Saturday, November 25, 2017

23

Twenty three years, i still haven't clue
Stop thinking the past, i don't think i'll ever do
Driving through the town in black and blue
Maybe today i'll catch a glimpse of you

Jujur orang macam apa yang bisa lupa dengan umurnya sendiri, kecuali orang itu benar-benar penat dan sibuk--atau orangnya benar-benar ngehek minta ampun. Saya mungkin termasuk golongan pertama, tapi tidak menutup kemungkinan masuk ke golongan dua juga. Sejam lagi saya ulang tahun, tapi saya lupa berapa pastinya umur saya. 22 atau 23? Atau jangan-jangan 24? Apakah saya sudah betul-betul kehilangan jatidiri maknawi sampai-sampai tidak sadar usia? 

Saya selalu ingat hari ulang tahun saya sendiri. Ini bukan karena saya pengingat yang baik, atau tukang lihat kalender setiap saat. Mungkin karena Bapak di rumah sudah lebih dulu mengingatkan tadi sore: besok ulang tahun ke 23, ya?--Bapak selalu WhatsApp sehari sebelum saya ultah, memberi ucapan langsung juga sehari sebelum ultah. Entah kenapa. Bapak memang orang yang tidak suka menunda-nunda saat melakukan sesuatu. Selagi ingat dan ada kesempatan, harus segera dilaksanakan. Tapi ya masak itu harus diterapkan saat mengucap ulang tahun juga.

Mengingat ulang tahun adalah mengingat momen; bukan umur. Umur tidak mendefinisikan hidup, tapi momen, suasana. Bukan seberapa lama kita hidup, tapi sudah berapa banyak yang kita alami saat hidup, berapa banyak yang kita lakukan saat hidup. Pertanyaan sulit. Saya pun belum melakukan apa-apa. Tapi beruntungnya, saya selalu mendapat momen-momen, kejadian-kejadian, yang membuat hidup saya tetap hidup. Entah itu sedih, bahagia, keparat, menyenangkan, kepalang brengsek: intinya saya selalu berusaha merayakan semuanya. Hidup untuk hidup.

Kurang dua tahun lagi usia saya sudah seperempat abad. Selanjutnya apa? Menikah? Tuhan berencana, manusia yang menentukan. Tapi saya belum tentukan apa-apa, jadi biarkan Tuhan bereksperimen dengan rencana-rencananya, di lab kimia semesta raya.

Toh di 23 tahun ini, masih banyak kebingungan yang berseliweran di kepala. Siapa saya, siapa Tuhan, apa tujuan hidup saya, saya harus melakukan apa? Mungkin saya akan menemukan titik terangnya, saat saya memilih untuk terus menikmati perjalanan. Perjalanan panjang.

Gone are the days of youth
I'm left with nothing but the truth
And yet i'm stumble and fall trying to find something real
The clock keeps on ticking, time doesn't heal

Seringai pernah bilang kalimat ngehek: saat pertama kali kamu mendengar musik keras, saat itulah usiamu berhenti. Saya pertama kali dengar Burgerkill di usia 14 tahun (atau mungkin Bluequthuq di usia 12 tahun). Jadi usia saya sekarang masih 14, masih SMP. Semangat itu masih ada di sini (menunjuk hati), tapi lama kelamaan saya tidak bisa bohong juga. Yang dimaksud Seringai adalah sisi senang-senang. Bahwa kesenangan orang tidak boleh berhenti. Tapi kedewasaan? Jelas, setiap orang pasti mau tidak mau harus dewasa. Umur 23 mungkin adalah sisa-sisa terakhir masa muda, sebelum segalanya menjadi tampak serius dan old. Sebelum masa banter-banternya cari uang dan mikir kawin. Sebelum hidup harus dirombak habis-habisan, dari akhlak, moral sampai relijiustas. 23 adalah batas antara muda dan tua: beberapa langkah menuju seperempat abad hidup. Beruntunglah kalian yang pernah jadi bengal dan ugal-ugalan. Viva alkohol murah dan substansi halusinogen. Viva hidup punk rock porak-poranda. Usia 23 sudah hampir memotong semua, meskipun kesenangannya masih terasa. 23 sisakan kebenaran-kebenaran yang makin lama makin tampak, keputusan-keputusan yang mau tidak mau harus kita pilih dan jalankan. Walaupun banyak halang rintang, batu kerikil tajam, terjatuh, berdiri lagi, tersandung, tunggang-langgang. Usia 23, waktu dimulai lagi. Terus berjalan, tidak bisa dihentikan. Usia 23, selamat ulang tahun untuk diri saya.

tulisan bercetak tebal dicomot dari Vague - "23" 

Nuran Wibisono: Menulis Musik Adalah Mimpi Basah

Oleh: Redaksi Ronascent
bisa dibaca di sini

Nuran Wibisono: kedua dari kiri
Nice Boys Don’t Write Rock And Roll; judul buku terbaru Nuran Wibisono ini menyatakan sesuatu yang sejak dulu kala jadi perdebatan: seperti apakah kapasitas seseorang untuk bisa jadi penulis rock and roll? Apakah harus sangar—‘honest and unmerciful’—seperti Lester Bangs di Almost Famous—mengingat William Miller, jurnalis rock cilik di film kesayangan kita itu, sungguh mewakili term ‘nice boys’. Seperti apa seharusnya? Nuran tidak menjawab pertanyaan kita, tapi sudah melakukannya. Whatever, nice boys or bad guys—rock and roll, or anything music in your pocket playlist; semua bisa menulis musik. Nuran bukan tipikal bajingan tengik seperti Bangs atau Thompson—merokok saja tidak. Bukan juga sosok yang terlampau imut untuk bisa dikatakan ‘nice boys’. Nuran sebagai orang biasa-biasa saja, tanpa kepentingan dan pretensi apapun, tanpa beban dan tanggungan apapun, menulis musik hanya sebagai bentuk kecintaannya mendengarkan Guns N’ Roses, The Doors, dan ribuan band favoritnya. Nuran tidak bisa (atau tidak mau?) dicap sebagai jurnalis musik. Dirinya mungkin bisa disebut pengulas musik ugal-ugalan (sempat baca 5 Album Terburuk Indonesia 2009 dan 2010 di JakartaBeat?). Tapi, disitulah letak serunya buku ini: puluhan esai yang ditulis dengan kecintaan pada musik yang ceplas-ceplos, apa adanya, minim saringan, dan kaya akan kesenangan. Buku ini sangat worthed untuk dimiliki dengan satu alasan bagus: siapapun yang membacanya dipastikan terinspirasi untuk menulis musik juga. Apapun kapasitas mereka.

Tito Hilmawan Reditya, salah satu penulis di Ronascent, berkesempatan menanggapi buku ini di acara bedah buku bersama Nuran, di c2o Library Surabaya, akhir Oktober kemarin. Tito—yang mengaku terinspirasi untuk mulai menulis musik dan membuat zine sesudah membaca esai Nuran yang berjudul “30 Lagu yang Membuat Jembutmu Rontok Satu Persatu”—harus mengakui kalau buku babon ini bisa memicu terbitnya buku-buku sejenis. Selama ini rilisan buku musik di Indonesia amat sangat jarang. Mungkin divisi Elevation Books milik Taufiq Rahman, adalah angin segar untuk permulaan. Elevation sudah merilis tiga buku esai musik, yang salah satunya ditulis Herry Sutresna—pentolan Homicide. Nuran kemudian mulai menyusul, dengan gaya tulisannya sendiri. Kalau Taufiq lebih menyorot hubungan musik dan sosial politik—pun juga Ucok, tapi tulisan Nuran terasa lebih personal dan ringan.

Esai-esai musik dalam Nice Boys dibuka dengan nama bab yang mengutip lagu-lagu kegemaran Nuran—tentu saja seputaran hair metal dan ‘Almighty’ The Doors. Di bab pertama Nuran menuliskan dengan hangat awal perjumpaannya dengan musik, lalu mengenal jurnalisme musik, lalu bagaimana semua itu bisa mengubah arah hidupnya. Phillips Vermonte—founder Jakarta Beat—tidak sengaja membaca tulisan Nuran saat sedang mencari kontributor untuk website barunya. Perkenalan dengan Nuran dituliskan Phillips di Kata Pengantar buku ini. Lalu di bab kedua dan seterusnya, lebih fokus pada satu bahasan. Membahas hair metal, slank, musik Indonesia—itu diantaranya. Beberapa tulisan tentang Slank belum pernah dimuat dimanapun. Nuran mengaku, proyek menulis Slanknya batal, entah karena apa. Padahal dia sudah selesaikan separuh tulisan.

Untuk tulisan lain kebanyakan sudah dimuat di blog Nuran—nuranwibisono.net—dan di beberapa media. Tito, yang sudah jadi pembaca blog Nuran sejak SMA, menganggap tulisan Nuran selalu tampil apa adanya; ringan, sedikit slebor, agak urakan, dan sangat menyenangkan. Nuran dianggapnya setara Rudolf Dethu, dalam konteks propagandis hair metal nusantara. Keyword hair metal di Google entah bagaimana caranya bisa langsung mendeteksi blog Nuran. Tulisannya tentang Sangkakala ataupun GRIBS atau siapa saja dedengkot rocker gondrong Indonesia sangat-sangat energik. Ada perasaan meluap-luap, dan kecintaan yang tinggi pada objek tulisan.

Ayos Purwoaji moderator diskusi sempat bertanya pada Nuran: apakah ada otokritik untuk buku ini? Nuran menjawab, kekurangannya mungkin buku terlalu tebal: tulisan terlalu banyak. Nuran mengaku terlalu malas untuk mengkurasi, atau mengedit tulisan-tulisannya. Alhasil, buku perdananya terkesan tumplek blek. Sedangkan menurut Tito, buku Nuran mungkin bisa jadi semacam kitab suci bagi pencinta hair metal—atau musik apapun. Atau kalau frasa kitab suci terlalu berat, anggaplah buku ini sebagai buah cinta dari Nuran, pada siapapun yang masih percaya kalau rock and roll belum mati, masih berusaha menggondrongkan rambut, pakai banyak gelang, dan setia pakai DocMart—atau Converse. Meskipun saat bedah bukunya Nuran pakai kaus Seringai, tapi bolehlah itu dimaknai sebagai tanda kalau penulis musik seharusnya terbuka. Nuran sudah membuktikannya: dalam buku yang berlabel rock and roll dan bernuansa sangat glam metal, terselip satu dua tulisan tentang Peter Pan dan... Ahmad Dhani.

Menutup tulisan, Kharis Junandharu dari Silampukau yang sempat hadir di diskusi bertanya pada Nuran dan Tito, tentang pengalaman terbaik yang pernah dialami saat jadi penulis musik. Tapi entah, sepertinya pertanyaan tidak terjawab. Keduanya malah tersenyum dan kemudian tertawa bahagia. Karena seperti kata Nuran:

Bagi orang yang mencintai dunia musik, bekerja sebagai penulis musik adalah mimpi basah... Tapi namanya juga mimpi basah, ketika terbangun setelah merasakan nikmat, kamu akan berdecak kesal. Celana dalammu basah dan lengket. Dan kamu harus mandi besar...” 


Thursday, November 16, 2017

GAUNG - Opus Contra Naturam: Berada Di Ambang Sakit Jiwa


Opus Contra Naturam. Melawan alam, bla-bla-bla. Khusus untuk duo bernama GAUNG, post-rock meluap-luap, bahaya laten ampli Orange, menabuh genderang sekeras-kerasnya, sampai lampu mati, sampai gerah, sampai biadab, sampai sekarat. Menulis album berhulu ledak tinggi—naik, naik, naik, sampai panik dan hancur sendiri—adalah keasyikan dan ego pribadi. Jangan dengarkan album ini di motor pakai headset jelek kalian, atau di audio mobil, atau dimanapun yang berpotensi melabrak dan menabrak orang sampai mati. Semenyeramkan yang kalian kira, semenghanyutkan yang kalian bayangkan. Dengan cover mata lebar yang siap menusuk mata kalian. Secara pribadi, lagi-lagi kami tekankan, ada banyak bahaya berkeliaran di album ini. Secara halus seperti Crimson Eyes-nya Sigmun tapi nir vokal, dengan tetambahan sound-sound gaib yang dipinjam dari air got neraka. Terdengar kasar lagi berisik, kadang apa adanya pula, monoton mempermainkan jalan pikiran. Filsuf Wikipedia. Puisi-puisi liris Amerika Latin. Paha montok dan empuk dalam daya khayal paling brutal di dimensi kelainan seksual yang diidap pekerja-pekerja yang siang kepanasan dan malam tersembur angin. Menyemburit gulita. Tenang, ini baru beberapa track. Lucidae—seperti mimpi buruk orang keparat, sesudah minum obat batuk kemenyan. Eridanus Supervoid—jika tidak salah eja—terkapar sambil memintal besi dengan gigi geraham, tembus lambung terkoyak jadi tinja timah panas. Menantikan si beruntung yang bisa dapatkan sisi halusinatif dalam tepar mabuk ciu saat hampir subuh. Persetan jurnalisme musik paten, persetan Almost Famous—dan impian menjudge semua rockstar di dunia semau gue. Apa bedanya pendengaran dengan puisi; kalau nyatanya GAUNG tidak bisa diperjelas dengan bahasa-bahasa abjad manusia. Ini melampaui alam pikir, tanpa berniat hiperbolis.

Kami menghalau berbagai bahasa-bahasa yang digunakan umat manusia, baik buruk atau ceracau-ceracau talkshit di media sosial. Ini adalah kegelisahan yang tidak baik-baik amat buat ditumpahkan. Ada tanggung jawab buat pembaca—kalian-kalian, pemalas pemadat yang baru bangun usai dhuhur lalu digempur kewajiban lagi dan lagi, tanpa henti, dan akhirnya berhenti sejenak, pakai komputer kantor untuk membunuh malam, streaming gratis album ini. Berusaha menemui kekosongan namun susah karena tidak biasa tirakat, jadilah empuk-empuknya gendang telinga—dan anggur merah yang tinggal seperempat botol—merampok kesadaran sambil menggigit ujung guling, dengan layar streaming komputer, berusaha menghibur diri dengan mengulang-ulang Annie Hall-nya Woody Allen. Itu sudah sampai pada Killing With Virtue yang sok kepedean. Entah harus berbuat apa lagi di malam yang sepekat ikan asin di tenggorok. Sound yang kalian kencangkan kalian kecilkan lagi karena ada bapak-bapak berumur pengemudi taksi online, tepat di sebelah kamar pondokan kos kalian baru selesai berwudu atau sembahyang. Jadilah dalam seolah-olah senyap, sound murah 80 ribuan, menggergaji jins-jins kalian yang kumal dan belum tersentuh sajadah.

Old Masters: A Comedy—mau ngomel apalagi? Orang gila, penulis gila bodoh yang dengan gobloknya meracau demi review sisipan, demi mengabadikan apa yang tidak bisa diabadikan oleh waktu?—atau harus mengalah dan jadi budak kehampaan mimpi, tidur sambil ngaceng, dionani oleh pantat-pantat dalam lelap. Bibir-bibir kering yang bau asbak, selama dua ribu empat ratus tiga belas abad, hanya merokok dan merokok, menabung umur di pejagalan nikotin. Lembab, dan hanya esok yang tahu akan seperti apa jadinya.

Evidence Of Extraordinary Bliss. Muak sudah jadi keseharian. Di sini kegoblokan bertebaran di manapun, menyentuh sisi kemanusian yang kadang bikin menangis. Ingin rasanya gorok diri sendiri, putus asa. Namun lebih baik dihunuskan ke perut kalian, wahai fasis, wahai tukang cobek tengik, yang bersenjata. Ancaman dan intimidasi—kuncinya. Jurnalis CNN Indonesia melaporkan apa-apa yang perlu dilaporkan dan nantinya akan diolah oleh GAUNG jadi bahasa Filipina dengan backsound monoton. Siapa yang sudah belajar bahasa Filipina—atau baiklah tidak usah belajar. Dengarkan irama sudut bibirnya: dia wartawan yang melihat temannya digebuki sampai mati. “Kehidupan sebagai jurnalis tidak pernah tenang,” kata si pembawa berita, melaporkan. Di Filipina sana nasibmu akan empuk seperti pantat Harto yang doyan mengunyah kebebasan. Saat kemanusiaan telah mati, saat nilai-nilai jurnalistik berada di asam lambung yang berkuasa, saat itulah kita butuh mengocok batang kontol kencang-kencang, membayangkan hal-hal paling busuk tentang sadomasokis, lelah karena apapun yang sudah diperjuangkan, apapun yang sudah dilawan, tidak benar-benar mewujud jadi apa yang dinamakan kesetaraan. Kehidupan murah dengan moncong peluru, atau uppercut petugas yang—sudahlah... nyatanya kita tidak sekuat Marconi Navales, di perjalanan menuju Mindanao yang jadi ladang pembantaian berbahaya dalam lagu ini.

"Saya melihat rekan-rekan saya terkapar di tanah, tewas bersimbah darah. Bulu kuduk saya berdiri, air mata saya mengucur. Saya terpukul dan saat itu saya tahu bahwa tidak ada jurnalis yang aman di sini,"

Mau apa wahai manusia? Dengarkan saja ini, sampai anggurmu tinggal tetesan yang tak mungkin kau sikat di ujung botol. Lempar botol ke tempat sampah, dan meleset, pecah jadi lima. Tarik nafas dalam-dalam, tidurlah sampai mati...

*dimuat di ronascent webzine, dengan perjalanan panjang editor (mas rona) mengedit dan memperhalus racauan.  haha