V.
Pengangguran,
Tanding Bola Tadarus, Black Metal Musola, Uttaran, Cara Pasang Kondom, Bajingan-bajingan
Pos Daya, Hulu Ledak Balok Pundak: Seputar Hari-hari Pertengahan KKN
SEMINAR PENYAKIT MENULAR SEKSUAL BAROKAH: RAJASINGA, GONORE, PEMAKAIAN KONDOM, DAN SAYA BERPECI. |
GAME OF BRONX: DI BAWAH JEMBATAN TOL MOJOKERTO-SURABAYA KAMI BERMAIN EMBER SEMENTARA KENDARAAN DI ATAS MELAJU 90 KM/JAM. SUREAL WAKTU ITU FANA, SELFIE ABADI |
Adakalanya alur hidup
KKN kita jadi klise dan tertebak: keluar malam pulang pagi bangun siang. Kadang
selebihnya setelah aktivitas, sisanya kosong melompong. Sisanya nganggur.
Ngucek-ngucek mata. Bermain ampas tebu. Memimpikan es degan siang bolong. Jus
belimbing. Soto Lamongan Cak Har. Intinya sekitar 35-45 % waktu KKN hanyalah
ibarat kita yang menginap di kontrakan teman selama dua minggu, dan masak-masak
sendiri, nyuci-nyuci sendiri, tidur pun sendiri (Meggie Z – Jatuh Bangun Aku:
circa 1990).
Apalagi jika hari
Sabtu-Minggu. Beberapa tokoh KKN pulang, atau entah kemana. Mencari takjil ke
ujung dunia-lah. Mengambil salah satu berkas di salah satu ruangan di salah
satu fakultas-lah. Mengembun-lah. Entahlah. Apalagi tidak ada tukang siomay
lewat. Jadinya semua berlomba-lomba berburu daging ikan tenggiri saat hampir
waktunya buka puasa di mall terdekat (KKN dengan lokasi tidak terlalu jauh
dengan mall adalah keberuntungan). Jadilah basecamp sepi. Sisanya mati. Bangun
siang. mati lagi. Ngaplo. Foto-foto berjamaah. Ghibah. Merusak rukun rumah
tangga orang. Merencanakan konspirasi hari esok. Membunuh kutu. Memainkan gitar
sambil berimajinasi tentang hari kiamat. Menari berkalung handuk. Terdiam lalu
busuk sendiri. Merindukan omelan ibunda. Merindukan mantan pacar teman. Dan lain
sebagainya.
KKN membawa kita pada
suatu dunia nganggur yang baru.
Kita sering tidak
terasa. Nganggur adalah pekerjaan paling halus yang tidak pernah kita sadari.
Di kampus kita sering sekali menganggur: ingat baik-baik kapan terakhir kali
kalian memperhatikan dosen saat pelajaran. Kita sudah terlalu lama terjerat
dalam lamunan, kosong melompong, dan memang benar, kuliah tidak kuliah, dalam
kamar atau dalam kelas, sama-sama nganggurnya, cuman beda tempatnya. Ingat
baik-baik, berapa lama waktu kita terbuang di warung-warung kopi pinggir jalan.
Nganggur bekerja sehalus mungkin, sampai-sampai kita tidak terasa sudah
beratus-ratus jam habis di warkop hanya untuk berdiskusi tidak berfaedah
tentang salam kupu-kupu, jidat monyet, inflasi tikus, hari raya tungau, buaya
diantara buaya, babi diantara babi, kambing diantara kambing, dan lain
sebagainya. Berapa banyak waktu kita terbuang tanpa kita sadari hanya untuk
berlama-lama di depan laptop, di sebuah kedai free wifi kekinian, dengan
Microsoft Word berisi tugas yang diminimize, dan entah, kita sibuk membuka-buka
tab dari Chrome, mulai dari download ilegal lagu Calvin Jeremy, stalking
Instagram si gemas Marsha Aruan (OMG Marsha!), download aplikasi pemburu hantu,
pengusir kecoak, penangkap jin, membaca artikel pembunuhan tukang ojek mentimun
di rumah suami selingkuhannya, menonton video sumber bencana aurat, YouTube dan
mendengar maki-makian Young Lex yang dicover youtubers-youtubers bau kencur
yang merekam aksinya di depan pasar, scrolling bawah, scrolling atas, klik
kiri, klik kanan, download, save as, tiga empat jam berlalu, terus begitu,
begitu terus, pseudo productivity, produktivitas palsu.
KKN berada di masa
kejayaannya di hari-hari pertama. Setelah itu, mengutip Chairil Anwar, sekali
berarti, sesudah itu mati. Saya dan Hengki—karena entah siapa lagi yang bisa
saya ceritakan dalam konteks ini selain saya sendiri—sudah berkehendak di
jauh-jauh hari: segalanya pekerjaan yang berada di desa, sikat! Kami berdua
sepakat untuk suatu hari pergi ke ladang tebu, ikut membantu warga memotong
tebu, mengangkutnya ke truk, dan berpanas-panas menikmati indahnya siang bolong
bulan puasa dengan mengasap mbako. Kami juga sepakat untuk berjalan-jalan
sehabis subuh, melihat situasi pedesaan, sekaligus mencari simpatisan
pencalonan kami sebagai Lurah – Wakil Lurah Sidowangi 2098. Tapi semuanya itu
hanya mitos, hanya sekumpulan semut di wadah terasi. Tidak pernah terjadi. Kami
tahan berkarat dalam camp hingga pukul sembilan pagi, membuat
kesempatan-kesempatan emas untuk bergaul dengan warga lenyap. Hanya malam,
satu-satunya sisa waktu yang kami miliki untuk setidaknya menjadi warga
Sidowangi—menjalani aktivitas keseharian seperti warga. Atas dasar itulah
mengapa kami—dan benar, hanya berdua—akhirnya nekat jalan kaki menuju masjid
Sidowangi, melewati jagoan-jagoan desa, demi bergantian dengan Pak-Pak Tua,
marbot masjid berusia sepuh yang menjadi sosok satu-satunya di malam itu yang
tertunduk di depan microfon, membaca Al-Quran dengan tertatih-tatih. Hanya
beliau yang tersisa untuk tadarus, sisanya, para cacing kremi, sembunyi di
kenyang perut masing-masing. Beberapa orang berpeci memang tampak di luar
masjid, tapi toh sedari tadi hanya bermain-main dengan garpit. Sisanya tiduran.
Saya dan Hengki datang di saat yang tepat. Pak-Pak Marbot (bayangkan saja
seperti Deddy Mizwar), langsung menyingkir dari singgasananya, dan
memberikannya pada kami. Microfon sudah di depan mata.
Ini adalah masjid
terbesar di Sidowangi.
Logikanya adalah,
suaramu akan bahana sampai ujung desa. Suaramu
akan masuk di sela-sela bambu, di teduh rerumputan malam, kering ampas tebu,
dan kemudian menguning pelan bersama rembulan (Hilmawan: Puisi Jelek
Tentang Malam Jelek, 2016)
Saya pikir itu akan
bertahan selama dua minggu, nyatanya cuman dua hari. Tapi sungguh dua hari di
masjid menambah dua kilogram bobot tubuh kami. Jajanan mengalir terus,
merepotkan lambung yang terus mengaduk, usus yang bekerja keras: es campur, es
blewah, kerupuk, tahu penggorengan, tempe penggorengan, pisang penggorengan, semangka,
melon, nanas, pepaya, durian. Belum lagi ditambah khasiat udud: Surya, Sam Soe,
Sampoerna Mild, dan jagoan saya Gold Lights. Ditengah serak-serak basah nan
syahdu suara Hengki yang niscaya mampu menidurkan anak monyet, saya
menghabiskan itu semua, berdua bersama pak-pak Marbot, sampai kemudian datang tim
kesebelasan masjid beranggotakan lima orang, membawa bola sambil mencongkel
jajanan yang tersedia di lapak tangga masjid, mencomotnya sambil mengoper bola
ke kanan ke kiri, menjerit saat Hengki menggemakan surat dalam ayat suci dan
menganggapnya seperti suara-suara biasa saja dan seolah tanpa suara, menggolkan
berkali-kali dengan mementalkannya ke tiang masjid tanpa peduli suara Hengki
yang sakral.
Tapi codot tidaklah
selamanya jadi codot. Setidaknya mereka akan tua mati dan membusuk. Bola
tidaklah selamanya akan menggelinding. Setidaknya mereka akan melambung terlalu
tinggi terjebak diatas genteng dan membusuk bersama sisa-sisa tampungan air
hujan. Tim Shalawat FC—kesebelasan (atau ke-lima-an) masjid kebanggan Sidowangi
terpaksa menyudahi permainan karena kehilangan bola. Ada tatapan sayu di mata
mereka. Yang sama-sama menyeka keringat dan tidak lupa mencomot gorengan di
tangan kanan semangka di tangan kiri. Mereka membicarakan bagaimana tendangan ngawur
si Otong tadi menyebabkan permainan berkelas yang mereka tampilkan harus
terhenti sebelum menit 90. Mereka menertawakan diri sendiri. Mereka mencomot
melon lewat lubang hidung. Mereka masih bocah. Dan kehilangan bola tidak
seharusnya membuat mereka berhenti dan menyerah. Anak-anak suku pedalaman di
Banten tidak menyerah untuk bersekolah walaupun banjir menghilangkan jembatan
penghubung di desa mereka. Anak-anak Mojokerto seharusnya juga tidak menyerah
walaupun tendangan kaki naga menghempaskan bola mereka satu-satunya dalam
genteng penutup masjid. Show must go on. Sekali dua comot gorengan, dua tiga
anak mengambil sapu. Mencoba memanjat tiang masjid, menyundul tempat yang
diperkirakan menjadi letak bolanya. Sundulan demi sundulan dilancarkan, di
titik-titik yang berpindah-pindah. Bola tidak tampak jatuh. Hanya air bekas
hujan yang mengguyur kencang, dan saat sedang gencar-gencarnya, mereka
menyundul tempat dimana pusat tampungan air berada. Sekali sundul dan
byuuurrrrrrr.... dari atas genteng air bercampur sekawanan lumut dan
pahala-pahala yang nyangkut mengguyur tanah, seperti kolam waterpark dimana
selalu ada ember raksasa berisi tampungan air yang jika sudah tiba waktunya,
akan mengguyur kencang, menghujamkan air yang jika mengenai kepala bisa menjadi
salah satu relaksasi tempurung otak. Semua di masjid tertawa, termasuk saya
yang jadinya mau tidak mau turut campur juga. Anak-anak ini masih belum
terlampau tinggi karena—saya yakin seyakin-yakinnya—belum dikhitan. Jadilah
mereka membutuhkan pertolongan superhero kucing garong dadakan. Saya langsung
memanjat tiang, melihat dimana letak bolanya, dan memberi komando kepada tim
penyodok di bawah, dimana lokasi berada. Sekali dua kali sundul, bola masih
terdiam seperti kepala bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa.
“Seng rodok banter,
rek!” suruh saya. Sodokan pun terdengar makin kencang. Tapi si bola masih saja
berlagak pilon. Anjing.
“Banterno sisan,
gapopo!” komando saya. Mereka pun dengan segenap kekuatan langsung menyodok
lokasi yang telah saya berikan. Tapi sungguh diluar dugaan. Bola tersebut
memang jatuh, tetapi juga diikuti dengan sapu panjang yang sukses menembus
payupan di masjid.
Krak!
Sialan.
Saya yang ogah
bertanggung jawab berusaha langsung turun dan tidak menoleh kepada marbot
masjid. Diluar dugaan, si marbot malah tertawa terbahak-bahak. Santai saja. Dan
dengan entengnya mengepulkan asap mbako. Dengan peci putih dan sarung Gajah
Duduk; ini dia salah satu kandidat marbot terbaik di Indonesia. Demi bola dan
kesenangan anak-anak, payupan masjid jebol tidak jadi masalah. Lalu bagaimana
kita yang hanya gara-gara salah bilang kata sedikit saja, sudah ramai dan
koar-koar bela agama?
***
Suatu hari yang busuk
dan bedebah, beberapa anak memilih untuk tidur bak pesakitan kekurangan oralit.
Pengangguran karena puasa. Nganggur yang berpahala. Sempak kuda. Saya sudah
lama tidak percaya pada hal-hal yang seperti itu. Kamu dinilai dari apa yang
kamu kerjakan, persetan pahala. Jika diam memang berpahala, jika surga bisa
didapat hanya dengan tidur semata, lalu apa guna jantung kita terus bekerja,
penis kita terus menegang. Apa guna hidup?
Saya dan Wisnu, saling
berpandangan diantara senyum dan hawa tolol. Kami sudah merencakan untuk
membersihkan musola di dekat basecamp pada malam harinya. Wisnu merasa saya
hanya omong doang, tukang kibul basa-basi. Saya merasa senyum Wisnu begitu
mengintimidasi. Sebenarnya enak-enaknya jadi pemalas. Asalkan tidak diam dan boring.
Diam-diam berpahala adalah kata lain dari ngaplo sampai ketiduran. Saya tidak
menggembar-gembor produktitivitas. Tapi alasan diam-diam berpahala karena bulan
puasa adalah omong kosong zaman buah kurma masih seukuran durian. Diam-diam
lalu mati.
Saya dan Wisnu menuju
musola tanpa persiapan apapun. Tubuh saya masih bau sisa semalam. Perut belum
diambrolkan. Agak sedikit berkunang-kunang melewati jalanan lengang Sidowangi
pukul tujuh pagi. Musola Sidowangi digunakan hanya pada jam-jam solat, selebihnya
ditutup, dikunci dari luar. Kemudian ada beberapa adegan yang bermain dalam
kepala saya dimana di malam sebelumnya Wisnu pulang paling terakhir bersama
marbot musola dan si Marbot memberi tahunya salah satu rahasia terbesar umat
Islam.
“Kunci tak taruh atas
sini mas, ya. Barangkali temen-temen KKN mau tadarusan atau tiduran, monggo.”
Katanya setelah mengunci pintu dan menaruh kuncinya di sela-sela ventilasi
pintu.
Wisnu kini memamerkan
rahasia itu dengan bangga kepada saya. Saya pura-pura melongo dan takjub,
pura-pura memandang Wisnu sebagai calon marbot terbaik muka bumi. Pura-pura
berucap subhanallah di dalam hati.
“Pak Marbotnya kemarin
ngasih tahu letak kuncinya ke aku.” Ujarnya bangga. Ingin rasanya saya
memeluknya erat-erat, mengucapkan selamat bahwa ia telah dipercaya mengetahui
lokasi kunci rumah Allah.
Wisnu sudah bergerak.
Dia terlihat mengambil sapu ijuk, mengobrak-abrik isi musola, membersihkan
jutaan debu dan molekul, merapalkan kalimat-kalimat pujian terhadap Nabi dengan
celana komprang pendek, dan hasilnya bisa langsung terlihat dimana sarang
tarantula atau apa saja yang menggantung di langit-langit berserakan, siap
diangkut menuju bak sampah. Sementara saya masih melompong, melamun,
membayangkan es limun di pagi hari, membayangkan dunia nan jauh di Surabaya
sana, membayangkan apa yang kemungkinan besar akan saya mimpikan jika tadi saya
memilih untuk melanjutkan tidur.
Saya sungguh masih
mumet. Tanpa sengaja saya meraba saku celana, dan headset itu berada di
dalamnya. Ide bagus. Saya langsung mencolokkannya pada ponsel, meninggikan
volumenya. Baiklah, saya mulai norak. Berkumandanglah: Deafheaven – “Dream
House.” Berkumandanglah, black metal di musola. Berkumandanglah, caci maki
depresi lubang buhul penyembah iblis neraka di rumah Tuhan. Andai saja saya
punya koleksi lengkap Maher Zein, mungkin saya lebih memilih mendengarkan
albumnya saat ini. Tapi apa daya, lagu Islami yang terakhir saya dengar adalah
Siapa Yang Cinta Pada Nabinya oleh Haddad Alwi.
Jantung saya, seperti
biasa, mudah sekali meledak oleh apapun itu yang keluar melalui lubang headset.
Saya segera meraih sapu panjang, merogoh-rogoh langit-langit di pelataran
musola, mengaduk-aduk sarang kesia-siaan di atas sana, sampai tiga orang bocah
menaruh sesuatu tepat di dekat saya berdiri, menaruhnya dengan korek yang
dinyalakan, dan siapapun tahu itu adalah mercon. Mereka calon teroris bodoh
yang bisa-bisanya meledakkannya di rumah Allah. Saya terkaget setengah mati
dengan muka setengah tolol. Bunyi yang terdengar begitu keras sampai-sampai
menembus kuping saya yang sedang tersumbat lagu kerongkongan kering dendam
kesumat. Bajingan. Saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena trio codot
itu menghambut berlarian, tertawa dengan nada mengejek. Saya mencoba tidak
berbuat hal-hal ironis dan terus bekerja. Meladeni mereka hanyalah
membuang-buang energi karena saya sungguh kelaparan dan hari belum terlalu
siang untuk berdosa di Warung Emak.
Jadi hasil setelah enam
puluh menit kami berkutat dengan sapu dan pel adalah musola yang lebih wangi
dan layak untuk dibuat tiduran. Headset masih menancap dalam dalam kuping
sampai Wisnu kemudian menariknya kasar, memelototkan matanya.
“Pantesan ae gak krungu
bantere koyok ngene, AYO BALIK!”
Dan setelah menutup dan
mengunci pintu, kami menaruh kunci kebanggaan Wisnu itu di tempat semula.
***
Karena tidak setiap hari
tim ekonomi yang saya pegang beraktivitas—kecuali Wisnu si profesor ampas tebu
yang rutin membuat penelitian sebagai bahan prakarya—maka saya jadi lebih
banyak menghabiskan waktu di tim lain. Selain kegiatan tadarusan bareng Hengki
dan bersih-bersih musola berpahala bareng Ki Wisnu, saya juga ikut
membantu—atau istilahnya melok-melok daripada nganggur—dengan tim kesehatan
yang dipimpin Yang Mulia Ikbal, dan tim lingkungan hidup yang diketuai langsung
oleh maskot kita Aminul. Untuk tim agama yang diketuai Ustad Syakur saya sempat
pula menjadi tukang angkat-angkat karpet, bajingan cek sound dan juga juri
dadakan dalam lomba menghafal surat pendek (dan ini adalah prestasi terbesar
saya saat KKN). Sementara itu tim pendidikan yang bertanggung jawab kepada bos
Fitra Suharianto, juga sempat mengajak saya sebagai security yang menjagai
jalannya lomba-lomba yang sangat bermanfaat dan mengasah daya motorik dari
anak-anak Sidowangi, juga agar kalau-kalau ada hal-hal yang diluar kendali
seperti lepasnya hewan peliharaan warga, atau ngamuknya orang-orangan sawah,
atau yang paling teknis, mengambil ember berisi air untuk keperluan game paling
bermanfaat sepanjang sejarah pendidikan outbond ditemukan, saya bisa sedikit
memberi bala bantuan non doa. Saya lupa ada tim apalagi, karena saya juga
sempat merangkap korlap ugal-ugalan dan humas perusuh di saat ketua kesayangan
kita Anugrah menugaskan. Saya sangat menghormati Anugrah, benar-benar
menghormatinya. Maka dari itu apapun perintah dia, akan selalu saya laksanakan.
Begitupun saat saya merangkap sebagai tukang saat Anugrah menugaskan saya dan
teman-teman, dalam hal ini Tyo, Hengki dan Ikbal, yang waktu itu sedang berbuka
puasa rame-rame, untuk membantu membawa keperluan dari tim lingkungan hidup
pimpinan bapak Aminul.
Tapi sebelum menginjak
ke bagian tukang-menukang, ada baiknya saya bercerita terlebih dulu tentang
kegiatan Ikbal selain membasah dalam mimpi. Kebetulan saya juga lumayan dekat
dengan pendosa satu ini.
Ikbal di suatu sore
dengan mata memerah dan mulut bau naga setelah siangnya kenyang nasi pecel dan
es teh jumbo dibangunkan oleh Anugrah dengan amat kalem namun mengintimidasi.
Entah teknik membangunkan apa yang dipakai yang pasti Ikbal si manusia santai
nomor wahid langsung duduk terbangun.
“Iyo, santai Nuuu.”
Ujarnya sambil menguap.
Saya pura-pura tidak
mendengar, rebahan sambil memikirkan makna hidup sampai si monyet ini
menyenggol-nyenggol tubuh saya.
“Ewangono aku, su. Ayo
ke Dusun Ketapang. Bantu aku sosialiasi.”
“Males cuk, dadi opo
aku, angkat-angkat ya ogah!” ujar saya setengah bercanda setengahnya lebih
serius.
“Kamu korlap.” Kata
Ikbal.
Baiklah...
Segalanya tentang korlap
dimulai kemarin saat Anugrah menugasi saya menjadi korlap di acara Sosialisasi
Penyakit Seks dan Menular oleh tim kesehatan, dan menggantikan apa-apa yang
biasa dilakukannya karena dia sedang sibuk melobby pemuda-pemuda kartar
Ketapang entah demi apa. Saya ditugasi juga untuk menjemput Pak Polo di
rumahnya dan oleh karena itu, saya diwajibkan memakai kostum batik dan peci.
Kedewasaan saya meningkat setelah memakai kostum ini. Tugas korlap simpel saja,
memastikan semua bagian berjalan lancar, mulai dari konsumsi, teknis, atau yang
paling berat: juru parkir. MC sendiri masih diisi oleh Hengki yang waktu itu
tampil mirip sekali dengan Choky Sitohang. Doa tentu saja dipegang oleh Wisnu.
Saya sendiri bergerombol di geng jukir sebelum acara dimulai. Menyulut kembang
api di mulut. Dan kembali melamunkan makna hidup. Jam sudah pukul tujuh saya
pun bergerak memacu motor menuju rumah Pak Polo yang padahal jaraknya cuman
seperlemparan batu. Menjemput Pak Polo dengan pakaian resmi dan segalanya yang
dipersiapkan sedemikian rupa—termasuk jam tangan Wiendo yang saya embat—kemudian
saya mengetok pintunya, lama sekali, ada hening dan suara cicak bercinta.
Tetangga sebelah memandang saya dengan perasaan seperti orang yang melihat
bangsat sialan yang mau mencongkel pintu dan mengobrak-abrik rumah Pak Polo.
“Pak Polo metu mas, tadi
katanya mau ngurus tanah.”
Saya balik memandang
mereka dengan perasaan seperti orang yang melihat keterpurukan dunia. Canggung
dan entah apa yang harus diperbuat ataupun dipikirkan. Saya kembali membawa
beribu rasa malu, ditertawakan, dan jeng.. jeng.... Anita, anggota terbaik dari
tim kesehatan berkata bahwa Pak Polo tidak bisa datang dan digantikan dengan Bu
Polo yang ternyata sudah duduk sedari tadi di pojokan sana. Saya menghargai
kerja keras Anita dalam menyampaikan hal penting ini meskipun teramat telat.
Saya langsung menghampiri Bu Polo.
“Bu, nanti ngasih
sambutan bentar, ya. Sebagai pembuka acara.” Kata saya sambil sok-sok memegang
rundown lecek yang dikasih Ikbal. Bu Polo memandang saya dengan pandangan
antara mau senyum dan menahan keharuan mendalam.
“Aduh kulo mboten saget
nak.” Ujar beliau.
“Ayolah, Bu.”
“Mboten saget, nak.”
“Ayolah, Bu.”
“Mboten saget, nak.”
Setelah bertikai
sepersekian menit, dan saya sudah mengeluarkan semua jurus bujuk rayu dan
teknik mata kuliah kehumasan saya, ternyata ibu ini begitu tegar dan kuat hati.
Terpaksa sambutan ditiadakan. Saya langsung bilang kepada Choky Sitohang yang
sedang sisiran klimis di kamar, bersiap untuk jadi MC. Si professional buduk
ini mengangguk tanda mengerti, dan mengerlingkan mata seolah menyuruh saya
keluar ruangan karena mengganggu kekhusukannya berdandan ala manusia got.
Acara berlangsung dengan
amat cepat—jujur saya tidak memperhatikan, melamun doang sambil ngasap—tiba-tiba
saja sudah selesai. Pas saya sadar saya sudah kebagian waktunya Bung Wisnu
untuk memimpin doa. Saya pikir acara doa di akhir acara akan seperti tipikal
doa-doa pada umumnya saja, tinggal bilang amin walau tidak paham juga bahasa
Arab. Tapi bukan Wisnu namanya kalau tidak mencoba gimmick baru.
“UTTARAN!”
Jancuk. Momen yang
sureal karena tiba-tiba Wisnu berteriak seperti itu dengan gaya dalang semprul
sebelum membacakan doa. Saya tidak bisa berpikiran apa-apa lagi sementara
teman-teman pada tertawa keras dan saling menepuk jidatnya. Busuk sekali nada
tertawanya. Apa itu tadi begitu hancur dan hinanya? ‘Uttaran!’ yang diteriakkan
dengan gaya dalang iklan obat Paramex. Tapi saya salut Ki Wisnu tetap pede
menjalankan peran sebagai hipster ulung eksistensialis tukang baca doa
professional fuck mainstream tengik pemuja Uttaran kelas wahid. Call it... Wish
now...
Acara pun usai dan
giliran saya saat rapat evaluasi melaporkannya kepada ketua Anugrah,
pertanggungjawaban sebagai korlap. Saya mengapresiasi semua tim yang sudah
bekerja bahu-membahu demi suksesnya acara, khususnya tim juru parkir yang
terdiri dari bajingan berotot Tyo, Wiendo dan Syakur (dua diantaranya adalah
pegulat sumo, satunya pegulat sumo di Benteng Takeshi).
“Terima kasih paling
khusus saya tujukan kepada tim juru parkir, yang bertugas menata dan
memarkirkan motor-motor warga. Mereka bekerja dengan amat total dan dedikasi
tinggi meskipun tidak ada satupun warga yang datang kesini membawa motor.”
Bisa kalian lihat
ekspresi tim jukir saat itu adalah ekspresi paling sumringah selama dua minggu
KKN. Saya tidak bisa menebak dengan pasti mereka sumringah karena apresiasi
tingkat tinggi saya ataukah karena mengenang insiden Uttaran oleh Bapak Wisnu
tadi.
***
Acara tim kesehatan
tidak hanya digelar di Balai Dusun Sidowangi saja, tetapi juga di Balai Dusun
Ketapang. Saya ditunjuk Ikbal sebagai korlap lagi, tapi korlap dalam konteks
bedol desa Ketapang ini adalah tukang angkat-angkat, cek sound, cek listrik,
riwa-riwi, dan lain sebagainya. Saat acara berlangsung karena sudah kepalang
mendidih isi dalam kepala saya butuh pelampiasan. Grendel Utama dari Wiendo
tidak bisa sedikitpun meringankan nafsu untuk ugal-ugalan. Pemateri adalah
Hengki Sitohang, dan di jam-jam kritis hampir saat acara akan dimulai saya
kemudian nekat mencalonkan diri menjadi si tukang MC menggantikan Mak Layla
yang pada malam itu tampak seperti Laylatul Qadar yang penuh misteri. Persetan
teks, improve saja meski gagap dan hancur total. Yang penting microfon di
genggaman dan segalanya akan cair dengan sendiri. Syukurlah, acara di Ketapang ini
juga berlangsung sukses—meski saya sendiri tidak paham bagaimana menilai sukses
tidaknya sebuah acara penyuluhan penyakit kelamin di sebuah dusun sepi yang
kebanyakan pesertanya ibu-ibu berusia lanjut dan kelihatannya sudah tidak
berminat lagi untuk main-main dengan kelamin.
Sampailah pada puncak
acara Tim Kesehetan yang dikomandoi Ikbal. Acara puncak tim kesehatan adalah di
Balai Desa Jetis, dengan banyaknya peserta yang tumplek-blek, juga
preman-preman desa, dan beberapa awak karang taruna sekitar. Hadir juga Mas
Sodiq yang mirip arits figuran di serial-serial RCTI sebagai orang berpengaruh
di lingkungan kartar desa. Pak Lurah bersama Bu Lurah juga tak mau ketinggalan
dan mengisi saf paling depan. Penyuluhan seks dan kelamin ini dimoderatori oleh
Hengki dengan pemateri langsung dari Bu Bidan Kemlagi yang—ehm—beringas.
Walaupun sudah rada berumur Bu Bidan gemar sekali menancing teriakkan penuh
gairah dari para lelaki dengan membawa alat peraga berupa—ehm—penis buatan (dan
bukan dildo yang bisa getar itu) untuk kemudian digunakan sebagai praktik
memasang kondom dengan benar. Saya geli sekali melihat alat peraga itu
benar-benar bisa ereksi, juga terdapat biji testis yang—oh sungguh saya
kehilangan urat tertawa saya.
“Memasangnya begini
caranya.” Ujar Bu Bidan sembari mengeluarkan bungkusan balon itu. “Pakai mulut
juga bisa lho.” Ujarnya sambil mengerjap-erjapkan mata.
Beberapa ketegangan
wajar mungkin muncul di lekuk-lekuk tertentu para pemuda yang sedang melihat
dengan seksama. Saya sendiri memilih tidak menonton dari awal dan hanya
mendengar ocehan beliau saja. Menghadap ke belakang dan menghembus asap
Marlboro. Saya sadar sesadar-sadarnya, betapa tololnya menonton yang begituan
sementara tanpa belajar pun semua pria akil baligh sudah pasti akan bisa
melakukannya. Saya yakin itu.
Setelah puas tertawa
mesum di Balai Desa, saatnya orkesan—saya pikir ini ritual khusus setelah
pemasangan kondom sialan—dan anjingnya, Bu Bidan ini juga membawa sohibul
hikayat yang sepertinya merupakan anggota grup orkes. Dalam hitungan keempat,
dangdut suara gendang ini pun berkumandang. Kesumat, birahi, dan tawa-tawa
penuh dosa tumpah ruah apalagi Si Bidan ini pulalah yang bergoyang sekaligus
berdendang. Usai memasang kondom mari merayakan birahi.
“Jancok salah ngundang
iki, iku maeng koyokane kene ngundang BIDUAN duduk BIDAN!” ujar saya pada
Wiendo yang entah kenapa malam itu berkeringat sekali seperti menahan bara
gairah. Titik panas si tambun gelap ini berada di perut, tentu saja. Hanya saja
sekarang seperti turun beberapa centimeter ke bawah.
Gerombolan moshing
dangdut pun dimulai. Anak-anak kartar sudah langsung stage diving tanpa peduli
apapun, sementara para peserta lain sudah akan membentuk wall of death dangdut.
Apa daya anak-anak KKN masih malu-malu berpogo bokong. Apalagi saya yang cuman
bisa headbang kendang. Malam makin bertambah pekat, circle pit pun makin
mengganas. Anak KKN sudah tidak malu-malu lagi untuk melakukan slam dance liar.
Hengki bahkan berdansa bersama Ibu Bidan, seperti sudah kehilangan kewarasan.
Sampai di pertengahan dansa erotik Ibu Bidan tersebut berteriak ‘eits!’ keras
sekali, dan entah apa yang sudah dilakukan Hengki terhadapnya. Sampai saat ini
tingkah laku tercela Hengki masih menjadi misteri. Tidak ada yang benar-benar
mengerti ada apa dibalik ‘eits!’ itu. Peristiwa ini sudah diarsipkan dan
menjadi dokumen rangkaian kegiatan penting yang kini tersimpan di Perbendaharaan
Kantor Desa Jetis. Aksi Hengki dan teriakkan Bu Bidan ‘eits’ sudah dicatat oleh
warga desa peserta seminar orkes hari itu sebagai skandal paling heboh sepanjang
Desa Jetis berdiri.
Tapi Hengki, menolak
untuk tunduk mengakui kekhilafanya. Ia punya senyum paling biadab di antara
seluruh umat manusia.Tanpa ragu-ragu terus bergoyang dan kali ini menggandeng
Mas Soqid, si aktivis Jetis, untuk berdansa bosanova. Diiringi lagu
antah-berantah entah siapa yang menyanyikannya yang hari ini kembali berdendang
lagi untuk yang keseratus juta kali.
Birunya
cinta, seperti birunya langit...
Juancok!
***
Besoknya ada agenda
kegiatan dari tim pendidikan. Anggotanya adalah Ayuk, Breng dan Manda—dan tentu
saja Bos Besar Fitra. Saya sudah lama tidak melihat tim sekompak dan serukun
ini. Ada pancaran-pancaran cinta dari mata mereka meskipun saya tidak peduli.
Ada sejumlah cinlok yang terjadi meski semuanya sudah dipastikan akan berakhir dengan
patah hati dan saya makin tidak peduli. Tim pendidikan membuat acara outbond
yang juga tidak benar-benar saya pedulikan sampai kemudian Fitra meminta
bantuan tenaga. Saya bertindak sebagai kuli ember yang bertugas mengambilkan
air di kran warga sebagai bahan lomba mengisi ember berisi air menggunakan
botol yang ditarik oleh empat anak memakai rafia. Sulit membayangkan lomba ini
jika kalian tidak mencobanya sendiri. Saya juga ditugasi membawahi beberapa
anak kecil untuk ikut lomba. Tugas saya adalah mengarahkan mereka memenangkan
pertandingan.
Tapi dasar saya buduk,
beberapa kata umpatan dan makian sempat keceplosan saya lontarkan. Karena
memang mereka masih anak kecil, jadi iklim permusuhan yang diletup sedikit saja
bisa jadi membesar.Anak-anak kencur ini terprovokasi. Mereka jadi ikutan saling
hina dan ejek. Saling caci dan merendahkan. Karena sudah terlanjur dan para
cecunguk lain juga mengajari umpatan serupa, tentu saya tidak mau kalah dong.
Mengompori mereka gampang sekali dan mungkin saya berbakat jadi penghasut. Tim
saya tentu saja kalah dan saya tidak peduli juga. Tapi meskipun begitu saya
tetap lega karena berhasil mengajari anak-anak kecil ini meneriaki temannya
dengan perbendaharaan kata jorok terbaru. Kesimpulannya mungkin tim pendidikan
sudah gagal karena mengajak bajingan-bajingan macam saya, Tyo, Ikbal dan Hengki
yang ternyata tidak malah membimbing pada kebaikan, tapi pada hujat-menghujat.
Outbond istimewa yang diadakan di lapangan voli Sidowangi ini juga membuat saya
ngeh bahwa anak zaman sekarang demen selfie juga. Terbukti di akhir acara pada
saling berebutan dan berpose semanyun mungkin. Siapa yang mengajari ini?
***
Suatu pagi yang muram.
Saya baru tiba subuh tadi dari warung kopi. Entah lupa menenggak apa, yang
pasti kepala terasa berat dan ngantuk sekali. Tidur di tikar tidak jadi
masalah. Tidak sahur tidak jadi masalah karena belum pasti akan puasa juga. Tiba-tiba
ada suara-suara ajaib dari dari ujung pintu. Ramai sekali anjing. Terpaksa saya
melek dan mengucek-ucek mata. Keparat, masih sepagi ini. Belum pukul delapan.
“Minta tolong poo tong,
kamu ikuto ke Balai Desa ngebantuin lomba tim agama. Sama bawain karpet. Mandio
dulu tapi...” Itu seperti suara yang cukup keibuan. Itu adalah suara Mama Esti
yang sudah beranak dua. Atau, saya tidak tahu persis siapa itu karena masih
berada di ambang batas kesadaran.
Saya pun ngedumel dan
langsung meraih handuk. Tapi mengingat di camp cukup sepi (pada kemana hari
ini?) jadi mau tidak mau saya harus membantu. Tentu saja saya tidak mandi dan
hanya mencelupkan kepala di bak mandi. Saya datang sendirian membawa karpet
dengan perut kerucuk-kerucuk, dan saat saya memikirkan untuk segera mampir ke
warung, Bang Syakur menghampiri saya. Dengan pincingan mata saya sadar diri
juga untuk membantunya menggelar karpet. Di saat saya akan segera kabur untuk
sarapan di bulan Ramadan, Bang Syakur malah minta menemani membeli selotip.
Setelah itu saya yang akan segera pamit malah dikasih kamera oleh fotografer
andalan kita Devi Ardian dan memotret-motret ngawur kesana kemari.
Hengki Julian sudah
hadir disitu, dan serta merta langsung diserahi tugas dobel sebagai juri lomba
dan MC. Hengki agaknya mulai bertingkah sok profesional dan banyak maunya. Dia
tidak mau jadi juri dan minta pengganti. Alhasil semua mata tertuju pada saya.
Mau tidak mau saya menjadi juri lomba menghafal surat pendek dan menunda
sarapan. Saya agak minder melihat juri sebelah saya, Nila Dara yang sudah umroh
dan pantas diberi predikat ustadzah, dan Layla Effendi, yang merupakan qori
andalan Pacet, Mojokerto. Saya sendiri ngaplo dan entah, meragukan kapasitas
saya sendiri. Saya disuruh menilai hafalan surat mereka sementara saya sendiri
tidak hafal suratnya—nama suratnya saja tidak ngeh. Saya mencoba menilainya
seobjektif mungkin: semakin pede mereka, berarti mereka hafal. Namun nyatanya
mereka pede semua. Saya tidak mengerti teknik apa yang bisa digunakan. Dan
disitulah saya kemudian diskusi pseudo-ilmiah dengan Nila dan Layla dengan
hasil diskusi yang tidak sepenuhnya saya paham, dan tibalah saatnya kami
memberikan nilai. Saya cukup ekstrem memberi nilai sampai angka 10 karena ada
peserta yang amat sangat pede. Nila geleng-geleng kepala sementara Layla
sepertinya sudah sadar bahwa kehadiran saya sebagai juri disini adalah kesalahan
besar. Meski begitu, saya yang akhirnya membacakan hasil penilaian dan mengumumkan
juaranya: dengan flat, datar, tanpa greget sekalipun seperti Daniel Mananta
saat membacakan juara Idol.
Saya sendiri tidak
terlalu peduli pada pemenang lomba ini. Kalah menang adalah omong kosong saat
kamu sudah berusaha. Dan setelah melihat senyum riang serta tawa anak-anak
peserta lomba itu, saya makin yakin bahwasanya mereka semua adalah juaranya. Mau
tidak mau, saya juga ikut tersenyum senang. Andaikata saya tadi melanjutkan
tidur mungkin saya tidak akan merasakan kegembiraan ini.
Lumayan.
***
Dari semua kegiatan di
atas, kegiatan tim lingkungan hiduplah yang paling membuat penis saya tegang
cukup lama. Pagi itu cukup busuk dengan suara cecirit burung yang berisik, dan
suara tayangan televisi keras sekali, begitu brengseknya dunia hiburan. Ikbal
di sebelah saya masih betah bermimpi menggaruk celana dalam merah gadis
fantasinya, sementara saya terbangun karena derit pintu terbuka, di pukul tujuh
lebih sepersekian menit, dan masuklah Afro Aminul memakai topi hitam sehitam
jidatnya. Saya menghafalkan dia dari gerak-gerik dan brewoknya, kebingungan di
samping tasnya, melepas topi, memakainya kembali, menghela nafas, begitu terus
sampai saya terjaga dan—ini keputusan yang berat—memutuskan untuk bertanya.
“Bang, arep nandi?” saya
bertanya sambil menahan kelajengking di tenggorok, haus. Rupa-rupanya masih
hari bulan puasa.
“Iki lo arep tuku
peralatan gawe tim lingkungan hidup. Rencanae arep nang toko bangunan.” Jawab
Ami Afro dengan meyakinkan dan menahan kentut, mungkin.
“Di ewangi ta? Aku ambek
Ikbal siap iki!” ujar saya. Saya suka membantu khsusunya bila sedang nganggur.
Daripada mikir mesum melulu.
“Nggak usah wes bang.
Wes ambek arek-arek.”
“Sopo ae?” tanya saya.
“Anugrah, Breng, ambek
arek wedok. Boncengan motor telu.”
Jawaban Aminul saya
respon dengan merem lagi. Tapi sesaat kemudian langsung melek, mendelik. Ke
toko barang bangunan belanja barang berat ngajak anak cewek. Apa tidak
sebaiknya sama kita-kita aja? Butuh tenaga, begitu pikir saya. Ya meskipun saya
tidak kuat-kuat sekali seperti Teenage Mutant Ninja Turtles tapi tidak mengapalah berlagak sok
belagu.
Aminul berangkat bersama
Anugrah dan Breng, dengan membawa motor dan masing-masing membonceng perempuan
entah siapa lupa. Saya tidak berpikiran apa-apa. Hari tampak indah sekaligus
gundah, mengemis kapan KKN berakhir, seperti biasa. Senyum anak-anak juga manis
seperti biasa meski berpuasa, tipikal senyum-senyum tidak betah dan untungnya
mereka sempat melahap petuah Mario Teguh sebelum jadi tukang bual untuk selalu
tersenyum dalam kondisi sekalut apapun. Tiada yang berguna dan berarti di hari
itu, sampai bajingan tengik Ikbal gopoh ke kamar mandi yang tidak sedang dalam
situasi antri, mengambrolkan wujud-wujud bangkai barang haram ke dalam lubang
kakus. Lalu setelah itu berlari ke arah saya yang sedang merangkai kabel
headset yang mbulet.
“Nggak laper ta?”
Siang bolong bulan
puasa. Baru bangun tidur. Buka masih separuh hari lagi. Sementara es teh
menanti di ujung sana...
***
Pendapatan emak hari itu
bisa diasumsikan cukup banyak. Dalam neraca ekonomi, konsumen tidak pernah
merasa puas, jika mendapat satu, ia ingin dua, tiga dan seterusnya. Pun juga es
teh dan extra joss dalam gelas kami yang terus-terusan minta diisi.
“Isi ulang, mak!”
Kami tidak pernah
terlalu menggubris. Tidak ada ceritanya berbuka siang bolong dengan air putih.
Hanya pecundang penyakitan ginjal yang begitu. Masa muda. Hancur-hancurkan
badan sehancur-hancurnya. Nasi pecel. Mie ayam. Bakso. Sikat. Sepiring tambah
bergelas-gelas. Tambah lagi sebats. Sebats lagi sampai istilah sebats tidak
relevan. Gold Lights, Dunhill Filter, Surya, beserta koreknya. Puji tuhan. Saat
kami sedang menikmati santapan wajib dengan luhurnya, ponsel Tyo berbunyi.
Entah itu chat ataukah telfon, makan siang ini terlalu berharga untuk menghiraukan.
Tapi kemudian Tyo gopoh memberi komando.
“Anugrah ngehubungin,
ngongkon ngewangi nggowokno barang-barang nang toko bangunan. Saiki awak dewe
dikongon merono. Piye iki?”
Bajing loncat. Kami yang
berada di warung: saya, Tyo, Ikbal dan Hengki, segera menuju ke lokasi. Firasat
sudah tidak beres. Mengapa tidak sedari tadi bukan kami yang diajak, padahal
kami sudah menawarkan diri. Kenapa para perempuan? Taktik bulus kaum adam.
Memang membonceng gitu doang bisa bikin penis menegang?
***
Kami datang dengan
berboncengan. Saya dengan Tyo. Ikbal dengan Hengki. Saat tiba di sana, di
sebuah toko bangunan, kami disambut dengan hangat-hangat tai kuda, dan para
perempuan yang tadi langsung merampok entah motor siapa saja, pulang ke
peraduannya masing-masing. Kami sempat mempertanyakan fungsi mereka, apakah
sebagai teman perjalanan yang asyik, ataukah ya memang begitu kaum adam gemar
menggeber hawa. Tapi ini tidak masuk akal. Anugrah memulai bicara.
“Rek tolong bawakno
barang-barang iki yo. Kayu sama triplek. Iso ‘kan?”
Kami hanya
nyengir-nyengir tai anijng. Babi. Sudah diduga. Akan begini jadinya. Tapi
permasalahannya tidak sesepele itu. Kayu yang dimaksud Bapak Anu adalah kayu
panjang sepanjang jalan kenanganmu dengan pacar orang, dan triplek yang
dimaksud adalah triplek lebar selebar pinggul ibu kosmu. Cecunguk yang berdiri
di belakang Anugrah: Aminul dan Breng, tidak ikut bicara, hanya bersiap, entah
akan melakukan apa, menunggu komando resmi sang jenderal. Melihat kayu dan
triplek tersebut saya berpikir bahwa hari ini pasti akan berat. Kita akan
menggotongnya jalan kaki dari toko bangunan menuju basecamp. Empat orang,
memungkinkan untuk membopongnya.
“Yawes, Tito sama Tyo
bawa kayu, ya!” ujar Anu.
“Lho, kene tok?” saya
bertanya.
“Iyo, ‘kan boncengan!”
jawab Anu.
Kampret!
Jadi maksud kakanda Anu
adalah saya dan Tyo akan membawa kayu super panjang—dan berisi tiga atau empat
potongan kayu tersebut—dengan menaiki motor. Tyo yang memegang kemudi, otomatis
saya yang membawa potongan sialan tersebut. Saya sendiri tidak yakin. Amat
sangat tidak yakin. Saat kami menggotong kayu tersebut ke seberang jalan raya
saja, terasa cukup berat dan mantap walaupun dikerjakan berempat. Penis saya
yang sedang menegang tiba-tiba mengempis.
Sementara Hengki bersama
Ikbal sudah bersiap berangkat duluan membawa triplek utuh menggunakan motor. Entah
itu ide yang brilian atau tidak, yang pasti membayangkan saja akan terasa
sulit. Saya pun usul kepada Yang Mulia Afro Minul.
“Nggak dipotong-potong
sek ae ta, kayu ambek triplek’e. Uangel lo, abot. Sing nggowo triplek tambah sakno.”
Ujar saya.
Afro Minul menggubris
sebentar dengan bahasa C3PO Star Wars yang entah apa tidak saya pahami. Anugrah
pun juga mengoceh apapun itu yang saya tidak mengerti. Saya pernah sesekali
mengunjungi tempat macam begini, dan memang seharusnya bisa dipotong-potong.
Mengapa sekarang jadi serumit ini?
“Enak ‘kan
dipotong-potong. Kita nggak perlu motong lagi. ‘Kan ini ya nanti dipotong lagi
sakdurunge digawe papan?”
Misi dan tujuan
memboyong benda-benda ini tidak lain tidak bukan adalah Tim Lingkungan Hidup
pimpinan Saudara Aminul Wahib akan membuat papan nama untuk ditaruh dan disebar
di seluruh penjuru desa. Ditancapkan di tanah setelah sebelumnya ditulisi dan
diberi arah: jadi pelancong yang sedang sial tidak akan tersesat, dan semua
orang bakalan tahu lokasi yang dimaksud tanpa perlu bergantung pada GPS Google
sialan.
Tapi apa daya, saya
hanya digubris dengan bahasa-bahasa Gollum yang hanya dimengerti oleh Pokemon.
Anugrah tetap menjalankan sesuai perintah awal: Saya plus Tyo menggotong kayu.
Hengki plus Ikbal membawa triplek. Menggunakan motor. Tanpa dipotong.
Dan terjadilah apapun
yang seharusnya terjadi...
Hengki dan Ikbal melaju
terlebih dahulu dengan Ikbal ceking yang memegang kembali kemudi. Sebelum mereka
mulai jalan saya sudah merasa ragu terlebih dulu: triplek selebar itu
(bayangkan) dibopong oleh Hengki di tengah-tengah, tampak seperti perahu layar.
Ikbal masa bodoh saja langsung melaju bak bajingan tengik. Saya melepaskan
nasib Hengki dan berdoa agar dia selamat.
Sementara di sini, Tyo
yang menjadi bajingan tengik. Dia yang mengemudikan motor sementara saya yang
membopong kayu (bayangkan, itu seberat mantan pacar ABG-mu yang semlohai dikali
tiga) di pundak. Pundak! Sialan! Ingin saya mengumpat dengan khusyuk tapi Tyo
sudah amblas saja. Bangsat benar. Pundak rasanya seperti mengeropos. Anjing.
Apalagi harus jaga keseimbangan. Saya jadi tukang saja usai KKN ini. Di
tengah-tengah perjalanan saya yang hanya menumpu kayu itu di pundak dan telapak
tangan saya sudah tidak kuat. Tidak sudi menahan kayu keparat ini.
“JANCOK! WABOT COK! KENE
KOK GELEM DADI TUKANG NGENE COK! BANGSAT!”
Saya mengomel-mengumpat
pada Tyo yang akhirnya membantu memegangi dengan tangan kirinya sambil
terkekeh.
“BANGSAT! COK! WES COK!
GATELI, UABOT NEMEN COK RUSAK PUNDAKKU!”
Saya jerit-jerit
kesetanan layaknya berada di puncak orgasme. Babi ngepet. Saya pasrah kepada
Yang Maha Kuasa. Saya menghirup nafas, berusaha untuk kuat, mencoba teknik
yoga, sampai di depan mata saya melihat Hengki sedang duduk lesu dengan triplek
diletakkan begitu saja di pinggir jalan, sementara Ikbal terlihat kalut.
“Lho, lapo Heng?” Saya
dan Tyo berhenti untuk melihat apa yang terjadi.
“Ikbal nyetir
kebanteren. Triplek’e mawut aku meh tibo! Dancok! Dampot!” Hengki
mengumpat-umpat, sementara Ikbal dan Tyo terkekeh. Saya membayangkan perahu
layar beserta lagu Uut Permatasari.
Setelah melihat hal naas
itu, saya tiba-tiba saja terpancing emosi dan langsung muak melihat kayu di
pundak, membantingnya begitu saja ke pinggir jalan. Persetan. Hancur sekalian.
Saya sudah siap bila saja akan terjadi cek-cok dan kelahi. Saya sudah siap
mendapat nilai terburuk untuk KKN. Saya sudah siap mengulangi tahun depan.
Bangsat. Sesaat setelah kami berhenti itulah, emosi saya makin menjadi saat
melihat Anugrah, Breng dan Minul melintas dengan tidak membawa apa-apa. Untung
saja mereka berhenti. Saya bisa-bisa segera menuntaskan KKN ini bila saja
mereka tidak peduli.
“JANCOK!...........”
Saya melampiaskan emosi yang
tertahan pada Aminul, dan entah saya ngedumel tentang apa. Penis saya kembali
tegang. Kayu yang saya bawa ada tiga buah. Tidak peduli, saya mencopot talinya
dan menyerahkan satu kayu pada Aminul. Saya tidak peduli juga Aminul sedang
membonceng siapa waktu itu, intinya perempuan. Intinya saya tidak mau membopong
benda sialan ini tanpa bantuan. Yang benar saja. Kami pun akhirnya bergerak
lagi menuju base camp. Termasuk Hengki dan Ikbal dengan triplek keparat itu.
Saya tidak habis pikir mengapa saya, Tyo, Hengki dan Ikbal disuruh membawa
benda-benda sialan itu sementara si mandor leha-leha membuntuti dari belakang.
Sialan. Inikah efek kurang merancap? Membuntukan rasa kemanusiaan dasar: saling
bantu-membantu?
Setelah sampai base
camp, situasi memang memanas. Saya dan Tyo sampai merasa diperlakukan seperti
tukang yang cuman dibutuhkan ototnya saja. Pecundang kelas kakap. Apalagi,
Hengki dan Ikbal belum juga sampai. Dimana monyet-monyet itu.
“Ayo nyusul arek-arek,
wedine onok opo-opo.” Ujar saya pada Tyo.
Kami pun bergegas
kembali menuju jalan. Sementara itu Aminul dan Anugrah melompong heran.
“Arep nang endi maneh?”
ujar Anu.
“Nyusul kanca-kancaku,
sakno...” ujar Tyo, serak.
***
“Dampot, juancok! Aku mari
nabrak uwong!” Hengki Julianto menaruh tripleknya di atas jembatan jalan raya. Sambil
mengelap peluhnya yang tidak karuan. “Lah iku maeng wis pelan, eh onok ibu-ibu
nyebrang, Ikbal lewat ae, aku yo nggak ndelok, eh kesantap wes wonge! Juancok!”
ujar Hengki.
“Terus wonge piye mbot?”
tanya saya.
“Wonge kaget, ati-ati
Mas!” jawab Hengki.
Ikbal terus menerus
menepuk dahi sambil tidak berhenti tertawa. Saya dan Tyo ikutan terbahak juga.
Hengki yang awalnya cemberut, langsung tertawa juga sekeras-kerasnya. Jembatan
berisik oleh tawa-tawa kurang ajar dari kami. Aminul kemudian mengirim chat ke
saya, intinya meminta maaf semacam itu. Melihat konco-konco ini sudah tertawa
riang, saya melunak dan tersenyum. Salah paham itu biasa, teman.
Dan kami mengakhiri
siang naas di pertengahan bulan puasa tersebut dengan menenggak extra joss
dingin di Warung Emak. Lagi.