Tuesday, November 29, 2016

Timeless – Beetwen And Beyond: Menyenangkan!


Review untuk Ronascent Webzine. Versi edit bisa dibuka disini

Rilisan yang spesial karena band ini sudah sebegitu dinanti. Sebelumnya EP We Believe For What We Do Is Timeless yang rilis 2014 cukup banyak mengumbar lick-lick akar rumput dari Pearl Jam. Di Beetwen And Beyond kecenderungan mereka untuk sedikit lebih rapi dan teratur sekilas terdengar seperti Foo Fighters. Tapi memang sulit untuk tidak membandingkan suara Bimantarah dengan Eddie Vedder: renyah dan bijak. Secara kualitas tidak perlu banyak dipertanyakan lagi. Dalam Motown Crush, misalnya, mengembalikan esensi musik rock senang-senang yang tidak urakan. Seksi tapi tidak ngawur dan ugal-ugalan. Meminjam istilah pegiat Instagram, Motown Crush adalah track paling fashionable di album ini. Punya gaya dan trendi. Timeless suka bermain-main dengan intro, dan pembuka lagu ini adalah salah satu yang terbaik. Single pertama Golden Age juga tidak kalah seru. Ada kebahagiaan murni saat mendengarkan rock berjenis seperti ini. Tidak melulu harus kebut-kebutan atau jadi bajingan ampli. Tidak juga harus mengkotor-kotorkan sound atau berusaha sementah mungkin. Timeless tampil pure dan sebegitu adanya, dan itu terdengar sangat orisinil. Bahkan untuk ‘single paling ngebut Timeless’ Ride Into The Sun, bukan kemarahan oi-oi atau nuansa pemberontakan yang muncul, tapi kesan gagah, bernyali dan berwibawa, seperti judulnya sendiri; berkendara menuju matahari. Menyenangkan juga mendengarkan wahana modern rock dalam Fine, dimana vokal Bimantarah seperti sudah sangat matang, prima dan bercorak. Kesimpulannya: Beetwen And Beyond adalah album rock muda-mudi yang sudah muak dengan lagu lama, kritik sosial pencitraan, kata-kata nir perjuangan. Timeless murni rock senang-senang, dan kita suka itu. Seperti salah satu bait mereka: i wanna be free from the universe. Bebaskan!

Wednesday, November 23, 2016

Tata-cara Penggunaan Blender Otak

aku mabuk dalam keterpukauan. pohon-pohon mangga. menguning dan berbuah. diriku mesin. hidup dan berputar. di dalam jangkauanmu. di dalam puisi-puisi absurd malam hari. di dalam kantung mata berisi tidur. di dalam tatanan dunia baru. di dalam tempat tisu dan penampungan wudhu. di pagi sebelum subuh. di kokok jago jantan. di getar alarm musik dansa elektronik. di segalanya yang tidak kau mengerti. segalanya yang asing. segalanya yang bodoh. segalanya yang berakhir tanpa pernah berawal. segalanya yang berawal tanpa pernah berakhir. pengemis-pengemis kasih sayang. pegiat-pegiat aksi bunuh diri massal. bedebah-bedebah bau amis yang menggelepar dalam selokan. kutu busuk penghuni buku diktat. esok hari dalam mangkuk indomie. sisa acar dalam bak sampah. peloncat kegirangan jongkok di toilet terminal. pikiranku yang mengutuk otak semua orang. batinku yang mengencingi setiap lubang pada gigi ikan paus. kuburan. setir bengkok. dunia dalam sachet kopi murah. stop kontak. lubang kabel. ternak cacing. sepanjang apapun makam nabi monyet. ukuran tutup botol minuman berkarbonasi. kremi. kredo. kremasi. kura-kura pembunuh ninja. hantu di jam dua siang. tenggak lalu mampus. artis-artis sehabis keramas. fiksi. diksi. bunuh diri. sampai jam empat subuh. lalu kau kubangunkan dan hari akan tampak sangat panjang. istana presiden dalam sedotan. kupu-kupu bersisik. ikan-ikan bersayap. kabut-kabut bertelinga. awan-awan basah. kerudung tahlilan. mesin jahit tukang sulap. pesta kawinan bujang tengik. ikan asin. kaki kerbau. frasa-frasa keparat. kaus kaki basah. kau tidak pernah mengerti segala seperti aku tidak pernah mengerti jalannya jari. lubang hidung berisi tahi. mandilah. ada naga di tubuhmu. harumlah. tidak ada apa-apa di alam kubur. barisan tentara yang melamun menunggu cacing rumput. pusat kendali pusar. air minum dalam kemasan. apakah ada takdir. mari melamun. mari menggelar pesta-pesta jamuan ginjal kuda. mari berbisik. tentang gang-gang tak berlampu. tentang hidup. tentang mati. tentang hidup mati. tentang hidupnya mati. tentang matinya hidup. tentang tentang menentang. tentang keributan jejaring daun-daunan. aku belum menyerah. belum berkabung menjadi belatung. belum pucat dan keriput. belum berkedip dan menguap. tidak akan menyerah. panas perih. rusuk babi. anjing. kerbau menginjak tikus. tanah warga negara. kupersembahkan: sejenis puisi tak berfaedah. untukmu.

Sunday, November 20, 2016

Many Little Songs For An Hardly Long Long Night

di semesta yang entah. di bumi yang entah. di kehidupan yang entah, seorang manusia biasa-biasa saja sedang melamun parah di balkon rumahnya. ia tidak tahu harus menunggu siapa lagi setelah hujan yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. ia membayangkan peti mati dan kematian, bau busuk mayat-mayat katak dan tempurung-tempurung neraka. pikirannya kalut. kedamaiannya terusik. hujan tidak menyembuhkan apapun yang ia rasa. balkon rumahnya serasa pahit dan berisik. hujan turun menggebuki atap. membunyikan suara-suara cacian tanpa henti. membuat ia membutuhkan buku-buku psikologi. membuat ia membutuhkan campuran malt dan ethanol. tembakau dan kebohongan. jamur tahi kerbau dan kedunguan.

ia telah menamatkan seluruh koleksi film tarantino. dan tinggal tunggu waktu untuk mengulang-ulangnya lagi di tengah kepedihan. dan jadilah dia kegilaan yang payah. ia telah puluhan kali melihat vincent vega, django, sampai pembunuh-pembunuh bodoh nan keji di hateful eight. ada kegembiraan yang terus menerus membesar setiap kali melihat adegan-adegan penjahat menembak muka penjahat lain sampai meledak isi kepalanya. ada kepuasaan yang tidak terlukiskan saat uma thurman menghabisi samurai-samurai brengsek di kill bill dan menyiksanya seolah kiamat sudah terjadi. ada gerak lambat di otaknya saat menyimak seluruh caci maki samuel l. jackson yang dilempar lewat ceramah dan obrolan tidak penting dengan sumpah serapah paling kasar dan terkutuk, nyaris dalam semua film-film nigger quentin tarantino. ada gangguan dalam hidupnya yang membuatnya harus terus menurus menonton tarantino, berulang-ulang, terus-menerus.

dan malam ini, entah kebetulan apa yang mempertemukan saya dengan dia. tepat saat dia sedang keluar dan mendorong pintu minimarket dengan empat botol bir dingin di tangan kanan dan kiri. bir yang kemudian kami tenggak semalaman. dan dia menceritakan ulang seluruh kisah kelam hidupnya sejak lahir. tambahan dua botol bombay saphire. dan kita mampus seharian di sofa tengik dalam apartemen miliknya. seperti yang bisa dibayangkan, cerita tentang kepedihan tidak afdol bila tidak ditemani musik-musik pembangkit arwah kubur. musik-musik sensitif yang bisa membuat nyaman sekaligus panik. musik-musik hiburan tengah malam bagi jiwa yang tumpul dan tidak ada hal yang lebih bagus untuk dilakukan selain mabuk keparat. 

"putar morrisey kawan!" pintanya saat aku sedang menyusun file-file lagu yang berantakan di komputer tuanya yang nyawanya tinggal separuh. 

"there is a light that never goes out!" saya berteriak sekencang mungkin saat menemukan lagu tersebut.

"itu the smiths, bodoh!" jawabnya. 

dan kemudian tersusunlah sepuluh puluh lagu pilihanku, yang kesemuanya berputar semalaman, terus berulang-ulang, sampai pagi hanya tinggal menyisakan sisa-sisa alkohol yang berceceran, abu rokok menggunung, dan sisa dedaunan yang kami tak tahan untuk tak mengusiknya di dalam lemari penyimpanan. kita tidak bosan-bosannya menyimak lagu-lagu indah. walapun kesemuanya cuman tujuh buah.

1. The Smiths "There Is A Light That Never Goes Out"
aku menyimak ceritanya sambil terus mendendangkan lagu ini di otakku. pengaruh sapphire, ya ampun. dia hampir tersedak kacang dan asap marlboro di ujung ceritanya, dan kemudian memaki, johhny marr bangsat. entah kenapa marr yang dimaki dan bukannya morrisey. tapi setelah itu, dia kembali tenang, menyesap bir pelan-pelan, menikmati reff lagu, yang seakan rela mendekap kesedihannya selamanya.

2. The Smashing Pumpkins "Disarm"
ia kemudian mengajakku bermain catur. aku berkata "aku lelah, kawan. aku akan mendengarkan ceritamu saja." tapi ia seperti sudah menyudahi ceritanya. ia tidak ingin bercerita lagi mengenai perempuan brengsek yang membuat hatinya tergores-gores pecahan kaca. aku paham. kita paham. rokok terus menyala. kami terdiam. billy corgan, malam ini, terdengar begitu pilu. dia tak kuasa menitikkan air mata. aku menyediakan dekapanku. juga bir dingin yang baru terbuka.

3. The Doors "Light My Fire"
"kita kembali ke morrison, kita kembali ke morrison!" ujar dia. aku maklum. kita semua sudah biasa menyebut nama tuhan. bersama-sama. sambil mengumpat dan tertawa. sambil melamun dan bersedih. "tapi aku sedikit meragukan ketuhanan morrison di lagu ini," ia tiba-tiba  memotong. "bagaimana bila ternyata tuhan yang sebenarnya adalah ray manzarek?" aku melamun. masuk ke dalam lorong manzarek. begitu tua dan menyedihkan bunyi tuts itu.

4. The Corrs "All I Have To Do Is Dream"
ia bercerita tentang mimpinya, mimpi masa depannya, bersama margareta. "aku ingin memiliki rumah di pegunungan, dengan kopi yang kutenggak setiap pagi, adalah hasil petikan sendiri di kebun kami tiap sore hari." aku tidak dapat menahan gejolak mataku. saat menceritakan itu semua, dia seperti mengawang. jauh. gunung itu berada di pelupuk matanya. dream, dream, dream. keluarga corr mengawal itu semua dengan halus. dan semuanya menangis.

5. The Beatles "With A Little Help From My Friend"
aku kemudian yang menyeka air matanya. mengusap dengan sisa sapu tangan yang kupunya. dia sahabatku. aku tidak akan membiarkannya sendiri. bahkan aku akan menangis semalaman, bila perlu. hanya ini bantuan kecil yang bisa aku berikan. hanya ini bantuan yang bisa aku berikan, sebagai sahabat. 

6. Silverchair "Ana's Song (Open Fire)"
dia membelalakkan mata. dia tidak boleh sekalut ini. dia kemudian tertawa keras. memuji-muji australia. "aku muak grunge di luar seattle, tetapi aku bisa jatuh cinta pada lagu ini." aku terbahak. begitu cepatnya dia terbahak. apa kami menenggak semuanya terlalu kencang. saya kira tidak. dia baru saja menyuruh saya membongkar isi lemari. dan waktunya dedaunan. kami memaklumi semuanya. botol baru sudah dibuka.

7. Joy Division "Atmosphere"
matanya memerah. aku rasa aku juga. jam dinding sudah tidak jelas menunjuk pukul berapa. kesedihan sudah berlarut. dalam film control (2007), aku ingat ian curtis gantung diri dan setelah itu lagu ini mengalun. ian mati di usia 23 tahun. usia kita saat ini. sejurus kemudian kepalaku serasa pengar. amat pengar. bergemericik suara botol obat-obatan di meja. saatnya berbuat onar. tenggak sekaligus. 

dan usailah...

Tuesday, November 8, 2016

Playlist Minggu Ini

Tidak banyak lagu yang saya dengar minggu ini. kebanyakan lagu dari album-album yang itu-itu saja. memang ada juga yang baru, tapi tidak bisa dibilang baru juga karena sebenarnya itu band atau album lama, hanya saja saya yang baru tahu. Berikut—dengan tendensi pamer tingkat tinggi tentu saja, seribu persen ujub dan riya’—saya bagikan playlist saya khusus berisi lagu-lagu yang saya baru tahu dan langsung suka.

1. Banda Neira – “Derai-Derai Cemara”  (1949, Musikalisasi Puisi Chairil Anwar)
Selalu ada hari dalam seminggu dimana saya akan bangun dengan kebingungan, bertanya-tanya dimanakah ini, karena malam sebelumnya sungguh melelahkan, atau jika tidak begitu mungkin kebanyakan konsumsi ethanol atau mabuk lem kayu. Dan minggu ini saya bangun pukul delapan lebih sepersekian menit di sebuah tempat antah-berantah, dan di samping saya adalah Mas Abu Wafa, sastrawan penyair kebanggaan kita semua. Segera saja saya mengingat-ingat—dan kadang ingatan memang sungguh payah—bahwa Sabtu malamnya saya memang bersama Mas Wafa nonton Scaller dan UTBBYS (oh nama band ini sungguh panjang makanya disingkat), di Marvel City, dan kemudian cangkruk di Klutik sebentar, dan kemudian karena terlalu malas pulang ke kos dan waktu itu kebetulan sedang tidak bawa kunci gerbang, saya menginap di kosan Mas Wafa yang jalan masuknya mirip kandang celeng. Tidak ada parkiran, geletakkan begitu saja motor di depan gang, maling pun ogah menjelajahi tempat macam begini (letaknya di gang bernama gang buntu). Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Mas Wafa, memang beginilah adanya, sebuah bronx yang pertama kali saya jumpai di Lidah Wetan. Masuk ke ruangan kamar Mas Wafa untung saja mendingan dan ya, tipikal kos-kosan mahasiswa sastra dengan banyak buku menumpuk sana-sini, koran-koran minggu dikliping di tembok, lukisan absurdisme, kutipan kata-kata bijak entah Sapardi atau Yesus, intinya ya begini ini kamar sastrawan. Saya sudah memesan buku Cara Menghitung Anak karya Abu Wafa dan kini berkesempatan bermalam di tempatnya menggodok karya. Warbiyasah. Satu hal yang ekletik dari kamarnya selain banyak sekali buku—dan kebanyakan belum dibaca—adalah sound system yang langsung diputar begitu kami memasuki ruangan. Dan itu mengalun terus, tiada pilihan lagu, flash disk itu tertancap disana, memutar mulai dari lagu-lagu pop kekinian sampai Efek Rumah Kaca (seingat saya, saya tertidur sesaat setelah eksekusi  lagu Menjadi Indonesia yang sungguh menggetarkan itu). Besoknya setelah bangun, melamun, dan mengambil udud, saya mendengarkan alunan folk, sayup-sayup, dan kemudian Wafa yang masih tidur seketika bangun, mengucek mata, dan seperti kebiasaan lulusan sastra pada umumnya, langsung bergairah mendengarkan karya sastra. “Enak lagu iki, musikaliasi puisine Chairil Anwar, iki lho tak dudui,” saya masih melompong kosong dan Wafa sudah bergerak menuju lemari, mencari buku, ketemu, dan diberikan pada saya. Aku Ini Binatang Jalang, kumpulan puisi Chairil Anwar. Saya membuka halaman yang ditunjuk Mas Wafa, puisi berjudul Derai-Derai Cemara, dengan salah satu bait yang membuat saya langsung melek: hidup hanya menunda kekalahan. “Iki lagune Banda Neira, aku kadang nangis ngerungokno iki.” Saya kembali melompong, melamun. Saya tidak pernah benar-benar menghayati puisi Chairil, hanya baru kali ini. Ditunjang musikalisasi yang sungguh, memang agak sedikit seperti nyanyi-nyanyi sedih (ya seperti suasana pusinya kan begitu). Dan ini saya bawa sampai pulang, lagu ini, puisi ini, entah kenapa benar-benar membekas. ‘Hidup hanya menunda kekalahan,’ anjing, kalimat yang sungguh, benar-benar  mendalam jika dipikirkan. ‘Sebelum pada akhirnya kita menyerah.’ Dan di saat itulah, saat hampir menuju klimaks itulah, suara vokalis Banda Neira (saya kurang mengerti namanya yang perempuan), seperti sesenggukan, atau menghembuskan nafas panjang. Mendalam. Momen terbaik lagu ini ada pada menit 6:21, saat suara nafas itu betul-betul menandakan akhir Derai-Derai Cemara, yang menyerah, secara elegan.

2. Barefood – “Deep and Crush”
Yang saya tahu Barefood adalah unit alternative rock dari Jakarta, dan sempat menontonnya di televisi bobrok kos-kosan saat mereka main di acara Taman Buaya Beat Club TVRI. Tentu saja mengecewakan karena TV yang busuk, antenanya pun juga bejat. Jadi yang terdengar hanya bunyi kemresek anjing dan gambar yang pecah-pecah. Jingan! Dengan terpaksa saya mengganti channel ke Tukang Bubur Naik Haji—ya tidak apa-apalah yang penting bening daripada nonton semut moshing kemresek fak. Lagu ini kemudian saya dapat dari download gratisan secara tidak sengaja, dan saya mendengarnya agak seperti... apa ya, pokoknya saya pernah dengar yang macam begini. Bukan Nirvana, bukan Pearl Jam, meski saya tahu pengaruh mereka dari sana, tidak jauh-jauh dari 90’s. Ini terdengar lebih cuek dan terasa seperti Slank, atau... o yaa, /rif. Suaranya mirip Andy /rif. Sialan. Lagu ini mantap juga didengarkan, tidak kencang-kencang amat dan cocok untuk pencinta rock kelas medium seperti saya. Bagi anak-anak band pemula yang bingung cari referensi dan ingin tetap terdengar keren, dengar saja Barefood lalu cover. Ya, setidaknya daripada Nirvana lagi Nirvana lagi.

3. Christabel Annora – "Sunshine Talks"
Lagu ini menurut penafsiran pribadi saya terasa seperti Terminal Arjosari pukul tujuh pagi, saat matahari mulai terasa, dan kegiatan warga Kota Malang mulai berjalan. Saya mendapat kopi review album Talking Days dari Ronascent, dan betapa terkejutnya saya bahwa Christabel ternyata arek ngalam sam. Mau tidak mau, ini mengembalikan memori saya tentang Malang saat mendengarkan Talking Days. Jika di lagu ini bicara tentang Arjosari di pagi hari (menurut nuansa yang saya tangkap), maka di track pembuka Early Reflections, ini seperti mengajak saya kembali ke masa kecil, di daerah Bumiayu, Kabupatan Malang, saat Ibuk masih berkuliah disana, dan saya belum genap dua tahun. Sungguh memori yang membahagiakan, dan agak melankoli nggak sih? Tidak peduli, yang pasti saya menantikan kedatanganmu di Surabaya mbak. Yuk kita nyanyi bersama sambil diiringi hujan. Saya pernah mendengarkan Frau, tapi kayaknya Christabel ini lebih masuk feelnya menurut saya. Meski sama-sama memakai keyboard dan vokal, gitu doang.

4. Efek Rumah Kaca – "Jangan Bakar Buku"
Selalu ada jalan untuk menyukai Efek Rumah Kaca. Perlahan-lahan. Tidak perlu terburu-buru. Tidak perlu dipaksa. Saking indahnya. Kamu mungkin akan kebingungan mendengarkan lagu macam begini untuk pertama kali, tidak usah dipaksa. Biarkan saja. lama-kelamaan kamu akan mendengarkannya lagi, dan merasa lagu ini begitu indah. Itu memang efek dari Efek Rumah Kaca. Saya tidak bisa menyukai band ini cepat-cepat, dan saya biarkan saja menemukan jalannya sendiri. Pun lagu ini, Jangan Bakar Buku, yang selalu saya lewati saat memutar Kamar Gelap, entah, karena begitu muram, dan belum sesuai mood, atau lagu lainnya yang begitu indah dan ingin segera diputar. Intinya saya biarkan dulu, entar lama-lama pasti akan didengarkan tanpa sengaja, dan bisa jadi akan suka. Saya selalu begitu di seluruh lagu Efek Rumah Kaca yang tidak terlalu terkenal (bahkan di lagu yang jadi lagu wajib dan hits seperti Desember atau Cinta Melulu pun kadang masih begitu). Nyatanya, benar-benar indah. Efek Rumah Kaca, benar kata Rolling Stone, adalah salah satu band paling penting yang pernah berdiri di dekade ini.

5. Katy Perry – "Teenage Dream"
Katy Perry adalah bentuk kesempurnaan seorang perempuan. Anda harus banyak melihat foto-fotonya di Rolling Stone Amerika Serikat jika tidak percaya. Tapi lepas dari itu, ada satu lagunya yang menurut saya asyik sekali untuk didengarkan di waktu sedang sumpek: ‘we young forever!’ kata dia dalam Teenage Dream yang tidak norak dan mengumbar banyak EDM overrated. Menit favorit adalah menit-menit awal lagu: suara Katy Perry bercorak khas sekali, sengau-sengau cantik, duh. Kemungkinan besar history YouTube saya akan kembali lagi search tentang mbak satu ini.

6. Scaller – “Dreamer”
Track kedua dari EP 1991 yang rilis tahun 2013. Fak mengapa saya tidak tahu ada album sebagus ini. Selain Live And Do yang jadi hits, lagu ini juga tak kalah menarik. Bercerita tentang orang yang pengen jadi ini-itu, dalam konteks hubungan, pengen jadi istri, pengen jadi sesorang yang nggak bisa ditinggalin, tapi nyatanya dia cuman pemimpi dan nggak bakal nyata. Gimana dong? Stella Gareth dan Rene Karamoy menjawabnya, masih dalam penampilan minimalis ala-ala alternative rock, dan belum mengumbar synth seperti The Youth, single mereka yang rilis tahun ini.

7. Sonic Youth – “Bull in The Heather”
Tidak usah banyak deskripsi. Band legendaris dalam kamus hidup anak-anak noise atau sejenisnya. Band ini saya baru dapat album the best nya. Cukup seru buat didengarkan, meski kawan-kawanmu akan memaki jancok band opo iki, lagu opo iki cok. Padahal nggak berisik. Temponya lambat. Dan memang cukup ganjil sih. Tapi keganjilannya yang bikin ketagihan. Nikmat.

Tuesday, November 1, 2016

Jejak Sang Begawan


Langsung dari Pulau Dewata, begawan tata bahasa Unesa mengungkapkan sejumlah besar rahasianya. Betapa hidup memang serba kebetulan dan penuh perjuangan: Diding Rohaedin bercerita apa adanya dibalik balkon hotel kelas melati. Oleh Tito Hilmawan Reditya

Perawakannya kecil. Tubuhnya agak tambun. Kumisnya tipis-tipis. Tatapan matanya lurus-lurus saja. Bijaksana ia dari bahasa dan gaya bicara. Asli Jawa Barat, Bandung tepatnya. Menetap di Surabaya lebih dari tiga puluh tahun. Begawan bahasa Unesa yang paling banyak malang melintang mendampingi penelitian mahasiswa di luar pulau: Diding Rohaedin.

“Rokok sekarang berapa harganya?” 

Ia bertanya sesaat setelah mengamati bungkus rokok putih Lucky Strike yang berserakan di meja. Kami berada di balkon salah satu hotel kelas melati dekat stasiun Ubung, Bali. Duduk berdampingan menatap apapun yang terhalang pohon dan bangunan Pulau Dewata yang tak pernah terlalu tinggi itu. Hanya dibatasi meja.

“15-ribuan, Pak.” Saya menyahut. Pecandu Indomaret lain juga tahu akan hal ini. Kecuali penggemar eceran, Indomaret dan 15-ribu untuk sebungkus rokok sudah jadi tabu.

“Bapak nggak ngerokok?” Saya bertanya.

“Hahah, saya nggak ngerokok.” Ia melanjutkan. Ceritanya straigt edge lifestyle.

“Dulu, jaman dulu sekali saya pernah ngerokok, iseng aja itu. Di dalam kereta waktu itu temen-temen saya banyak yang ngerokok. Ah, saya pikir daripada saya hanya menghirup asapnya saja, mending saya ikutan.” Kenangnya.

Di jaman dulu rokok yang sedang nge-hype adalah merek kretek dari Djarum, bukan rokok mild murah dengan kemasan ngejreng yang digemari muda-mudi.

“Kretek itu saya coba. Enggak kuat saya, rasanya merokok kok seperti ini. Nggak enak, jadinya saya nggak pernah merokok setelah itu.”

Acap kali yang keluar dari mulut Pak Diding beda jauh dengan apa yang ia ajarkan dalam kelas. Tata bahasa baku, kalimat sempurna, morfologi, fonologi, morfem dan apa itu namanya yang mungkin hanya dihafal mahasiswa tingkat akhir yang mengambil tema kebahasaan dengan buku diktat setebal kitab Sun Go Kong. Tapi saat perbincangan, tak pernah ada hal-hal kaku membosankan semacam itu. Pak Diding adalah tokoh fleksibel yang mudah kita ajak bicara. Layaknya teman-teman lama yang kita temui saat nongkrong di warung kopi sederhana tepi jalan. Enjoy, rileks, menyenangkan. Tiada batas dosen-mahasiswa. Begawan-medioker. Berumur-masih hijau. Sekat itu meluntur sejak awal perbincangan.

“Dji Sam Soe juga dulu banyak yang suka. Banyak yang ngerokok itu.” ujarnya.

Beliau juga paham menjelaskan bahwa Dji Sam Soe adalah rokok tanpa filter. Sementara kebanyakan merek rokok memakai filter.

“Itu pasti rasanya beda.”

Dari beberapa kamar di sebelah yang sebagian berisi mahasiswa Unesa yang besoknya akan menuju daerah Penglipuran, Bali untuk melakukan penelitian, saya dan Pak Diding kembali berbincang. Kemeja flannel saya masih menggantung, dan beliau hanya memakai singlet putih. Kegerahan. Hotel kecil yang saya tempati tak memberi dampak kebahagiaan ataupun kesenangan apa-apa. Kasur yang tak seberapa empuk, pendingin ruangan yang bermasalah, selimut ala kadarnya juga paling membuat kami—saya dan Pak Diding—tak betah adalah siaran televisi antenna dengan channel kampungan yang hanya berisi pemujaan berlebih terhadap Mahabarata.

Dari kejauhan tampak temaram. Malam datang begitu cepat. Banyak hal yang dilalui seharian ini yang membuat mulut menguap, cepat. Perlahan tapi pasti rasa kantuk itu datang. Tapi tidak dengan cerita-cerita Pak Diding. Malam masih panjang. Dan ini baru saja dimulai.

Dari balkon tempat kami berada, terlihat banyak muda-mudi sedang asyik berduaan. Mengukir kisah tak peduli di gang-gang Kuta, pantai penuh turis, sampai malam ini, depan kamar hotel.

“Itu seneng banget keliatanya, cowok menghampirin cewek.” Beliau membuka percakapan. Ada rasa Sunda dari logat dan suaranya.

“Saya dulu tak pernah seperti itu. Tak pernah ada pacar-pacaran gitu.”

Waktu Indonesia Bagian Timur seakan melambat dengan cerita Pak Diding. Saya semakin tertarik.

Pak Diding adalah dosen muda. Di era generasi bunga 70-an, matinya Beatles dan gegap gempitanya Zeppelin dan Stones, beliau menjalani hidup ala lelaki jantan yang penuh semangat rock and roll. Di tahun-tahun kisaran 70-an inilah Pak Diding mulai hijrah ke Surabaya. Waktu itu kampus jurusan Bahasa Indonesia masih berada di Ketintang. Bisa kita bayangkan suasana Surabaya waktu itu masih amat panas, menggebu-gebu dan bising dengan AKA maupun SAS—unit rock indopahit kebanggaan Surabaya. Sebagai dosen muda, Pak Diding waktu itu masih indekost. masih mencari-cari kehidupan yang pas. Dan ternyata, menjadi dosen tata bahasa adalah jalan yang ia tempuh sampai hari ini.

“Waktu itu setelah saya selesai kuliah di Bandung, saya pindah mengajar di Surabaya.” kenangnya. “Dari situ banyak berjuangnya.” 

Suatu hari, di daerah sekitar Ahmad Yani, Pak Diding sedang mengendarai motor. 70-an adalah masa dimana memegang kendali mesin dan melepas-tekan kopling adalah sesuatu yang jantan. Safety riding sudah berlaku. Tapi kejadiaan itu diawali saat motor yang ditumpanginya harus mengerem mendadak karena suatu hal. Motor beliau oleng ke kanan dan...

Brak!

Beliau resmi mengalami kecelakaan perdana di Surabaya.

“Tangan saya rasanya kok gak enak gitu” (menunjuk tangan kanan) “Digerak-gerakkin kok kayak susah. Wah ini pasti patah.” ujarnya.

Beliau cepat tanggap mengetahui bahwa tangannya patah. Dulunya Pak Diding sempat bermain bola dan mengalami cidera. Tangannya patah.

“Dulu sewaktu di Bandung saya pernah patah tangan saat main bola. Jadi saya ngerti rasanya patah tuh gimana.” jelasnya.

Mungkin ini adalah alasan tak langsung mengapa jalan hidup beliau tak menjadi pemain Persib. Tapi semangat bobotoh sejati tetap ada dalam nafas, juga logat bicara.

Dari situlah kisah romansa Begawan tata bahasa dimulai. Saat sebelum peristiwa kecelakaan naas itu, Pak Diding sempat mendampingi mahasiswi untuk skripsi. Ada satu mahasiswi asal Ngawi waktu itu yang mengambil bahan skripsi penelitian bahasa Sunda. Ternyata sanak kerabatnya juga berasal dari Bandung. Atas dasar kesamaan daerah dan karena memang Pak Diding cukup paham bahasa Sunda, bimibingan pun terjadi. Tapi setelah beliau kecelakaan dan beritanya menyebar di kampus, segalanya seperti tak akan pernah sama lagi.

“Waktu itu saya sudah tak bisa melakukan apa-apa. tangan kanan saya tak bisa digerakkan. Berita kecelakaan saya sudah menyebar di dosen-dosen dan para mahasiswa. Saya bingung juga harus bagaimana. Makan sendiri tidak bisa. Cuci baju tidak bisa.  Pokoknya sudah tak bisa ngapa-ngapain.”

“Emang keluarga ibuk kos pada kemana, Pak?”

“Masak minta tolong mereka. Ha-ha. Pokoknya waktu itu saya sedang bingung-bingungnya.”

Pak Diding tinggal di sebuah indekost yang menyatu bersama rumah ibu dan bapak kost-nya. Waktu kecelakaan itu bapak kost jugalah yang membawa beliau berobat.

“Waktu itu saya minta diantar Bapak kos, ‘pak antarkan saya berobat’. Saya mintanya ke Rumah Sakit Dokter Sutomo, Karang Menjangan situ.” Beliau menjelaskan sambil menerawang masa-masa itu. “Tapi biayanya mahal sekali waktu itu. Dokter menyuruh operasi. Wah saya tak mau.”

Akhirnya Pak Diding hanya di gips dan disuruh istirahat. Ini adalah masa sulit. Pak Diding seakan tak berdaya. Tangan kanan sebagai penopang tak bisa dibuat apa-apa. Bahkan untuk menanak nasi pun kesulitan. Di saat itulah muncul sosok malaikat. Tanpa menyebutkan nama, Pak Diding menceritakan awal kisah cinta dengan istrinya, yang telah dinikahinya hingga saat ini.

“Sebelumnya saya sempat membimbing skripsi mahasiswi. Anaknya asal Ngawi. Ngambil skripsi tentang bahasa Sunda. Sedikit banyak saya mengerti lah. Jadilah saya pembimbingnya.” Terang Pak Diding.

Berita tentang musibah yang menimpa Pak Diding akhirnya sampai juga di lingkungan kampus. Mulai dosen, sampai mahasiswa, banyak yang tahu musibah itu. Termasuk juga mahasiswi yang kebetulan dibimbing skripsi oleh Pak Diding tersebut.

“Waktu itu saya bingung. Nggak bisa ngapa-ngapain. Apa saya pulang ke Bandung saja? Begitu pikir saya. Tapi tak berapa lama, mahasiswi saya itu datang ke kos. Seorang diri.”
Mahasiswi inilah kemudian yang merawat Pak Diding. Segala keterbatasan Begawan tata bahasa ini praktis dibantu oleh mahasiswi itu. Lingkungan kos Pak Diding yang menyatu dengan rumah keluarga yang punya kos membuat kunjungan tersebut aman-aman saja dan tak menimbulkan masalah berarti.

“Kosan saya itu gabung sama rumah bapak sama ibuk kos. Jadi walaupun nerima tamu cewek gitu ya masih bisa diawasi.” Jelasnya.

Dari awal tak pernah ada perasaan apapun. Hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Tapi ketelatenan mahasiswi itu membantu Pak Diding mulai dari makan, mengambil sesuatu sampai mencuci membuat hubungan mereka semakin akrab.

“Saya belum pernah pacaran. Ha-ha. Bagaimana rasanya pacaran itu saya juga tak mengerti.” Ia berkata sambil terus memandangi muda-mudi depan hotel kami yang sedang asyik bercengkrama.

“Asyik kelihatannya.” katanya sambil tertawa. Saya tersenyum pahit saja. Kesendirian ini begitu busuk, batin saya.

Keakraban Pak Diding dengan Mahasiswi itu makin terasa saat Pak Diding memutuskan untuk pulang saja ke Bandung, berkunjung ke rumah keluarganya. Karena tangan kanan di gips, otomatis Pak Diding perlu bantuan. Jadilah mahasiswi tersebut ikut mengantar Pak Diding ke Bandung. Kereta menjadi pilihan mereka berdua menuju Kota Parahiyangan.

Pak Diding juga sempat bercerita bahwasanya mahasiswi ini adalah orang yang taat—alim istilahnya.

“Waktu itu saya tak sengaja menyentuh tangannya. Ia langsung menghindar dan bilang bukan muhrim. Jadi kesimpualnnya ini gadis baik-baik.”

Setibanya di Bandung dan ramah-tamah dengan keluarga besar, ada sedikit masalah.

“Saya menceritakan semuanya ke keluarga saya, termasuk si cewek itu. Dan mungkin ada sedikit tekanan bahwa hal seperti itu kurang pantas. Perempuan bersama laki-laki yang bukan muhrim. Akhirnya daripada menjadi aib, mending nikah siri saja. Hanya untuk menutupi aib.”

Pak Diding setuju, begitu pula si mahasiswi. Dilangsungkanlah pernikahan siri itu. Hanya sebagai formalitas karena setelah itu, si mahasisiwi kembali ke Ngawi dan Pak Diding masih di Surabaya.

“Saya nikah ya nggak ngapa-ngapain. Istri saya di Ngawi, saya di Surabaya sini. Jadi jauh-jauhan. Di Ngawi kata istri, banyak lelaki yang menghampiri dia. Tapi saya percaya saja, pasrah saja. Terserah dia mau pilih lelaki itu atau saya. Kalau jodoh kan emang nggak kemana. Makanya saya pasrah.”

Proyek nikah Pak Diding ini ternyata lebih sederhana dibanding mata kuliah yang biasa beliau beri di kelas. Andaikata nikah semudah itu, tentu kuliah akan jadi nomor dua. Istrinya ternyata masih menjaga ikatan perkawinannya, tak hanya di masa itu, tapi juga hingga saat tulisan ini ditulis. Cinta sejati, siapa yang mampu menolaknya?

“Ternyata dia tak menghiraukan lelaki-lelaki yang datang. Dia sadar sudah punya suami. Ha-ha. Ya sudah, baguslah. Saya juga dari awal percaya dia nggak bakal macam-macam, di Ngawi itu kan banyak kelaurganya, ada kakak-kakaknya, jadi pasti bisa menjaga adiknya yang udah kawin itu he-he.” tambah Pak Diding.

Lika-liku kisah cinta Pak Diding yang sudah diresmikan dan bertahan hingga sekarang mungkin akan terasa sedikit aneh jika diceritakan di masa kini. Saya hanya tertawa-tawa saja mendengar cerita beliau. Bagi saya—dan pastinya kebanyakan muda-mudi—hidup terasa begitu anjing tanpa pacar. Tapi Pak Diding membongkar mitos itu, mendekonstruksi ulang makna pacaran dan membuat konsep baru bahwasanya tanpa pacaran pun hidup normal-normal saja. Saya tersadar.

Kisah cinta ini berlanjut di Bandung. Entah bisa disebut kisah cinta atau tidak karena segalanya berjalan seperti guyonan. Seperti di film-film Warkop dimana kisah-kisah cinta malah terasa menggelikan. Dono dan Eva Arnaz adalah contoh yang baik dalam mengajarkan bahwa cinta sebenarnya hanyalah permainan dan iseng belaka. Tapi contoh yang lebih real hadir di samping saya sekarang: cerita legendaris Pak Diding.

Di Bandung pun mereka masih jauh-jauhan. Pak Diding di rumah keluarganya, sementara istrinya, tinggal di rumah sanak saudaranya di Bandung.

“Di Surabaya jauh-jauhan, di tempat yang sama, Bandung pun, masih jauh-jauhan. Ha-ha-ha.”

Kehidupan menyenangkan. Pak Diding menceritakan tanpa beban. Mengenang kisah kecelakaan tak pernah semenarik ini. Biasanya ada bumbu-bumbu sedih klise. Tapi beliau malah mengungkapnya di level kebahagiaan tingkat tinggi. Jelas mahasiswi inilah pemicunya. Dari sini saya bisa tahu, dari awal memang ada cinta yang terselip di hati keduanya, meski mereka tak pernah sadari itu.

Betapa hidup hanya iseng. Keisengan yang penuh perjuangan. Sekembalinya Pak Diding ke Surabaya, kos mungkin sudah terlalu lapuk bagi dosen muda seperti beliau. Ada tawaran yang menggiurkan di kalangan para dosen: punya rumah sendiri. Yang menggiurkan bukan itu, tapi hal dibaliknya: rumah dengan cicilan rendah.

“Waktu itu Pak Mulyono yang menyerankan saya punya rumah sendiri. Akhirnya lama-lama tergiur juga.”

Selanjutnya, Pak Diding memiliki rumah sederhana yang waktu itu masih dibangun dengan batako, bukan batu bata seperti rumah kebanyakan. Tiada barang. Rumah masih kosong. Dekorasi masih jelek. Banyak cerita dari rumah itu. Sampai-sampai Pak Diding merenovasi ulang rumah itu untuk ditinggali sanak saudaranya dari Bandung yang kebetulan kuliah di Surabaya.

“Setelah saya renovasi, saudara saya yang dari Bandung saya suruh tinggal disitu. Kebetulan banyak yang kuliah di Surabaya. Akhirnya rumah itu ada yang menempati.”

Perjuangan Diding tak berhenti disitu. Sempat juga beliau bercerita tentang mobil pertamanya. Mungkin waktu itu memilik mobil sudah dianggap tajir, kaya, dan berkelas. Sementara Pak Diding sebagai dosen muda sudah memilik mobil. Tentu ini menjadi perbincangan di kalangan dosen.

“Contohnya pas saya beli mobil itu. Banyak yang ngomongin di kampus, yang beginilah, yang begitulah.”

Pak Diding memiliki mobil bukan untuk pamer, bukan juga untuk alasan muluk-muluk.
“Waktu itu ‘kan lagi musim hujan, wah saya nggak bisa ini kalau naik motor hujan-hujan. Nah, akhirnya saya beli mobil aja, walaupun hujan tetep bisa kerja, nggak basah-basah.”
Mobil pertama itu memiliki banyak kenangan. Diantaranya adalah cerita legendaris perjalanan pertama beliau dari Surabaya menuju Malang menggunakan mobil. Mobil tersebut mogok karena kehabisan bensin. Dan setelah kejadian itu Pak Diding mungkin menganggap Surabaya memang kota yang keras.

Entah mobil itu masih ada apa tidak. Saya yang beberapa kali sempat berkunjung ke rumah beliau di kawasan Driyorejo sempat melihat sejenis mobil klasik terparkir di teras yang disulap jadi garasi. Belum jelas apakah benar itu mobil bersejarah itu atau bukan. Tapi yang pasti, tidak bisa tidak, saya harus mengakui satu hal.

Cerita Pak Diding lebih klasik ketimbang mobil apapun.

***
Catatan Penulis:
Tidak terasa waktu berlalu sedemikian cepat. Saya masih semester awal saat tulisan ini ditulis. Sengaja tidak cepat-cepat dipublikasi. Saya memilih menggodoknya dan menambahkan cerita-cerita lain tentang Pak Diding. Salah satu mahasiswa kesayangannya, Tri Nanang dari PA 2013 juga sempat ‘didongengi’ beliau saat melakukan penelitian di Bandung. Ceritanya sama persis dengan apa yang disampaikan beliau di Bali. Jadilah saya dan Tri kemudian juga tertarik berburu kisah pelengkap. Saya ingin menggali lebih dalam mengenai Pak Diding, lewat mungkin mahasiswa-mahasiswanya, atau bahkan keluarganya.

Tapi waktu, sekali lagi bergerak amat cepat. Pak Diding kini sudah menjadi Ketua Jurusan Sastra di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa. Saya juga sudah mulai harus berpusing-ria dengan skripsi. Duh. Obesesi saya untuk menggali kisah Pak Diding sepertinya harus diredam. Keputusan awal untuk mengendapkannya dan berharap ini akan jadi sempurna mungkin belum atau bahkan tidak akan pernah terwujud. Jadi, selagi ada waktu dan belum dikhianati lupa, saya memutuskan untuk meluncurkan cerita ini. Setidaknya meski belum sempurna, saya sempat menulis dan merekam secuil jejak Sang Begawan Tata Bahasa ini.

Akhirnya, tulisan lama di tahun 2014 terpublikasi juga. Terima kasih untuk Pak Diding dan rekan-rekan Sastra Indonesia 2013. Tanpa kalian, tulisan ini tidak akan pernah ada.





WAKTU HIJAU DULU:
BALI, 2014. BERSAMA PAK DIDING
MINUS ARDAN HUDA DAN BEGUNDAL-BEGUNDAL
YANG MENYINGKIR