Wednesday, March 29, 2017

14 Hari Untuk Selamanya (Bagian 5)

V.
Pengangguran, Tanding Bola Tadarus, Black Metal Musola, Uttaran, Cara Pasang Kondom, Bajingan-bajingan Pos Daya, Hulu Ledak Balok Pundak: Seputar Hari-hari Pertengahan KKN








SEMINAR PENYAKIT MENULAR SEKSUAL BAROKAH:
RAJASINGA, GONORE, PEMAKAIAN KONDOM, DAN SAYA BERPECI.


GAME OF BRONX:
DI BAWAH JEMBATAN TOL MOJOKERTO-SURABAYA
KAMI BERMAIN EMBER SEMENTARA KENDARAAN DI ATAS MELAJU
90 KM/JAM. SUREAL




WAKTU ITU FANA, SELFIE ABADI
Adakalanya alur hidup KKN kita jadi klise dan tertebak: keluar malam pulang pagi bangun siang. Kadang selebihnya setelah aktivitas, sisanya kosong melompong. Sisanya nganggur. Ngucek-ngucek mata. Bermain ampas tebu. Memimpikan es degan siang bolong. Jus belimbing. Soto Lamongan Cak Har. Intinya sekitar 35-45 % waktu KKN hanyalah ibarat kita yang menginap di kontrakan teman selama dua minggu, dan masak-masak sendiri, nyuci-nyuci sendiri, tidur pun sendiri (Meggie Z – Jatuh Bangun Aku: circa 1990).

Apalagi jika hari Sabtu-Minggu. Beberapa tokoh KKN pulang, atau entah kemana. Mencari takjil ke ujung dunia-lah. Mengambil salah satu berkas di salah satu ruangan di salah satu fakultas-lah. Mengembun-lah. Entahlah. Apalagi tidak ada tukang siomay lewat. Jadinya semua berlomba-lomba berburu daging ikan tenggiri saat hampir waktunya buka puasa di mall terdekat (KKN dengan lokasi tidak terlalu jauh dengan mall adalah keberuntungan). Jadilah basecamp sepi. Sisanya mati. Bangun siang. mati lagi. Ngaplo. Foto-foto berjamaah. Ghibah. Merusak rukun rumah tangga orang. Merencanakan konspirasi hari esok. Membunuh kutu. Memainkan gitar sambil berimajinasi tentang hari kiamat. Menari berkalung handuk. Terdiam lalu busuk sendiri. Merindukan omelan ibunda. Merindukan mantan pacar teman. Dan lain sebagainya.

KKN membawa kita pada suatu dunia nganggur yang baru.

Kita sering tidak terasa. Nganggur adalah pekerjaan paling halus yang tidak pernah kita sadari. Di kampus kita sering sekali menganggur: ingat baik-baik kapan terakhir kali kalian memperhatikan dosen saat pelajaran. Kita sudah terlalu lama terjerat dalam lamunan, kosong melompong, dan memang benar, kuliah tidak kuliah, dalam kamar atau dalam kelas, sama-sama nganggurnya, cuman beda tempatnya. Ingat baik-baik, berapa lama waktu kita terbuang di warung-warung kopi pinggir jalan. Nganggur bekerja sehalus mungkin, sampai-sampai kita tidak terasa sudah beratus-ratus jam habis di warkop hanya untuk berdiskusi tidak berfaedah tentang salam kupu-kupu, jidat monyet, inflasi tikus, hari raya tungau, buaya diantara buaya, babi diantara babi, kambing diantara kambing, dan lain sebagainya. Berapa banyak waktu kita terbuang tanpa kita sadari hanya untuk berlama-lama di depan laptop, di sebuah kedai free wifi kekinian, dengan Microsoft Word berisi tugas yang diminimize, dan entah, kita sibuk membuka-buka tab dari Chrome, mulai dari download ilegal lagu Calvin Jeremy, stalking Instagram si gemas Marsha Aruan (OMG Marsha!), download aplikasi pemburu hantu, pengusir kecoak, penangkap jin, membaca artikel pembunuhan tukang ojek mentimun di rumah suami selingkuhannya, menonton video sumber bencana aurat, YouTube dan mendengar maki-makian Young Lex yang dicover youtubers-youtubers bau kencur yang merekam aksinya di depan pasar, scrolling bawah, scrolling atas, klik kiri, klik kanan, download, save as, tiga empat jam berlalu, terus begitu, begitu terus, pseudo productivity, produktivitas palsu.

KKN berada di masa kejayaannya di hari-hari pertama. Setelah itu, mengutip Chairil Anwar, sekali berarti, sesudah itu mati. Saya dan Hengki—karena entah siapa lagi yang bisa saya ceritakan dalam konteks ini selain saya sendiri—sudah berkehendak di jauh-jauh hari: segalanya pekerjaan yang berada di desa, sikat! Kami berdua sepakat untuk suatu hari pergi ke ladang tebu, ikut membantu warga memotong tebu, mengangkutnya ke truk, dan berpanas-panas menikmati indahnya siang bolong bulan puasa dengan mengasap mbako. Kami juga sepakat untuk berjalan-jalan sehabis subuh, melihat situasi pedesaan, sekaligus mencari simpatisan pencalonan kami sebagai Lurah – Wakil Lurah Sidowangi 2098. Tapi semuanya itu hanya mitos, hanya sekumpulan semut di wadah terasi. Tidak pernah terjadi. Kami tahan berkarat dalam camp hingga pukul sembilan pagi, membuat kesempatan-kesempatan emas untuk bergaul dengan warga lenyap. Hanya malam, satu-satunya sisa waktu yang kami miliki untuk setidaknya menjadi warga Sidowangi—menjalani aktivitas keseharian seperti warga. Atas dasar itulah mengapa kami—dan benar, hanya berdua—akhirnya nekat jalan kaki menuju masjid Sidowangi, melewati jagoan-jagoan desa, demi bergantian dengan Pak-Pak Tua, marbot masjid berusia sepuh yang menjadi sosok satu-satunya di malam itu yang tertunduk di depan microfon, membaca Al-Quran dengan tertatih-tatih. Hanya beliau yang tersisa untuk tadarus, sisanya, para cacing kremi, sembunyi di kenyang perut masing-masing. Beberapa orang berpeci memang tampak di luar masjid, tapi toh sedari tadi hanya bermain-main dengan garpit. Sisanya tiduran. Saya dan Hengki datang di saat yang tepat. Pak-Pak Marbot (bayangkan saja seperti Deddy Mizwar), langsung menyingkir dari singgasananya, dan memberikannya pada kami. Microfon sudah di depan mata.

Ini adalah masjid terbesar di Sidowangi.

Logikanya adalah, suaramu akan bahana sampai ujung desa. Suaramu akan masuk di sela-sela bambu, di teduh rerumputan malam, kering ampas tebu, dan kemudian menguning pelan bersama rembulan (Hilmawan: Puisi Jelek Tentang Malam Jelek, 2016)

Saya pikir itu akan bertahan selama dua minggu, nyatanya cuman dua hari. Tapi sungguh dua hari di masjid menambah dua kilogram bobot tubuh kami. Jajanan mengalir terus, merepotkan lambung yang terus mengaduk, usus yang bekerja keras: es campur, es blewah, kerupuk, tahu penggorengan, tempe penggorengan, pisang penggorengan, semangka, melon, nanas, pepaya, durian. Belum lagi ditambah khasiat udud: Surya, Sam Soe, Sampoerna Mild, dan jagoan saya Gold Lights. Ditengah serak-serak basah nan syahdu suara Hengki yang niscaya mampu menidurkan anak monyet, saya menghabiskan itu semua, berdua bersama pak-pak Marbot, sampai kemudian datang tim kesebelasan masjid beranggotakan lima orang, membawa bola sambil mencongkel jajanan yang tersedia di lapak tangga masjid, mencomotnya sambil mengoper bola ke kanan ke kiri, menjerit saat Hengki menggemakan surat dalam ayat suci dan menganggapnya seperti suara-suara biasa saja dan seolah tanpa suara, menggolkan berkali-kali dengan mementalkannya ke tiang masjid tanpa peduli suara Hengki yang sakral.

Tapi codot tidaklah selamanya jadi codot. Setidaknya mereka akan tua mati dan membusuk. Bola tidaklah selamanya akan menggelinding. Setidaknya mereka akan melambung terlalu tinggi terjebak diatas genteng dan membusuk bersama sisa-sisa tampungan air hujan. Tim Shalawat FC—kesebelasan (atau ke-lima-an) masjid kebanggan Sidowangi terpaksa menyudahi permainan karena kehilangan bola. Ada tatapan sayu di mata mereka. Yang sama-sama menyeka keringat dan tidak lupa mencomot gorengan di tangan kanan semangka di tangan kiri. Mereka membicarakan bagaimana tendangan ngawur si Otong tadi menyebabkan permainan berkelas yang mereka tampilkan harus terhenti sebelum menit 90. Mereka menertawakan diri sendiri. Mereka mencomot melon lewat lubang hidung. Mereka masih bocah. Dan kehilangan bola tidak seharusnya membuat mereka berhenti dan menyerah. Anak-anak suku pedalaman di Banten tidak menyerah untuk bersekolah walaupun banjir menghilangkan jembatan penghubung di desa mereka. Anak-anak Mojokerto seharusnya juga tidak menyerah walaupun tendangan kaki naga menghempaskan bola mereka satu-satunya dalam genteng penutup masjid. Show must go on. Sekali dua comot gorengan, dua tiga anak mengambil sapu. Mencoba memanjat tiang masjid, menyundul tempat yang diperkirakan menjadi letak bolanya. Sundulan demi sundulan dilancarkan, di titik-titik yang berpindah-pindah. Bola tidak tampak jatuh. Hanya air bekas hujan yang mengguyur kencang, dan saat sedang gencar-gencarnya, mereka menyundul tempat dimana pusat tampungan air berada. Sekali sundul dan byuuurrrrrrr.... dari atas genteng air bercampur sekawanan lumut dan pahala-pahala yang nyangkut mengguyur tanah, seperti kolam waterpark dimana selalu ada ember raksasa berisi tampungan air yang jika sudah tiba waktunya, akan mengguyur kencang, menghujamkan air yang jika mengenai kepala bisa menjadi salah satu relaksasi tempurung otak. Semua di masjid tertawa, termasuk saya yang jadinya mau tidak mau turut campur juga. Anak-anak ini masih belum terlampau tinggi karena—saya yakin seyakin-yakinnya—belum dikhitan. Jadilah mereka membutuhkan pertolongan superhero kucing garong dadakan. Saya langsung memanjat tiang, melihat dimana letak bolanya, dan memberi komando kepada tim penyodok di bawah, dimana lokasi berada. Sekali dua kali sundul, bola masih terdiam seperti kepala bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa.

“Seng rodok banter, rek!” suruh saya. Sodokan pun terdengar makin kencang. Tapi si bola masih saja berlagak pilon. Anjing.

“Banterno sisan, gapopo!” komando saya. Mereka pun dengan segenap kekuatan langsung menyodok lokasi yang telah saya berikan. Tapi sungguh diluar dugaan. Bola tersebut memang jatuh, tetapi juga diikuti dengan sapu panjang yang sukses menembus payupan di masjid.

Krak!

Sialan.

Saya yang ogah bertanggung jawab berusaha langsung turun dan tidak menoleh kepada marbot masjid. Diluar dugaan, si marbot malah tertawa terbahak-bahak. Santai saja. Dan dengan entengnya mengepulkan asap mbako. Dengan peci putih dan sarung Gajah Duduk; ini dia salah satu kandidat marbot terbaik di Indonesia. Demi bola dan kesenangan anak-anak, payupan masjid jebol tidak jadi masalah. Lalu bagaimana kita yang hanya gara-gara salah bilang kata sedikit saja, sudah ramai dan koar-koar bela agama?

***

Suatu hari yang busuk dan bedebah, beberapa anak memilih untuk tidur bak pesakitan kekurangan oralit. Pengangguran karena puasa. Nganggur yang berpahala. Sempak kuda. Saya sudah lama tidak percaya pada hal-hal yang seperti itu. Kamu dinilai dari apa yang kamu kerjakan, persetan pahala. Jika diam memang berpahala, jika surga bisa didapat hanya dengan tidur semata, lalu apa guna jantung kita terus bekerja, penis kita terus menegang. Apa guna hidup?

Saya dan Wisnu, saling berpandangan diantara senyum dan hawa tolol. Kami sudah merencakan untuk membersihkan musola di dekat basecamp pada malam harinya. Wisnu merasa saya hanya omong doang, tukang kibul basa-basi. Saya merasa senyum Wisnu begitu mengintimidasi. Sebenarnya enak-enaknya jadi pemalas. Asalkan tidak diam dan boring. Diam-diam berpahala adalah kata lain dari ngaplo sampai ketiduran. Saya tidak menggembar-gembor produktitivitas. Tapi alasan diam-diam berpahala karena bulan puasa adalah omong kosong zaman buah kurma masih seukuran durian. Diam-diam lalu mati.

Saya dan Wisnu menuju musola tanpa persiapan apapun. Tubuh saya masih bau sisa semalam. Perut belum diambrolkan. Agak sedikit berkunang-kunang melewati jalanan lengang Sidowangi pukul tujuh pagi. Musola Sidowangi digunakan hanya pada jam-jam solat, selebihnya ditutup, dikunci dari luar. Kemudian ada beberapa adegan yang bermain dalam kepala saya dimana di malam sebelumnya Wisnu pulang paling terakhir bersama marbot musola dan si Marbot memberi tahunya salah satu rahasia terbesar umat Islam.

“Kunci tak taruh atas sini mas, ya. Barangkali temen-temen KKN mau tadarusan atau tiduran, monggo.” Katanya setelah mengunci pintu dan menaruh kuncinya di sela-sela ventilasi pintu.

Wisnu kini memamerkan rahasia itu dengan bangga kepada saya. Saya pura-pura melongo dan takjub, pura-pura memandang Wisnu sebagai calon marbot terbaik muka bumi. Pura-pura berucap subhanallah di dalam hati.

“Pak Marbotnya kemarin ngasih tahu letak kuncinya ke aku.” Ujarnya bangga. Ingin rasanya saya memeluknya erat-erat, mengucapkan selamat bahwa ia telah dipercaya mengetahui lokasi kunci rumah Allah.

Wisnu sudah bergerak. Dia terlihat mengambil sapu ijuk, mengobrak-abrik isi musola, membersihkan jutaan debu dan molekul, merapalkan kalimat-kalimat pujian terhadap Nabi dengan celana komprang pendek, dan hasilnya bisa langsung terlihat dimana sarang tarantula atau apa saja yang menggantung di langit-langit berserakan, siap diangkut menuju bak sampah. Sementara saya masih melompong, melamun, membayangkan es limun di pagi hari, membayangkan dunia nan jauh di Surabaya sana, membayangkan apa yang kemungkinan besar akan saya mimpikan jika tadi saya memilih untuk melanjutkan tidur.

Saya sungguh masih mumet. Tanpa sengaja saya meraba saku celana, dan headset itu berada di dalamnya. Ide bagus. Saya langsung mencolokkannya pada ponsel, meninggikan volumenya. Baiklah, saya mulai norak. Berkumandanglah: Deafheaven – “Dream House.” Berkumandanglah, black metal di musola. Berkumandanglah, caci maki depresi lubang buhul penyembah iblis neraka di rumah Tuhan. Andai saja saya punya koleksi lengkap Maher Zein, mungkin saya lebih memilih mendengarkan albumnya saat ini. Tapi apa daya, lagu Islami yang terakhir saya dengar adalah Siapa Yang Cinta Pada Nabinya oleh Haddad Alwi.

Jantung saya, seperti biasa, mudah sekali meledak oleh apapun itu yang keluar melalui lubang headset. Saya segera meraih sapu panjang, merogoh-rogoh langit-langit di pelataran musola, mengaduk-aduk sarang kesia-siaan di atas sana, sampai tiga orang bocah menaruh sesuatu tepat di dekat saya berdiri, menaruhnya dengan korek yang dinyalakan, dan siapapun tahu itu adalah mercon. Mereka calon teroris bodoh yang bisa-bisanya meledakkannya di rumah Allah. Saya terkaget setengah mati dengan muka setengah tolol. Bunyi yang terdengar begitu keras sampai-sampai menembus kuping saya yang sedang tersumbat lagu kerongkongan kering dendam kesumat. Bajingan. Saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena trio codot itu menghambut berlarian, tertawa dengan nada mengejek. Saya mencoba tidak berbuat hal-hal ironis dan terus bekerja. Meladeni mereka hanyalah membuang-buang energi karena saya sungguh kelaparan dan hari belum terlalu siang untuk berdosa di Warung Emak.

Jadi hasil setelah enam puluh menit kami berkutat dengan sapu dan pel adalah musola yang lebih wangi dan layak untuk dibuat tiduran. Headset masih menancap dalam dalam kuping sampai Wisnu kemudian menariknya kasar, memelototkan matanya.

“Pantesan ae gak krungu bantere koyok ngene, AYO BALIK!”

Dan setelah menutup dan mengunci pintu, kami menaruh kunci kebanggaan Wisnu itu di tempat semula.

***

Karena tidak setiap hari tim ekonomi yang saya pegang beraktivitas—kecuali Wisnu si profesor ampas tebu yang rutin membuat penelitian sebagai bahan prakarya—maka saya jadi lebih banyak menghabiskan waktu di tim lain. Selain kegiatan tadarusan bareng Hengki dan bersih-bersih musola berpahala bareng Ki Wisnu, saya juga ikut membantu—atau istilahnya melok-melok daripada nganggur—dengan tim kesehatan yang dipimpin Yang Mulia Ikbal, dan tim lingkungan hidup yang diketuai langsung oleh maskot kita Aminul. Untuk tim agama yang diketuai Ustad Syakur saya sempat pula menjadi tukang angkat-angkat karpet, bajingan cek sound dan juga juri dadakan dalam lomba menghafal surat pendek (dan ini adalah prestasi terbesar saya saat KKN). Sementara itu tim pendidikan yang bertanggung jawab kepada bos Fitra Suharianto, juga sempat mengajak saya sebagai security yang menjagai jalannya lomba-lomba yang sangat bermanfaat dan mengasah daya motorik dari anak-anak Sidowangi, juga agar kalau-kalau ada hal-hal yang diluar kendali seperti lepasnya hewan peliharaan warga, atau ngamuknya orang-orangan sawah, atau yang paling teknis, mengambil ember berisi air untuk keperluan game paling bermanfaat sepanjang sejarah pendidikan outbond ditemukan, saya bisa sedikit memberi bala bantuan non doa. Saya lupa ada tim apalagi, karena saya juga sempat merangkap korlap ugal-ugalan dan humas perusuh di saat ketua kesayangan kita Anugrah menugaskan. Saya sangat menghormati Anugrah, benar-benar menghormatinya. Maka dari itu apapun perintah dia, akan selalu saya laksanakan. Begitupun saat saya merangkap sebagai tukang saat Anugrah menugaskan saya dan teman-teman, dalam hal ini Tyo, Hengki dan Ikbal, yang waktu itu sedang berbuka puasa rame-rame, untuk membantu membawa keperluan dari tim lingkungan hidup pimpinan bapak Aminul.

Tapi sebelum menginjak ke bagian tukang-menukang, ada baiknya saya bercerita terlebih dulu tentang kegiatan Ikbal selain membasah dalam mimpi. Kebetulan saya juga lumayan dekat dengan pendosa satu ini.

Ikbal di suatu sore dengan mata memerah dan mulut bau naga setelah siangnya kenyang nasi pecel dan es teh jumbo dibangunkan oleh Anugrah dengan amat kalem namun mengintimidasi. Entah teknik membangunkan apa yang dipakai yang pasti Ikbal si manusia santai nomor wahid langsung duduk terbangun.

“Iyo, santai Nuuu.” Ujarnya sambil menguap.

Saya pura-pura tidak mendengar, rebahan sambil memikirkan makna hidup sampai si monyet ini menyenggol-nyenggol tubuh saya.

“Ewangono aku, su. Ayo ke Dusun Ketapang. Bantu aku sosialiasi.”
“Males cuk, dadi opo aku, angkat-angkat ya ogah!” ujar saya setengah bercanda setengahnya lebih serius.
“Kamu korlap.” Kata Ikbal.

Baiklah...

Segalanya tentang korlap dimulai kemarin saat Anugrah menugasi saya menjadi korlap di acara Sosialisasi Penyakit Seks dan Menular oleh tim kesehatan, dan menggantikan apa-apa yang biasa dilakukannya karena dia sedang sibuk melobby pemuda-pemuda kartar Ketapang entah demi apa. Saya ditugasi juga untuk menjemput Pak Polo di rumahnya dan oleh karena itu, saya diwajibkan memakai kostum batik dan peci. Kedewasaan saya meningkat setelah memakai kostum ini. Tugas korlap simpel saja, memastikan semua bagian berjalan lancar, mulai dari konsumsi, teknis, atau yang paling berat: juru parkir. MC sendiri masih diisi oleh Hengki yang waktu itu tampil mirip sekali dengan Choky Sitohang. Doa tentu saja dipegang oleh Wisnu. Saya sendiri bergerombol di geng jukir sebelum acara dimulai. Menyulut kembang api di mulut. Dan kembali melamunkan makna hidup. Jam sudah pukul tujuh saya pun bergerak memacu motor menuju rumah Pak Polo yang padahal jaraknya cuman seperlemparan batu. Menjemput Pak Polo dengan pakaian resmi dan segalanya yang dipersiapkan sedemikian rupa—termasuk jam tangan Wiendo yang saya embat—kemudian saya mengetok pintunya, lama sekali, ada hening dan suara cicak bercinta. Tetangga sebelah memandang saya dengan perasaan seperti orang yang melihat bangsat sialan yang mau mencongkel pintu dan mengobrak-abrik rumah Pak Polo.

“Pak Polo metu mas, tadi katanya mau ngurus tanah.”

Saya balik memandang mereka dengan perasaan seperti orang yang melihat keterpurukan dunia. Canggung dan entah apa yang harus diperbuat ataupun dipikirkan. Saya kembali membawa beribu rasa malu, ditertawakan, dan jeng.. jeng.... Anita, anggota terbaik dari tim kesehatan berkata bahwa Pak Polo tidak bisa datang dan digantikan dengan Bu Polo yang ternyata sudah duduk sedari tadi di pojokan sana. Saya menghargai kerja keras Anita dalam menyampaikan hal penting ini meskipun teramat telat. Saya langsung menghampiri Bu Polo.

“Bu, nanti ngasih sambutan bentar, ya. Sebagai pembuka acara.” Kata saya sambil sok-sok memegang rundown lecek yang dikasih Ikbal. Bu Polo memandang saya dengan pandangan antara mau senyum dan menahan keharuan mendalam.
“Aduh kulo mboten saget nak.” Ujar beliau.
“Ayolah, Bu.”
“Mboten saget, nak.”
“Ayolah, Bu.”
“Mboten saget, nak.”

Setelah bertikai sepersekian menit, dan saya sudah mengeluarkan semua jurus bujuk rayu dan teknik mata kuliah kehumasan saya, ternyata ibu ini begitu tegar dan kuat hati. Terpaksa sambutan ditiadakan. Saya langsung bilang kepada Choky Sitohang yang sedang sisiran klimis di kamar, bersiap untuk jadi MC. Si professional buduk ini mengangguk tanda mengerti, dan mengerlingkan mata seolah menyuruh saya keluar ruangan karena mengganggu kekhusukannya berdandan ala manusia got.

Acara berlangsung dengan amat cepat—jujur saya tidak memperhatikan, melamun doang sambil ngasap—tiba-tiba saja sudah selesai. Pas saya sadar saya sudah kebagian waktunya Bung Wisnu untuk memimpin doa. Saya pikir acara doa di akhir acara akan seperti tipikal doa-doa pada umumnya saja, tinggal bilang amin walau tidak paham juga bahasa Arab. Tapi bukan Wisnu namanya kalau tidak mencoba gimmick baru.

“UTTARAN!”

Jancuk. Momen yang sureal karena tiba-tiba Wisnu berteriak seperti itu dengan gaya dalang semprul sebelum membacakan doa. Saya tidak bisa berpikiran apa-apa lagi sementara teman-teman pada tertawa keras dan saling menepuk jidatnya. Busuk sekali nada tertawanya. Apa itu tadi begitu hancur dan hinanya? ‘Uttaran!’ yang diteriakkan dengan gaya dalang iklan obat Paramex. Tapi saya salut Ki Wisnu tetap pede menjalankan peran sebagai hipster ulung eksistensialis tukang baca doa professional fuck mainstream tengik pemuja Uttaran kelas wahid. Call it... Wish now...

Acara pun usai dan giliran saya saat rapat evaluasi melaporkannya kepada ketua Anugrah, pertanggungjawaban sebagai korlap. Saya mengapresiasi semua tim yang sudah bekerja bahu-membahu demi suksesnya acara, khususnya tim juru parkir yang terdiri dari bajingan berotot Tyo, Wiendo dan Syakur (dua diantaranya adalah pegulat sumo, satunya pegulat sumo di Benteng Takeshi).

“Terima kasih paling khusus saya tujukan kepada tim juru parkir, yang bertugas menata dan memarkirkan motor-motor warga. Mereka bekerja dengan amat total dan dedikasi tinggi meskipun tidak ada satupun warga yang datang kesini membawa motor.”

Bisa kalian lihat ekspresi tim jukir saat itu adalah ekspresi paling sumringah selama dua minggu KKN. Saya tidak bisa menebak dengan pasti mereka sumringah karena apresiasi tingkat tinggi saya ataukah karena mengenang insiden Uttaran oleh Bapak Wisnu tadi.

***

Acara tim kesehatan tidak hanya digelar di Balai Dusun Sidowangi saja, tetapi juga di Balai Dusun Ketapang. Saya ditunjuk Ikbal sebagai korlap lagi, tapi korlap dalam konteks bedol desa Ketapang ini adalah tukang angkat-angkat, cek sound, cek listrik, riwa-riwi, dan lain sebagainya. Saat acara berlangsung karena sudah kepalang mendidih isi dalam kepala saya butuh pelampiasan. Grendel Utama dari Wiendo tidak bisa sedikitpun meringankan nafsu untuk ugal-ugalan. Pemateri adalah Hengki Sitohang, dan di jam-jam kritis hampir saat acara akan dimulai saya kemudian nekat mencalonkan diri menjadi si tukang MC menggantikan Mak Layla yang pada malam itu tampak seperti Laylatul Qadar yang penuh misteri. Persetan teks, improve saja meski gagap dan hancur total. Yang penting microfon di genggaman dan segalanya akan cair dengan sendiri. Syukurlah, acara di Ketapang ini juga berlangsung sukses—meski saya sendiri tidak paham bagaimana menilai sukses tidaknya sebuah acara penyuluhan penyakit kelamin di sebuah dusun sepi yang kebanyakan pesertanya ibu-ibu berusia lanjut dan kelihatannya sudah tidak berminat lagi untuk main-main dengan kelamin.

Sampailah pada puncak acara Tim Kesehetan yang dikomandoi Ikbal. Acara puncak tim kesehatan adalah di Balai Desa Jetis, dengan banyaknya peserta yang tumplek-blek, juga preman-preman desa, dan beberapa awak karang taruna sekitar. Hadir juga Mas Sodiq yang mirip arits figuran di serial-serial RCTI sebagai orang berpengaruh di lingkungan kartar desa. Pak Lurah bersama Bu Lurah juga tak mau ketinggalan dan mengisi saf paling depan. Penyuluhan seks dan kelamin ini dimoderatori oleh Hengki dengan pemateri langsung dari Bu Bidan Kemlagi yang—ehm—beringas. Walaupun sudah rada berumur Bu Bidan gemar sekali menancing teriakkan penuh gairah dari para lelaki dengan membawa alat peraga berupa—ehm—penis buatan (dan bukan dildo yang bisa getar itu) untuk kemudian digunakan sebagai praktik memasang kondom dengan benar. Saya geli sekali melihat alat peraga itu benar-benar bisa ereksi, juga terdapat biji testis yang—oh sungguh saya kehilangan urat tertawa saya.

“Memasangnya begini caranya.” Ujar Bu Bidan sembari mengeluarkan bungkusan balon itu. “Pakai mulut juga bisa lho.” Ujarnya sambil mengerjap-erjapkan mata.

Beberapa ketegangan wajar mungkin muncul di lekuk-lekuk tertentu para pemuda yang sedang melihat dengan seksama. Saya sendiri memilih tidak menonton dari awal dan hanya mendengar ocehan beliau saja. Menghadap ke belakang dan menghembus asap Marlboro. Saya sadar sesadar-sadarnya, betapa tololnya menonton yang begituan sementara tanpa belajar pun semua pria akil baligh sudah pasti akan bisa melakukannya. Saya yakin itu.

Setelah puas tertawa mesum di Balai Desa, saatnya orkesan—saya pikir ini ritual khusus setelah pemasangan kondom sialan—dan anjingnya, Bu Bidan ini juga membawa sohibul hikayat yang sepertinya merupakan anggota grup orkes. Dalam hitungan keempat, dangdut suara gendang ini pun berkumandang. Kesumat, birahi, dan tawa-tawa penuh dosa tumpah ruah apalagi Si Bidan ini pulalah yang bergoyang sekaligus berdendang. Usai memasang kondom mari merayakan birahi.

“Jancok salah ngundang iki, iku maeng koyokane kene ngundang BIDUAN duduk BIDAN!” ujar saya pada Wiendo yang entah kenapa malam itu berkeringat sekali seperti menahan bara gairah. Titik panas si tambun gelap ini berada di perut, tentu saja. Hanya saja sekarang seperti turun beberapa centimeter ke bawah.

Gerombolan moshing dangdut pun dimulai. Anak-anak kartar sudah langsung stage diving tanpa peduli apapun, sementara para peserta lain sudah akan membentuk wall of death dangdut. Apa daya anak-anak KKN masih malu-malu berpogo bokong. Apalagi saya yang cuman bisa headbang kendang. Malam makin bertambah pekat, circle pit pun makin mengganas. Anak KKN sudah tidak malu-malu lagi untuk melakukan slam dance liar. Hengki bahkan berdansa bersama Ibu Bidan, seperti sudah kehilangan kewarasan. Sampai di pertengahan dansa erotik Ibu Bidan tersebut berteriak ‘eits!’ keras sekali, dan entah apa yang sudah dilakukan Hengki terhadapnya. Sampai saat ini tingkah laku tercela Hengki masih menjadi misteri. Tidak ada yang benar-benar mengerti ada apa dibalik ‘eits!’ itu. Peristiwa ini sudah diarsipkan dan menjadi dokumen rangkaian kegiatan penting yang kini tersimpan di Perbendaharaan Kantor Desa Jetis. Aksi Hengki dan teriakkan Bu Bidan ‘eits’ sudah dicatat oleh warga desa peserta seminar orkes hari itu sebagai skandal paling heboh sepanjang Desa Jetis berdiri.

Tapi Hengki, menolak untuk tunduk mengakui kekhilafanya. Ia punya senyum paling biadab di antara seluruh umat manusia.Tanpa ragu-ragu terus bergoyang dan kali ini menggandeng Mas Soqid, si aktivis Jetis, untuk berdansa bosanova. Diiringi lagu antah-berantah entah siapa yang menyanyikannya yang hari ini kembali berdendang lagi untuk yang keseratus juta kali.

Birunya cinta, seperti birunya langit...

Juancok!

***

Besoknya ada agenda kegiatan dari tim pendidikan. Anggotanya adalah Ayuk, Breng dan Manda—dan tentu saja Bos Besar Fitra. Saya sudah lama tidak melihat tim sekompak dan serukun ini. Ada pancaran-pancaran cinta dari mata mereka meskipun saya tidak peduli. Ada sejumlah cinlok yang terjadi meski semuanya sudah dipastikan akan berakhir dengan patah hati dan saya makin tidak peduli. Tim pendidikan membuat acara outbond yang juga tidak benar-benar saya pedulikan sampai kemudian Fitra meminta bantuan tenaga. Saya bertindak sebagai kuli ember yang bertugas mengambilkan air di kran warga sebagai bahan lomba mengisi ember berisi air menggunakan botol yang ditarik oleh empat anak memakai rafia. Sulit membayangkan lomba ini jika kalian tidak mencobanya sendiri. Saya juga ditugasi membawahi beberapa anak kecil untuk ikut lomba. Tugas saya adalah mengarahkan mereka memenangkan pertandingan.

Tapi dasar saya buduk, beberapa kata umpatan dan makian sempat keceplosan saya lontarkan. Karena memang mereka masih anak kecil, jadi iklim permusuhan yang diletup sedikit saja bisa jadi membesar.Anak-anak kencur ini terprovokasi. Mereka jadi ikutan saling hina dan ejek. Saling caci dan merendahkan. Karena sudah terlanjur dan para cecunguk lain juga mengajari umpatan serupa, tentu saya tidak mau kalah dong. Mengompori mereka gampang sekali dan mungkin saya berbakat jadi penghasut. Tim saya tentu saja kalah dan saya tidak peduli juga. Tapi meskipun begitu saya tetap lega karena berhasil mengajari anak-anak kecil ini meneriaki temannya dengan perbendaharaan kata jorok terbaru. Kesimpulannya mungkin tim pendidikan sudah gagal karena mengajak bajingan-bajingan macam saya, Tyo, Ikbal dan Hengki yang ternyata tidak malah membimbing pada kebaikan, tapi pada hujat-menghujat. Outbond istimewa yang diadakan di lapangan voli Sidowangi ini juga membuat saya ngeh bahwa anak zaman sekarang demen selfie juga. Terbukti di akhir acara pada saling berebutan dan berpose semanyun mungkin. Siapa yang mengajari ini?

***

Suatu pagi yang muram. Saya baru tiba subuh tadi dari warung kopi. Entah lupa menenggak apa, yang pasti kepala terasa berat dan ngantuk sekali. Tidur di tikar tidak jadi masalah. Tidak sahur tidak jadi masalah karena belum pasti akan puasa juga. Tiba-tiba ada suara-suara ajaib dari dari ujung pintu. Ramai sekali anjing. Terpaksa saya melek dan mengucek-ucek mata. Keparat, masih sepagi ini. Belum pukul delapan.

“Minta tolong poo tong, kamu ikuto ke Balai Desa ngebantuin lomba tim agama. Sama bawain karpet. Mandio dulu tapi...” Itu seperti suara yang cukup keibuan. Itu adalah suara Mama Esti yang sudah beranak dua. Atau, saya tidak tahu persis siapa itu karena masih berada di ambang batas kesadaran.

Saya pun ngedumel dan langsung meraih handuk. Tapi mengingat di camp cukup sepi (pada kemana hari ini?) jadi mau tidak mau saya harus membantu. Tentu saja saya tidak mandi dan hanya mencelupkan kepala di bak mandi. Saya datang sendirian membawa karpet dengan perut kerucuk-kerucuk, dan saat saya memikirkan untuk segera mampir ke warung, Bang Syakur menghampiri saya. Dengan pincingan mata saya sadar diri juga untuk membantunya menggelar karpet. Di saat saya akan segera kabur untuk sarapan di bulan Ramadan, Bang Syakur malah minta menemani membeli selotip. Setelah itu saya yang akan segera pamit malah dikasih kamera oleh fotografer andalan kita Devi Ardian dan memotret-motret ngawur kesana kemari.

Hengki Julian sudah hadir disitu, dan serta merta langsung diserahi tugas dobel sebagai juri lomba dan MC. Hengki agaknya mulai bertingkah sok profesional dan banyak maunya. Dia tidak mau jadi juri dan minta pengganti. Alhasil semua mata tertuju pada saya. Mau tidak mau saya menjadi juri lomba menghafal surat pendek dan menunda sarapan. Saya agak minder melihat juri sebelah saya, Nila Dara yang sudah umroh dan pantas diberi predikat ustadzah, dan Layla Effendi, yang merupakan qori andalan Pacet, Mojokerto. Saya sendiri ngaplo dan entah, meragukan kapasitas saya sendiri. Saya disuruh menilai hafalan surat mereka sementara saya sendiri tidak hafal suratnya—nama suratnya saja tidak ngeh. Saya mencoba menilainya seobjektif mungkin: semakin pede mereka, berarti mereka hafal. Namun nyatanya mereka pede semua. Saya tidak mengerti teknik apa yang bisa digunakan. Dan disitulah saya kemudian diskusi pseudo-ilmiah dengan Nila dan Layla dengan hasil diskusi yang tidak sepenuhnya saya paham, dan tibalah saatnya kami memberikan nilai. Saya cukup ekstrem memberi nilai sampai angka 10 karena ada peserta yang amat sangat pede. Nila geleng-geleng kepala sementara Layla sepertinya sudah sadar bahwa kehadiran saya sebagai juri disini adalah kesalahan besar. Meski begitu, saya yang akhirnya membacakan hasil penilaian dan mengumumkan juaranya: dengan flat, datar, tanpa greget sekalipun seperti Daniel Mananta saat membacakan juara Idol.

Saya sendiri tidak terlalu peduli pada pemenang lomba ini. Kalah menang adalah omong kosong saat kamu sudah berusaha. Dan setelah melihat senyum riang serta tawa anak-anak peserta lomba itu, saya makin yakin bahwasanya mereka semua adalah juaranya. Mau tidak mau, saya juga ikut tersenyum senang. Andaikata saya tadi melanjutkan tidur mungkin saya tidak akan merasakan kegembiraan ini.

Lumayan.

***

Dari semua kegiatan di atas, kegiatan tim lingkungan hiduplah yang paling membuat penis saya tegang cukup lama. Pagi itu cukup busuk dengan suara cecirit burung yang berisik, dan suara tayangan televisi keras sekali, begitu brengseknya dunia hiburan. Ikbal di sebelah saya masih betah bermimpi menggaruk celana dalam merah gadis fantasinya, sementara saya terbangun karena derit pintu terbuka, di pukul tujuh lebih sepersekian menit, dan masuklah Afro Aminul memakai topi hitam sehitam jidatnya. Saya menghafalkan dia dari gerak-gerik dan brewoknya, kebingungan di samping tasnya, melepas topi, memakainya kembali, menghela nafas, begitu terus sampai saya terjaga dan—ini keputusan yang berat—memutuskan untuk bertanya.

“Bang, arep nandi?” saya bertanya sambil menahan kelajengking di tenggorok, haus. Rupa-rupanya masih hari bulan puasa.
“Iki lo arep tuku peralatan gawe tim lingkungan hidup. Rencanae arep nang toko bangunan.” Jawab Ami Afro dengan meyakinkan dan menahan kentut, mungkin.
“Di ewangi ta? Aku ambek Ikbal siap iki!” ujar saya. Saya suka membantu khsusunya bila sedang nganggur. Daripada mikir mesum melulu.
“Nggak usah wes bang. Wes ambek arek-arek.”
“Sopo ae?” tanya saya.
“Anugrah, Breng, ambek arek wedok. Boncengan motor telu.”

Jawaban Aminul saya respon dengan merem lagi. Tapi sesaat kemudian langsung melek, mendelik. Ke toko barang bangunan belanja barang berat ngajak anak cewek. Apa tidak sebaiknya sama kita-kita aja? Butuh tenaga, begitu pikir saya. Ya meskipun saya tidak kuat-kuat sekali seperti Teenage Mutant Ninja  Turtles tapi tidak mengapalah berlagak sok belagu.

Aminul berangkat bersama Anugrah dan Breng, dengan membawa motor dan masing-masing membonceng perempuan entah siapa lupa. Saya tidak berpikiran apa-apa. Hari tampak indah sekaligus gundah, mengemis kapan KKN berakhir, seperti biasa. Senyum anak-anak juga manis seperti biasa meski berpuasa, tipikal senyum-senyum tidak betah dan untungnya mereka sempat melahap petuah Mario Teguh sebelum jadi tukang bual untuk selalu tersenyum dalam kondisi sekalut apapun. Tiada yang berguna dan berarti di hari itu, sampai bajingan tengik Ikbal gopoh ke kamar mandi yang tidak sedang dalam situasi antri, mengambrolkan wujud-wujud bangkai barang haram ke dalam lubang kakus. Lalu setelah itu berlari ke arah saya yang sedang merangkai kabel headset yang mbulet.

“Nggak laper ta?”

Siang bolong bulan puasa. Baru bangun tidur. Buka masih separuh hari lagi. Sementara es teh menanti di ujung sana...

***

Pendapatan emak hari itu bisa diasumsikan cukup banyak. Dalam neraca ekonomi, konsumen tidak pernah merasa puas, jika mendapat satu, ia ingin dua, tiga dan seterusnya. Pun juga es teh dan extra joss dalam gelas kami yang terus-terusan minta diisi.

“Isi ulang, mak!”

Kami tidak pernah terlalu menggubris. Tidak ada ceritanya berbuka siang bolong dengan air putih. Hanya pecundang penyakitan ginjal yang begitu. Masa muda. Hancur-hancurkan badan sehancur-hancurnya. Nasi pecel. Mie ayam. Bakso. Sikat. Sepiring tambah bergelas-gelas. Tambah lagi sebats. Sebats lagi sampai istilah sebats tidak relevan. Gold Lights, Dunhill Filter, Surya, beserta koreknya. Puji tuhan. Saat kami sedang menikmati santapan wajib dengan luhurnya, ponsel Tyo berbunyi. Entah itu chat ataukah telfon, makan siang ini terlalu berharga untuk menghiraukan. Tapi kemudian Tyo gopoh memberi komando.

“Anugrah ngehubungin, ngongkon ngewangi nggowokno barang-barang nang toko bangunan. Saiki awak dewe dikongon merono. Piye iki?”

Bajing loncat. Kami yang berada di warung: saya, Tyo, Ikbal dan Hengki, segera menuju ke lokasi. Firasat sudah tidak beres. Mengapa tidak sedari tadi bukan kami yang diajak, padahal kami sudah menawarkan diri. Kenapa para perempuan? Taktik bulus kaum adam. Memang membonceng gitu doang bisa bikin penis menegang?

***

Kami datang dengan berboncengan. Saya dengan Tyo. Ikbal dengan Hengki. Saat tiba di sana, di sebuah toko bangunan, kami disambut dengan hangat-hangat tai kuda, dan para perempuan yang tadi langsung merampok entah motor siapa saja, pulang ke peraduannya masing-masing. Kami sempat mempertanyakan fungsi mereka, apakah sebagai teman perjalanan yang asyik, ataukah ya memang begitu kaum adam gemar menggeber hawa. Tapi ini tidak masuk akal. Anugrah memulai bicara.

“Rek tolong bawakno barang-barang iki yo. Kayu sama triplek. Iso ‘kan?”

Kami hanya nyengir-nyengir tai anijng. Babi. Sudah diduga. Akan begini jadinya. Tapi permasalahannya tidak sesepele itu. Kayu yang dimaksud Bapak Anu adalah kayu panjang sepanjang jalan kenanganmu dengan pacar orang, dan triplek yang dimaksud adalah triplek lebar selebar pinggul ibu kosmu. Cecunguk yang berdiri di belakang Anugrah: Aminul dan Breng, tidak ikut bicara, hanya bersiap, entah akan melakukan apa, menunggu komando resmi sang jenderal. Melihat kayu dan triplek tersebut saya berpikir bahwa hari ini pasti akan berat. Kita akan menggotongnya jalan kaki dari toko bangunan menuju basecamp. Empat orang, memungkinkan untuk membopongnya.

“Yawes, Tito sama Tyo bawa kayu, ya!” ujar Anu.
“Lho, kene tok?” saya bertanya.
“Iyo, ‘kan boncengan!” jawab Anu.

Kampret!

Jadi maksud kakanda Anu adalah saya dan Tyo akan membawa kayu super panjang—dan berisi tiga atau empat potongan kayu tersebut—dengan menaiki motor. Tyo yang memegang kemudi, otomatis saya yang membawa potongan sialan tersebut. Saya sendiri tidak yakin. Amat sangat tidak yakin. Saat kami menggotong kayu tersebut ke seberang jalan raya saja, terasa cukup berat dan mantap walaupun dikerjakan berempat. Penis saya yang sedang menegang tiba-tiba mengempis.

Sementara Hengki bersama Ikbal sudah bersiap berangkat duluan membawa triplek utuh menggunakan motor. Entah itu ide yang brilian atau tidak, yang pasti membayangkan saja akan terasa sulit. Saya pun usul kepada Yang Mulia Afro Minul.

“Nggak dipotong-potong sek ae ta, kayu ambek triplek’e. Uangel lo, abot. Sing nggowo triplek tambah sakno.” Ujar saya.

Afro Minul menggubris sebentar dengan bahasa C3PO Star Wars yang entah apa tidak saya pahami. Anugrah pun juga mengoceh apapun itu yang saya tidak mengerti. Saya pernah sesekali mengunjungi tempat macam begini, dan memang seharusnya bisa dipotong-potong. Mengapa sekarang jadi serumit ini?

“Enak ‘kan dipotong-potong. Kita nggak perlu motong lagi. ‘Kan ini ya nanti dipotong lagi sakdurunge digawe papan?”

Misi dan tujuan memboyong benda-benda ini tidak lain tidak bukan adalah Tim Lingkungan Hidup pimpinan Saudara Aminul Wahib akan membuat papan nama untuk ditaruh dan disebar di seluruh penjuru desa. Ditancapkan di tanah setelah sebelumnya ditulisi dan diberi arah: jadi pelancong yang sedang sial tidak akan tersesat, dan semua orang bakalan tahu lokasi yang dimaksud tanpa perlu bergantung pada GPS Google sialan.

Tapi apa daya, saya hanya digubris dengan bahasa-bahasa Gollum yang hanya dimengerti oleh Pokemon. Anugrah tetap menjalankan sesuai perintah awal: Saya plus Tyo menggotong kayu. Hengki plus Ikbal membawa triplek. Menggunakan motor. Tanpa dipotong.

Dan terjadilah apapun yang seharusnya terjadi...

Hengki dan Ikbal melaju terlebih dahulu dengan Ikbal ceking yang memegang kembali kemudi. Sebelum mereka mulai jalan saya sudah merasa ragu terlebih dulu: triplek selebar itu (bayangkan) dibopong oleh Hengki di tengah-tengah, tampak seperti perahu layar. Ikbal masa bodoh saja langsung melaju bak bajingan tengik. Saya melepaskan nasib Hengki dan berdoa agar dia selamat.

Sementara di sini, Tyo yang menjadi bajingan tengik. Dia yang mengemudikan motor sementara saya yang membopong kayu (bayangkan, itu seberat mantan pacar ABG-mu yang semlohai dikali tiga) di pundak. Pundak! Sialan! Ingin saya mengumpat dengan khusyuk tapi Tyo sudah amblas saja. Bangsat benar. Pundak rasanya seperti mengeropos. Anjing. Apalagi harus jaga keseimbangan. Saya jadi tukang saja usai KKN ini. Di tengah-tengah perjalanan saya yang hanya menumpu kayu itu di pundak dan telapak tangan saya sudah tidak kuat. Tidak sudi menahan kayu keparat ini.

“JANCOK! WABOT COK! KENE KOK GELEM DADI TUKANG NGENE COK! BANGSAT!”

Saya mengomel-mengumpat pada Tyo yang akhirnya membantu memegangi dengan tangan kirinya sambil terkekeh.

“BANGSAT! COK! WES COK! GATELI, UABOT NEMEN COK RUSAK PUNDAKKU!”

Saya jerit-jerit kesetanan layaknya berada di puncak orgasme. Babi ngepet. Saya pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Saya menghirup nafas, berusaha untuk kuat, mencoba teknik yoga, sampai di depan mata saya melihat Hengki sedang duduk lesu dengan triplek diletakkan begitu saja di pinggir jalan, sementara Ikbal terlihat kalut.

“Lho, lapo Heng?” Saya dan Tyo berhenti untuk melihat apa yang terjadi.
“Ikbal nyetir kebanteren. Triplek’e mawut aku meh tibo! Dancok! Dampot!” Hengki mengumpat-umpat, sementara Ikbal dan Tyo terkekeh. Saya membayangkan perahu layar beserta lagu Uut Permatasari.

Setelah melihat hal naas itu, saya tiba-tiba saja terpancing emosi dan langsung muak melihat kayu di pundak, membantingnya begitu saja ke pinggir jalan. Persetan. Hancur sekalian. Saya sudah siap bila saja akan terjadi cek-cok dan kelahi. Saya sudah siap mendapat nilai terburuk untuk KKN. Saya sudah siap mengulangi tahun depan. Bangsat. Sesaat setelah kami berhenti itulah, emosi saya makin menjadi saat melihat Anugrah, Breng dan Minul melintas dengan tidak membawa apa-apa. Untung saja mereka berhenti. Saya bisa-bisa segera menuntaskan KKN ini bila saja mereka tidak peduli.

“JANCOK!...........”

Saya melampiaskan emosi yang tertahan pada Aminul, dan entah saya ngedumel tentang apa. Penis saya kembali tegang. Kayu yang saya bawa ada tiga buah. Tidak peduli, saya mencopot talinya dan menyerahkan satu kayu pada Aminul. Saya tidak peduli juga Aminul sedang membonceng siapa waktu itu, intinya perempuan. Intinya saya tidak mau membopong benda sialan ini tanpa bantuan. Yang benar saja. Kami pun akhirnya bergerak lagi menuju base camp. Termasuk Hengki dan Ikbal dengan triplek keparat itu. Saya tidak habis pikir mengapa saya, Tyo, Hengki dan Ikbal disuruh membawa benda-benda sialan itu sementara si mandor leha-leha membuntuti dari belakang. Sialan. Inikah efek kurang merancap? Membuntukan rasa kemanusiaan dasar: saling bantu-membantu?

Setelah sampai base camp, situasi memang memanas. Saya dan Tyo sampai merasa diperlakukan seperti tukang yang cuman dibutuhkan ototnya saja. Pecundang kelas kakap. Apalagi, Hengki dan Ikbal belum juga sampai. Dimana monyet-monyet itu.

“Ayo nyusul arek-arek, wedine onok opo-opo.” Ujar saya pada Tyo.
Kami pun bergegas kembali menuju jalan. Sementara itu Aminul dan Anugrah melompong heran.

“Arep nang endi maneh?” ujar Anu.
“Nyusul kanca-kancaku, sakno...” ujar Tyo, serak.

***

“Dampot, juancok! Aku mari nabrak uwong!” Hengki Julianto menaruh tripleknya di atas jembatan jalan raya. Sambil mengelap peluhnya yang tidak karuan. “Lah iku maeng wis pelan, eh onok ibu-ibu nyebrang, Ikbal lewat ae, aku yo nggak ndelok, eh kesantap wes wonge! Juancok!” ujar Hengki.
“Terus wonge piye mbot?” tanya saya.
“Wonge kaget, ati-ati Mas!” jawab Hengki.

Ikbal terus menerus menepuk dahi sambil tidak berhenti tertawa. Saya dan Tyo ikutan terbahak juga. Hengki yang awalnya cemberut, langsung tertawa juga sekeras-kerasnya. Jembatan berisik oleh tawa-tawa kurang ajar dari kami. Aminul kemudian mengirim chat ke saya, intinya meminta maaf semacam itu. Melihat konco-konco ini sudah tertawa riang, saya melunak dan tersenyum. Salah paham itu biasa, teman.

Dan kami mengakhiri siang naas di pertengahan bulan puasa tersebut dengan menenggak extra joss dingin di Warung Emak. Lagi.

Tuesday, March 28, 2017

Besi Tua – Premature: Adakah yang Lebih Cepat dari Grindcore?

Mereka berasal dari area Lereng Gunung Welirang dan menciptakan kerak neraka tepat di daerah yang dikenal dingin. Baiklah, perkenalkan, mereka bernama Besi Tua. Kawakan grindcore dari ujung Pasuruan yang seperti sudah sedemikian menguasai panggung lokal, dan tinggal bergerak lepas landas sedikit lagi menuju tingkat yang lebih tinggi setelah rilisan perdana Premature dilepas. Berisi orang-orang veteran yang berpengaruh di scene underground Pasuruan dan sekitarnya, rilisan perdana ini adalah bukti konsistensi mereka. Delapan buah lagu bising ultra cepat dan berdurasi keterlaluan singkat seperti ingin menegaskan bahwa beginilah asyiknya bermain grindcore. Sikat. Hancurkan. Sambit. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bangsat, tahu-tahu sudah selesai saja. Track pertama Adakah yang Tidak Mungkin Bagi Tuhan, adalah ceramah tanpa tujuan motivasi religius apapun, murni permainan grind bak Napalm Death di era debut mereka, Scum (1987) dan tanpa ba-bi-bu seperti layaknya menggaruk pantat yang gatal bukan kepalang. Meski berjudul spiritual jangan harap lagu ini bisa dinyanyikan Bimbo atau band sirup Marjan di bulan suci. Judul yang sepertinya memotivasi namun tidak membuat semangat sama sekali ada di track kedua, Berbeda-beda Tetatpi Tetap Satu Tujuan. Bagaimana di daerah sekondusif itu musik macam begini bisa dibuat. Judul yang romantis-nasionalis tidak mencerminkan isi lagu yang mengoyak isi perut. Ketukan drum yang menerjang, makin dipacu dengan raungan distortif yang bahkan sedemikan cepat sampai kita tidak sadar sudah menikmati atau tidak. Satu yang membuat penasaran adalah track ketiga saat mereka mencover mega-hits kaum thrash Roots Bloody Roots dari Sepultura lewat album Roots (1996). Dalam versi grindcore ala Besi Tua, Roots terdengar lebih bajingan dan lebih busuk dari lagu aslinya. Ditunjang oleh karakter suara yang prima, cocok dan paripurna dengan kebisingan yang ada. Ada lagi cover dari Tumor Ganas dalam Sekali Bajingan Tetap Bajingan. Dengan intro seperti band anarko punk, yang kemudian masuk menjadi grindcore brengsek dalam sekejap: track ini menyegarkan meski tak kalah singkat dibanding lagu-lagu sebelumnya. Sampai di lagu berjudul Fuck You dan Jalan Berlubang dan Bergelombang, yang menutup kedelapan track dengan masih mengambil jalan kencang dan penuh kekacauan. Sekali sambit banyak kehancuran terlampaui.

Berkaca dari album grindcore legendaris Scum yang walau pendek-pendek durasi lagunya namun berisi sekitar 28 track (ya benar, 28!), Premature mungkin berdurasi terlalu singkat, terutama bagi pendengar yang menghendaki sebuah opera sirkus layaknya black atau death metal. Tapi bagi maniak grindcore tukang ngebut dan gaspol, delapan track tersebut sudah bisa membuat orgasme dan bahkan bisa diulang-ulangi lagi sebagai lagu pemicu rusak syaraf. Album perdana Besi Tua ini juga membuktikan bahwa formula grindcore, entah itu di Brazil, Skandinavia, atau di Lereng Welirang sana, sama-sama bertujuan untuk bersaing menjadi band tercepat di dunia—yang dalam jangka waktu lama pernah dipegang oleh maharaja bernama Napalm Death.

Tracklist:
1. Adakah yang Tidak Mungkin Bagi Tuhan
2. Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Tujuan
3. Roots Bloody Roots (Sepultura Cover)
4. Premature
5. Sekali Bajingan Tetap Bajingan (Tumor Ganas Cover)
6. Fuck You
7. Gitu Saja Kok Repot

8. Jalan Berlubang dan Bergelombang

post-scriptum: review ini awalnya dikerjakan untuk webzine sempat saya bekerja. karena terlalu obscure dan cult, akhirnya saya memutuskan menaruhnya di blog pribadi. terima kasih untuk doni utomo: promotor, penggemar militan underground underrated sekaligus sahabat saya yang telah memberi copy review album ini (via official besi tua tentu saja). panjang umur skena bawah tanah lokal!

Beyonce – Lemonade: Pencapaian Tertinggi Sang Juru Bicara Kulit Hitam

Beyonce adalah ratu penyimpan rahasia terbaik. Apapun: skandal, drama perselingkuhan suami, bahkan album barunya yang muncul begitu saja ke publik setelah dalam durasi satu jam HBO menayangkan film tentang dirinya. Lemonade mungkin adalah karya Beyonce yang paling eksploratif dan personal serta mengabaikan genre dan pakem. Dalam album ini Bey—panggilan akrab Beyonce—mengajak kita menjelajahi sisi paling liar dalam dirinya. Track “Don’t Hurt Yourself,” kolaborasinya dengan pungguwa blues rock gaek Jack White, menampilkan Bey yang berteriak kencang seolah tak ada hari esok, mengingatkan pada rock serak-serak tomboy ala Janis Joplin—simak cara Bey berteriak, ada nuansa padat dan berkilau bak sepatu boots. Terdengar seksi, elegan, basah dan penuh emosi pada saat bersamaan. Bey tanpa ragu-ragu mengumbar umpatan-umpatan kencang seolah menyuarakan gundah gulananya. Dalam “Hold Up”, nuansa 80an saat post punk merasuk dan menjadikan rock and roll begitu cantik lewat suntikan Rn’B gelap sangat terasa. “Hold Up” menggandeng Ezra Koenig dari grup art punk Vampire Weekend dan terciptalah hymne yang pas didendangkan saat berdansa sendirian dalam lampu redup dan segelas anggur merah di tangan. Atau track “Sorry,” yang berisi tipuan-tipuan macam musik easy-listening yang cerah ceria tetapi nyatanya membalut kepedihan, dengan lirik macam “today I regret the night I put that ring on,”. “Sorry” adalah track terbaik di Lemonade yang dengan jenius memasang derap beat bouncy yang nyaman di telinga, memungkinkannya sebagai hits besar Bey selanjutnya.

Yang terdengar gila adalah kolaborasinya dengan The Weeknd dalam “6 Inch,” Padat akan nuansa elektronik, nyaris tidak terdengar murah dan sederhana seperti musik dansa mengecewakan yang gemar digembar-gembor hari ini. “She grinds from Monday to Friday/Works from Friday to Sunday.": Bey menyanyikan bagian ini sambil bergoyang. Kehebatan Bey mengeksplorasi lintas genre juga tampak pada “Daddy Lesson,” yang membawa suasana pure atau orisinil: sebuah nyanyian yang menyenangkan dengan tari-tarian dan koboi mabuk yang tertawa. Seperti suasana dalam sebuah bar di ujung Texas di malam hari nan hangat. Membuktikan bahwa Bey tidak hanya jago memasak beat disko, rn’b, hip-hip atau apapun itu yang cenderung menggunakan elektronika, tetapi juga mantap meramu kemeriahan natural dari apa yang disebut sebagai musik manusia. “Daddy Lesson” ajaibnya juga terdengar begitu jazz mesti tanpa kerumitan berarti, dan gaya vokal Bey yang terdengar tidak terlalu meliuk-liuk, cenderung santai dan longgar. Lagu ini mengisahkan kehidupan keluarganya dimana sang ayah akhirnya harus berpisah dengan ibunya. Mungkin tema klise dan banyak diangkat oleh musisi-musisi bermasa lalu broken home, tetapi jika dilihat dalam konteks hubungan Beyonce dan Jay-Z, ada kegetiran baru yang timbul. Dan di akhir lagu akan terdengar suara bocah yang seperti berkata dengan bangga: Good job, Bey!

Album bagus kadang bisa begitu membosankan tanpa adanya balada penyeimbang, apalagi untuk album penuh warna dan kobaran kemarahan seperti Lemonade. Untuk hal itulah Bey menyenandungkan “Sandcastles” yang kontemplatif dan murung. Sederhana: cukup iringan piano dan lampu muram kekuningan. Dengan tambahan paduan suara gospel, membuatnya begitu anggun dan tegar. Agak sedikit paradoks memang, mengingat hampir keseluruhan album ini cukup kompleks dengan banyak isian sana-sini. Namun usai itu semua, Bey kembali mengamuk. Mengajak Kendrick Lamar pada “Freedom”, Bey terdengar geram: Make America Great Again, Donald Trump, isu-isu rasisme dan feminisme kuno sepertinya telah kembali dalam pemilu. Bey, sebagai juru bicara perempuan kulit hitam, agaknya merasa tergerak dan menyanyikan suara-suara feminismenya tentang kebabasan. Atas dasar itulah, album ini pantas mendapatkan apresiasi yang tinggi karena tidak hanya menyinggung sisi personal, tapi juga perkara sosial. A Must Listen. Good Job, Bey!

*Lemonade adalah album terbaik 2016 versi Rolling Stone USA