Susah
menuliskan apa-apa saja album lokal Surabaya terbaik yang muncul di 2016 ini,
terlebih hampir semua rilisan memiliki candu dan daya tariknya masing-masing. Skena
lokal Surabaya memang sedang bagus-bagusnya. Untuk itu, anggap saja
rilisan-rilisan di bawah ini adalah rilisan terfavorit kami: yang setia
menemani lelah penat usai kerja, teman melamun di jalanan lengang, dan alasan
mengapa kami masih bertahan di tengah hiruk-pikuk kota. Masalah terbaik atau
tidak, itu urusan kalian. Setuju?
1.
Timeless – Beetwen And Beyond
Bapak-bapak
berumur membawakan musik yang sedapnya tidak terdengar seperti memaksakan jiwa
muda. Terdengar pure, orisinil dan bijaksana. Murni rock senang-senang tanpa
perlu mengulang-ulang formula kritik sosial usang atau lirik absurd nir makna.
No more. Suara Bimantarah pada vokal mengingatkan pada Eddie Vedder dengan gaya
lebih flamboyan. Terdengar renyah, jantan sekaligus bijak. Amarah terkontrol
dengan baik sehingga—kembali ke kalimat pembuka—tidak terdengar seperti
bapak-bapak berumur yang membawakan musik seperti memaksakan jiwa muda.
Hasilnya adalah kematangan dan kerapian, terutama dari segi sound. Yang paling
penting: band ini selalu punya intro ciamik.
2.
Indonesian Rice – Prolog
Bagi
orang yang tidak suka reggae pun, Indonesian Rice akan tetap terasa
menyenangkan. Roots tetap dari Jamaica, nabi masih Marley—siapa lagi—tapi
mereka tetap punya ciri khas. Di tengah kebingungan eksistensial muda-mudi masa
kini dalam membedakan mana reggae mana ska, Indonesian Rice berada di area yang
tidak terlalu reggae tidak juga terlalu ska tidak juga terlalu tengah-tengah.
Alhasil kita bisa menyimpulkan bahwa ada banyak formula musik lain yang mereka
comot sana-sini, seperti nuansa psychedelic, atau bumbu-bumbu jazz, surf rock
(?), atau apapun itu yang mungkin tidak benar-benar penting karena album ini
adalah ‘prolog’ dimana tentu saja Indonesian Rice belum mengeluarkan
keseluruhan performa terbaik mereka.
3.
Dopest Dope – Close To Death
Setidaknya
sebelum teori bumi datar menjadi kebenaran yang dipercaya manusia-manusia
depresi, menyimak Close To Death dari Dopest Dope bisa dianggap sebagai
nostalgia luar angkasa. Tidak terlampau futuristik ala-ala space rock
motherfucker band all around the world that influence by Tom DeLonge and his
AVA band, tapi cenderung muram dan sendu, kesepian antariksa, mungkin dengan
hawa-hawa khas Pink Floyd era Syd Barret kisaran tahun 1969 dengan tambahan
bunyi-bunyian modern. Sulit mendedahkan musik macam begini jika kalian tak
mendengarkannya sendiri di tengah malam. Dan entah memang otak si penulis lagu
terlalu berfantasi terhadap luar angkasa atau efek kebanyakan konsumsi jamur
halusinogen, yang pasti Close To Death berhasil membuat kami terdampar nun jauh
di nebula dalam kosmik waktu yang tidak terbatas, menuju putaran lubang
gargantua tak berujung.
4.
Egon Spengler – Ecto 1
Surabaya
gudangnya band hardcore. Brutal, keras, lempar bom dan meledak. Formula yang
sama dipakai oleh Egon Spengler—dicomot dari Ghostbusters yang berjaya di era
1990an—hanya saja ditambah sedikit aura brengsek dan bajingan, dan banyak
nuansa ugal-ugalan persetan aturan. Berisik saja tidak cukup bagi lima
berandalan ini, terutama bagi vokalis yang hanya gemar pakai kolor saat
manggung. Alhasil jadilah album Ecto 1 yang mawut, liar dan otak kita akan dipaksa
mencerna apapun emosi yang tumpah. Enyahkan tetek bengek sound yang
diutak-atik. Polosan. Back to basic, tendang, pukul, bonyok, kelar.
5.
Hi Mom! – The Youth Is The Real Time Bomb
Dalam
beberapa kesempatan, menyimak “Penghuni Telinga,” single baru Hi Mom! dalam
album The Youth seperti membawa kesegaran baru. Jika Hi Mom! dikenal condong
pada musik ala-ala The Temper Trap dengan falsetto melingking nan indah, maka
“Penghuni Telinga” menawarkan situasi baru dengan dentum yang lebih rancak dan
dance-able. Ada rasa-rasa The Stone Roses era Second Coming (1994) yang
membuatnya begitu berwarna dan artistik, meski butuh waktu lebih untuk melakukan
pendekatan secara audio dan menikmatinya. Meski Hi Mom! sudah cukup berumur
tapi tajuk ‘The Youth Is The Real Time Bomb” masih bisa relevan: sebagai
penolak takdir umur atau ajakan bersuka ria bagi jiwa-jiwa muda lelah yang
ingin segera tua.
Honorable
Mention:
Tidak
hanya album lokal Surabaya, beberapa rilisan berikut mungkin bisa jadi tambahan
referensi, setidaknya sebagai bahan retrospeksi bahwa 2016 nyatanya tahun yang
indah juga.
1.
Banda Neira – Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti
Album
terbaik Banda Neira sekaligus album terakhir mereka sebelum bubar akhir 2016.
Tidak ada yang salah, album ini sudah memberi sinyal lewat tajuknya, juga
“Derai-Derai Cemara.”
2.
Bring Me The Horizon – Live At Royal Albert Hall
BMTH
plus String Section plus paduan suara. Lebih dari sekadar band rock, metal,
emo, hardcore, whatever: Oli Cs. sudah menjadi lebih bermakna.
3.
Green Day – Revolution Radio
Menua
untuk kemudian kontemplatif adalah sebuah kewajaran. Album punk yang meski
tidak bagus-bagus amat tapi jadi titik balik setelah empat tahun vakum—meski keputusan
Billie Joe unuk main di film jelek Ordinary World (2016) tidak dapat dimaafkan.
4.
Radiohead – A Moon Shaped Pool
Thom
Yorke sudah tidak terlalu murung dan membingungkan. Album terbaik mereka
setelah sekian lama terdampar dalam dunia-entah-apa-namanya.
Monggo dibaca versi editnya untuk Kaleidoskop Ronascent Webzine 2016 disini
Kaleidoskop musik lokal Surabaya yang lain, mulai dari momen penting sampai band lokal terbaik, bisa dibaca disini, disini dan disini.