Tuesday, December 5, 2017

Desember dan Lapis Kenangan Pertama

Hujan di bulan ini selalu membawa perintilan-perintilan yang dijahit lagu Efek Rumah Kaca. Bosen ya? Tidak juga. Lagu Desember selalu magis, tidak pernah berkurang dan mengalami erosi kenikmatan saat mendengarkannya. Meskipun sudah kepalang sering jadi anthem galau nan insecure dari bocah-bocah yang baru kenal ERK tahun lalu dan merasa sudah menemukan tambatan hati, menemukan 'yah ini band gue banget'--atau yah, hanya sekadar 'ok bagus nih, keren juga kalau gue dengerin gini'. Motif orang mendengarkan musik macam-macam. Saya tidak peduli juga motivasimu mendengar musik itu apa: soalnya ada banyak kemungkinan dan saya tidak mau mengurusi orang lain. Termasuk Desember, yang menurut saya jadi pencapaian besar banget di musik Indonesia. Desember lahir di saat generasi terakhir MTV digempur sama Matta, The Harry Potters, dan Kangen Band. Ada juga Merpati Band, haha anjing. Cholil yang sekarang jadi legenda dulunya mah apa, seperti mahasiswa tingkat akhir yang sedih dan bikin band-band-an, terpengaruh Radiohead, gelap dan murung. Saya lihat di jaman-jaman pertama kali kemunculannya di TV. Melabrak semua video klip yang ada saat itu. Desember jelas sekali dipakai dengan budget seadanya, sengaja monokrom, menyorot orang hujan. Dan Cholil menyanyi melihat jendela. Agak aneh pada awalnya. Dan mungkin karena di momen itu, hujan benar-benar memberi saya kenangan yang sedap-sedap, saya selalu memutar Desember untuk merasakan kembali atmosfer kenangan itu.

Kenangannya berlapis. Ada satu, dibalut lagi, dibalut lagi. Jadi Desember ini lagu yang lumayan berhasil mewadahi banyak kenangan sekaligus. Semuanya melankolis, sendu, hujan. Dan ada di bulan Desember. Mungkin lagu ini muncul saat kita masih pakai putih biru, dan MTV sudah di ambang kelesuannya. Saya nonton ini pertama kali di rumah mbah. Sewaktu habis hujan-hujanan sepulang sekolah. Saya bisa merasakan wax di rambut saya meluntur, bercampur bersama bau keringat dari baju batik SMP saya. Saya lekas diberi handuk untuk mengeringkan badan, sementara seragam masih terpakai. Televisi menyala, dan nenek saya adalah penggemar sinema menjelang siang yang sering membahas pembalasan alam kubur seorang yang biadab di masa hidupnya. Saya mengotak-atik remote, dan menonton MTV Ampuh seperti kebiasaan saya di rumah. Senyum dan -ehem VJ Marissa adalah salah satu hal terbaik yang pernah saya lihat sewaktu SMP. Lalu, Marissa si gemas mulai berkhotbah tentang chart, dan saya menahan diri untuk tidak terpukau dengan tanktop putihnya dan apa itu sesuatu yang mencuat di dalamnya. Lalu muncullah video hitam putih. Cholil dan kawan-kawan.

Dan Desember resmi mewadahi lapis kenangan pertama.

Saturday, November 25, 2017

23

Twenty three years, i still haven't clue
Stop thinking the past, i don't think i'll ever do
Driving through the town in black and blue
Maybe today i'll catch a glimpse of you

Jujur orang macam apa yang bisa lupa dengan umurnya sendiri, kecuali orang itu benar-benar penat dan sibuk--atau orangnya benar-benar ngehek minta ampun. Saya mungkin termasuk golongan pertama, tapi tidak menutup kemungkinan masuk ke golongan dua juga. Sejam lagi saya ulang tahun, tapi saya lupa berapa pastinya umur saya. 22 atau 23? Atau jangan-jangan 24? Apakah saya sudah betul-betul kehilangan jatidiri maknawi sampai-sampai tidak sadar usia? 

Saya selalu ingat hari ulang tahun saya sendiri. Ini bukan karena saya pengingat yang baik, atau tukang lihat kalender setiap saat. Mungkin karena Bapak di rumah sudah lebih dulu mengingatkan tadi sore: besok ulang tahun ke 23, ya?--Bapak selalu WhatsApp sehari sebelum saya ultah, memberi ucapan langsung juga sehari sebelum ultah. Entah kenapa. Bapak memang orang yang tidak suka menunda-nunda saat melakukan sesuatu. Selagi ingat dan ada kesempatan, harus segera dilaksanakan. Tapi ya masak itu harus diterapkan saat mengucap ulang tahun juga.

Mengingat ulang tahun adalah mengingat momen; bukan umur. Umur tidak mendefinisikan hidup, tapi momen, suasana. Bukan seberapa lama kita hidup, tapi sudah berapa banyak yang kita alami saat hidup, berapa banyak yang kita lakukan saat hidup. Pertanyaan sulit. Saya pun belum melakukan apa-apa. Tapi beruntungnya, saya selalu mendapat momen-momen, kejadian-kejadian, yang membuat hidup saya tetap hidup. Entah itu sedih, bahagia, keparat, menyenangkan, kepalang brengsek: intinya saya selalu berusaha merayakan semuanya. Hidup untuk hidup.

Kurang dua tahun lagi usia saya sudah seperempat abad. Selanjutnya apa? Menikah? Tuhan berencana, manusia yang menentukan. Tapi saya belum tentukan apa-apa, jadi biarkan Tuhan bereksperimen dengan rencana-rencananya, di lab kimia semesta raya.

Toh di 23 tahun ini, masih banyak kebingungan yang berseliweran di kepala. Siapa saya, siapa Tuhan, apa tujuan hidup saya, saya harus melakukan apa? Mungkin saya akan menemukan titik terangnya, saat saya memilih untuk terus menikmati perjalanan. Perjalanan panjang.

Gone are the days of youth
I'm left with nothing but the truth
And yet i'm stumble and fall trying to find something real
The clock keeps on ticking, time doesn't heal

Seringai pernah bilang kalimat ngehek: saat pertama kali kamu mendengar musik keras, saat itulah usiamu berhenti. Saya pertama kali dengar Burgerkill di usia 14 tahun (atau mungkin Bluequthuq di usia 12 tahun). Jadi usia saya sekarang masih 14, masih SMP. Semangat itu masih ada di sini (menunjuk hati), tapi lama kelamaan saya tidak bisa bohong juga. Yang dimaksud Seringai adalah sisi senang-senang. Bahwa kesenangan orang tidak boleh berhenti. Tapi kedewasaan? Jelas, setiap orang pasti mau tidak mau harus dewasa. Umur 23 mungkin adalah sisa-sisa terakhir masa muda, sebelum segalanya menjadi tampak serius dan old. Sebelum masa banter-banternya cari uang dan mikir kawin. Sebelum hidup harus dirombak habis-habisan, dari akhlak, moral sampai relijiustas. 23 adalah batas antara muda dan tua: beberapa langkah menuju seperempat abad hidup. Beruntunglah kalian yang pernah jadi bengal dan ugal-ugalan. Viva alkohol murah dan substansi halusinogen. Viva hidup punk rock porak-poranda. Usia 23 sudah hampir memotong semua, meskipun kesenangannya masih terasa. 23 sisakan kebenaran-kebenaran yang makin lama makin tampak, keputusan-keputusan yang mau tidak mau harus kita pilih dan jalankan. Walaupun banyak halang rintang, batu kerikil tajam, terjatuh, berdiri lagi, tersandung, tunggang-langgang. Usia 23, waktu dimulai lagi. Terus berjalan, tidak bisa dihentikan. Usia 23, selamat ulang tahun untuk diri saya.

tulisan bercetak tebal dicomot dari Vague - "23" 

Nuran Wibisono: Menulis Musik Adalah Mimpi Basah

Oleh: Redaksi Ronascent
bisa dibaca di sini

Nuran Wibisono: kedua dari kiri
Nice Boys Don’t Write Rock And Roll; judul buku terbaru Nuran Wibisono ini menyatakan sesuatu yang sejak dulu kala jadi perdebatan: seperti apakah kapasitas seseorang untuk bisa jadi penulis rock and roll? Apakah harus sangar—‘honest and unmerciful’—seperti Lester Bangs di Almost Famous—mengingat William Miller, jurnalis rock cilik di film kesayangan kita itu, sungguh mewakili term ‘nice boys’. Seperti apa seharusnya? Nuran tidak menjawab pertanyaan kita, tapi sudah melakukannya. Whatever, nice boys or bad guys—rock and roll, or anything music in your pocket playlist; semua bisa menulis musik. Nuran bukan tipikal bajingan tengik seperti Bangs atau Thompson—merokok saja tidak. Bukan juga sosok yang terlampau imut untuk bisa dikatakan ‘nice boys’. Nuran sebagai orang biasa-biasa saja, tanpa kepentingan dan pretensi apapun, tanpa beban dan tanggungan apapun, menulis musik hanya sebagai bentuk kecintaannya mendengarkan Guns N’ Roses, The Doors, dan ribuan band favoritnya. Nuran tidak bisa (atau tidak mau?) dicap sebagai jurnalis musik. Dirinya mungkin bisa disebut pengulas musik ugal-ugalan (sempat baca 5 Album Terburuk Indonesia 2009 dan 2010 di JakartaBeat?). Tapi, disitulah letak serunya buku ini: puluhan esai yang ditulis dengan kecintaan pada musik yang ceplas-ceplos, apa adanya, minim saringan, dan kaya akan kesenangan. Buku ini sangat worthed untuk dimiliki dengan satu alasan bagus: siapapun yang membacanya dipastikan terinspirasi untuk menulis musik juga. Apapun kapasitas mereka.

Tito Hilmawan Reditya, salah satu penulis di Ronascent, berkesempatan menanggapi buku ini di acara bedah buku bersama Nuran, di c2o Library Surabaya, akhir Oktober kemarin. Tito—yang mengaku terinspirasi untuk mulai menulis musik dan membuat zine sesudah membaca esai Nuran yang berjudul “30 Lagu yang Membuat Jembutmu Rontok Satu Persatu”—harus mengakui kalau buku babon ini bisa memicu terbitnya buku-buku sejenis. Selama ini rilisan buku musik di Indonesia amat sangat jarang. Mungkin divisi Elevation Books milik Taufiq Rahman, adalah angin segar untuk permulaan. Elevation sudah merilis tiga buku esai musik, yang salah satunya ditulis Herry Sutresna—pentolan Homicide. Nuran kemudian mulai menyusul, dengan gaya tulisannya sendiri. Kalau Taufiq lebih menyorot hubungan musik dan sosial politik—pun juga Ucok, tapi tulisan Nuran terasa lebih personal dan ringan.

Esai-esai musik dalam Nice Boys dibuka dengan nama bab yang mengutip lagu-lagu kegemaran Nuran—tentu saja seputaran hair metal dan ‘Almighty’ The Doors. Di bab pertama Nuran menuliskan dengan hangat awal perjumpaannya dengan musik, lalu mengenal jurnalisme musik, lalu bagaimana semua itu bisa mengubah arah hidupnya. Phillips Vermonte—founder Jakarta Beat—tidak sengaja membaca tulisan Nuran saat sedang mencari kontributor untuk website barunya. Perkenalan dengan Nuran dituliskan Phillips di Kata Pengantar buku ini. Lalu di bab kedua dan seterusnya, lebih fokus pada satu bahasan. Membahas hair metal, slank, musik Indonesia—itu diantaranya. Beberapa tulisan tentang Slank belum pernah dimuat dimanapun. Nuran mengaku, proyek menulis Slanknya batal, entah karena apa. Padahal dia sudah selesaikan separuh tulisan.

Untuk tulisan lain kebanyakan sudah dimuat di blog Nuran—nuranwibisono.net—dan di beberapa media. Tito, yang sudah jadi pembaca blog Nuran sejak SMA, menganggap tulisan Nuran selalu tampil apa adanya; ringan, sedikit slebor, agak urakan, dan sangat menyenangkan. Nuran dianggapnya setara Rudolf Dethu, dalam konteks propagandis hair metal nusantara. Keyword hair metal di Google entah bagaimana caranya bisa langsung mendeteksi blog Nuran. Tulisannya tentang Sangkakala ataupun GRIBS atau siapa saja dedengkot rocker gondrong Indonesia sangat-sangat energik. Ada perasaan meluap-luap, dan kecintaan yang tinggi pada objek tulisan.

Ayos Purwoaji moderator diskusi sempat bertanya pada Nuran: apakah ada otokritik untuk buku ini? Nuran menjawab, kekurangannya mungkin buku terlalu tebal: tulisan terlalu banyak. Nuran mengaku terlalu malas untuk mengkurasi, atau mengedit tulisan-tulisannya. Alhasil, buku perdananya terkesan tumplek blek. Sedangkan menurut Tito, buku Nuran mungkin bisa jadi semacam kitab suci bagi pencinta hair metal—atau musik apapun. Atau kalau frasa kitab suci terlalu berat, anggaplah buku ini sebagai buah cinta dari Nuran, pada siapapun yang masih percaya kalau rock and roll belum mati, masih berusaha menggondrongkan rambut, pakai banyak gelang, dan setia pakai DocMart—atau Converse. Meskipun saat bedah bukunya Nuran pakai kaus Seringai, tapi bolehlah itu dimaknai sebagai tanda kalau penulis musik seharusnya terbuka. Nuran sudah membuktikannya: dalam buku yang berlabel rock and roll dan bernuansa sangat glam metal, terselip satu dua tulisan tentang Peter Pan dan... Ahmad Dhani.

Menutup tulisan, Kharis Junandharu dari Silampukau yang sempat hadir di diskusi bertanya pada Nuran dan Tito, tentang pengalaman terbaik yang pernah dialami saat jadi penulis musik. Tapi entah, sepertinya pertanyaan tidak terjawab. Keduanya malah tersenyum dan kemudian tertawa bahagia. Karena seperti kata Nuran:

Bagi orang yang mencintai dunia musik, bekerja sebagai penulis musik adalah mimpi basah... Tapi namanya juga mimpi basah, ketika terbangun setelah merasakan nikmat, kamu akan berdecak kesal. Celana dalammu basah dan lengket. Dan kamu harus mandi besar...” 


Thursday, November 16, 2017

GAUNG - Opus Contra Naturam: Berada Di Ambang Sakit Jiwa


Opus Contra Naturam. Melawan alam, bla-bla-bla. Khusus untuk duo bernama GAUNG, post-rock meluap-luap, bahaya laten ampli Orange, menabuh genderang sekeras-kerasnya, sampai lampu mati, sampai gerah, sampai biadab, sampai sekarat. Menulis album berhulu ledak tinggi—naik, naik, naik, sampai panik dan hancur sendiri—adalah keasyikan dan ego pribadi. Jangan dengarkan album ini di motor pakai headset jelek kalian, atau di audio mobil, atau dimanapun yang berpotensi melabrak dan menabrak orang sampai mati. Semenyeramkan yang kalian kira, semenghanyutkan yang kalian bayangkan. Dengan cover mata lebar yang siap menusuk mata kalian. Secara pribadi, lagi-lagi kami tekankan, ada banyak bahaya berkeliaran di album ini. Secara halus seperti Crimson Eyes-nya Sigmun tapi nir vokal, dengan tetambahan sound-sound gaib yang dipinjam dari air got neraka. Terdengar kasar lagi berisik, kadang apa adanya pula, monoton mempermainkan jalan pikiran. Filsuf Wikipedia. Puisi-puisi liris Amerika Latin. Paha montok dan empuk dalam daya khayal paling brutal di dimensi kelainan seksual yang diidap pekerja-pekerja yang siang kepanasan dan malam tersembur angin. Menyemburit gulita. Tenang, ini baru beberapa track. Lucidae—seperti mimpi buruk orang keparat, sesudah minum obat batuk kemenyan. Eridanus Supervoid—jika tidak salah eja—terkapar sambil memintal besi dengan gigi geraham, tembus lambung terkoyak jadi tinja timah panas. Menantikan si beruntung yang bisa dapatkan sisi halusinatif dalam tepar mabuk ciu saat hampir subuh. Persetan jurnalisme musik paten, persetan Almost Famous—dan impian menjudge semua rockstar di dunia semau gue. Apa bedanya pendengaran dengan puisi; kalau nyatanya GAUNG tidak bisa diperjelas dengan bahasa-bahasa abjad manusia. Ini melampaui alam pikir, tanpa berniat hiperbolis.

Kami menghalau berbagai bahasa-bahasa yang digunakan umat manusia, baik buruk atau ceracau-ceracau talkshit di media sosial. Ini adalah kegelisahan yang tidak baik-baik amat buat ditumpahkan. Ada tanggung jawab buat pembaca—kalian-kalian, pemalas pemadat yang baru bangun usai dhuhur lalu digempur kewajiban lagi dan lagi, tanpa henti, dan akhirnya berhenti sejenak, pakai komputer kantor untuk membunuh malam, streaming gratis album ini. Berusaha menemui kekosongan namun susah karena tidak biasa tirakat, jadilah empuk-empuknya gendang telinga—dan anggur merah yang tinggal seperempat botol—merampok kesadaran sambil menggigit ujung guling, dengan layar streaming komputer, berusaha menghibur diri dengan mengulang-ulang Annie Hall-nya Woody Allen. Itu sudah sampai pada Killing With Virtue yang sok kepedean. Entah harus berbuat apa lagi di malam yang sepekat ikan asin di tenggorok. Sound yang kalian kencangkan kalian kecilkan lagi karena ada bapak-bapak berumur pengemudi taksi online, tepat di sebelah kamar pondokan kos kalian baru selesai berwudu atau sembahyang. Jadilah dalam seolah-olah senyap, sound murah 80 ribuan, menggergaji jins-jins kalian yang kumal dan belum tersentuh sajadah.

Old Masters: A Comedy—mau ngomel apalagi? Orang gila, penulis gila bodoh yang dengan gobloknya meracau demi review sisipan, demi mengabadikan apa yang tidak bisa diabadikan oleh waktu?—atau harus mengalah dan jadi budak kehampaan mimpi, tidur sambil ngaceng, dionani oleh pantat-pantat dalam lelap. Bibir-bibir kering yang bau asbak, selama dua ribu empat ratus tiga belas abad, hanya merokok dan merokok, menabung umur di pejagalan nikotin. Lembab, dan hanya esok yang tahu akan seperti apa jadinya.

Evidence Of Extraordinary Bliss. Muak sudah jadi keseharian. Di sini kegoblokan bertebaran di manapun, menyentuh sisi kemanusian yang kadang bikin menangis. Ingin rasanya gorok diri sendiri, putus asa. Namun lebih baik dihunuskan ke perut kalian, wahai fasis, wahai tukang cobek tengik, yang bersenjata. Ancaman dan intimidasi—kuncinya. Jurnalis CNN Indonesia melaporkan apa-apa yang perlu dilaporkan dan nantinya akan diolah oleh GAUNG jadi bahasa Filipina dengan backsound monoton. Siapa yang sudah belajar bahasa Filipina—atau baiklah tidak usah belajar. Dengarkan irama sudut bibirnya: dia wartawan yang melihat temannya digebuki sampai mati. “Kehidupan sebagai jurnalis tidak pernah tenang,” kata si pembawa berita, melaporkan. Di Filipina sana nasibmu akan empuk seperti pantat Harto yang doyan mengunyah kebebasan. Saat kemanusiaan telah mati, saat nilai-nilai jurnalistik berada di asam lambung yang berkuasa, saat itulah kita butuh mengocok batang kontol kencang-kencang, membayangkan hal-hal paling busuk tentang sadomasokis, lelah karena apapun yang sudah diperjuangkan, apapun yang sudah dilawan, tidak benar-benar mewujud jadi apa yang dinamakan kesetaraan. Kehidupan murah dengan moncong peluru, atau uppercut petugas yang—sudahlah... nyatanya kita tidak sekuat Marconi Navales, di perjalanan menuju Mindanao yang jadi ladang pembantaian berbahaya dalam lagu ini.

"Saya melihat rekan-rekan saya terkapar di tanah, tewas bersimbah darah. Bulu kuduk saya berdiri, air mata saya mengucur. Saya terpukul dan saat itu saya tahu bahwa tidak ada jurnalis yang aman di sini,"

Mau apa wahai manusia? Dengarkan saja ini, sampai anggurmu tinggal tetesan yang tak mungkin kau sikat di ujung botol. Lempar botol ke tempat sampah, dan meleset, pecah jadi lima. Tarik nafas dalam-dalam, tidurlah sampai mati...

*dimuat di ronascent webzine, dengan perjalanan panjang editor (mas rona) mengedit dan memperhalus racauan.  haha

Sunday, October 1, 2017

Feel Alive Adalah Segalanya

Sedikit lupa waktu tidak apa-apa asal tidak diperbudak waktu. Umur harusnya panjang karena kebahagiaan tidak mungkin datang dalam dua puluh empat jam. Rehatlah sejenak, rawat ingatanmu, bacalah buku-buku. Kembalilah waras, jadilah manusia, putar album favoritmu sampai ketiduran. Berkumpullah dengan teman-temanmu, tanpa perlu berpikir akan membahas apa dibalik meja kopi. Berbicaralah, keluarkan gelisahmu, jujurlah tentang semua yang terjadi, akui kelemahanmu. Hidup tidak perlu tergesa-gesa, terburu-buru, rutinitas itu tahi, kamu bukan ayam yang harus selalu bangun pagi. Makan Indomie sepuasmu, jangan berpikir aneh-aneh, makanan sehat itu menyebalkan, makanlah apapun yang kamu mau. Dunia sudah terlalu banyak aturan, kamu seharusnya tidak perlu terlalu mengatur diri. Banyak kejutan di luar meja kerja, dan kalau definisi hidup adalah kejutan yang berkelanjutan, mengapa kamu harus terus terjebak tumpukan pekerjaan?

Karena hidup tidak begitu penting kalau kamu tidak merasa hidup. 

from Breaking Bad: season 5 - episode terakhir

Sunday, September 24, 2017

MBV, Hujan, Kegelisahan: Sedikit Catatan

Album kedua My Bloody Valentine; sesudah 22 tahun penantian
Sialan sudah mau Maghrib saja. Lampu-lampu kota mulai hidup, seiring langit yang makin redup. Saya sedari tadi membuka YouTube, mengulang-ulang album MBV dari My Bloody Valentine. Rilis 2013 lalu, sekitar dua puluh dua tahun pasca rilis album pertama Loveless tahun 1991. Album ini sangat cantik, kelam dan gelap. Semuanya bisa timbulkan keindahan yang tidak bisa diukur. My Bloody Valentine adalah unit shoegaze/indie-pop, yang menurut saya pribadi, paling jenius. Band terbesar yang jadi cetak biru genre shoegaze. Kevin Shields gitars MBV adalah nabi besar yang menerima wahyu suci dari seperangkat efek gitar berjejer yang menyala-nyala, dengan sound dan tune yang diutak-atik sedemikian rupa. Saya merasakan banyak keberkahan dapat menemukan album ini. Sekitar 2014 lalu, saya memohon-mohon pada Ardan, bajingan tengik sobat kental saya, untuk diunduhkan album ini. Dia punya banyak waktu dan energi untuk mendownload apapun rekomendasi saya. Hasilnya: Loveless dan MBV, dua dari ratusan album bagus yang pernah saya dengar. Saya dalam kondisi hancur-lebur luar biasa saat itu. Meranggas seperti daun di pelataran kampus. Patah hati sedalam-dalamnya dan merasa bingung, mau dilanjut apa tidak hidup ini. MBV salah satu penyelamat terpenting saya. Dengan headset murahan, dan mata yang rasanya selalu kurang tidur, saya selalu menyetel ini di dalam kelas saat kuliah usai namun masih ada banyak anak yang bacot dan membahas hal-hal goblok luar biasa tidak penting. Momen sureal adalah saat di luar hujan benar-benar deras sekali, sementara saya terbaring di ruang lab sastra yang bentuknya lesehan. Saya rebah, sambil memandangi langit-langit. Ruangan gelap dan muram. Bunyi hujan bergemeletak di genteng dan jendela. Hati saya sedang kacau dan lecet-lecet karena putus cinta. Sejak tombol play itulah saya tahu, "She Found Now" - track pertama album ini,  adalah salah satu lagu terindah yang pernah saya dengar dalam hidup. Lagu terbaik di album MBV. Karya terbaik yang pernah dibuat Kevin Shields dan gerombolannya. Saya berhutang budi pada hujan, dan MBV. Sampai saat ini.


Semenjak itu saya belajar bahwa kesedihan harus dirayakan. Belajar menyembuhkan diri sendiri setiap hari. Belajar menertawakan tangisan. Belajar untuk hidup lagi. MBV membantu saya melalui semua tanpa perlu banyak usaha. Hanya perlu menyediakan telinga, dan kita akan segera tahu, noise gitar Kevin Shields bisa lebih agung dan spiritual dari apapun.

Saturday, September 23, 2017

Malam Liar

Ingin menulis hal-hal yang sedikit provokatif, atau mencaci-maki siapa saja di dunia yang kepalang goblok ini, tapi buat apa. Sudah terlalu capek juga, ngos-ngosan keparat. Botolan habis, eceran tinggal sebatang. Demi apa coba hidup ini? Baru pulang kerja, tidak bisa mengeluh ke sembarang orang, dikira cemenlah, gak bersyukur lah, apalah. Goblok. Saya pengen punya tembok besar sebesar Tembok Berlin, dan crayon yang sebesar penis kuda, buat corat-coret tiap sedang sumpek dan bosan. Menggambar binatang-binatang dengan sentuhan ekspresionisme atau impresionisme seperti Van Gogh--ah mustahil saya bisa melukis sebagus itu. Palingan jadinya gambar yang saking abstraknya sampai keterlaluan jelek. Robohkan saja tembok itu. Saya akan cari pelampiasan lain, seperti misal... ah sudahlah. Mengapa membahas hal seperti ini? Seperti tidak ada hal lain yang lebih berfaedah saja. Ah memang ada, ya? Di hari-hari suram seperti orang yang kemungkinan depresi dan goblok menahun macam saya ini, semua tampak tolol dan tidak ada faedahnya sama sekali. Tidak berguna dan hanya berusaha isi perut masing-masing saja. Atau uang. Ya, begitu-begitu terus berputar-putar seperti bola karambol yang harus dikasih tepung biar licin--tapi tanganmu bakalan kotor goblok. Saya tidak tahu benar-benar, apa esensi hidup ini. Untuk apa tujuan saya lalu-lalang bekerja cari duit. Menikah saja belum, membiayai orang tua mereka sudah lebih dari mapan. Cari untuk keperluan diri sendiri? Keperluan makan kenyang, sebatang dua batang, botolan, bayar kamar, dan lain sebagainya? Saya kira saya tidak nemu hal yang maknawi disini. Saya kurang dekat dengan Tuhan? Ayolah. Tuhan siapa lagi. Bukannya saya atheis atau agnostik dan lain sebagainya, tapi selalu menyenangkan bertemu dengan tuhan tanpa perlu ritual-ritual apalah. Selalu menyenangkan dengan kejutan-kejutan tak terduga yang saya yakin itu adalah perwujudan tuhan seperti: nemu kulit di suapan soto ayam panas, gurih dan surgawi mengercap-ercap di mulut, jalan yang tiba-tiba jadi sepi dan tidak panas membakar padahal sebelumnya seperti neraka, menemukan uang lima puluh ribuan tanpa sengaja di saku jaket jeans yang akan di laundry, ketiduran dan bangun pukul sembilan kemudian ketiduran lagi lalu bermimpi basah, nonton YouTube dan nemu video Sounds Of The Corner baru, makan roti Indomaret dengan isi keju di luar ekspekstasi, download bokep atau film dengan kecepatan yang tidak diduga sebelumnya, ketemu teman lama  tanpa disengaja yang dulu sempat kemana-kemana bareng terus tapi karena kegoblokan dan lain hal seperti kerja, jarak dan waktu akhirnya pisah tanpa perpisahan, makan sate ayam lima belas ribuan banyak kulitnya, merasa badan tiap hari makin ringan dan sesudah bercermin muka terlihat tidak nyempluk dan merasa bobot sudah turun 8 kilogram, cek Instagram ada kaus band keren dan kebetulan ada uang melimpah dalam ATM, nonton film di bioskop tiba-tiba dapat ciuman dari teman kencan, apapun hal-hal sepele yang penuh kejutan adalah cara paling menyenangkan untuk bertemu tuhan. Saya tidak perlu hal yang besar-besar, kalau hal kecil seperti ini saya tidak dapatkan. Beruntung saya masih sering mendapatkan hal-hal kecil seperti ini, jadi masih ada alasan untuk membuka mata, tidak tidur lagi dan berharap tidak bangun-bangun sampai delapan ribu tujuh ratus empat puluh tiga abad kemudian. Dan ujung-ujungnya, seperti klise penulis musik ember seperti saya, selalu musik, musik, dan musik. Hidup adalah film Quentin Tarantino, full soundtrack entah kelabu atau lagi happy atau boring atau mentok kepengin mati. Seperti biasa lagu-lagu dari mp3 bajakan yang jumlahnya ribuan di hardisk tua saya, bisa dipilih kemudian diputar, lalu diputar lagi, begitu terus sampai otak rasanya jadi agak bego. Penulis musik ember yang baik dan benar tidak pernah digaji karena menulis musik hanya untuk pamer ketololannya jadi penggemar musik pada dunia. Menulis musik bisa jadi enak karena saya bisa ngalor-ngidul bicara di luar musik, dan sok-sok menghubungkannya dengan musik seperti situs JakartaBeat. Saya tidak benar-benar paham istlah hipster maknanya seperti yang bagaimana. Bila bekerja pakai totebag dan Jack Purcell dan kemeja batik sudah cukup hipster, silakan lempari saya dengan batu karena saya tidak peduli apapun itu yang jadi pendapat publik. Saya sedang bingung dan menatap sound lelah di sebelah mesin ketik tua ini, memegang-megang membrannya rasanya bergetar seperti dada perempuan saja. Akhirnya dengan sedikit keterpaksaan karena harus selesaikan tulisan di pukul setengah tiga pagi ini, saya membuka file musik saya. Saya ingin dengar sebuah lagu yang bisa buat orgasme hebat tapi itu nyaris mustahil kecuali lagu Via Vallen mungkin. Dasar otak cabul. Pornografi internet. Tukang unduh JAV. Hacker Brazzer, sialan ah. Mata sudah ngantuk berat dan pelir sudah mengambrolkan ompol barusan. Lalu nyamuk-nyamuk keparat busuk yang saya tidak mengerti mengapa tuhan ciptakan satu hewan goblok seperti ini. Atau jangan-jangan dia mata-mata tuhan? Saya terus mengoceh tanpa arah dan tujuan. Ada hewan di tubuh saya. Mungin gorilla atau Baloo-nya Jungle Book. Ah palingan juga setan yang katanya sempat diusir tuhan dari neraka. Saya agak bingung juga soalnya di negara super mistis dan kurang rasional dengan makhluk lucu-lucu tolol ini, saya mengkonotasikan setan dengan fenomena kesurupan. Tapi ya sudahlah, saya terlalu banyak berfikir tanpa tahu juga hasil panen pikiran apakah ada yang mewujud di dunia nyata atau tidak. Saya tiap hari berpikir bisa leha-leha punya rumah dengan kamar langsung di dekat kolam renang. Mana tidak ada ih. Bullshit lah. Ceramahi saya terserah buat pembaca yang kebetulan kecelakaan nyasar di gudang sumpah serapah saya ini. Saya sambut dengan adzan di kuping kiri panjenengan, dan pisuhan jancok-taek-asu di kuping kanan panjenengan. Apakah matahari sudah terbit jam setengah tiga sialan seperti ini? Persetan. Saya putar Christabel Annora dengan debutnya yang pekat piano dan tuts-tuts hitam putih itu, memperkosa otak saya untuk menerjang galaknya pikiran yang minta ampun membawa saya beratus-ratus kilometer ke Malang sana. Sound keparat agak menyendat goblok. Bajingan tengik kenangan seperti cegukan usai minum soda, terasa membuat hidung dan tenggorokan jadi berdenging dan kita seperti orang tolol yang tidak bisa mengontrol hadirnya. Ingin saya misuh-misuh sampai mati tapi ya sudahlah, betapapun kacaunya hidup saya akan melanjutkan... dengan tidur. Atau pilih lagi lagu ngentot yang lain, album paling kacau dan bersinar dari seluruh katalog band berisik saya yang najisnya minta ampun. Deafheaven, bajingan tengik, Sunbather kotor dan membekas, sekeruh jiwa yang kering kerontang, ranting-ranting pohon perdu di sora hari kampus yang menentramkan bulu kuduk; romantismenya, aromanya. Ah betapa senangnya jadi bebal yang bodoh, tertawa di pojokan lantai jorok kampus, mengeluarkan sebatang dan headset dari saku jins belel tengik yang sudah tiga minggu tidak dicuci. Membayangkan hal-hal mesum seperti cerita-cerita stensil dengan objek anak jurusan sebelah. Menolak jadi tua karena hidup ini nihil sekali. Membingungkan dan Dream House membuat air mata tua kalian menetes ke jantung, lalu ngompol lagi, sumpek menahan mata perih dari kipas angin hasil colongan yang membuat perut jadi betah masuk angin. Persetan, saya hanya ingin bermimpi. Mimpi. Mimpi. Mimpi. Kata Deafheaven, sebegitulah adanya. Kenyataan hidup tidak akan pernah sesuai harapan, dan mimpi adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Belajarlah sampai bisa kuasai teknik mimpi seperti Inception-nya Nolan. Atau kalau dirasa mustahil dan buang-buang waktu, bekerjalah sampai tua dan jika beruntung, mimpi-mimpi itu tiba-tiba hadir tepat di lubang hidung tanpa disadari. Baiklah semuanya segera ingin coli, ingin tuntas. Penutupnya bisa dari Song Of Leonard Cohen, dari kisaran tahun 60-an, di mana romantisme jalan tanpa kendaraan goblok seperti sekarang tidak terjadi. Hidup indah mungkin, bila pada timingnya. Mungkin kita salah berada di zaman sekarang, di negara ini, dengan sekeliling seperti ini. Halleluyah. Biarkan Leonard Cohen membuat kita ingin minum air putih satu galon saking pekatnya. Perasaan rindu yang membunuh dan tidak teratasi. Perasaan kantuk yang membunuh dan serasa ingin tidur selama seribu enam ratus juta abad. Master Song, lagu perosotan masa kecil kita yang sepertinya indah, dan kita rindu ciuman itu, pelukan itu, dalam foto yang dibingkai di atas meja makan. Sejarah, andai bisa kita hentikan. Kita tidak butuh apapun lagi. Tidak akan butuh apapun. Kabur dari waktu, kembali ke lalu. Andaikata, andaikata. Kita tidak terpenjara, seperti ini...

Monday, August 28, 2017

Fungsi Libur: Perbaiki Badan Ringsek

Bagaimana kabar kalian? Apakah baik-baik saja?

Hidup begitu naik turun akhir-akhir ini. Seperti rollercoaster. Sama-sama menjerit, tentu saja. Naik jerit, turun jerit. Upayakan kandung kemih ditahan biar ompol tidak muncrat. Saya sendiri sudah menahan-nahan dari kemarin, ya tapi akhirnya muncrat juga, tidak kuat. Naik turunnya seperti cuaca dan hawa Surabaya, panas menyengat lalu tiba-tiba berangin. Tidak ekstrem tapi membunuh pelan-pelan. Kata Awing, pegiat teater telanjang saat nonton Ikrab Teater Institut bareng saya kemarin, 

"Cuacanya enggak enak, dingin tapi panas, panas tapi dingin, anginya kenceng. Ada arak nggak di belakang?"

Kopi seperti tidak mampu redam cuaca yang entah sudah akan masuk pancaroba atau belum. Badan jadi amburadul. Meliuk-liuk seperti daun di kantor yang berputar terkena angin, ataukah ini efek Badai Harvey di Texas? Semoga jangan. Tujuh hari dalam seminggu, dan saya tidak libur sama sekali! Luar biasa, kawan! Hari pertama bekerja badan dalam kondisi fit sekali, meskipun angin perlahan-lahan menusuk, mempreteli kebugaran fisik saya. Tergoda Glico Wings di kantin koperasi kantor, saya ambil beberapa batang, selama beberapa hari. Lalu terjadilah muncratan itu, squirt itu, dari hidung. Awalnya saya merasa cukup prima, sampai Esa (seorang murid McGregor), mengajak saya ke warung untuk beli wedang jahe hangat. Saya cuek saja sambil terus bermain hape.

"Aku batuk pilek, ayo beli jahe panas."

Saya menyumpah serapah Esa sebagai makhluk yang lemah, dilahirkan dalam keadaan cacat imun, brengsek penyakitan yang tidak bakal hidup lama, jika hidup lama, pasti sengsara dan tubuhnya ditumbuhi penyakit yang akan muncul saban detik--tentu saja semua dalam konteks bercanda biasa. Lalu seketika SROP!

Jancok.

Tiba-tiba hidung saya keluar lendir brengsek itu. Cairan seperti sperma bening, encer, membuat hidung terasa becek, basah. Keparat. Saya berdoa moga-moga saja tidak pilek, soalnya jika pilek pasti berefek di batuk, dan lalu... serak. Ini  ganggu pekerjaan saja. Besoknya saya membeli seperangkat Tolak Angin dan Enervon untuk melawan gangguan imun ini, manjur, saya berasa sehat. Tapi kembali ringsek di malam hari. Waktu banyak saya pergunakan untuk tidur. Saya juga beli Bodrex Flu di apotek. Sedikit mendingan, walaupun masih srop, setidaknya tidak sampai parah. Dan mumpung besok libur kerja, ya sekalian saja saya pulang ke rumah, pulihkan badan, istirahat banyak, dan sedikit lari-lari pagi biar fit.

Kabar paling buruk dari semuanya: bobot saya nambah tiga kilo dalam upaya menanggulangi turunnya imun ini. Nafsu makan saya tidak terbendung. Tiap ada kesempatan selalu makan. Biar tubuh kuat, dan cepat pulih. Persetan gendut deh, yang penting saya sehat dulu, nanti dikurusin lagi. Gampang. Bukankah hidup seperti rollercoaster, kadang gendut kadang kurus.

Eh tapi pengecualian buat Si Devi. Dia diapain juga bakal tetap gendut sih.

Monday, August 14, 2017

Nganggur: A Daily Activities

Sekarang hari-hari saya begitu santai, terlalu santai malah. Jika definisi santai adalah bangun tidur siangan, menolak jadi morning person, lalu melakukan daily activity yang produktif tapi dengan nuansa woles, saya malah lebih dari itu, terlalu santai. Bangun rada sorean, menolak jadi jenis persona apapun, lalu melakukan daily activity non-produktif dengan leha-leha di kasur. Ditambah melupakan mandi pagi, atau kadang sore, dan leluasa untuk ngaplo dan berbuat apa saja. Terlalu santai itu keterlaluan bukan?

Jika lapar saya tinggal ke dapur (yang jarang ada makanan yang berguna karena ibu sendiri masak alakadarnya atau kadang tidak sama sekali), lalu mempersiapkan teflon, membuka kulkas, dan merasa jadi chef sendiri, masak dengan pakai kolor. Lalu saya bayangkan Chef Marinka sedang mengajari saya memasak dari belakang. Oh, men... Tapi ya, mungkin hanya ngelindur saja. Masak apapun dari kulkas terlalu ribet. Selalu ada tahu, tempe, jamur, atau jenis ikan-ikanan yang saya tidak mau menyentuh karena amis. Alhasil karena sudah kelaparan dan orang-orang pada kerja, saya mau tak mau harus sendirian menghasilkan brunch (breakfast lunch!). Mungkin akan makan banyak waktu jika mengolah dari dasar lemari es, akhirnya pilihan lagi-lagi jatuh pada Indomie Goreng. Satu-satunya makanan terbaik di alam semesta, dengan telor dadar tanpa MSG yang saya masak setengah matang. Satu bungkus tidak pernah cukup. Selalu dua. Dan saya adalah tipe-tipe orang yang tidak kudu makan nasi buat syarat.

Mie terus bikin usus melilit (saya kira usus memang sudah melilit dari sononya deh), maka dari itu untuk menyeimbangkan terkadang saya harus menyalakan mesin motor, pergi ke Indomaret. Hanya sesuatu yang instan yang akan kita dapatkan di dalam. Tapi beberapa rombong gorengan atau martabak atau pisang keju selalu nongol di depannya. Jadi saya parkir Indomaret tapi membeli jajanan di luarnya. Hebatnya di sini free parkir jadi saya tidak harus sedia recehan dari rumah. Lalu setelah mengganjal perut tersebut saya selalu bingung harus melakukan apa. Teman-teman sudah pasti kerja. Saya yang beberapa kali akan berkunjung ke rumah teman, Luthfi misalnya, selalu tidak jadi karena dia sibuk. Dia yang belum lulus kuliah sudah mengajar di SMK dekat rumahnya, pulang jam tiga sore, dan kadang mengambil jadwal ekstra, malam sudah terlalu lelah dan tidur pukul sembilan. Sementara Jay, kawan saya yang lain, agak sulit ditemukan kontaknya. Janjian ngopi sedari zaman Orde Baru sampai sekarang tidak pernah terealisasi. Jay pun terkadang juga membantu ibunya berjualan jika malam, dan molor di pagi hari. Sementara itu, golongan bajingan macam Biadab ataupun Keparat (samaran) mungkin sudah melenceng terlalu jauh dari orbit. Mereka doyan mengajak saya having-fun dalam artian sesungguhnya. Tiada hari tanpa botolan. Tiada hari tanpa nongkrong di Gg. Sono (alumni Gg. Dolly kebanyakan sekarang di sini). Saya bukannya menolak kodrat sebagai anak yang tinggal di daerah prostitusi, tapi sedari dulu, keluarga saya sudah dipandang agamis dan terhormat (bapak saya dipanggil kaji di sini), saya tentu berpikir ulang untuk mengiyakan ajakan mereka.

Alhasil, sembari menunggu panggilan dari HRD (saya sudah lolos sebuah tes dengan saya kandidat satu-satunya untuk sebuah newsroom), saya melakukan aktivitas-aktivitas super selow. Kebanyakan aktivitas ini sudah saya rencanakan sejak lama, namun selalu kelupaan atau tidak jadi karena kesibukan tahi kucing saat kuliah ataupun kerja. Ini adalah saatnya balas dendam: hidup sesantai-santainya, melakukan apa yang sedari dulu tertunda. Tentu saja tidak jauh-jauh dengan pop culture yang memang masih jadi hal paling menarik di mata saya sampai detik ini. Ya sambil membunuh rasa-rasa nggateli karena pacar lagi jauh juga.

Menamatkan Seri Game Of Thrones?
Oke baiklah yang ini ternyata berhenti pada eps. 1 season 2, yang itupun masih sampai pertengahan. Saya hanya sempat menamatkan season 1, dan ada banyak keengganan untuk melanjutkan. Tapi beberapa akun Instagram membuat saya penasaran lagi seperti apa kelanjutannya. Apalagi sekarang season 7 sedang on going. Saya sih tidak punya beban sosial apa-apa meskipun masih cupu tentang Game Of Thrones, toh lingkungan pergaulan saya juga seringnya tidak tahu apa itu GoT. Teman-teman saya waktu di Zetizen saja mungkin ya, yang mengamati serial ini. Seperti Mbak Grace, salah satu editor yang sempat menanyakan tentang siapa yang mati di Season 6 lalu. Wah saya Season 2 aja sudah tidak betah, mbak. Apalagi yang bikin saya muak kalau bukan Joffrey yang sok (tapi di spoilernya raja songong ini akhirnya mati juga di season selanjutnya, syukurlah). Saya menghentikan GoT sampai di tengah ya karena ada King Joffrey ini, pusing melihatnya. Sementara agak sedikit ketar-ketir juga dengan jagoan saya dari awal Arya Stark yang bisa saja tiba-tiba dipenggal seperti bapaknya. Ah tapi sudahlah, tidak perlu dipaksakan nonton. Buat yang senasib dengan saya, ditambah dengan dilema sosial karena takut dianggap cupu di pergaulan, bisa baca tips dari VICE berikut.

Meneruskan Silicon Valley
Alhasil saya memilih menonton serial lain yang memang sudah saya ikuti sejak awal. Jika Breaking Bad sudah kelar dan tamat sampai Season 5 dan saya sedih mampus menonton episode terakhirnya, maka Silicon Valley ini statusnya masih on-going. Saya belum tahu apakah ada episode lagi setelah Eps. 10 (sepertinya sih sudah usai). Silicon Valley kali ini sudah sampai Season 4. Serial ini sudah saya tonton semenjak SMA dan mungkin serial kedua favorit saya setelah Breaking Bad. Silicon Valley adalah kisah tentang startup bernama Pied Piper, yang di dalamnya berisi CEO Richard Hendriks, bersama programmer andalan Dinesh yang berasal dari Pakistan dan selalu bertingkah amat norak, dan Gillfoyle, jenius penyembah setan yang punya tato salib terbalik di tubuhnya. Ditemani oleh orang pemasaran, Jared, yang bertingkah bak seorang nerd yang selalu mengusahakan agar semuanya lurus. Dan bajingan tengik pemilik saham dan tukang lobby bernama Erlich Bachman. Ditambah seorang asal China yang bermuka dan berperilaku menyebalkan bernama Jian-Yang, yang tidak lain adalah mantan pembantu Erlich. Mereka semua berkumpul dalam satu rumah, di mana selalu ada saja masalah bagi Pied Piper. Silicon Valley adalah cerita tentang bagaimana mereka mengatasi semua masalah itu, demi membuat Pied Piper menjadi perusahaan bernilai milyaran dollar. Dengan kumpulan karakter macam itu, tentu saja akan terjadi banyak hal tolol, dengan dialog-dialog yang sarkastis, misoginis dan kadang rasis. Serta adanya twist yang membelokkan plot secara tidak terduga. Di Season 4 ini Pied Piper harus menghadapi tantangan baru, di mana arah Richard benar-benar berubah. Masih diselingi dengan antagonis lama semisal Gavin Belson, juga Laurie, bos dari Raviga. Dan... sebelum saya semakin doyan untuk cerewet dan membocorkan spoiler, ada baiknya kalian lihat sendiri saja. Hehe.




Terjebak Di YouTube dan Menjadi Receh
Berikut daftar yang saya tonton:
- Mukbang Indomie
Ini adalah hal paling tidak penting dalam nganggur saya: melihat mukbang, atau orang lagi makan dengan porsi besar, menantang dirinya sendiri untuk menghabiskannya, sambil cerewet depan kamera. Tapi entah kenapa, saya hanya gemar nonton yang Indomie saja. Mukbang Challenge Indomie ini ternyata tidak hanya ada di Indonesia, tapi banyak juga di luaran sana. Orang Amerika yang saya tonton kemarin makan lima bungkus sekaligus, ada juga yang sampai enam. Tapi masih kalah sih dengan Indonesia yang makan lima belas bungkus sekaligus. Nekat amat. Tapi sebagai penggemar mie produksi Indofood ini, melihat orang menyuapkan Indomie ke mulutnya secara rakus dan cepat (pakai sumpit!) membuat ngiler jadi berlipat-lipat. Terkadang di waktu menjelang subuh dan perut saya kembali lapar, melihat Mukbang beginian membuat saya ingin nekat saja ke dapur dan menjereng air. Tapi tidak jadi karena diwanti-wanti ibuk untuk tidak bikin Indomie tiap hari. Jadilah saya ngiler-ngiler sendiri, dan saat rumah sepi, melakukan aksi balas dendam itu. Ya semoga saja saya tidak gendut. Masih 65 kilo. Aman.


Bajingan!
- Lifehack
Ya, masih bermanfaat melihat yang beginian. Kebanyakan memang memanfaatkan barang yang sudah ada untuk memudahkan suatu pekerjaan. Ada lifehack yang sulit dipraktekkan, misal membuat sound system dengan kaleng bekas. Ada juga yang mudah, lifehack balon untuk kondom hape, misalnya. Ada banyak channel bagus, baik luar ataupun lokal yang memberi lifehack-lifehack keren. Tapi hati-hati terjebak di hal-hal receh, seperti lifehack tisu, sebagai pembatas buku. Semua orang sudah tahu lah yang begitu. Salah satu yang bagus adalah Channel Mr. Grue. Channel lokal dan sangat kreatif dalam mengolah benda-benda. Gampang ditiru dan tidak sulit-sulit amat. Setidaknya nganggur saya tidak melulu menonton hal yang tidak berfaedah.
- Cak Nun
Saya tidak pernah nemu ustad, atau tukang ceramah, atau kyai, atau apapun itu namanya yang sreg di hati. Apalagi Armand Maulana yang sempat ceramah kultum jelang buka puasa di NET. Apalagi Ustad Maulana (situ ustad?). Atau Mamah Dedeh ataupun Mamah-mamah yang ceramah di acaranya Uya Kuya yang selalu jeleknya amit-amit itu. Tapi Cak Nun beda. Spirit kebudayaannya terasa. Tidak mendorong umat untuk mengikuti arab, atau pakai jihad taruhan nyawa segala. Orangnya tetap orang Jawa, nggak lali jowone. Apalagi keluarga saya juga NU, dan mbah-mbah buyut juga ada yang beragama Jawa, jadi saya merasa sreg dan pas. Toleransinya, kemudian logikanya, hanya Cak Nun yang bisa saya pahami dan terima. Cak Nun tidak sama sekali mengajarkan kebencian. Atau harus memusuhi orang yang berbeda. Cak Nun malah menyuruh kita berpikir terbuka, kritis, tidak kaku. Beragama, menurut Cak Nun, baiknya harus menyentuh sisi sosial dan psikologi. Bukan sisi surga-neraka tok. Intinya adalah rahmatan lil 'alamin. Cak Nun, menurut hemat saya bahkan lebih teduh dan enak didengar, dibanding adu pintar ala Zakir Naik. 
- Tutorial Masak
Weits, ketahuan deh saya sedang cari ide untuk mengolah makanan di kulkas. Biar tidak Indomie melulu. Sejauh ini saya sudah paham cara masak tahu bulat dan tempe krispi, tinggal menunggu wahyu berupa kemauan ini datang saja untuk bisa memasaknya. Eh tapi resep Indomie Pizza-nya boleh juga tuh buat dicoba.


Telur ceplok bersama Chef Marinka
Penyakit Kambuhan: Unduh Illegal
Isi dompet sedang kering, nganggur pula, tidak ada pemasukan, sementara banyak album bagus di luaran sana baru rilis. Betapa menyedihkannya. Tapi, sungguh, maafkan saya. Dengan sedikit keyword dan menjelajahi mesin pencari, album itu sudah bisa didengarkan, dengan MP3 320 pula. Tidak jauh beda dengan CD-nya. Hm. Tapi membajak tentu saja tetap salah. Maafkan saya. Saya hanya ingin preview lagunya saja. Eh tapi, jadi keterusan. Sialan. Tidak hanya album bagus terbaru yang rilis, beberapa album lama yang luarbiasa bagus juga menarik untuk dikulik. Brengsek, setelah mendapat album-album legenda tersebut, saya kemudian malah tertarik mengunduh album-album obscure super underrated, yang bahkan masih jarang yang mendengarkan. Dan, band-band shoegaze seperti My Bloody Valentine-lah yang membuat saya benar-benar terobsesi. Saya bolak-balik mengunduh album Loveless, di berbagai situs, mencari kualitas sound terbak. Bahkan sekarang saya punya tiga album Loveless; rilisan pertama, rilisan kedua versi remastered, dan rilisan final versi remastered. Lagunya sama saja: dibuka oleh Only Shallow ditutup oleh Soon. Asal tahu saja, My Bloody Valentine merilis debut pertamanya Loveless di tahun 1991, dan album keduanya bertajuk MBV di tahun 2013. Betapa diperlukan jarak sampai 20 tahun lamanya, bagi empunya band ini, Kevin Shields (alaihisalam), untuk berperang dengan writers block, dan menghasilkan karya paripurna. Tapi memang anjing sekali, semua track punya daya bius. Inilah kekuatan indie pop dicampur post rock dicampur zat-zat adiktif, noise, depresi, kesedihan, kekalutan, dan lain sebagainya. Inilah apa yang disebut shoegaze (dengan turunan baru bernama Blackgaze, black metal plus shoegaze, yang dipopulerkan oleh band metal idola saya, Deafheaven). Inilah musik yang membuat saya merasa tidak sekarat sendirian. My Bloody Valentine kemudian membuat saya terus menggali, sampai dasar, di mana saya menemukan banyak sekali mini album mereka, single-single yang tercecer, dan instrumentalia gila dengan semburan gitar fuzz dan berat dari Shields. Kurang ajar. Percaya atau tidak, saya bahkan nemu album band ini sedang berkolaborasi dengan jenius gila macam Thom Yorke! Tentu saja saya mungkin tidak akan pernah paham indahnya racikan sound mereka karena jelas kapasitas otak saya masih belum mencapai spiritualitas itu. Hanya saja karena memang benar-benar terobesesi, ya mau bagaimana lagi. Satu-satunya band yang dapat menyamai obsesi saya terhadap My Bloody Valentine adalah Sonic Youth. Dan desahan Kim Gordon tahun 1989. 

Saya juga mengunduh semua album indie lokalyang baru-baru saja rilis walaupun kebanyakan langsung saya buang setelah sekali dengar. Contoh: eleventwelf, Fourtwenty, Senar Senja, dan band-band yang super kacangan lainnya. Kacrutnya minta ampun. Mending dengar Asal Kau Bahagia dari The Bagindas saja. Tapi ada juga yang bagus, seperti Gaung misalnya. Selain itu ada pula band-band lain yang bikin penasaran tapi tidak sampai atau belum membuat saya terobsesi untuk download. Solusinya: ada Spotify yang walaupun kita tidak punya musik dalam file penyimpanan, setidaknya sebagai preview bagus atau tidaknya. Kalau bagus, kudu punya albumnya fisik, atau minimal MP3-nya. Huhuhehe.

Baca Ulang Sastrawan Sableng Indonesia
Diantaranya Yusi Avianto Pareanom, Sabda Armandio dan Dea Anugrah. Saya kok merasa mereka bertiga punya kemiripan: ceritanya sama-sama ngawur dan nyeleneh, tapi diceritakan dengan teknik luwes dan kadang lempeng, tapi bikin misuh-misuh karena banyak punch-line yang aduhai. Sungguh biadab.

Terakhir, Mampir Yuk Ke Bitterhear!
Proyek blog fiksi saya akhirnya terealisasi. Dengan alamat bitterhear.wordpress.com, setidaknya saya bisa benar-benar menumpahkan seluruh energi cerita super kacau saya dalam satu tempat khusus. Konsep Bitterhear sendiri adalah tanpa konsep, peduli setan. Saya hanya mau bercerita. Atau bolehlah dibilang fiksi murahan atau pulp fiction. Di sini akan banyak ditemui cerita-cerita pendek yang murahan, receh, dan mungkin pantas dimasukkan lubang pantat penghuni neraka paling bawah. Jika musik, mungkin ini bisa diibaratkan punk yang seperti GG Allin. Rusuh, dan tidak teratur. Terserah saja. Intinya, jangan bosan buat berkunjung, dan lalu caci maki saya karena ini kemungkinan besar akan sering update. Hehe. Bitterhear tidak memberi kalian faedah atau nilai moral apapun, tapi setidaknya saya senang karena bisa berbagi isi otak fiksi saya, alter ego menyebalkan saya, dalam blog ini. Mampir ya!

Saya juga sedang menggodok konsep Bitterhear Podcast (radio internet), berisi siaran rekaman suara tidak penting saya menyuarakan uneg-uneg. Kemungkinan besar akan mengudara di Soundcloud setelah benar-benar terkonsep. 

Hm oke deh, ada usul aktivitas lain?

Wednesday, July 19, 2017

Mandasia Si Penetes Air Liur

Tidak ada negara yang memiliki ragam kuliner sekaya kita. Keragaman itu memiliki akar sejarah panjang. Politik dan keadaan ekonomi suatu daerah sangat menentukan variasi makanan penduduk. (Majalah Tempo Edisi Khusus “Antropologi Bumbu Nusantara, 2014:31)


Makanan sudah identik dengan kebudayaan. Resep turun-temurun dalam pengolahannya membuat makanan mencerminkan siapa dan bagaimana masyarakat dan kebudayaannya. Keanekaragaman makanan membuat insting kita tidak pernah berhenti; ada saja hal menarik yang bisa digali. Salah satunya yang mungkin terdengar baru adalah Gastrologi. Saya sendiri agak kebingungan mencari-cari apa definisinya. Di Wiki malah dikatakan semacam ahli penyakit pencernaan atau apalah. Baru akhirnya salah satu kawan kuliah yang bernama Mareta, mengkaji gastrologi dalam kajian novelnya. Mareta berkata cukup simpel: gastrologi intinya membahas makanan gitulah. Di situlah saya mulai tahu bahwa ada ya novel yang membahas tentang makanan. Setahu saya hanya Tabula Rasa atau One Hundred Food Journey, film yang diadaptasi dari novel, yang membahas tentang makanan. Karena di layar lebar, saya pikir sisi menyenangkannya bisa lebih keluar karena penonton akan bisa ngiler, menikmati makanan-makanan yang ditampilkan dalam film. Kalau film sih tidak masalah, tetapi dalam bentuk novel—jujur saya tidak pernah tahu dan menebak-nebak bisakah tulisan fiksi membuat imajinasi pembaca ngiler?

Mungkin saja khazanah bacaan saya tentang penulisan makanan amat sangat kurang. Saya hanya sempat membaca tulisan-tulisan Mas Nuran Wibisono di blognya, yang kebanyakan membahas sop buntut, atau makanan-makanan yang bisa saya jumpai sehari-hari. Itu bukan fiksi, ada fotonya dan saya bisa membayangkan bagaimana enaknya saat kita menyendok makanan itu ke mulut. Ada narasi deskripsi, ada banyak kata-kata yang merujuk pada indra perasa. Tapi sumpah saya masih bingung bila semua ini diaplikasikan ke fiksi, terutama novel. Tidak ada gambar, tidak ada ilustrasi, dan tentu saja, saya pikir penulis-penulis fiksi yang sering saya baca tidak pernah mampu membuat air liur menetes saat mereka menuliskan tentang makanan. Saya pernah membaca novel Dimsum Terakhir, karangan Clara Ng. Memang judulnya sangat identik dengan makanan, tapi entah, sampai sekarang pun saya tidak tahu rupa dan rasa dimsum itu seperti apa. Ini membuat saya berpikir bahwa makanan dalam novel hanya ditampilkan sebagai pelengkap yang tidak penting-penting amat.

Setidaknya itu pandangan saya sebelum mengenal dan membaca novel perdana Yusi Avianto Pareanom Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Saya sudah membaca Rumah Kopi Singa Tertawa karangan Pamanda Yusi sejak lama. Kisah-kisahnya datar dan ganjil, dengan banyak momen mengejutkan serta menyenangkan. Pikiran saya saat awal membaca Mandasia, mungkin novel ini akan sama sablengnya. Ternyata isinya jauh melebihi ekspekstasi. Kawan saya sempat berkata bahwa, “Raden Mandasia itu magnum opus-nya Yusi!” Mungkin benar. Diulang-ulang sesering apapun, saya masih bisa tertawa, atau kadang misuh-misuh sendiri. Dan saya paling menyukai untuk membaca lagi part-part di mana ada adegan makan di situ. Yusi menjungkirbalikkan pandangan saya. Membaca fiksi tentang makanan ternyata bisa senikmat ini. Sudah sering saya tiba-tiba minta antar pacar membeli sate kambing dan gule karena tidak tahan membayangkan apa yang ada dalam Mandasia. Dari Mandasia jugalah saya kemudian sok menjadi pakar daging sapi, yang merasa paling tahu beda sirloin dan tenderloin, dan menceramahi pacar saya yang doyan makan bahwa bagian sapi paling enak adalah sandung lamur. Hmm. Tapi keparatnya, Mandasia juga tidak hanya mengajari soal santap-menyantap sapi. Di bagian saat mereka menuju rumah makan untuk menemui Loki Tua, saya benar-benar ngiler tidak tertahan, benar-benar hampir kehilangan akal sehat. Babi asap dideskripsikan begitu sempurna oleh Pamanda Yusi. Membuat saya yang belum pernah secuil pun memakan babi jadi ingi sesekali mencobanya—lemaknya yang lengket, kupingnya yang berbunyi krak saat dikunyah; saya berjanji kapan-kapan akan menjajal babi panggang utuh dan setidaknya sehari saja melepaskan label haramnya. 

Selain umpatan-umpatan macam anjing, tapir bunting, simbahmu koprol dan lain sebagainya yang cukup membuat terhibur, kutipan dalam Mandasia berikut dijamin akan membuat kalian menghubungi Go-Food: ada warung tongseng terdekat?

Semua daging ini sangat lunak karena otot-otot di sekitarnya jarang digerakkan sapi. Daging-daging yang cukup ditaburi sedikit garam, bubuk merica biasa atau hitam—terserah selera, tanpa perlu bawang putih atau bumbu lain; daging-daging yang cukup dibakar dua sisi sebentar saja sampai setengah matang supaya keempukannya terjaga sehingga lumer saat digigit; daging-daging yang bakal membuat penikmatnya merasai kedamaian yang sampai tahap tertentu adikodrati antara ia dan penciptanya. (Pareanom, 2016:21)

Bukan hanya empuk, daging hangat setengah matang itu juga menyemburkan kaldu daging di dalam mulut saat kugigit. Kalau ada rasa yang lebih enak daripada ini, dewa-dewa pasti masih merahasiakannya. “Raden, daging ini rasanya...luhur,” kataku. (Pareanom, 2016:22)

Astaga. Kulit luar nasi yang agak gosong ternyata renyah betul dan nasinya sendiri lebih padat daripada dugaanku. Kejutan berikutnya, nasi kepal itu ternyata berisi suwiran ikan kakap kering manis pedas.  Maka-nan sederhana yang kehangatannya sampai ke hati. (Pareanom, 2016:27)

Kari ikan datang berteman nasi dari beras basmati yang butiran-butirannya panjang, tidak lengket satu sama lain, dan aromanya harum. Nasi yang disajikan di atas daun pisang lebih menggugah seleraku. Aku mengambil sesuap dengan jariku. Enak. Aku menyuap lagi, berteman secuil ikan berbumbu kental. Anjing, tambah enak, ternyata. Aku menuangkan kari ikan ke atas nasiku dan dengan cepat aku menghabiskan nasiku dan minta tambah lagi. (Pareanom, 2016:231)

Aku menelan air liur. Potongan-potongan daging dalam ukuran besar dibakar. Di tungku terpisah, empat babi utuh dipanggang berdiri memutari perapian yang berbentuk lingkaran. Seorang pekerja secara teratur melaburi babi-babi itu dengan cairan yang kuduga mengandung gula karena babi-babi itu berwarna kuning coklat keemasan. Babi-babi yang berlumur minyak itu dibelah tepat di tengahnya sehingga mereka mirip gundukan daging yang melebar. (Pareanom, 2016:274)

Yang perempuan menyantap sup berwarna hijau teratai muda yang sepertinya berisi simping. Setelah menyendokkan sup ke mulutnya, si perempuan menunjukkan paras terkejut. Tubuhnya bergetar halus. Gila. Itu gerakan bergetar yang kukenali ketika perempuan menunjukkan paras terkejut. Tubuhnya bergetar halus. Gila. Itu gerakan bergetar yang kukenali ketika perempuan mendapat kepuasan setelah bercinta. Mata perempuan itu sedikit membasah. (Pareanom, 2016:274)

Seorang pelayan lain datang ke meja di samping kanan kami mengantarkan satu ekor babi panggang utuh untuk empat orang. Ada asap tipis naik dari babi panggang itu. Begitu babi diletakkan di meja, keempat orang itu menyobek-nyobek dagingnya dengan tangan kosong. Aduh, pasti lembut sekali dan langsung lumer di mulut. Satu orang mematahkan kuping babi. Ada bunyi krak yang merdu sekali di telingaku, juga saat suatu kuping itu dikremus di beruntung. Kawannya mengambil cingur babi dan mencomot daging pipinya. Semuanya berminyak berkilat-kilat. Potongan daging itu lalu mereka celupkan ke cairan kuning kental yang kemudian aku tahu terbuat dari campuran kuning telur dan minyak sayur. (Pareanom, 2016:276)

Bubur. Oh, ternyata ada irisan-irisan tipis dagingnya. Bubur terasa lembut dan hangat di perutku. Irisan dagingnya enak sekali. Gurih pedas. Mereka pintar mengolah daging kambing, pikirku. (Pareanom, 2016:314)

dimuat di litera obscura edisi #2
format digital bisa diunduh bebas disini

Rexa Delfi Asmaradini (1995-2017)

Yang aku tahu, only good die young, hanya yang terbaik yang mati muda. Kamu Rex—atau entah, tiada cara lain lagi untuk memanggil namamu walau ‘x’ di akhir sungguh melelahkan—sudah berada di dunia yang benar-benar berbeda. Entah di mana, ada ataupun tidak kehidupan sesudah kamu pergi, aku tidak jadikannya masalah. Satu yang aku yakini, kamu bahagia: lepas, bebas, damai dan tenang.

Kamu adalah butir peluru—aku hampir haru saat menuliskan ini—yang menunjukkan pada semua orang, termasuk sekeras batu seperti aku, bahwa sejatinya kelemahlembutan adalah kekuatan. ‘Ayok!’ katamu. Aku ingat. Saat kamu kuajak setengah bercanda setengah kurangajar dan setengah gila, untuk menemui seseorang di kelas paling ujung sana. Sering seperti itu, hanya saja jarang berhasil dan kita hanya berputar-putar, atau kamu mengawasi dari jauh, atau kamu yang akhirnya bertemu, atau aku sendiri—seringkali dan pada akhirnya—lalu aku harus mengakui: sejujurnya nyaliku ada saat kamu bersedia mengantarkannya.

Tidak ada memori yang lazim, Rex. Kita sudah bersama sejak suaramu sepelan pus meong pada pagi yang dingin dan mendung; nyaris tidak terdengar dan aku seperti tidak mendengar ada diafragma dalam tenggorokanmu. Tapi, kamu akan ingat, jelaslah. Bu Nik—ibu negara, begawan dan mahaguru kita—yang membimbing kita semua, pun aku saat dikutuk menjadi pesajak tolol, dan kamu—pendiam yang kemudian menjadi orator paling brillian dari kita semua, dua puluh sembilan cecunguk bahasa—berhasil mengubah kodrat, menyaringkan suara yang nyaris tak terpekikkan itu, membuat kita semua berpikir bahwasanya kebiasaan adalah jalan paling mudah untuk berubah. Kamu peluru, Rex. Diam dan senyap. Tapi saat revolver itu terisi, pelatuk ditarik; kamu melesat jauh. Ganas. Tanpa peredam dan terus memekik. Bunyi tembakan itu masih terdengar Rex, kamu tahu. Dan aku—kita semua, bahkan Bu Nik pun—masih akan terus bertepuk tangan dan memperingatinya.

Tidak ada memori yang lazim, Rex. Hanya desing-desing peluru suaramu yang luruh. Waktu seperti menonton pentas drama; tepuk tangan lalu usai, dan kita berdiri kemudian kembali pada tempat masing-masing. Aku yang bertepuk tangan paling lama. Pada renyahmu saat kepalaku terkantuk dalam kelas dingin dan beku, atau aku tahu kita pernah jadi teman sebangku dalam sistem acak seminggu. Pada musim di mana kawan dan lawan hanya dipisah napas yang tak tampak. Pada aroma-aroma fitnah masa lampau yang hadir menghardik kursi-kursi tempat bercumbu di ujung-ujung kelas. Pada anyir darah lelah dari kumpulan dalam sarafku yang tidak terkontrol dan menghantam neraka aspal. Pada Matematika, Bahasa Prancis, atau batu-batu Candi, atau batik Hari Kartini, atau memori mungil—semungil tubuhmu—yang kupercaya telah melesap dalam denyut nadi teman-teman kita; kujuluki serigala tanpa bulu domba; wolfpack yang seiring meski kadang hampir bunuh; kamu ada di situ Rex, sampai petang hari. Sampai detik ini.

Aku tidak bisa menuliskan ini lama-lama. Lampau seringkali menyakitkan, dan kini tidak kalah sesaknya. Adakah waktu yang tepat untuk mengenang yang telah hilang? Cukup sebutir peluru, kau tembakkan erat. Dan aku masih mendengar letupan itu; semangat itu, suara-suara kerasmu yang sebelumnya lirih bersahutan dalam telinga.

Kamu menang, Rex. Pelantang suara ini untukmu.


Tuesday, June 20, 2017

Tadarus Breaking Bad, Takjil Barefood dan Menu Buka Puasa Menyenangkan Lainnya


Berpuasa di rumah adalah seperti kutukan: mata baru bisa merem, lalu suara-suara berisik dari bocah-bocah TPQ membuat saya melek lagi. Kadang di pukul tiga sore, puasa menjadi neraka. Menyiksa dan saya pun tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang bisa diperbuat jika jarak Musola dan kamar saya hanya dibatasi tembok? Bahkan letak bantal saya persis di samping microfon yang digunakan untuk adzan dan aktivitas koar-koar lain termasuk pengajian Malam Jumat dan tadarus saat puasa. Bukan saya menghina agama atau apapunlah—saya tidak ada sedikitpun tendensi itu, dan bila ada kalian yang tersinggung dan masih terbawa-bawa urusan Ahok, go to hell, membusuklah di neraka, saya tidak peduli dan hanya menyampai uneg-uneg yang ngeganjel ini saja. Sebenarnya saya tidak pernah ada masalah dengan aktivitas apapun di Musola itu, selama itu digunakan pure untuk ibadah dan tidak menganggu orang lain. Pure untuk ibadah berarti tidak bertujuan untuk pamer ataupun menunjukkan identitas sebagai umat yang taat. Tidak mengganggu orang lain itu cukuplah bila ada aktivitas ibadah menggunakan sound system, seyogyanya volume speaker diatur agar tidak terlalu keras—atau mungkin tidak usah memakai speaker toa langgar yang amat keras itu. Atau bila memang keras, saya berharap para pemburu surga dan keutamaan di balik bau mulut orang puasa—anak-anak TPQ itu—bisa sedikit lebih santailah jika ngaji. Saya tahu semua orang berhak membaca kitab suci, baik sudah kelas kakap ataupun medioker sekalipun. Tapi ya tuhan, Ya Allah, Ya Allah, Tuhan YME, selama beberapa hari puasa ini entah mengapa yang mengaji di sebelah rumah sungguh sangat tidak bisa menentramkan hati. Mereka mengaji dengan asal-asalan, kadang ada cekikik-cekikik busuk, lalu bercanda internal yang sungguh, seperti semua orang sekampung harus tahu saja. Mengaji pun seperti orang teriak-teriak, keras sekali, seperti orang lain yang mendengarnya tidak punya aktivitas lain saja selain mendengarkan mereka. Bagaimana bila Mbah saya sedang mendengarkan tauziah di televisi, yang karena suara ampun-ampunan mereka, jadi tidak bisa dengar. Bagaimana bila Ibuk menyuruh saya membeli terang bulan dan sop buah untuk berbuka, sampai harus teriak-teriak dan saya masih tidak mendengarkan karena gaduhnya suara ngaji di sebelah. Saya berharap mereka bisa lebih sopan saat mengaji, lebih memelankan suara (kalau bisa volume dikecilkan, kalau tidak bisa ya minimal lebih kalemlah). Saya pernah sekali waktu mendengar suara orang mengaji di sebelah, suaranya lembut dan sopan, menghayati setiap bacaan, tidak tergopoh-gopoh segera usai. Ini nyaman, tidak berisik dan saya masih bisa mendengarkan sekitar. Lah bocah-bocah TPQ yang kebanyakan tetangga saya yang berusia puber ini, malah menjerit-jerit tidak karuan membawakan ayat-ayat Allah. Sebagai seseorang yang kamarnya berada persis sebelah mikrofon, kadang saya ingin mengingatkan, tapi siapalah saya, saya kadang merasa serba salah sendiri. Padahal tetangga Musola lain yang juga berada persis adalah orang Nasrani. Saya tidak tahu apa hukumnya orang yang mengaji dengan toa sedemikian berisik dan mengganggunya. Mungkin MUI atau FPI bisa bantu menjawab, atau bisa juga menuduh saya komunis bangsat liberal kafir pendukung Ahok karena saya seperti anti dengan ngaji. Terserah. Saya tidak peduli. bila kalian cerdas mungkin kalian bisa melihat bahwa saya tidak anti ritual ibadah, yang saya tekankan adalah apakah proses ibadah itu menganggu orang lain atau tidak. Benar kata antah-berantah yang banyak dikutip orang yang sudah muak akan cap-cap kafir dangkal dari sekitar: agama itu seperti kontol, kamu punya sembunyikan saja, nggak perlu dipamerkan ke orang lain, siapa pula yang tidak terganggu kalau kamu pamer jembutmu ke muka orang.

Baiklah, lepas dari uneg-uneg Ramadhan tersebut, dan saya yang masih mengumpulkan cara menegur yang baik agar tidak ada yang salah sangka, lebih baik saya menghibur diri kembali sambil ngabuburit menunggu datangnya adzan Maghrib. Puasa akhir-akhir ini memang lumayan cepat. Saya jarang tidur malam hari sampai sahur, dan baru tidur pagi sampai agak siang, kemudian bangun, menunggu berbuka sambil memasrahkan diri pada layar tua, menonton serial, film atau apapun. Setelah itu terkadang saya memasrahkan pada speaker rumah; mencolokkan pemutar musik dan menghibur diri sendiri dari lapar dan dahaga, untuk kemudian kembali ngaplo di pukul tiga sore sampai dua jam kemudian karena gangguan dari akhwat-akhwat TPQ yang tidak tahu aturan tersebut. Di sela ngaplo saya kembali membuka-baca koleksi baru, atau juga lama. Berupa buku-buku baru yang menurut saya bagus, buku-buku lama yang tidak bosan diulang, juga koleksi majalah-majalah rare dan langka yang baru saya dapatkan akhir-akhir ini, tak lupa suntikan kebengalan dari zine-zine baik baru maupun lama. Berikut beberapa yang saya konsumsi: tadarus, takjil dan buka puasa saya selama bulan puasa tahun ini.

Breaking Bad Season 1-5
Serial TV yang katanya terbaik sepanjang masa. Rolling Stone sempat membahasnya di Editor Playlist dan itu langsung mengganggu rasa penasaran saya selama bertahun-tahun. Premisnya seperti ini: seorang guru kimia yang didiagnosa mempunyai kanker dan akhirnya memutuskan terjun dalam bisnis narkoba demi mengumpulkan uang untuk keluarganya saat dia meninggal nanti. Serial ini sudah tayang di AMC sejak 2008, hanya saja saya baru benar-benar punya waktu untuk melihatnya kali ini. Hati-hati, Breaking Bad tiap episodenya selalu membawa hal-hal yang tidak terduga, dan kita akan kecanduan untuk terus menontonnya sampai akhir. Daya tahan saya masih bisa sampai Season 3, dan kadang harus menyerah karena satu Season punya kira-kira 13 episode dengan durasi hampir 50 menitan. Serial yang membuat dag-dig-dug tidak karuan ini tiap seasonnya semakin memuncak dan membawa pada masalah yang semakin kompleks—dan kalian harus tahu bahwa ipar Mr. Walter White, si guru yang bisnis narkoba, adalah anggota DEA alias polisi yang mengurusi masalah narkoba. Betapa repot menyembunyikan semuanya. Salah satu yang sangat memorable adalah saat White dan partner bodoh yang juga merupakan bekas muridnya, Jesse Pinkman, memproduksi meth berjumlah besar-besaran di gurun pasir. Banyak adegan tolol di situ (Season 2 Eps. 9) yang saya rasa seperti komedi getir Tarantino di mana kita akan merasa miris dan tertawa di saat bersamaan. Sebelum Breaking Bad saya sempat menonton Game Of Thrones namun hanya kuat sampai Season 1. Entah kenapa serial ini walaupun bagus dan membuat penasaran, tidak membuat saya cukup sreg untuk melanjutkannya ke Season 2 (sekarang di HBO akan segera premiere Season 7). Terlalu memusingkan dan banyak intrik. Atau latar jaman kerajaan mungkin saya tidak terlalu suka, mengingat selera saya cenderung tontonan yang punya muatan latar American Lifestyle era 90’s atau 20’s. Selain GoT saya juga sempat menonton The Walking Dead, namun hanya kuat sampai Season 1 juga dan tidak ada niatan lanjut. Serial ini tidak seram-seram amat, namun saya rasa ketegangan yang ditampilkan di Walking Dead amat sangat gelap dan suram sampai-sampai saya merinding-merinding sendiri. Selain itu, True Detective juga sempat saya tonton, ini cuma hanya sampai pada Episode 1 Season 1 saja. Entahlah, terlalu memusingkan dan saya kurang tertarik. Yang terakhir adalah serial Netflix yang tersohor dan sedang hits akhir-akhir ini Thirteen Reasons Why. Saya sempat menonton dan lumayan menarik. Tapi di Episode 2, saya kok mulai bosan, dan arah cerita tidak bisa saya mengerti—kadang terlalu bertele-tele. Saya juga tidak tahu mengapa serial seperti ini bisa jadi sangat hits: semacam serial remaja yang berkisah tentang perempuan bunuh diri dan salah seorang teman (juga teman main seks-nya), berusaha mencari tahu alasannya lewat mixtape. Mungkin selain Breaking Bad, serial yang saya ikuti dan masih betah menonton adalah Silicon Valley, yang Season 4-nya sudah tayang di HBO musim ini. Breaking Bad sendiri juga memunculkan satu tokoh pengacara yang akhirnya dibuatkan spin-off serial sendiri yakni Saul Goodman. Saya berencana menonton serial bertajuk Better Call Saul tersebut setelah menuntaskan Breaking Bad ini. Kurang 2 Season lagi, saya harap kelar sebelum Lebaran.


Barefood – Sullen (EP 2013), Barefood (EP 2014), Milkbox (LP 2017)
Menyimak duo collage rock asal Jakarta ini membuat kuping saya digempur distorsi 90-an setiap hari. Dua EP, Sullen dan Barefood, juga satu debut full length album Milkbox yang baru saja rilis tahun ini, adalah jawaban yang tepat jika ada yang bertanya seperti apakah musik rock yang easy listening tapi tetap gagah dan tidak banci itu. Rio Tantomo sempat menuliskan romantika menonton konser Barefood yang dilarang untuk menyulut rokok; menampilkan Barefood sebagai band rock lurus nan pendiam di mana anak-anak cupu dan culun, berkacamata dan kutubuku di kampus atau sekolah akhirnya punya penyaluran yang satu visi dan bisa moshing. Dari ketiga album itu, saya memfavoritkan Sullen yang dirilis tahun 2013. Dibuka oleh “Perfect Colour” yang renyah dan manis, serta punya sisi getir tersendiri yang sukar dijelaskan. Bagi yang belum pernah mendengar Barefood, “Perfect Colour” adalah pintu gerbang yang tepat. Semua orang akan menyukai lagu ini, termasuk yang masih awam alternative rock sekalipun. Seperti kata Devi Ardian, kritikus musik spesialis Chainsmoker dan Nia Daniati ini, saat saya memberi dengar lagu ini. “Lagu kaya gini enak didengerin makai headset!” Sayangnya, dia tidak punya headset dan saya ogah meminjami. Tidak hanya “Perfect Colour,” Sullen juga punya track lain yang tidak kalah legit. Sebut saja “Grey Skies” yang sangat melodius, “Teenage Daydream” yang bersemangat, dan “Sullen” yang menampilkan vokal perempuan malu-malu tapi cukup renyah dan catchy, cukup nyaman dan enteng. Untuk album Milkbox sendiri, deretan-dereran track matang siap menggempur telinga. Milkbox menjadi album Barefood yang mendewasa. Saya memfavoritkan track nomor 7, “Sugar” dengan sound gitar ala Kevin Shields, semacam eksplorasi ke arah shoegaze yang soft dan muram pekat. Tipikal My Bloody Valentine. Selebihnya semuanya bagus, walaupun sebaik-baik Barefood tetaplah Sullen.


Rumahsakit – 1+2
Mencintai Rumahsakit dengan segala kuranglebihnya—di album ini kekurangannya (atau justru daya tariknya?) ada pada vokal Andri Lemes yang masih tetap... lemes. Siapapun menyukai Rumahsakit dengan Arief (kalau tidak salah) sebagai vokalis baru yang barusan meluncurkan album Timeless. Saya juga suka sih. Suaranya bagus. Cuman lebih suka corak vokal monoton dan malas dari Andri. Bila menyimak album Rumahsakit rilisan lampau, era 90-an, suaranya malah makin kacau meski musiknya tetap indah (hanya saja saya download mp3-nya dengan kualitas lo-fi nan mengecewakan). Ada sebuah pendapat bahwa hanya segelintir orang yang kenal Rumahsakit, dan mereka betul-betul fanatik. Saya mungkin salah satunya. Jika tidak kenal Rumahsakit, sebaiknya ya begitu saja tidak perlu memaksa. Tapi jika ingin kenal, mungkin akan ada dua tipe manusia setelah mendengarkan Rumahsakit era Lemes, khususnya di album 1+2 ini: merasa aneh dan tergila-gila sekali, dan yang kedua mengatakannya sebagai musik lempeng, aneh dan tidak punya daya seni—mengutip pendapat Tri Nanang Budi Santoso, sobat kepompong saya saat saya pamerkan lagu “Hilang.” Sambil mengata-ngatai dengan sembrono bahwa selera saya nggak mbois, tidak punya sense of music atau apalah—enak saja. Saya mencintai Rumahsakit secara tidak sengaja saat memutar lagu “Hilang” di YouTube, yang itu juga secara tidak sengaja pula. Nama band ini adalah nama yang mungkin paling unik dalam jagad musik tanah air; lebih menegaskan keabsurdan ketimbang katakanlah GiGi, atau Padi. Rumahsakit, saya ingin sekali terbahak saat mendengar namanya. Nyatanya lagu “Hilang” yang saya dengarkan membuat saya terus-terusan meratap di depan speaker: indah sekali, tuhan. Intro yang menyayat, dan terkesan sok keren, membius dengan gaya vokal paling ngehek; perpaduan yang memukau dan menghasilkan musik yang begitu bagus dan jujur. Gila. Rumahsakit bagi sebagian orang dianggap nabi (simak SFTC band ini di YouTube). Bahkan meskipun sudah berganti dengan vokalis yang sangat merdu dan bisa bernyanyi, tetat saja orang-orang merindukan Rumahsakit dengan Lemes sebagai vokalis. “Kuning”, membuat kita seolah merasakan hamparan mentari di kening, “Bernyanyi Menunggu”, mengusik naluri kejantanan dengan musik adem ayem, “Pop Kinetik”, yang absurd dan bernada jenaka, “Mati Suri” yang gurih, “Anomali” yang mungkin merupakan suguhan terbaik pada musik pop Indonesia, dan “Sakit Sendiri” yang menyayat dan kosong. FYI, saya sering mengentikan guyuran gayung, atau aktivitas menggosok gigi di pagi hari, saat intro lagu “Hilang” berkumandang dari sound murahan`di kamar. Bukan apa-apa, keindahan itu sayang sekali untuk diacuhkan.


Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie – Semua Ikan Di Langit (2017)
Ziggy meramu sebuah keabsurdan tingkat dewa menjadi fiksi yang manis, tanpa adanya konflik bertele-tele atau ending yang menendang kepala. Novel pemenang juara 1 sayembara Dewan Kesenian Jakarta, sekaligus mungkin juara 2 dan 3 karena pihak juri sengaja tidak memberikan juara untuk urutan 2 dan 3 dengan alasan perbedaan kualitas yang jauh. Semua Ikan Di Langit memang bagus, dari segi gagasan juga tokoh-tokoh yang dimainkan. Mungkin jika ini film bisa dapat nilai 9,8 dari Rotten Tomatoes. Bayangkan tokoh utama novel ini adalah bus. Benar, bus Damri jelek yang biasa kalian jumpai di Bungurasih ataupun—dalam latar novel ini entah saya lupa tepatnya terminal apa. Bus ini secara ajaib berkendara di langit, dengan ikan julung-julung ajaib yang dikendalikan oleh sosok bernama Beliau. Sulit menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya karena alurnya benar-benar tidak tertebak, keluar dari batas kewarasan dan imajinasi. Ada pemikiran bahwa ini merujuk pada kisah Tuhan dan malaikat, dan proses penciptaan dunia. Tapi Ziggy—benar-benar—mengisahkannya secara ajaib dan absurd, tidak sakral dan sama seperti gaya penceritaan anak kecil lugu yang tidak tahu apa-apa di Di Tanah Lada (2013). Ada balutan ilustrasi epik karya Ziggy sendiri yang juga menambah nilai lebih di sekujur tubuh buku ini. Ada kutipan-kutipan haru yang jujur cukup absurd karena diucapkan oleh bus. Bila perasaan kita sudah terasah, atau sudah mempelajari teori semiotika, kita akan segera tahu pesan halus yang disampaikan Ziggy dalam adegan-adegan yang meloncat-loncat, dari situasi perang sampai toko roti di belahan dunia lainnya. Ziggy melemparkan kritik dan pesan tidak dengan gaya keras, tidak pula lembut romantis. Ia menyampaikannya dengan gaya ketidakjelasan yang sebenarnya cukup jelas bila kita mengerti maksudnya. Saya penasaran akan naskah-naskah yang tersodor di meja juri DKJ: seburuk itukah sampai hanya Ziggy yang memperoleh juara 1—dengan juara 2 dan 3 yang kosong, selebihnya diisi juara harapan? Mungkin dari semua puja-puji di atas, saya belum menemukan satu titik cela lagi: ini sastra ringan yang sebenarnya cukup berat. Ini sastra dengan pembahasan paling liar dan fantastis yang pernah saya baca. Cukup berbobot dan tinggi. Mungkin Semua Ikan Di Langit bisa dibayangkan sebagai cerita-cerita Disney; sama seperti itu dan hanya saja ini jauh lebih berbobot dan melampaui imajinasi manusia manapun. Karya Ziggy yang sepertinya sedang main-main tapi ia sangat serius melakukan main-main itu. Mungkin Wening Gitomartoyo dari Rolling Stone Indonesia berpikiran serupa saat mengulas Ziggy—yang oleh majalah ini menerima Editor Choice Awards tahun ini kategori The Phenomenal


Sabda Armandio – 24 Jam Bersama Gaspar (2017)
Dio adalah juara harapan 3 dari Sayembara Novel DKJ. Jujur, saya lebih menikmati membaca ini dibanding Semua Ikan Di Langit—meski memang tidak bisa membandingkannya karena Semua Ikan memang punya gagasan yang cukup fantastis. Novel Dio yang kedua seteleh Kamu (yang sudah lama saya ingin membacanya tetapi tidak pernah ada di toko buku ini) membawa cerita detektif yang mengejek detektif itu sendiri, menurut keterangannya. Tapi saya akan bilang bahwa novel ini lebih ke arah kriminal. Detektif tidak dikenal itu hanya melakukan dialog penyelidikan yang selalu ada di bagian tiap bab. Tokoh sentral dalam novel ini adalah Gaspar, yang sejak awal digambarkan sebagai bajingan yang akan merampok kotak hitam di sebuah toko emas. Upaya Gaspar ini secara kebetulan membuatnya mendapatkan partner merampok: saya lupa tokohnya satu-persatu. Kalian pernah membaca novel 5cm sebelum ia jadi ngehip karena dibuat filmnya? Novel terbaik versi Goodreads itu membawa banyak sekali tokoh dalam novelnya. Apakah kalian kebingungan membedakan dan menghafal tokoh ini dan itu, Arial dan Zafran misalnya. Meski Donijantoro meramunya pelan-pelan, tapi entah kenapa saya sulit sekali untuk melakukan pendekatan dengan imajinasi. Untung saja tertolong filmnya—yang juga masih jelek pula. Tapi Dio berhasil membuat pembaca hanya perlu membaca tanpa perlu membolak-balik halaman awal demi mengingat sang tokoh. Karakternya kuat, ada pembeda dan seolah kita mengenalnya. Yang hebat lagi adalah, kita bisa tahu karakter tersebut dan hafal walaupun mereka menggunakan nama samaran. Begitulah Dio. Saya tidak tahu dan tidak penting untuk tahu apakah isi kotak hitam tersebut. Memang bukan itu tujuan penulis. Saya mungkin akan membacanya lagi untuk menemukan hal itu. Tapi yang menarik dan saya fokuskan adalah, kecerewetan Gaspar sebagai tokoh aku, yang cukup komunikatif dan memakai banyak pendekatan budaya pop dalam novelnya. Ada ciri seorang geek-nerd yang tidak memaksakan memakai pendekatan ini. Cerpenis dan novelis Hami Badjingan (nama samaran) sempat berkata bahwa ia juga seperti itu dalam sebuah percakapan tapi saya hampir muntah mendengarnya. Hanya Dio yang bisa seperti itu. Saya ulangi, hanya orang tengil yang benar-benar tengil yang bisa seperti itu. Bukan yang sok tengil.

Taufiq Rahman - Pop Kosong Berbunyi Nyaring (2017)
Dalam buku ini akan dijumpai 19 hal yang tidak perlu diketahui tentang musik. Taufiq sebagai hipster sejati menuliskan grup musik, album, dan lagu-lagu underrated alias di bawah radar yang tidak banyak diketahui dan disukai orang. Menarik membaca esai-esai di buku ini, menghubungkan pengalaman pribadi penulis atau fenomena sosial, dengan musik. Secara mengejutkan, Chris Cornell vokalis Soundgarden ditemukan meninggal beberap bulan setelah buku yang memuat esai tentangnya di halaman depan ini dirilis. Membuat saya yang buta grunge selain Nirvana dan Pearl Jam (serta Ello Tahitoe jika dia layak disebut grunge), langsung mengonsumsi Soundgarden saat itu juga. Juga banyak artis yang saya tidak pernah tahu seperti Brian Eno atau Minutemen atau bahkan Bandempo (!) Ada banyak informasi yang tidak perlu diketahui namun amat menarik bila kita tahu. UKM penerbitan buku Elevation Books milik Taufiq Sepertinya akan konstan mengisi rak buku saya dengan buku-buku musik yang jarang ada di Indonesia. Saya menunggu rilisan-rilisan selanjutnya. Rock and Roll tidak hanya menyenangkan untuk didengarkan, tapi juga untuk dibaca.

Playboy Indonesia Edisi Januari 2007
Singkat cerita di suatu siang yang terik di bulan puasa, saya memutuskan mampir ke Jl. Semarang untuk berburu harta karun: majalah dan buku bekas. Tapi kenyataannya saya seringkali kesini dengan tangan kosong. Saya tidak tahu lagi harus ke mana saat tiba-tiba terpikir bahwa jarak Blauran dengan Jl. Semarang tidaklah terlalu jauh. Saya iseng mampir meski parkir bangsat 3000 rupiah. Ternyata benar adanya: satu Playboy Indonesia saya memang didapat dari Jl. Semarang, juga Rolling Stone Indonesia edisi pertama yang oleh penjualnya ditaruh sembarangan sebagai tadah hujan—sialan—tetapi di Blauran saya selalu menemukan harta karun: dua Playboy Indonesia saya dapat di sini, juga beberapa Rolling Stone, juga selusin National Geographic Indonesia. Lokasi perburuan saya pun berpindah ke Pasar Blauran. Saya sempat bertemu dengan Rafika, jurnalis senior Zetizen di tempat ini. “Aku nemu harta karun,” pamer saya padanya. Rafika yang waktu itu sedang bersama ibundanya penasaran. “Mana lihat?” saya langsung menyeretnya ke tempat agak jauh, membuka tas, dan “astaghfirullahalaziim, mas....” ujar Rafika. Saya terkekeh dan tidak peduli stereotip orang akan Playboy. Ini bagi saya adalah majalah terbaik dan paling memuaskan yang pernah saya baca, lepas dari foto nude-nya. Playboy membuat saya klimaks berulang kali tanpa bosan membacanya; feature yang jempolan, gaya bahasa yang sok songong dan sengak tapi saya suka (khususnya di Playboy Advice). Satu lagi, Playboy punya sikap yang jarang dipunyai media lain. Saya berharap Playboy Indonesia hadir kembali, dengan Pemred Erwin Arnada, penulis Alfred Pasifico, Soleh Solihun dan Arian Arifin Wardiman. Cerpen-cerpen yang dilempar juga sarat akan mutu. Cukup kenyang dan puas, setidaknya sudah mendapat tiga edisi. Kurang tujuh lagi dan saya mungkin akan bahagia. Khususnya edisi perdana dengan cover Andhara Early dan Playmate Kartika. Saya penasaran, sungguh.