pun masuk:
“Disana
itu ada orang bikin gelang-gelang gitu, mungkin kalian juga bisa bikin kayak
gitu terus nanti diajarkan ke mereka!”
Oke. Baik. Saya
mengerti. Mengerti sekali. mungkin jika kalian mengerti, usul diatas
teramat..., uh! Ada dua kemungkinan dari usul ini, yang kesemuanya bullshit
omong kosong dan layak disiram di lubang kakus. Pertama, pos daya ekonomi akan
membuat gelang-gelang juga, dan nantinya akan diajarkan ke warga yang kesehariannya
membuat gelang. Ada yang aneh dari kelimat tersebut? Sama saja kita yang
misalnya bengek disuruh belajar berlari untuk kemudian disuruh mengajari pelari
maraton 100 km yang memang sehari-harinya berlari. Kesia-siaan macam apa ini?
bukankah seharusnya orang yang lebih ahli mengajari orang yang baru belajar dan
bukan sebaliknya? Tidak ada botol-botol malam itu. Tapi saya sudah mabuk urat
syaraf.
Kemungkinan kedua sama
mabuknya: pos daya membuat gelang tapi lebih bagus dari gelang buatan mereka,
dan kemudian diajarkan. Ini seperti menyalahi kodrat, seperti kucing makan
rumput. Mereka bertahun-tahun menggeluti itu, sementara kami dengan kemampuan
teknik bau kencur, disuruh membuat lebih baik dari mereka. Sepertinya kita
melupakan apa yang paling jadi keniscayaan dalam penciptaan: yap, benar,
proses! Usulan tersebut melupakan hal itu. Dan bahkan bila dua kemungkinan itu
dijalankan, apa kami tidak merasa keminter, sotoy, songong, mengajari warga
desa seakan-akan kami lebih pintar saja—mentang-mentang kuliah. Justru kamilah
yang harus belajar dan melebur dengan warga, begitu pemikiran saya. Percuma
kalian kuliah, pinter, tapi nyatanya tidak bisa melebur bersama masyarakat.
Mending... ngopi saja sama dosen.
Lagipula saya tidak
percaya warga sana sebodoh itu. Jika ada warga yang pandai pastilah mau
berbagi. Pun urusan gelang yang menyangkut UMKM. Kue-kue ekonomi pastilah
dibagi secara guyub merata. Akhirnya saya dengan simpelnya saat ditagih program
ekonomi oleh Ketua Anugrah, menjelaskan dengan apa adanya.
“Oke,
kami nggak ada yang bakat kerajinan gitu-gituan. Kalian yo nggak ada. Kami
buntu harus gimana. Yasudah, kami manfaatin apa yang kami bisa aja, jadi pos
daya ekonomi disana cuman memaksimalin apa yang udah aja, kita ngebantu mereka,
kita diskusi bareng mereka, kalau mereka kesulitan masalah pemasaran, kita
bantuin.” Peduli
setan. Intinya improve saja. Jadi menyusun prokernya baru setelah dua-tiga hari
disana. Ide bagus sih. Menurut saya doang tapi.
Tapi Tuhan, tiba-tiba
Dini DR, kumis baplang bajingan, cecunguk brengsek Manukan, pria ceking
bercelana jins lebar, memamerkan tab-nya. Breng—nama panggilannya—membuat pos
daya ekonomi menemukan titik cerah; meski sebenarnya makin membuat otak saya
kesemutan, pun juga Wisnu, Tyo, Sylvi dan Nila.
Tab menampilkan YouTube.
“Kerajinan Tangan dari Ampas Tebu.” Dan saya baru sadar jika disana ladang tebu
menghampar dengan luasnya.
Selanjutnya saya bersama
Wisnu menggodok konsep dari Kerajinan Ampas Tebu ini. Uang dari bendahara Nila
cukup banyak, 300 ribu—dan padahal saya hanya minta kurang dari 100. Membeli
perlengkapan bersama Wisnu di H-2 jelang KKN. Mencari barang di toko bangunan,
mengitari stationery, dan sepertinya harus ada alokasi dana khusus untuk
bensin, yang kebetulan saat itu memakai motor Wisnu. Tapi tolong, jangan melulu
uang dan penggelapan. Tidak seperti itu, dan untungnya Wisnu adalah tipe yang
loyal juga.
“Halah,
gapapa wis bro santai! Bensin ae lho!”
saya mencium basah Wisnu di ubun-ubun.
KKN sudah resmi dimulai.
Hari itu hari Senin, yang berarti acara pertama akan dimulai, dimana tiap ketua
Pos Daya harus menyampaikan programnya. Dan brengseknya, tanpa saya duga, acara
itu dihadiri banyak tokoh: pak lurah, pak polo (semacam RW), pak RT, ketua
karang taruna, ibu-ibu PKK, ustadz, warga terpandang, dan sebagainya. Saya
benci yang semacam ini. Acara tiba-tiba menjadi resmi. Saya yang mengira akan
presentasi sambil duduk di mejakursi panjang yang telah disediakan di depan,
ternyata harus berdiri. Aturannya: mejakursi itu untuk duduk pak lurah dan para
birokrat desa. Tampak Bu Sekdes—yang berpenampilan glamour dan bermuka seperti
orang-orang kaya yang gemar memilih-milih mobil di dealer—dan juga anak
buahnya. Saya bisa apa.
Sambil menahan gemetar
di belakang—jujur ini adalah pengalaman yang menegangkan, belum pernah
sebelumnya saya berbicara di depan orang-orangso called, ‘penting—saya memilih
menyulut jumput rerumputan sembari menghembuskannya. Hengki yang berbakat
improvisasi dijadikan MC, dan benar, ia membawakan acara dengan percaya diri,
dan rapi. Jangan lupakan, Hengki semakin menjadikan acara ini resmi.
Satu-persatu ia mulai menampilkan lima orang ketua Pos Daya: Pendidikan, Agama,
Lingkungan Hidup, Kesehatan dan Ekonomi. Saya sudah berunding dengan Hengki si
MC—kebetulan sekali dia dan saya amat CS—dan disepakati Pos Daya Ekonomi yang
saya wakili—dan karena sayalah ketuanya—akan maju di urutan ketiga. Catat,
ketiga. Maju di urutan pertama mungkin cukup buruk: mereka langsung disuruh
bertindak tanpa tahu situasi sebelumnya. Tapi baiknya tiada perbandingan dengan
penampil sebelumnya, jadi baik buruk tidak jadi masalah. Yang pertama maju saya
ingat betul adalah Fitra, kawan angkatan 2012 dari jurusan Teknik Mesin. Dia
transfer dari D3 menuju S1. Kelihatannya begitu: Fitra yang anak teknik cukup
mampu menguasai mesin, tapi tampak pucat dan gugup di depan. Saya jadi semakin
tak karuan. Sebentar lagi giliran saya. Anjing. Selanjutnya Bang Syakur,
mewakili Pos Daya Agama. Tampangnya memang seperti motor combo dengan tiga box,
menumpuk di belakang. Besar, dan cukup percaya diri. Dia bicara dengan singkat
sekali. Dan disini saya mulai memikirkan sesuatu.
“Sek,
sek, aku iki engkok arep ngomong opo cok!”
Akhirnya saya sadar.
Saya langsung mengambil sebuah bagian di otak yang berfungsi untuk mencatat,
saya ulang-ulang, sedemikian rupa, sampai saya hafal poin-poin yang akan saya
baca. Tapi tetap saja.
“Sek,
sek, jancok lali arep ngomong opo!”
Fuck. Anjing. Sial! Saya
bingung sendiri dan makin bingung saat Hengki mengucapkan terima kasih karena
presentasi Syakur telah usai. Bangsat, giliran saya.
“Baiklah” ujar Hengki. “Selanjutnya adalah penampilan dari teman saya, yang cukup
berpengalaman dan menguasai bidangnya. Dia sudah bisa dibilang master di bidang
ini.” tambah Hengki.
Apa-apaan sialan.
Berlebihan. Saya tidak sedramatik dan sehiperbolis itu.
“Kita
panggil Mas Aminul dari Pos Daya Lingkungan Hidup!”
Anjing biadab! Tidak
sesuai rencana! Hengki mungkin lupa karena terlalu asyik dengan obrolan ngalor-ngidulnya—yang
sempat saya ‘rasani’ bareng Anugrah yang sedari tadi sepertinya ngelamun jorok di
belakang (‘jancok Hengki iki improve yo
improve, tapi lek ngene iki kebangeten improve, kesuwen cok!’) jadilah saya
yang semula sudah melobby Hengki untuk memanggil saya di urutan ketiga, menjadi
kembali sesuai urutan awal di catatan acara, yakni kelima alias terakhir. Asu.
Tidak ada cara lain. Saya mengabaikan pidato Aminul. Menyumbat kembali mulut
dengan rempah tumbuh-tumbuhan. Tapi bangsat, makin sialan saja rasanya. Apalagi
saat Hengki mulai memanggil salah satu kawan klop saya, Ikbal.
“Oke,
penampilan keempat, seorang kawan saya dari Madura, datang jauh-jauh kesini
hanya untuk mempresentasikan bidang kesehatan. Dia paling aktif di camp, dan
amat sangat sibuk sehingga tak sempat tidur, kita sambut Mas Ikbal!” ujar Hengki.
Bajingan ini makin
tengik. Semuanya tentu saja paham ironinya. Dan tertawa dan bertepuk tangan
keras. Andai saja hadirin-hadirat itu tahu bahwa Ikbal di camp dijuluki sebagai
‘raja tidur’—dia bisa tidur dari subuh hingga jelang magrib—maka mungkin Balai
Desa akan seramai reuni Keluarga Persaudaraan Om Monata. Hengki sungguh, si
anjing. Saya mulai tidak karuan. Tengik. Ikbal saja dipermalukan, bagaimana
saya. Asu!
Dan tibalah saatnya.
“Ya,
demikian bapak-bapakdan ibu-ibu presentasi dari Ikbal. Sekarang saatnya,
penampilan terakhir, yang ditunggu-tunggu...”
COK HENG!
“Penampilan
dari kawan saya, yang ini asal Pasuruan. Anak ini sudah pakar dan paham betul
tentang ekonomi. Baiklah, kita sambut Tito dari Pos Daya Ekonomi!”
JUANCOK!
Saya hanya bisa
menggelengkan kepala. Topi tetap saya pakai—dan persetan tidak ada yang memakai
topi atas nama sopan santun. Anjing. Saya sudah tidak peduli. dan kadang memang
ketidakpedulian memunculkan kepercayaan diri. Sialan. Tapi tetap saja tidak
bisa menutupi nervous busuk ini. Tapi mau tak mau saya harus maju, mencoba
senyum semanis mungkin, meraih microfon,
Dan... terjadilah.
Entah apa yang terjadi.
Mulut saya sialan. Saya rasa saya berbicara panjang lebar, dan... tertular gaya
improvisasi Hengki. Bangsat. Ini mungkin penampilan terlama di acara ini. Dan
saya masih berputar-putar pada cerita tidak jelas: balada tukang es tebu yang
tentu saja saya mengarang di tempat—memamerkan kemampuan anak sastra sebagai
tukang bual nomor satu. Tapi apapun itu tidak ada yang mengalahkan kejutan yang
telah saya persiapkan di saku.
“Jadi,
limbah ampas tebu itu bisa jadi sebuah karya seni kriya yang mengagumkan, penuh
estetika dan tidak lupa menambah nilai jual.” Saya berkata sok meyakinkan, kemudian mengeluarkan benda
itu dari saku.
Bangsat sialan. Mengapa
mereka tertawa. Salah satu ibu PKK mencoba jadi juru bicara keadaan.
“Oalah
mas, tak pikir sampean pamer kerajinane, tibake pamer ampas tebune!”
Ya Tuhan, buk! kami saja
baru memungut ampas kemarin sore, dan bahkan belum yakin akan apa yang akan
kami lakukan. Ini adalah proyek nekat sialan. Semoga berhasil. Maaf atas
presentasi tipuan tersebut. Toh tetap saja dipermalukan dan ditertawakan.
Dan... tidak berhenti
disitu...
Ibu Sekretaris Desa
berkomentar, di depan khalayak, di depan tokoh-tokoh penting desa, di depan
teman-teman, di balai desa, menggunakan micorofon dengan ampli menggelegar,
dengan muka sinis dan kerlingan ibu-ibu pemangsa.
“Mas,
boleh saya mengkritik sedikit?”
tanya Bu Sekdes.
Iya, bu, to the point
saja...
“MOHON
KALAU PRESENTASI DI ACARA SEPERTI INI JANGAN PAKAI CELANA SOBEK-SOBEK GITU YA!
MASAK JINS SOBEK SEMUA GITU DIPAKAI D ACARA SEPERTI INI...”
ANJING!!!
Saya rasa kemaluan saya telah
berpindah di muka. Terima kasih hadirin dan hadirat sekalian...
(Bersambung)