Wednesday, July 19, 2017

Mandasia Si Penetes Air Liur

Tidak ada negara yang memiliki ragam kuliner sekaya kita. Keragaman itu memiliki akar sejarah panjang. Politik dan keadaan ekonomi suatu daerah sangat menentukan variasi makanan penduduk. (Majalah Tempo Edisi Khusus “Antropologi Bumbu Nusantara, 2014:31)


Makanan sudah identik dengan kebudayaan. Resep turun-temurun dalam pengolahannya membuat makanan mencerminkan siapa dan bagaimana masyarakat dan kebudayaannya. Keanekaragaman makanan membuat insting kita tidak pernah berhenti; ada saja hal menarik yang bisa digali. Salah satunya yang mungkin terdengar baru adalah Gastrologi. Saya sendiri agak kebingungan mencari-cari apa definisinya. Di Wiki malah dikatakan semacam ahli penyakit pencernaan atau apalah. Baru akhirnya salah satu kawan kuliah yang bernama Mareta, mengkaji gastrologi dalam kajian novelnya. Mareta berkata cukup simpel: gastrologi intinya membahas makanan gitulah. Di situlah saya mulai tahu bahwa ada ya novel yang membahas tentang makanan. Setahu saya hanya Tabula Rasa atau One Hundred Food Journey, film yang diadaptasi dari novel, yang membahas tentang makanan. Karena di layar lebar, saya pikir sisi menyenangkannya bisa lebih keluar karena penonton akan bisa ngiler, menikmati makanan-makanan yang ditampilkan dalam film. Kalau film sih tidak masalah, tetapi dalam bentuk novel—jujur saya tidak pernah tahu dan menebak-nebak bisakah tulisan fiksi membuat imajinasi pembaca ngiler?

Mungkin saja khazanah bacaan saya tentang penulisan makanan amat sangat kurang. Saya hanya sempat membaca tulisan-tulisan Mas Nuran Wibisono di blognya, yang kebanyakan membahas sop buntut, atau makanan-makanan yang bisa saya jumpai sehari-hari. Itu bukan fiksi, ada fotonya dan saya bisa membayangkan bagaimana enaknya saat kita menyendok makanan itu ke mulut. Ada narasi deskripsi, ada banyak kata-kata yang merujuk pada indra perasa. Tapi sumpah saya masih bingung bila semua ini diaplikasikan ke fiksi, terutama novel. Tidak ada gambar, tidak ada ilustrasi, dan tentu saja, saya pikir penulis-penulis fiksi yang sering saya baca tidak pernah mampu membuat air liur menetes saat mereka menuliskan tentang makanan. Saya pernah membaca novel Dimsum Terakhir, karangan Clara Ng. Memang judulnya sangat identik dengan makanan, tapi entah, sampai sekarang pun saya tidak tahu rupa dan rasa dimsum itu seperti apa. Ini membuat saya berpikir bahwa makanan dalam novel hanya ditampilkan sebagai pelengkap yang tidak penting-penting amat.

Setidaknya itu pandangan saya sebelum mengenal dan membaca novel perdana Yusi Avianto Pareanom Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Saya sudah membaca Rumah Kopi Singa Tertawa karangan Pamanda Yusi sejak lama. Kisah-kisahnya datar dan ganjil, dengan banyak momen mengejutkan serta menyenangkan. Pikiran saya saat awal membaca Mandasia, mungkin novel ini akan sama sablengnya. Ternyata isinya jauh melebihi ekspekstasi. Kawan saya sempat berkata bahwa, “Raden Mandasia itu magnum opus-nya Yusi!” Mungkin benar. Diulang-ulang sesering apapun, saya masih bisa tertawa, atau kadang misuh-misuh sendiri. Dan saya paling menyukai untuk membaca lagi part-part di mana ada adegan makan di situ. Yusi menjungkirbalikkan pandangan saya. Membaca fiksi tentang makanan ternyata bisa senikmat ini. Sudah sering saya tiba-tiba minta antar pacar membeli sate kambing dan gule karena tidak tahan membayangkan apa yang ada dalam Mandasia. Dari Mandasia jugalah saya kemudian sok menjadi pakar daging sapi, yang merasa paling tahu beda sirloin dan tenderloin, dan menceramahi pacar saya yang doyan makan bahwa bagian sapi paling enak adalah sandung lamur. Hmm. Tapi keparatnya, Mandasia juga tidak hanya mengajari soal santap-menyantap sapi. Di bagian saat mereka menuju rumah makan untuk menemui Loki Tua, saya benar-benar ngiler tidak tertahan, benar-benar hampir kehilangan akal sehat. Babi asap dideskripsikan begitu sempurna oleh Pamanda Yusi. Membuat saya yang belum pernah secuil pun memakan babi jadi ingi sesekali mencobanya—lemaknya yang lengket, kupingnya yang berbunyi krak saat dikunyah; saya berjanji kapan-kapan akan menjajal babi panggang utuh dan setidaknya sehari saja melepaskan label haramnya. 

Selain umpatan-umpatan macam anjing, tapir bunting, simbahmu koprol dan lain sebagainya yang cukup membuat terhibur, kutipan dalam Mandasia berikut dijamin akan membuat kalian menghubungi Go-Food: ada warung tongseng terdekat?

Semua daging ini sangat lunak karena otot-otot di sekitarnya jarang digerakkan sapi. Daging-daging yang cukup ditaburi sedikit garam, bubuk merica biasa atau hitam—terserah selera, tanpa perlu bawang putih atau bumbu lain; daging-daging yang cukup dibakar dua sisi sebentar saja sampai setengah matang supaya keempukannya terjaga sehingga lumer saat digigit; daging-daging yang bakal membuat penikmatnya merasai kedamaian yang sampai tahap tertentu adikodrati antara ia dan penciptanya. (Pareanom, 2016:21)

Bukan hanya empuk, daging hangat setengah matang itu juga menyemburkan kaldu daging di dalam mulut saat kugigit. Kalau ada rasa yang lebih enak daripada ini, dewa-dewa pasti masih merahasiakannya. “Raden, daging ini rasanya...luhur,” kataku. (Pareanom, 2016:22)

Astaga. Kulit luar nasi yang agak gosong ternyata renyah betul dan nasinya sendiri lebih padat daripada dugaanku. Kejutan berikutnya, nasi kepal itu ternyata berisi suwiran ikan kakap kering manis pedas.  Maka-nan sederhana yang kehangatannya sampai ke hati. (Pareanom, 2016:27)

Kari ikan datang berteman nasi dari beras basmati yang butiran-butirannya panjang, tidak lengket satu sama lain, dan aromanya harum. Nasi yang disajikan di atas daun pisang lebih menggugah seleraku. Aku mengambil sesuap dengan jariku. Enak. Aku menyuap lagi, berteman secuil ikan berbumbu kental. Anjing, tambah enak, ternyata. Aku menuangkan kari ikan ke atas nasiku dan dengan cepat aku menghabiskan nasiku dan minta tambah lagi. (Pareanom, 2016:231)

Aku menelan air liur. Potongan-potongan daging dalam ukuran besar dibakar. Di tungku terpisah, empat babi utuh dipanggang berdiri memutari perapian yang berbentuk lingkaran. Seorang pekerja secara teratur melaburi babi-babi itu dengan cairan yang kuduga mengandung gula karena babi-babi itu berwarna kuning coklat keemasan. Babi-babi yang berlumur minyak itu dibelah tepat di tengahnya sehingga mereka mirip gundukan daging yang melebar. (Pareanom, 2016:274)

Yang perempuan menyantap sup berwarna hijau teratai muda yang sepertinya berisi simping. Setelah menyendokkan sup ke mulutnya, si perempuan menunjukkan paras terkejut. Tubuhnya bergetar halus. Gila. Itu gerakan bergetar yang kukenali ketika perempuan menunjukkan paras terkejut. Tubuhnya bergetar halus. Gila. Itu gerakan bergetar yang kukenali ketika perempuan mendapat kepuasan setelah bercinta. Mata perempuan itu sedikit membasah. (Pareanom, 2016:274)

Seorang pelayan lain datang ke meja di samping kanan kami mengantarkan satu ekor babi panggang utuh untuk empat orang. Ada asap tipis naik dari babi panggang itu. Begitu babi diletakkan di meja, keempat orang itu menyobek-nyobek dagingnya dengan tangan kosong. Aduh, pasti lembut sekali dan langsung lumer di mulut. Satu orang mematahkan kuping babi. Ada bunyi krak yang merdu sekali di telingaku, juga saat suatu kuping itu dikremus di beruntung. Kawannya mengambil cingur babi dan mencomot daging pipinya. Semuanya berminyak berkilat-kilat. Potongan daging itu lalu mereka celupkan ke cairan kuning kental yang kemudian aku tahu terbuat dari campuran kuning telur dan minyak sayur. (Pareanom, 2016:276)

Bubur. Oh, ternyata ada irisan-irisan tipis dagingnya. Bubur terasa lembut dan hangat di perutku. Irisan dagingnya enak sekali. Gurih pedas. Mereka pintar mengolah daging kambing, pikirku. (Pareanom, 2016:314)

dimuat di litera obscura edisi #2
format digital bisa diunduh bebas disini

Rexa Delfi Asmaradini (1995-2017)

Yang aku tahu, only good die young, hanya yang terbaik yang mati muda. Kamu Rex—atau entah, tiada cara lain lagi untuk memanggil namamu walau ‘x’ di akhir sungguh melelahkan—sudah berada di dunia yang benar-benar berbeda. Entah di mana, ada ataupun tidak kehidupan sesudah kamu pergi, aku tidak jadikannya masalah. Satu yang aku yakini, kamu bahagia: lepas, bebas, damai dan tenang.

Kamu adalah butir peluru—aku hampir haru saat menuliskan ini—yang menunjukkan pada semua orang, termasuk sekeras batu seperti aku, bahwa sejatinya kelemahlembutan adalah kekuatan. ‘Ayok!’ katamu. Aku ingat. Saat kamu kuajak setengah bercanda setengah kurangajar dan setengah gila, untuk menemui seseorang di kelas paling ujung sana. Sering seperti itu, hanya saja jarang berhasil dan kita hanya berputar-putar, atau kamu mengawasi dari jauh, atau kamu yang akhirnya bertemu, atau aku sendiri—seringkali dan pada akhirnya—lalu aku harus mengakui: sejujurnya nyaliku ada saat kamu bersedia mengantarkannya.

Tidak ada memori yang lazim, Rex. Kita sudah bersama sejak suaramu sepelan pus meong pada pagi yang dingin dan mendung; nyaris tidak terdengar dan aku seperti tidak mendengar ada diafragma dalam tenggorokanmu. Tapi, kamu akan ingat, jelaslah. Bu Nik—ibu negara, begawan dan mahaguru kita—yang membimbing kita semua, pun aku saat dikutuk menjadi pesajak tolol, dan kamu—pendiam yang kemudian menjadi orator paling brillian dari kita semua, dua puluh sembilan cecunguk bahasa—berhasil mengubah kodrat, menyaringkan suara yang nyaris tak terpekikkan itu, membuat kita semua berpikir bahwasanya kebiasaan adalah jalan paling mudah untuk berubah. Kamu peluru, Rex. Diam dan senyap. Tapi saat revolver itu terisi, pelatuk ditarik; kamu melesat jauh. Ganas. Tanpa peredam dan terus memekik. Bunyi tembakan itu masih terdengar Rex, kamu tahu. Dan aku—kita semua, bahkan Bu Nik pun—masih akan terus bertepuk tangan dan memperingatinya.

Tidak ada memori yang lazim, Rex. Hanya desing-desing peluru suaramu yang luruh. Waktu seperti menonton pentas drama; tepuk tangan lalu usai, dan kita berdiri kemudian kembali pada tempat masing-masing. Aku yang bertepuk tangan paling lama. Pada renyahmu saat kepalaku terkantuk dalam kelas dingin dan beku, atau aku tahu kita pernah jadi teman sebangku dalam sistem acak seminggu. Pada musim di mana kawan dan lawan hanya dipisah napas yang tak tampak. Pada aroma-aroma fitnah masa lampau yang hadir menghardik kursi-kursi tempat bercumbu di ujung-ujung kelas. Pada anyir darah lelah dari kumpulan dalam sarafku yang tidak terkontrol dan menghantam neraka aspal. Pada Matematika, Bahasa Prancis, atau batu-batu Candi, atau batik Hari Kartini, atau memori mungil—semungil tubuhmu—yang kupercaya telah melesap dalam denyut nadi teman-teman kita; kujuluki serigala tanpa bulu domba; wolfpack yang seiring meski kadang hampir bunuh; kamu ada di situ Rex, sampai petang hari. Sampai detik ini.

Aku tidak bisa menuliskan ini lama-lama. Lampau seringkali menyakitkan, dan kini tidak kalah sesaknya. Adakah waktu yang tepat untuk mengenang yang telah hilang? Cukup sebutir peluru, kau tembakkan erat. Dan aku masih mendengar letupan itu; semangat itu, suara-suara kerasmu yang sebelumnya lirih bersahutan dalam telinga.

Kamu menang, Rex. Pelantang suara ini untukmu.