Sunday, October 16, 2016

14 Hari Untuk Selamanya (Bagian 4)

IV.
Bagaimana Pos Daya Ekonomi dan Jins Robek Membuat Kemaluanmu Berpindah







TEKNIK MEMEGANG MICROFONE ALA-ALA VOKALIS SERINGAI DI DEPAN
IBU-IBU PKK: TUTORIAL BESERTA GAMBAR
aku merindukan berdiri di ubin ini
Ajo Kawir dan Si Tokek, calon kades Sidowangi 2098
Bersama Pak Polo membahas pentingnya caption pada sebuah foto.
Segalanya adalah omong kosong, pikir saya. Jadi apa saja yang terjadi, lekaslah setuju; daripada lama dan berbelit-belit. Pun saat saya ditunjuk—dengan sebelumnya celingukan kesana-kemari mencari sasaran yang pas—oleh si ketua, Anugrah, untuk menjadi ketua Pos Daya Ekonomi. Mungkin sebaiknya saya menolak habis-habisan: saya tidak pernah terlalu mengerti apa itu neraca, anggaran, analisis SWOT, bla-bla-bla meski dirumah, Ibu adalah lulusan fakultas ekonomi. Ekonomi memang penting, Orde Baru saja sampai memuja-mujanya. Tapi saya tidak terlalu paham dengan yang semacam itu—kecuali tentu saja uang. Tapi ya sudahlah. Hari sudah tampak pekat. Saya bosan. Gerah. Ikuti saja maunya dia. Dan masuklah siapa-siapa yang tidak hadir ke dalam Pos Daya yang terakhir dibahas ini. Kelompok sisa-sisa? Mereka menyisakan sisa-sisa untuk Pos Daya Ekonomi? Kurang ajar! Tapi tidak mengapa toh Nila, bendahara paling loyal sepanjang sejarah dan Sylvia, pakar dari Jurusan Ekonomi, masuk ke dalam tim ini. Sisanya: dua bajingan yang tidak masuk hari itu, Tyo dari Teknik Mesin dan Wisnu dari Bahasa Jawa. Ketuanya? Saya dari Sastra Indonesia. Jangan bayangkan bagaimana anjingnya; ini tim ekonomi tersolid sekaligus terbusuk sepanjang sejarah.

Pos daya ekonomi terus terang adalah yang paling mblendes dari pos daya yang ada. Saya tidak pernah membuat terobosan, saya biarkan mengalir saja. Saat beberapa ketua pos daya mempresentasikan proyek apa yang akan mereka kerjakan, saya hanya akan bilang sepatah-dua patah kalimat:

“Mohon maaf, mungkin ini Pos Daya yang paling mbeler, silakan aja kalian-kalian kasih masukan apa yang harus dikerjakan pos daya ini, mengingat saya dan kawan-kawan sudah buntu.”

Dan tolong jangan tafsirkan kebuntuan ini sebagai sikap seorang pemalas. Itu tolol. Saya hanya beranggapan bahwa KKN kadangkala harus diselingi sedikit improvisasi; membaur bersama warga, menjadi warga sana setidaknya selama dua minggu, dan melebur dalam masyarakat. Semua proyek atau proposal rencana kegiatan boleh saja dikerjakan, tapi jangan lupakan: ini adalah kuliah kerja nyata, jadi kehidupan disana berbeda dengan kehidupan kuliah yang teoretis. Jika rencana sudah sedemikian dipakemkan—bahkan sampai terlalu rinci—lalu apa yang menarik dari KKN? Untuk tim ekonomi sendiri, ada upaya untuk membuat proyek dimana kami membuat suatu produk, atau sejenis UMKM (atau whatever you name it), untuk kemudian diajarkan kepada warga sana. Usulan ini saya terima. Dan saya kemudian berkoordinasi dengan beberapa teman—dan kemudian seluruhnya saat rapat besar—manakala ada yang bisa membuat kerajinan, atau entahlah, barang yang bisa meningkatkan taraf ekonomi warga, silakan tolong unjuk diri dan membantu pos ekonomi. Mereka mungkin bisa mengajarkan ilmunya kepada warga, dan untuk kemudian warga bisa membuat barang tersebut lalu menjualnya. Jadilah uang. Tapi nyatanya tidak ada seorang pun yang unjuk diri. Jadi seolah beban ini hanya pos daya ekonomi yang menanggung.

Lima orang anggota pos ekonomi kemudian melakukan rapat kecil-kecilan. Nol besar. Kami tidak pandai membuat kerajinan apapun. Bangsat. Saya anak sastra, mentok bikin puisi cabul atau cerita dewasa, Tyo, mentok mempreteli mesin kulkas, Wisnu sibuk dengan gamelan dan wayang goleknya. Sementara andalan pos ekonomi nyatanya juga menguasai teknik ekonomi dan pemasarannya saja, bukan dengan membuat kerajinan. Usulan lain pun masuk:

“Disana itu ada orang bikin gelang-gelang gitu, mungkin kalian juga bisa bikin kayak gitu terus nanti diajarkan ke mereka!”

Oke. Baik. Saya mengerti. Mengerti sekali. mungkin jika kalian mengerti, usul diatas teramat..., uh! Ada dua kemungkinan dari usul ini, yang kesemuanya bullshit omong kosong dan layak disiram di lubang kakus. Pertama, pos daya ekonomi akan membuat gelang-gelang juga, dan nantinya akan diajarkan ke warga yang kesehariannya membuat gelang. Ada yang aneh dari kelimat tersebut? Sama saja kita yang misalnya bengek disuruh belajar berlari untuk kemudian disuruh mengajari pelari maraton 100 km yang memang sehari-harinya berlari. Kesia-siaan macam apa ini? bukankah seharusnya orang yang lebih ahli mengajari orang yang baru belajar dan bukan sebaliknya? Tidak ada botol-botol malam itu. Tapi saya sudah mabuk urat syaraf.

Kemungkinan kedua sama mabuknya: pos daya membuat gelang tapi lebih bagus dari gelang buatan mereka, dan kemudian diajarkan. Ini seperti menyalahi kodrat, seperti kucing makan rumput. Mereka bertahun-tahun menggeluti itu, sementara kami dengan kemampuan teknik bau kencur, disuruh membuat lebih baik dari mereka. Sepertinya kita melupakan apa yang paling jadi keniscayaan dalam penciptaan: yap, benar, proses! Usulan tersebut melupakan hal itu. Dan bahkan bila dua kemungkinan itu dijalankan, apa kami tidak merasa keminter, sotoy, songong, mengajari warga desa seakan-akan kami lebih pintar saja—mentang-mentang kuliah. Justru kamilah yang harus belajar dan melebur dengan warga, begitu pemikiran saya. Percuma kalian kuliah, pinter, tapi nyatanya tidak bisa melebur bersama masyarakat. Mending... ngopi saja sama dosen.

Lagipula saya tidak percaya warga sana sebodoh itu. Jika ada warga yang pandai pastilah mau berbagi. Pun urusan gelang yang menyangkut UMKM. Kue-kue ekonomi pastilah dibagi secara guyub merata. Akhirnya saya dengan simpelnya saat ditagih program ekonomi oleh Ketua Anugrah, menjelaskan dengan apa adanya.

“Oke, kami nggak ada yang bakat kerajinan gitu-gituan. Kalian yo nggak ada. Kami buntu harus gimana. Yasudah, kami manfaatin apa yang kami bisa aja, jadi pos daya ekonomi disana cuman memaksimalin apa yang udah aja, kita ngebantu mereka, kita diskusi bareng mereka, kalau mereka kesulitan masalah pemasaran, kita bantuin.” Peduli setan. Intinya improve saja. Jadi menyusun prokernya baru setelah dua-tiga hari disana. Ide bagus sih. Menurut saya doang tapi.

Tapi Tuhan, tiba-tiba Dini DR, kumis baplang bajingan, cecunguk brengsek Manukan, pria ceking bercelana jins lebar, memamerkan tab-nya. Breng—nama panggilannya—membuat pos daya ekonomi menemukan titik cerah; meski sebenarnya makin membuat otak saya kesemutan, pun juga Wisnu, Tyo, Sylvi dan Nila.

Tab menampilkan YouTube. “Kerajinan Tangan dari Ampas Tebu.” Dan saya baru sadar jika disana ladang tebu menghampar dengan luasnya.

Selanjutnya saya bersama Wisnu menggodok konsep dari Kerajinan Ampas Tebu ini. Uang dari bendahara Nila cukup banyak, 300 ribu—dan padahal saya hanya minta kurang dari 100. Membeli perlengkapan bersama Wisnu di H-2 jelang KKN. Mencari barang di toko bangunan, mengitari stationery, dan sepertinya harus ada alokasi dana khusus untuk bensin, yang kebetulan saat itu memakai motor Wisnu. Tapi tolong, jangan melulu uang dan penggelapan. Tidak seperti itu, dan untungnya Wisnu adalah tipe yang loyal juga.

“Halah, gapapa wis bro santai! Bensin ae lho!” saya mencium basah Wisnu di ubun-ubun.

KKN sudah resmi dimulai. Hari itu hari Senin, yang berarti acara pertama akan dimulai, dimana tiap ketua Pos Daya harus menyampaikan programnya. Dan brengseknya, tanpa saya duga, acara itu dihadiri banyak tokoh: pak lurah, pak polo (semacam RW), pak RT, ketua karang taruna, ibu-ibu PKK, ustadz, warga terpandang, dan sebagainya. Saya benci yang semacam ini. Acara tiba-tiba menjadi resmi. Saya yang mengira akan presentasi sambil duduk di mejakursi panjang yang telah disediakan di depan, ternyata harus berdiri. Aturannya: mejakursi itu untuk duduk pak lurah dan para birokrat desa. Tampak Bu Sekdes—yang berpenampilan glamour dan bermuka seperti orang-orang kaya yang gemar memilih-milih mobil di dealer—dan juga anak buahnya. Saya bisa apa.

Sambil menahan gemetar di belakang—jujur ini adalah pengalaman yang menegangkan, belum pernah sebelumnya saya berbicara di depan orang-orangso called, ‘penting—saya memilih menyulut jumput rerumputan sembari menghembuskannya. Hengki yang berbakat improvisasi dijadikan MC, dan benar, ia membawakan acara dengan percaya diri, dan rapi. Jangan lupakan, Hengki semakin menjadikan acara ini resmi. Satu-persatu ia mulai menampilkan lima orang ketua Pos Daya: Pendidikan, Agama, Lingkungan Hidup, Kesehatan dan Ekonomi. Saya sudah berunding dengan Hengki si MC—kebetulan sekali dia dan saya amat CS—dan disepakati Pos Daya Ekonomi yang saya wakili—dan karena sayalah ketuanya—akan maju di urutan ketiga. Catat, ketiga. Maju di urutan pertama mungkin cukup buruk: mereka langsung disuruh bertindak tanpa tahu situasi sebelumnya. Tapi baiknya tiada perbandingan dengan penampil sebelumnya, jadi baik buruk tidak jadi masalah. Yang pertama maju saya ingat betul adalah Fitra, kawan angkatan 2012 dari jurusan Teknik Mesin. Dia transfer dari D3 menuju S1. Kelihatannya begitu: Fitra yang anak teknik cukup mampu menguasai mesin, tapi tampak pucat dan gugup di depan. Saya jadi semakin tak karuan. Sebentar lagi giliran saya. Anjing. Selanjutnya Bang Syakur, mewakili Pos Daya Agama. Tampangnya memang seperti motor combo dengan tiga box, menumpuk di belakang. Besar, dan cukup percaya diri. Dia bicara dengan singkat sekali. Dan disini saya mulai memikirkan sesuatu.

“Sek, sek, aku iki engkok arep ngomong opo cok!”

Akhirnya saya sadar. Saya langsung mengambil sebuah bagian di otak yang berfungsi untuk mencatat, saya ulang-ulang, sedemikian rupa, sampai saya hafal poin-poin yang akan saya baca. Tapi tetap saja.

“Sek, sek, jancok lali arep ngomong opo!”

Fuck. Anjing. Sial! Saya bingung sendiri dan makin bingung saat Hengki mengucapkan terima kasih karena presentasi Syakur telah usai. Bangsat, giliran saya.

“Baiklah” ujar Hengki. “Selanjutnya adalah penampilan dari teman saya, yang cukup berpengalaman dan menguasai bidangnya. Dia sudah bisa dibilang master di bidang ini.” tambah Hengki.

Apa-apaan sialan. Berlebihan. Saya tidak sedramatik dan sehiperbolis itu.

“Kita panggil Mas Aminul dari Pos Daya Lingkungan Hidup!”

Anjing biadab! Tidak sesuai rencana! Hengki mungkin lupa karena terlalu asyik dengan obrolan ngalor-ngidulnya—yang sempat saya ‘rasani’ bareng Anugrah yang sedari tadi sepertinya ngelamun jorok di belakang (‘jancok Hengki iki improve yo improve, tapi lek ngene iki kebangeten improve, kesuwen cok!’) jadilah saya yang semula sudah melobby Hengki untuk memanggil saya di urutan ketiga, menjadi kembali sesuai urutan awal di catatan acara, yakni kelima alias terakhir. Asu. Tidak ada cara lain. Saya mengabaikan pidato Aminul. Menyumbat kembali mulut dengan rempah tumbuh-tumbuhan. Tapi bangsat, makin sialan saja rasanya. Apalagi saat Hengki mulai memanggil salah satu kawan klop saya, Ikbal.

“Oke, penampilan keempat, seorang kawan saya dari Madura, datang jauh-jauh kesini hanya untuk mempresentasikan bidang kesehatan. Dia paling aktif di camp, dan amat sangat sibuk sehingga tak sempat tidur, kita sambut Mas Ikbal!” ujar Hengki.

Bajingan ini makin tengik. Semuanya tentu saja paham ironinya. Dan tertawa dan bertepuk tangan keras. Andai saja hadirin-hadirat itu tahu bahwa Ikbal di camp dijuluki sebagai ‘raja tidur’—dia bisa tidur dari subuh hingga jelang magrib—maka mungkin Balai Desa akan seramai reuni Keluarga Persaudaraan Om Monata. Hengki sungguh, si anjing. Saya mulai tidak karuan. Tengik. Ikbal saja dipermalukan, bagaimana saya. Asu!

Dan tibalah saatnya.

“Ya, demikian bapak-bapakdan ibu-ibu presentasi dari Ikbal. Sekarang saatnya, penampilan terakhir, yang ditunggu-tunggu...”

COK HENG!

“Penampilan dari kawan saya, yang ini asal Pasuruan. Anak ini sudah pakar dan paham betul tentang ekonomi. Baiklah, kita sambut Tito dari Pos Daya Ekonomi!”

JUANCOK!

Saya hanya bisa menggelengkan kepala. Topi tetap saya pakai—dan persetan tidak ada yang memakai topi atas nama sopan santun. Anjing. Saya sudah tidak peduli. dan kadang memang ketidakpedulian memunculkan kepercayaan diri. Sialan. Tapi tetap saja tidak bisa menutupi nervous busuk ini. Tapi mau tak mau saya harus maju, mencoba senyum semanis mungkin, meraih microfon,

Dan... terjadilah.

Entah apa yang terjadi. Mulut saya sialan. Saya rasa saya berbicara panjang lebar, dan... tertular gaya improvisasi Hengki. Bangsat. Ini mungkin penampilan terlama di acara ini. Dan saya masih berputar-putar pada cerita tidak jelas: balada tukang es tebu yang tentu saja saya mengarang di tempat—memamerkan kemampuan anak sastra sebagai tukang bual nomor satu. Tapi apapun itu tidak ada yang mengalahkan kejutan yang telah saya persiapkan di saku.

“Jadi, limbah ampas tebu itu bisa jadi sebuah karya seni kriya yang mengagumkan, penuh estetika dan tidak lupa menambah nilai jual.” Saya berkata sok meyakinkan, kemudian mengeluarkan benda itu dari saku.

Bangsat sialan. Mengapa mereka tertawa. Salah satu ibu PKK mencoba jadi juru bicara keadaan.

“Oalah mas, tak pikir sampean pamer kerajinane, tibake pamer ampas tebune!”

Ya Tuhan, buk! kami saja baru memungut ampas kemarin sore, dan bahkan belum yakin akan apa yang akan kami lakukan. Ini adalah proyek nekat sialan. Semoga berhasil. Maaf atas presentasi tipuan tersebut. Toh tetap saja dipermalukan dan ditertawakan.

Dan... tidak berhenti disitu...

Ibu Sekretaris Desa berkomentar, di depan khalayak, di depan tokoh-tokoh penting desa, di depan teman-teman, di balai desa, menggunakan micorofon dengan ampli menggelegar, dengan muka sinis dan kerlingan ibu-ibu pemangsa.

“Mas, boleh saya mengkritik sedikit?” tanya Bu Sekdes.

Iya, bu, to the point saja...

“MOHON KALAU PRESENTASI DI ACARA SEPERTI INI JANGAN PAKAI CELANA SOBEK-SOBEK GITU YA! MASAK JINS SOBEK SEMUA GITU DIPAKAI D ACARA SEPERTI INI...”

ANJING!!!

Saya rasa kemaluan saya telah berpindah di muka. Terima kasih hadirin dan hadirat sekalian...

(Bersambung)

Wednesday, October 12, 2016

My Mother Is Hero – Midst: Begitu Berat dan Terukur


Surabaya bukan kota rock, kata My Mother Is Hero pada Ronascent beberapa waktu lalu. Tapi toh nyatanya di album kedua yang bertajuk Midst, mereka malah semakin brutal dan liar meramu formula rock gelap dengan atmosfer stoner rock yang padat. Alhasil, jadilah Midst mengubah image MMIH dari band pop rock pada umumnya menjadi pemuja tahun 1974 dengan formulasi rock and roll tua, yang seperti mengawinkan Zeppelin dengan distorsi Sabbath. Jika didengarkan dengan saksama, Midst secara segi musikalitas dan sound juga tak jauh beda dengan album kedua The SIGIT, Detourn (2013). Atau semacam Wolfmother tapi lebih rapat dan terukur, dengan menomorduakan spontanitas dan lebih mementingkan keakuratan. Midst seperti mencoba memberi warna baru bagi genre rock beringas di Surabaya yang ‘bukan kota rock.’ Ingatan sial juga memberi tahu adanya warna seperti Eet Sjahranie pada gitar di album 2010 mereka, Edan, khusus di nomor-nomor hardrock kencang seperti Living Dead.

Dibuka dengan Sub-Urban Jam, intro yang ingin menunjukkan kepada kita semua, para penyembah rock indopahit, bahwa Midst dari MMIH adalah hardrock dengan kebul asap stoner yang pekat. Iringan drum yang lambat dan berat, dengan atmosfer bar penuh asap rokok dari seksi bas dan distorsi, menyempurnakan jamming ‘sub-urban’ ini. Pariah sebagai track kedua, menampilkan vokal Bonie yang berbeda dengan album mereka sebelumnya, Sundial. Terdengar lebih berat dan serak: kotor! Inilah musik yang ‘cowok banget.’ Tapi sayangnya di sampai di pertengahan menjadi sedikit membosankan, meski ada beberapa part yang bisa dikatakan menarik bila diolah lebih dalam. Track jagoan mereka, Guided Democracy yang sempat dibawakan di Live Session bulan Juni lalu masih memakai formula yang sama. Rock bebatuan; boots limakilogram yang menghantam kepala. Hampir kesuluruhan isi track di Midst punya formula yang sama. Ksemuanya berdurasi rata-rata empat sampai lima menit. Mungkin dengan Hurt sebagai track paling penuh isian dan emosi yang intens.

Sekali lagi ini bukan album yang bisa dianggap main-main. MMIH begitu total dan terukur. Namun sayangnya spontanitas rock and roll jadi agak kurang. Musik terasa begitu kaku dan kering—atau memang seperti itu konsepnya?—dan jarang ada bagian yang catchy dan gimmick-gimmick yang menyenangkan. Bahkan hampir tidak ada bagian untuk sing-along. Dikhawatirkan musik yang keterlaluan serius akan menghilangkan sikap senang-senang. Satu lagi, sepuluh track dalam Midst cukup melelahkan untuk didengarkan secara utuh, karena sekali lagi, kurangnya bagian yang membuat telinga merasa senang. Agaknya gempuran oktan macam beginian menjadikan MMIH seperti menjadi band ekslusif yang hanya cocok bermain di bar/pub sempit. Bukan lagi di lapangan sekolah yang luas: MMIH harus melepas predikat raja pensinya jika memainkan rock dengan formula kaku macam begini. Sayang sekali dengan artwork cover yang cukup impresif, musik yang ada begitu melelahkan.

Baca disini juga bisa. Engga diedit cuman ditambahin editor dikit hehe.

Surabaya Mencintai Kita Kala Akhir Pekan

burem kamera hape hoam
Kita pernah—dan mungkin hampir setiap waktu—menghadapi hari-hari busuk. Pekerjaan menumpuk. Jalanan mengajari kita menjadi babi yang bergerak lamban sambil menghitung sudah berapa total usia kita menemui lampu merah, serobotan angkot, truk tinja, dan taksi, berhenti sambil melamun menunggu magrib yang, mengutip Silampukau, mengambang, lirih dan terabaikan. Setengah lima sore kebiadaban itu dimulai. Kendaraan melambat dengan sendirinya, tanpa kewajiban dan ketakutan absurd seperti mobil yang harus melambatkan kecepatannya sampai 5 km/jam saat melewati patung Kim Jong Il di Pyongyang sana. Surabaya. Melambat atau terhenti, sama saja. Yang penting langsung pacu seganas kijang saat ada celah sedikit, terobos, memungkinkan untuk sampai rumah lima detik lebih cepat. Setelah itu kita akan mampir ke warung-warung kopi, giras-giras andalan tepian jalan. Meneguk kopi creamer, membakar kretek, mencomot tahu garam, duduk sambil mencharge ponsel, memanfaatkan lagi koneksi wifi, menghubungkan lagi pada maya yang sempat terlupa kala sibuk mengerem aspal. Berkali-kali. Terus seperti itu. Kerja, pulang, ngopi, tidur lalu mati. Tidak tenang di kuburan, menyesal, mewek, karena sebenarnya ada hidup yang lebih hidup dibanding hidup yang sempat dijalani sewaktu masih hidup. Hidup yang tidak setegang lagu Dragonforce. Hidup yang tidak serapuh kresek kerupuk. Hidup yang tidak sebabi ini.

Pahit kopi adalah satu-satunya kontemplasi. Dua jika ditambah nyala kretek. Tiga jika kita punya peralatan memadai untuk memutar koleksi musik terbaik, dengan CD-CD mutu tinggi yang bisa didengarkan sambil tiduran dan membaca Thus Sprach Zarathustra—atau jika terlalu berat, Komik Petualangan Doraemon—dan kemudian ketiduran lagi, sampai esok harus bangun tergopoh, dikejar setan waktu lagi, dan sekali lagi, Silampukau keterlaluan benar. Demi Tuhan, atau Demi Setan, pekerjaan menyita harapan. Belum lagi tuntutan hidup. Jodoh, atau kapan kawin, kapan punya momongan. Padahal skripsi belum juga kelar. Padahal dosen pembimbing skripsi belum menjelma warung penyetan yang mudah ditemu. Untungnya hari dihitung tujuh hari. Dan jam kerja dihitung lima hari. Sisa dua hari di akhir pekan, kita berkesempatan menjadi manusia lagi. Dan Surabaya, menyediakan jalannya.

Surabaya punya pemusik-pemusik indie terbaik, dan kita tidak perlu susah-susah lagi mencari suaka sampai jadi hipster yang mencari musik-musik ekletik dari Hungaria atau Afrika Selatan. Surabaya menyediakannya lengkap beserta tempatnya. Surabaya mencintai kita semua kala akhir pekan. Banyak acara-acara indie rutin mingguan/bulanan yang mulai bermunculan (lagi). Penikmat musik yang semakin apresiatif dengan tidak duduk dan ikutan bergoyang lenggak-lenggok. Penikmat musik semakin suportif dengan membeli CD atau Tape beserta t-shirt band-band lokal. Gairah indie kota jadi semakin kondusif. Semakin hari semakin berkembang. Musik-musik menjadi beragam dan banyak pilihan referensi untuk kita yang sudah keseringan mendengar Carly Ray Jepsen. Dan bahkan tempat-tempat yang dulu tidak pernah dibayangkan akan jadi lahan bagi muda-mudi hip untuk berkumpul dan bernyanyi bersama, kini sudah semakin membuka diri, menampilkan sikap dukungannya dengan membuat gigs, yang meskipun tidak besar, tetap bisa menampung band-band lokal untuk tampil membawakan lagu sendiri, berinteraksi dengan penonton, menjajakan CD dan merchandise—dan kita semua membutuhkan itu.

Alhasil sebelum isi otak kita gempar akan pemberitaan Agus Yudhoyono dan Aa’ Gatot Brajamusti season 2, kita sudah di depan stage yang meskipun ada jarak karena kursi-kursi berjejer mengitar, memotret suasana panggung temaram yang belum benar-benar hidup karena pengisi acara masih berupa sampling DJ somehow antah-berantah yang tidak akan pernah cocok bermain di nuansa seperti ini, sambil mengamati foodtruck yang berjejer menjajakan sosis dua puluh lima ribuan, atau semurah-murahnya Teh Gopek enam ribuan, untuk kemudian tahu bahwa suasana di sini sungguh memanjakan mata dengan laju mobil dengan kita yang sedang tidak berada di dalamnya, mengisi udara remang pukul tujuh malam yang kian prosaik andai saja ada lampion dan tangan yang menggandeng. Tapi teman-teman saja sudah lebih dari cukup untuk menikmati acara di Graha Fairground ini. Sebuah acara balada hiperrealitas nan hangat sehingga dinamai Hyper Ballad pun tidak jadi masalah. Yang jadi masalah adalah bila Hyper Ballad berhenti entah di edisi keempat, ketiga, atau kedua yang dengan ini berarti pupus sudah obsesinya untuk menjadi acara gigs rutin.

Ada obsesi dari DJ-DJ yang meramu sampling di kanan panggung, semacam keinginan untuk memanasakan malam yang saat itu sedang mendung. Tapi aksi dari komplotan Layung Temaram-lah yang berhasil, setidaknya membuat kita terpaku entah sampai beberapa menit. Lagu-lagu terbaik mereka dilempar, mengingatkan kita semua bahwasanya ada soft spot di dalam hati yang membutuhkan melodi macam ini. Tidak berlebihan bahwasanya pada akhirnya kita akan melunak dan mencintai pop, perlahan-lahan dan tidak tergesa seperti menali sepatu sendiri. Mungkin ini band baru, tapi itu urusan lain. Graha Fairground lewat Hyper Ballad menyediakan sound yang mumpuni. Tidak masalah apakah hafal lagunya atau tidak, termasuk juga saat Sinletto, yang kita semua mengira ini adalah band pemuda kelebihan skill yang memainkan pop rock—dan untungnya berusaha tidak generik. Beberapa hentakan kemudian DJ mengisi lagi jeda antar band. Kali ini Ayren Mayden—dan bukan Iron Maiden, entah apa ini parodi—DJ yang terakhir kali kita dengar bermain bersama Lawless Youtube Squad-nya Arian13 dan Sammy dari ibukota. Tidak semuanya menyukai yang begini karena nyatanya ini bukan pesta rave. Nikmati semampunya saja.

Lalu berduyun-duyun datanglah punggawa dari Timeless, dengan Fajri Armstrong, sang gitaris yang sedang dalam kondisi kurang fit. “Ada teh panas?” tanyanya pada salah satu penjaja minuman di stan. Sayangnya tidak ada. “Lagi kurang fit ini badan, butuh teh panas.” Ujarnya. Ronascent sempat menemuinya dan bertanya padanya akan kemungkinan tur nasional debut terbaru mereka, Beetwen And Beyond. “Nanti, ini masih direncanakan, masih dibahas sama temen-temen juga.” Ujarnya. “Suwun loh ya, sudah beli albumnya.” Tambahnya. Untuk Beetwen And Beyond sendiri, track-track seperti Golden Age yang dikeluarkan sebagai single sudah banyak riwa-riwi di soundcloud. Motown Crush, salah satu track dari album ini, adalah andalan Ronascent: lick-lick yang gawat dan gatal di telinga, jelas Timeless menjadi semakin matang dan berbahaya. “Kami main jam delapan, habis ini.” pungkasnya.

Seperti biasa, acara musik akan berlipat garingnya bila ada host atau MC atau apapun itu yang dilibatkan. Meski tidak mengapa juga karena dalam rangka promosi foodtruck, tapi tidak perlu sampai heboh sendiri dan berteriak-teriak layaknya besok kiamat. Memang sudah tugasnya, dan kita sudah terbiasa mendengarkan celotehan kurang penting apapun itu yang keluar dari industri musik odong-odong. Untungnya Timeless tidak suka berlama-lama. Energi yang kelihatan meluap-luap dari Bimantarah, Anggra, Ferry dan juga Fajri—yang terlihat amat segar bugar di atas panggung. Hampir seluruh track di Beetwen And Beyond dimuntahkan, mulai dari—jika tidak lupa judul dan urutannya—Living Free Living Easy, Free From The Universe, Fine, Pills, Golden Age, dan Motown Crush. Mungkin banyak penonton awam yang belum ngeh karena album yang terhitung masih sangat baru. Meski begitu suasana Graha Fairground langsung mendadak ramai saat mereka main. Kursi-kursi langsung penuh. Yang berdiri berjajar juga lumayan. Puja-puji untuk suara Bimantarah yang jika boleh menyebutkan sosok, mirip seperti Eddie Vedder, di era-era album Ten, sempat terlontar. Juga sound yang mendekati paripurna, meski mereka bermain sedikit ugal-ugalan khsusunya Ferry pada drum—sosok perfeksionis yang selalu tepat memperhitungkan pukulan. Atmosfer berubah saat Golden Age dimainkan karena bisa jadi inilah lagu yang sudah cukup dikenal. Tidak ada lingkaran moshing karena seputaran panggung adalah kursi. Pun juga tidak ada yang sampai dekat-dekat panggung dan bertindak gila karena akan sangat terlihat rock snob. Yang ada hanya sedikit tembakau dan headbang tipis-tipis, mengiringi mendung yang makin menjadi dan mungkin akan segera turun hujan. Satu-satunya lagu dari EP We Believe For What We Do Is Timeless yang kemungkinan besar dihafal oleh semua yang hadir, Cold Summer, dimainkan dan menjadi penutup. Dari Cold Summer yang sepertinya banyak mendapat pengaruh dari Foo Fighters ditambah sejumput kebengalan punk rock, kita akan mengetahui bahwa tidak terlalu banyak perbedaan mencolok dari EP dan debut album baru mereka. Mereka sudah memperhitungkan dan terlihat menuju ke arah sana. Meski EP terdengar lebih ngebut dan raw, sementara Beetwen And Beyond adalah tata kelola yang lebih rapih dan fresh—mengurangi senyawa-senyawa oktan knalpot dengan tetap menggunakan amplifier Orange sebagai senjata.

Setelah semuanya berkumpul dengan riang gembira, dan waktu belum terlalu malam untuk pulang dan bercinta, Humi Dumi datang dengan membawa serangkaian kenangan—atau yang lebih melankolik dari itu. Para personilnya sempat membaur bersama penonton, dan seperti tipikal pemirsa musik di Surabaya, tidak ada yang tahu bahwa orang-orang itu, vokalis imut itu, si bassist cantik itu, yang akan naik panggung dan menghibur mereka. Jadi tidak ada tekanan menjadi selebritas meski terkadang itu ironis. Dengan gelap yang semakin jadi mendung, tidak butuh waktu lama bagi band yang melabeli dirinya sebagai innocence folk pop ini untuk mengalunkan nada. Tidak banyak yang bisa diingat mengingat syahdunya permainan mereka—seperti yang sudah-sudah. Kita akan mengumpat ngeri karena di intro yang sengaja dibuat berbelit namun untungnya amat manis—seperti yang sudah-sudah—kemudian terlantun Sleep yang teduh surgawi. Bisa-bisanya band ini tidak mencuat ke blantika pop nasional? Kita akan membahasnya lain waktu. Riuh tepuk tangan penonton yang memang tidak terlalu ramai sehingga berkesan hangat dan intim seakan ingin mengapresiasi meskipun Qanita Hasinah si vokalis sempat berujar di tengah sapaannya, “Kalian pengen aku atau Irna yang ngomong?’’ yang tidak terdengar ironis malah terdengar seperti guyonan meski tiada penonton yang tertawa—walau ada juga begundal yang berteriak ‘Irna!’ Tentang Irna sendiri (nama lengkapnya Irna Kurnia R, dan tersedia di Instagram) adalah jelita cantik kekinian dulunya berambut sebahu kini sudah agak panjangan, dengan senyum manis dan dia memainkan bas pula. Iya benar, satu kata: bergetar. Bisa jadi betotan bas dia membetot hati penonton laki-laki juga yang kesengsem dan terusan ambil potret. Tapi sudahlah bahas musik saja. Sudah bisa ditebak lagu-lagu dari EP I Am Ij Sin A-lah yang diputar, minus Walking In The Pillow yang—seperti yang sudah-sudah—jarang mereka mainkan saat off air. Tambahan lagi satu lagu yang seperti tidak asing tapi juga tidak terlalu familiar. Mungkin ini single terbaru atau cover version, terserah saja. Ada gimmick-gimmick sederhana yang ditawarkan Humi Dumi di Hyper Ballad, sesederhana menambahkan gemericik gitar sebelum awal lagu, atau suara synth, atau bebunyian yang sudah disiapkan sebelumnya, mengalun mengawang di sisi sound saat Ceria Cerita, Bella In 79 Seconds, dan Mirror sebagai lagu pamungkas dimainkan. Kita tidak bisa melupakan saat asyik-asyiknya duduk dan memejam mata menikmati indahnya duniawi, tiba-tiba turun gerimis yang meluap menjadi hujan. Semuanya menyingkir dan berlindung di balik atap sound engineer yang sedang bekerja—dan untungnya tidak merasa terganggu. Humi Dumi tetap tampil atraktif dan elegan meski penonton menjauh, dan ajaibnya saat hujan berubah jadi rintik, penonton menyemut lagi, kali ini tidak duduk-duduk karena bangku sudah kepalang basah, melainkan berdiri merapat panggung, Terima kasih hujan sudah menghidupkan penonton. Dengan berdiri kita lebih leluasa bergoyang, menyulut tembakau, mengangguk kepala, mengamati Irna, apapun. Dan walau hujan datang lagi setelahnya, tetap saja penonton akan menyemut kembali kala ia mulai mereda. Yang tidak bisa terkatakan adalah bagaimana ajaibnya Mirror—sebagai lagu terbaik Humi Dumi sejauh ini—dimainkan saat gerimis turun. Pendar lampu kekuningan menerpa hujan dan jadilah ini malam yang magis. Ini adalah momen terbaik penampilan Humi Dumi dari yang sudah-sudah. Suasanya yang tidak terkatakan namun akhirnya terkatakan juga. Dan saat hampir memungkasi lagunya, dimana itu adalah part-part yang menunjukkan kejeniusan mereka sebagai penghayat sejati, langit sedikit-demi-sedikit mulai cerah, dan Humi Dumi perlahan meninggalkan gemerlap lampu panggung, dengan gimmick outro Mirror yang di remix ala-ala chillout yang terus berkumandang. Surabaya memberkahimu.

Penampilan pamungkas datang dari band yang disebut-sebut sebagai saudara Humi Dumi—dimana mereka selalu ada di tiap gigs yang mengundang Humi Dumi—dengan vokalis perempuan yang lebih terlihat berhawa gelap dan murung. Senandung Sore memainkan lagu-lagu terbaik mereka, mencoba memaknai sisa-sisa bau hujan, mengajak penonton menyesapi sisa-sisa malam, dan saat Sadrah—yang masuk dalam kompilasi terbaru Ronascent Outtatime—kita akan menguap dengan amat panjang. Bukan mengantuk. Bukan lelah. Terlalu banyak hal-hal yang patut disyukuri di malam ini. Ternyata hidup masih amat menyengangkan. Dan Surabaya, nyatanya masih mencintai kita kala akhir pekan.

*Versi edit (tapi kayaknya nggak diedit hehe) bisa dibaca di Ronascent Webzine di link ini. 

Tuesday, October 11, 2016

Drs. Sayuti, Sarjana Sastra, Mengoceh Tentang Arti Hidup

Tulisan ini adalah sebagian kecil dari hasil dari transkripsi materi Drs. Sayuti, SS, saat mengisi kuliah umum dengan tema ‘Peluang Menjadi Sastrawan Warung Kopi dengan Teknik Menguasai Minimal Dua SPG Rokok Mild,’ hari Sabtu, 9 Oktober 2098, di TPS Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa. Pak Sayuti kini sibuk menyelesaikan buku kumpulan esai teori terbarunya yang berjudul ‘Eureka! Dan Sejarah Kejantanan.”

*** 

Akhirnya, setelah ratusan purnama, setelah Cinta dikecup Rangga, saya menemukan arti hidup. Tidak ada dalam kamus. Tidak ada dalam Perjanjian Baru. Tidak ada dalam bunyi klakson truk tinja. Saya pure menemukan arti hidup ini—baru saja setelah berkata hal ini—setelah sebelumnya melewati berbagai lampu merah datang bulan, tambal ban monyet dan orang udik bersepeda di tengah jalanan Surabaya yang padat merayap. Setelah puluhan video ‘Hati2 Di Internet’ saya tuntaskan sampai subuh, Awkarin atau Anya Geraldine yang bahkan saya ikuti perkembangan tobatnya (dan tingkahnya), dan yang terakhir, jangan terharu, jangan bergidik, Kyai Dimas Kanjeng Taat Pribadi sebagai nabi baru di televisi; calon pengganti Tukul di acara Empat Mata, pengganti Ali Zaenal di (Masih) Dunia Lain, pengganti Eko Patrio di kursi wakil ketua pemenangan Agus Harimurti Yudhoyono (atau Anies Baswedan, saya lupa), dan menjadi admin blog mahasiswa saya, Tito Hilmawan yang payah ini untuk selama-lamanya. Thanks Aa’ Gatot Brajamusti, saya musti menuliskan ini karena ini musti mustinya akan menjadi sebuah hal yang, mengutip Pram saat duduk di kamar mandi, byur. Lenyap. Lenyap. Tak berbekas. Tanpa arti. Menguap. Menyublim. Menjadi fungi. Menjadi serial Supernova ke-7. Menjadi Mirna sebelum mengudap sianida. Menjadi orang-orangan sawah di Tuyul dan Mbak Yul. Menjadi bedak Herocin di selangkangan ahli kubur. Menjadi random. Menjadi abusrdisme. Menjadi di block Google. Menjadi blog berpenghasilan dua koma hanya dalam waktu seabad. Menjadi dot com odong-odong. Menjadi tahi babi. Mati. Lalu sudah. Sudahlah.

Saya—dan tentunya juga Anda, kaum pencinta sandal Swallow—menyukai sebuah ketidakjelasan sebelum segalanya menjadi benar-benar jelas, dan Anda akan mencintai kodok seketika. Tampar saya. Apakah Anda sudah mengerti arti hidup yang saya maksudkan di atas. Ataukah saat ini Anda masih jomblo dan mengutuk Jokowi? Ataukah, masih betah balapan dengan angkot plat L? Benar, arti hidup milik saya dengan milik Anda tentulah berbeda. Seperti isi kepala Dedy Corbuzier dan Mario Teguh. Yesus dan Karl Marx. Saipul Jamil dan Sartre. Jelas berbeda dan tak perlu dimirip-miripkan. Tapi, sekali lagi, arti hidup saya tetap perlu saya publikasikan. Seperti koar-koar para Youtubers cilik tukang cover Young Lek. Viva manusia YouTube!

Arti hidup:

Hidup adalah kejutan yang berkelanjutan.

Bagaimana, Anda sudah mengerti jenis-jenis tanaman hias yang hidup di Zaman Mezolithikum yang berawalan huruf D?

Kejutan! Tepat sekali!

Dari mana Anda berasal itu adalah dari mana Anda berawal!

Itu saja untuk kuliah hari ini. Matilah semiotika!

Tuesday, October 4, 2016

14 Hari Untuk Selamanya (Bagian 3)

pemalas, tukang madat, pemokel
ketok manis kabeh padahal ga adus
mokel gak mokel seng penting ngumpul
bersama panita pemenangan lurah sidowangi 2098
deklarasi lurah sidowangi 2098 - kiamat
III.
Balada Pendosa dan Kelelawar

Saya sempat bingung tatkala memesan seporsi mie ayam. Mie ayam versi emak beda dengan versi yang saya kenali: mie ayam Emak adalah mie tanpa mie gepeng, tanpa irisan daging ayam, tanpa kuah yang berminyak, tanpa irisan acar, tanpa potongan-potongan kerinduan, tanpa kaldu kenangan—dan Emak masih menyebutnya mie ayam. Tapi mie ayam ini setidaknya selalu membuat orang-orang sejenak pikun. Mereka lupa jika siang itu bulan Ramadan. Mereka lupa apa yang wajib dilakukan di bulan ini agar lebaran yang tinggal beberapa hari bisa disebut afdol. Dan bahkan mereka lupa bahwa mie ayam yang sedang mereka makan bukanlah benar-benar mie ayam.*

Siklusnya dimulai beberapa saat menjelang bedug dhuhur, sampai jelang bedug ashar: mendahului waktu berbuka yang telah disepakati milyaran umat sedunia. Saya tersadar bahwa ternyata memakan mie ayam juga termasuk pemberontakan. Ini ramadan paling heavy metal.

Hengki, wakil ketua, juga adalah pendosa amatir nomor satu. Dia yang menemukan tempat kecil disebelah gang, yang kemudian kita namai sebagai warung emak. Disini malaikat pencatat amal keburukan bekerja dengan ekstra keras karena tidak ada satupun yang menjalankan kewajiban berpuasa. Saya sempat takut kalau-kalau ada pasukan putih-putih nasi bungkus yang gemar membawa pentungan dan razia warung saat puasa tiba-tiba saja menyergap dan mengkafirkan kami; dan mungkin kami akan dijuluki sebagai bangsat liberal, komunis, antek-antek PKI, yahudi, gay, lesbi, penyembah LaVey dan sebagainya. Tapi untungnya tidak pernah ada. Terimakasih Mojokerto sudah menghormati kaum-kaum bingung yang belum sanggup berpuasa seharian penuh.

Hengki—yang mengaku sebagai pegawai Matahari Surabaya untuk menutupi kedok mokel—pernah dan seringkali mokel di jam-jam yang tidak semestinya. Waktu mokel yang disepakati bajingan pada umumnya adalah di pertengahan hari, saat waktu sedang terik-teriknya dan semua orang berpikiran bahwa pemandangan paling indah adalah es teh berwarna kecoklatan dan suara paling ditunggu adalah denting sendok bertemu gelas saat mengaduknya. Tapi Hengki bukanlah orang pada umumnya.

“Rusuh tenan to, tempat iki! Perlu diberesin!” ujar Hengki di suatu hari di pukul setengah delapan pagi.

Teman-teman tentu saja tidak mempedulikan dengan serius; beberapa masih tidur. Ini pukul setengah delapan pagi dimana balas dendam bangun sahur dilampiaskan dengan tidur tak peduli waktu. Hengki mengulang-ulang terus pernyataannya untuk membereskan dan limabelas menit kemudian kita akan sadar: bakul nasi, piring, dan wadah makanan sisa sahur telah raib. Para perempuan yang ditugasi memasak nasi di magic com sewaktu sahur untuk makan para perempuan yang tidak sedang berpuasa—you know what-lah—tiba-tiba geger.

“Lho, segone maeng penuh loh! Sek akeh. Kok berkurang?” ujar Ayuk, salah satu pemegang tampuk kuasa seksi konsumsi yang berbakat mengolah tempe menjadi beraneka macam sajian utama. Yoi, tempe!

Kita flashback sejenak, mengundurkan waktu dan tempat, karena Hengki memang membereskan makanan-makanan itu, membawanya ke dalam kamar: membereskan versi Hengki bisa juga memulai sarapan di saat pagi bulan Ramadan. Asu. Selanjutnya tanpa rasa berdosa sedikitpun ia juga pernah mengajak saya—kedoknya disuruh mengantar—mencari makan di pukul tiga sore. Saya belum batal hari itu, seharian tiduran dan tidak ada aktivitas berarti. Energi masih tersisa dan seharusnya cukup sampai berbuka. Saya bisa puasa full hari ini. Persetan mokel. Enyah kau setan. Tapi tak dinyana setannya menjelma di tubuh kerempeng anak ini.

“Ayo, peseno sisan! Tak bayari.” Hengki menawari saya saat di warung bakso. Sialan. Anjing.

Saya tentu saja menggeleng. Iman saya kuat bung. Bakso Hengki kemudian sudah ada di meja saja. Bundar-bundar, banyak. Pentol ajaib. Asoy. Tambah saos, kecap, sambal. Memuaskan cacing di perutmu. Sialan. Saya, tiba-tiba kehilangan kesadaran.

“Heng, aku pesen sisan wis yo!” dan saya melakukan kebodohan dan dosa di pukul tiga sore—tinggal dua jam setengah lagi waktu berbuka. Kambing. Puasa saya remuk berkeping-keping.

Hengki, tertawa menjadi-jadi. Ini aib seorang yang mencoba alim yang dirusak perusuh cacingan tak bermoral.

Astagfirullah...

***
Aktivitas siang hari dari Tim KKN 145 adalah istirahat seusai kegiatan. Biasanya karena ini bulan puasa, teman-teman memanfaatkannya dengan tidur berpahala. Tapi bagi bocah-bocah tak tahu diuntung macam saya, Hengki, Ikbal, Tyo, dan Breng, ini adalah saat yang tepat untuk berbuka puasa.

“Wis bedug! Ayo nge-pom!” ujar Breng.
“Sekarang ta Breng? Tunggu, aku mandi dulu!” jawab Ikbal

Istilah ngepom dikenal sebagai motor diisi bensin di SPBU terdekat. Tapi bagi kaum pendosa macam kami, ngepom bisa berkonotasi bukan hanya pada sepeda motor: tapi juga pada perut. Cara penjahat untuk menyamarkan apa yang akan dilakukannya. Biasanya teman-teman akan bertanya.

“Pada mau kemana ini?”
“Ngepom!” jawab kami.

Orang awam akan berpikir kami mengisi bensin untuk motor di pom dekat situ. Tapi bagi yang sudah paham akan segera menyahut.

“Iyo, pom weteng!” ujar Mak Lay—atau Layla, ibu tiri cerewet kami di 145.
“Isien pertamax, ojo sego campur!” ujar some random friends di ujung sana.
“Aku titip bungkusno!” ujar pendosa abu-abu yang tak mau repot.

Kami biasa berboncengan ke ‘pom’ kami: warung emak. Dan seperti dituliskan diatas, salah satu menunya adalah ‘so called’ mie ayam atau pangsit—whatever! Kita selalu disana berlama-lama. Memesan minum dengan porsi jumbo—emak sudah hapal sekali pada hal ini—dan kemudian kadang juga menu nasi dengan lauk yang kadang, karena saking baik hatinya emak, digorengkan live di tempat kejadian perkara.

“Mak, lauk telur ada?” tanya Ikbal.
“Endog? Dorong nggoreng! Opo gelem tak gorengno sek a diluk?” jawab Emak.

Ikbal tentu mengangguk kegirangan.

Kretek atau udud atau apapun itu yang penting bukan racun vaporizer kami bagi disitu. Kecuali Tyo yang tidak merokok, aktivitas penuh asap di tengah bulan Ramadan adalah ritual kami yang konstan dilakukan sewaktu KKN. Saya sempat berpikir akan nikmat menikmati Dji Sam Soe di tempat sesejuk Mojokerto—terutama waktu malam. Ternyata tetap tidak ada yang bisa mengalahkan Gold Lights Marlboro. Tentu saja. kadang ini juga digilir dengan kretek atau mild yang cukup untuk membunuh malam.

Setidaknya seperi itulah aktivitas siang hari. Karena setelah itu kita bobo-bibi sampai jelang maghrib. Dan malamnya, khususnya saya dan Ikbal, menjadi kelelawar. Ikbal mencari tempat untuk bermain Dota, dan tentu saja harus ada wifi-nya. Akhirnya di daerah Canggu kami menemukan satu warkop yang memenuhi kebutuhan: wifi-nya sengebut serigala bahkan sama dengan Surabaya atau kadang malah lebih cepat. Tempat yang asoy dengan TV kabel. Meski minumanya biasa-biasa saja. Saya dan Ikbal biasa disana mulai pukul sebelas-dua belas malam, sampai jam tiga lebih disaat sahur. Aktivitas nokturnal yang tak jauh beda dengan kehidupan kuliah sialan sehari-hari.

***
Saya dan Ikbal juga sempat mengunjungi salah satu desa di Mojokerto tempat pacar Ikbal KKN. Kami melewati hutan galak yang bahkan sudah amat gelap di pukul tujuh malam. Anjing. Saya yang waktu itu bertugas membaca peta sempat ketar-ketir: takut kena begal penjahat-penjahat ninja disana. Tapi toh karena memang nekat, dan Ikbal sudah kangen berat dengan si doi, kami berkunjung di basecamp tim KKN yang ternyata lebih busuk dan anjing dari tempat KKN kami: desa terbelakang, jalan bergelombang, hawa pengap, anjing seanjing-anjingnya. Disana saya bertemu dengan Adelia dan Shom, sobat sejurusan sastra yang juga sekelompok dengan pacar Ikbal. Tapi, waktu reuni kami tidak bisa berlama-lama. Begitu pula waktu kencan Ikbal. Ada rapat dadakan membahas hal yang ‘amat sangat penting’ kata ketuanya sehingga kita hanya lima belas menitan menemui handaitaulan itu. selebihnya kita ngaplo—dan untung saja disuguhi kopi—dan saya kembali berdua menghitung nyamuk dengan Ikbal. Setelah sejam setengah lebih menunggu dan rapat belum usai juga sementara waktu menunjukkan pukul sembilan, kita tahu kiranya apa yang harus dilakukan sekarang mengingat ada hutan keparat yang kemungkinan besar berisi bajingan-bajingan yang siap mengintai jika saja kita pulang terlalu malam.

Alhasil saya dan Ikbal pun pamit, memacu motor dengan beringas lagi, sampai di hutan, terkaget karena rintik-rintik gerimis mulai terasa. Asu. Ini tidak boleh terjadi. Hujan sekarang adalah petaka. Bisa mampus kalau harus berhenti. Bisa bahaya juga kalau terus melaju. Tapi toh Tuhan menyayangi para perjaka. Ia tidak menurunkan Mikail di hutan. Ia menurunkannya tepat saat hutan selesai kita lewati, dan kita akan menuju ke basecamp dimana kita tinggal. Lebih ajaib lagi, kita berhenti dan terpaksa berteduh di warung kopi—yang jujur awalnya saya kira diskotik atau rumah bordil—yang ngehip dengan lampu mencolok warna-warni. Perkenalkan, penjualnya bernama, ehm, saya lupa, tapi dia selalu bilang ‘Beta’ terus menerus (yang berarti ‘saya’), dan mari kita tebak kira-kira dari mana asalnya. Beta, orang Nusa Tenggara!

Malam yang sulit. Hujan sederas air susu ibu menyapu kerongkongan bayi. Warung Beta tidak seramai kerlip lampunya: yang ada hanyalah pria botak yang memesan kopi hitam dan kretek, sepertinya anggota marinir. Dan kami berdua yang sedang kedinginan efek udara dan gerimis. Untung Ikbal mengambil Surya, dan jadilah kita berasap bersama dengan kopi yang sudah dipesan. Alamat nanggung, kami menyerah dan memesan Indomie juga. Dan  memprihatinkannya, saya juga sempat eek di toilet belakang warung Beta. Benar-benar.

Hujan mereda. Kami sadar bahwasanya gelas kopi kami telah kosong. Pun Surya yang tinggal beberapa batang. Ada saatnya kita harus pamit setelah membayar.

“Oom, kita balik dulu, yah!” ujar saya.
“Oh, Okey! Kapan-kapan main kesini lagi, ya! Beta tunggu!” ujar Beta.
“Siapppp, Om!” jawab saya.

Tinggal hanya memacu motor karena Ikbal sudah menstarter. Tapi Beta keluar warung seperti ingin melakukan perpisahan terakhir, mengantar sampai ke depan. Dia melihat plat motor saya.

“Plat N? Lho kamu dari Malang?” ia bertanya.
“Oh endak Oom, dari Surabaya, mahasiswa KKN Oom.” jawab saya sekenanya.
“Oh dari kampus mana? Saya suka anak KKN, disini juga banyak anak KKN, mereka biasanya ngopi disini. Saya kenal mereka semua. Mereka dari universitas mana, saya lupa. Tapi mereka selalu mampir kesini!” ujar Beta. Antusiasmenya tiba-tiba saja melonjak.
“Oh, masak Oom?” jawab saya. Mau basa-basi apalagi. Ikbal belum mematikan mesinnya padahal idola Ambon ini sedang bercerita.

“Iya, hampir tiap hari mereka kemari. Ini saja tidak datang, mungkin hujan. Aku selalu respect sama mahasiswa, harga-harga disini semuanya kuturunkan. Jadi beda antara orang biasa yang minum kopi, dengan mahasiswa. Kopi untuk orang biasa, lima ribu. Tapi untuk mahasiswa, aku bilang sama istriku juga, agar menjualnya tiga ribu saja. Pun mie goreng, dan menu lain. Kasian, mereka belum bekerja.”

Bangsat. Kenapa tidak bilang dari tadi Beta. Tahu begitu aku bilang kalau aku ini mahasiswa, jadi harga bisa sedikit lebih murah. Tapi barusan kamu sudah tahu Beta kalau aku ternyata mahasiswa, kenapa tak kau kembalikan separuh uangku. Ah gimana kau Beta!

“Kalian KKN deket sini-kah?” Beta melanjutkan. “Biar aku kasih tahu, rumahku itu di gang depan sebelah kanan, kiri jalan ada namanya Salon Bunda. Kalian aku undang buka puasa besok kerumah, tiap hari pun, kalau kalian sempat, silakan buka puasa disini. Anak-anak KKN pelanggan warkopku ini kemarin sering buka puasa dirumah. Aku tidak apa-apa, istriku juga, malah senang bisa saling berbagi.” Ujar Beta.
“Wah, siap Om! Kalau sempat tak mampir.” Jawab saya.
“Harus itu! Salon Bunda ya. Inget!” tanya Beta.
“Oh, sip-sip! Inget. Suwun Om!” saya berkata sambil naik motor. 

Ini adalah gestur untuk memulai berpisah. Tapi gobloknya saya basa-basi lagi.

“Kalau ini Ikbal, temen saya, anak Pamekasan, Oom!” ujar saya sambil menepuk pundak Ikbal. Dia hanya tertawa sambil sibuk mengepul Surya.

“Oh Pamekasan!” ujar Beta seperti menemukan harta karun. “AKU PERNAH DISANA DUA TAHUN, KERJA DI PABRIK GULA!”

Bajingan. Ikbal tiba-tiba langsung mematikan mesin motor. Seperti menemukan satu teman dengan topik paling menarik sedunia. Dan dimulailah sesi curhat jilid dua. Tak ada pilihan lain: nyalakan sejumput tembakau. Busshhhhhhhh!

Malam ini sepertinya akan panjang.

*mengadopsi Martin Suryajaya dalam Kiat Sukses Hancur Lebur, di sebuah bab tentang pecel lele.

(bersambung)