Wednesday, January 24, 2018

Jangan Bajingan Waktu Menyetir

Jalanan selalu sumpek. Macet, gerah, panas. Tapi apa daya, ada hidup yang harus disambung. Walaupun harus berurusan dengan truk ngawur, angkot seenaknya, lampu merah yang terlalu lama, atau trotoar yang terlalu lebar. 

Ayolah, kapan terakhir kali kita bahagia di jalan--kecuali mungkin saat berkendara santai tengah malam sambil maksimalkan volume di headset.

Kita juga kadang terburu-buru, 60 km per-jam terlalu pelan, tambah lagi, kencangkan lagi. Tanpa peduli ada orang tua membawa asbes di jalan, anak kecil menyeberang, ibu-ibu motor matic mengantar les anaknya. Ayolah, apakah jalanan jadi sekejam itu?

Saya sering melamunkan hal di atas sampai akhirnya menemukan salah satu lagu terbaik dari Bin Idris ini. Bin Idris adalah sosok yang berkali-kali saya tonton, tapi dengan nama Haikal Azizi--yang tergabung band psychedelic kesayangan kita, Sigmun. Bin Idris jadi alter ego Haikal, dan melempar album solo yang luar biasa bagus. Puncaknya ada di lagu "Jalan Bebas Hambatan", yang sudah bisa kalian nikmati di Spotify.

Mendengarkan lagunya, saya seperti tersindir sendiri. Sebagai orang yang doyan kesana-kemari pakai motor, kadang terlalu ngawur di jalan, dan jarang sekali pulang, saya seperti diingatkan.


Jalan Selalu Menuntun Kita Pulang

Berbulan-bulan kau belum pulang
Aspal jalanan pun engkau terjang
Menuju rumah
Untuk bertemu papah dan mamah

Terlalu mudah bagi kita melupakan rumah, tapi terlalu sulit untuk melepaskannya. Di jalanan menuju kerja, kadang kita sering dihantam pertanyaan: kapan pulang? Apalagi buat kamu kaum urban yang banyak menahan diri untuk tidak pulang kampung, menunggu sampai sebulan-dua bulan lagi. Ayolah. Saya tidak mau terlalu menye. Tapi apa salahnya pulang sebentar, toh jalan yang dilewati sama.

Jalan menuju kerja akan terasa berbeda kalau kita selalu ingat jalan menuju rumah.

Sekali Lagi, Safety Riding Lumayan Penting

Sinar mentari silau menikam
Kau kenakan kacamata hitam 20 ribu
Mereka tak perlu tau

Kebut-kebutan cuma bikin pusing
Jangan terpejam nanti terguling
Ketepian jalan
Mudah-mudahan jangan

Santai saja engkau menyupir
Kalau mengantuk tinggal melipir
Ke rest area
Beli gorengan dua ribu tiga

Bukan mau sok-sokan kampanye safety riding, dan jadi cemen karena takut aspal. Tapi jelas, kebut-kebutan tidak ada fungsinya. Santai sajalah. Toh kalau jatuh yang sakit ya sikut kamu juga. Tidak hanya itu, jalanan juga berpotensi turunkan tingkat kegantenganmu sampai 37%. Matahari pukul satu siang bisa bakar kulitmu pelan-pelan, lalu memicu jerawat, lalu mukamu jadi jelek. Lebih baik pakai perlengkapan standar. Lupakan knalpot brong. Jangan lupa klik helm. Pakai kaus kaki, sarung tangan. Buff.

Juga usahakan tidak mengantuk. Melipir saja ke minimarket, mampir dulu beli kopi dalam kemasan yang bukan diseduh biar tidak ngantuk. Seng penting slamet--kalau kata Mbah.

Di Jalan Bukan Cuman Ada Kamu, Bung

Ada ambulance kau pun menyingkir
Jangan bajingan waktu menyetir
Lebih baik sabar
Daripada bar-bar

Awas ada truk pasir di depan
Jangan dekat-dekat
Tidak perlu nekat

Baiklah, siapa di sini yang kadang terlalu sok jadi Marquez dan suka membalap ibu-ibu bapak-bapak yang kadang masih tegang buat nambah kecepatan di jalan? Jalanan yang kamu lewati bukan Sepang atau Valencia. Memangnya kamu lagi ikut GP?

Tidak perlu banyak petingkah sirkus tong setan. Kalau memang ingin balapan ya pakai lahan punya simbahmu saja. Ini jalanan milik bersama cuy. Apalagi, tingkat kecelakaan kadang dipicu orang-orang nekat. Main terobos. Main hantam. Kendaraanmu bukan 'invisible car'  seperti Mermaid Man dan Bernacle Boy bung. Selow saja kalau lagi jemput untuk kencan,  toh pacarmu juga mungkin masih sisiran.

*Sejatinya, tulisan ini sudah di-edit sedemikan sopan dan halus. Karena Kolaborasik.com - mainan baru Suara Surabaya Media - tempat saya bekerja, menilai tulisan versi awal terlalu kasar dalam pemakaian bahasa. 

Memahami Isi Otak Pencandu Mie Instan

Obrolan luar biasa berfaedah tentang fanatisme mie instan dan jalan hidup seorang ‘Indomie Snobs’.

Dalam satu adegan film 5 cm —diceritakan tokoh Ian yang diperankan Igor Saykoji punya penyakit kecanduan Indomie. Adegan yang ironis—satu di antara sedikit sekali adegan memorable  selain tatap-menatap canggung Riani – Zafran di Semeru diiringi lagu Nidji—adalah saat dia kepergok mamanya sedang masak mie instan tengah malam.

“Mau bikin teh, Ma!” teriak Igor ngeles.

Tapi saat dia membuka lemari dapur, dia seperti menemukan harta karun yang sudah dipendam tujuh turunan: berbungkus-bungkus Indomie berbagai rasa.  Saya, mungkin juga kamu semua pasti punya pemikiran sama dengan Ian. Menemukan bungkusan Indomie saat perut keroncongan tengah malam jelas tidak boleh disia-siakan.

Selain itu, dunia mie instan bukan hanya tentang upaya pemadam kelaparan, atau spesialis topping susu-keju di warung kekinian yang bisa menaikkan harga Indomie sampai lima kali lipat. Juga bukan hal terlalu serius seperti potensi usus melintir seorang Indomie Junkie, dari sudut pandang dunia spesialis pencernaan dan ahli gizi. Kita mungkin perlu membahas hal remeh-temeh seperti sejauh mana air rebusan mie instan mempengaruhi rasa mie, lebih nikmat mana makan mie pakai sendok, garpu, atau sumpit. Atau lebih asoy  mana mencampurkan bawang goreng langsung atau menaburkanya saat mie sudah jadi.

Saya akhirnya memutuskan untuk mewawancarai Pramudita Rah Mukti (Pram), food blogger  spesialis mie instan berbagai rasa, junk food crackers, dan makanan minimarket lainnya. Blognya, SundalDigital.com, adalah situs pelipur lara bagi orang-orang yang doyan konsumsi hal receh. Menolak kredo kalau blog makanan harus selalu mampir di resto mahal dan ternama.

Sundal Digital malah lebih membahas seperti nikmatnya konsumsi Chitato rasa Indomie Sate—sebuah rasa yang membingungkan karena menduplikasi rasa yang sudah di-duplikasi. Tidak ketinggalan, ulasan dan penilaian jujur tentang pengalaman makan mie instan. Membuat saya dan kamu semua merasa tertantang untuk membuat Fans Indomie Garis Keras.

Berikut hasil perbincangan saya.

tanda kiamat dalam keanehan rasa mie instan
courtessy: sundal digital
Saya: Sebagai konsumen abadi mie instan, kita harus mengakui kalau ada dua jenis merek ternama di Indonesia, Indomie dan Mie Sedaap. Kamu berada di pihak mana? #TeamIndomie atau #MieSedaap? Bagaimana kamu menanggapi klub fanatik mie tertentu yang mengata-ngatai mie lain? Seperti Liverpudlian yang doyan menjelek-jelekkan Manchunian.
Pram: Sebagai kelas menengah berbudaya tentu saja saya masuk dalam #TeamIndomie. Fanatisme sempit termasuk dalam hal selera memilih merek mie sampai menjelekkan merk lain seyogyanya harus dihindari.  Selera satu orang dengan orang lain tentu saja beda. Walau menurut saya orang yang gemar makan mie selain Indomie pasti memiliki selera makan yang buruk.

Lalu, bagaimana kamu memandang merek lain yang underdog, seperti ABC atau ehem, Mie Burung Dara?
Merek lain misal Mie ABC, Mie Sedaap, atau mie yang sudah punah semacam Salam Mie saya memandangnya ya biasa saja. Seperti saat kamu memakai pakaian, anggap saja Macbeth, lalu rekanmu memakai pakaian dengan brand Black-ID atau Skaters. Sama-sama pakaian tapi tetap terlihat tingkatannya bukan? Tapi, kadang mungkin merek-merek seperti itu ada dan masih eksis hingga sekarang karena konsumen yang edgy; bosan dengan rasa mie instan lain yang sudah jelas enak.

Sebagai pencandu mie instan, tingkatan paling ekstrem apa yang pernah kamu lakukan. Saya misalnya, pernah tiga minggu berturut-turut konsumsi Indomie.
Tidak terlalu ekstrem sih, cuma seminggu berturut-turut setiap hari makan mie instan. Pernah juga saat sahur hampir sebulan penuh makan mie instan.

Apakah kamu kadang pakai nasi kalau makan Indomie? Tentu pernah dong. Coba ceritakan, apakah kamu mencampur nasinya dengan mie. Ataukah memisahkannya? Atau nasinya dimakan dulu baru mie-nya. Atau nyampur random saja?
Nasi pakai Indomie adalah suatu keharusan. Terkadang kalau saya makan mie tanpa nasi, rasanya ingin menangis sambil berpikir "seharusnya ada nasi, pasti mie yang saya makan lebih enak dan nendang rasanya". Nasi juga tidak selalu nasi putih, kadang saya sengaja membeli nasi goreng di pinggir jalan, kemudian memasak mie instan sebagai lauknya. Sering juga menggoreng mie yang sudah ditiriskan, dicampur dengan nasi. Bumbu-bumbu saya masukkan saja ke wajan, supaya lezat dan harumnya bisa kunikmati dengan khidmat.

Apakah secara teknis, kamu memasak mie dalam wajan lalu mencampur bumbunya sekalian. Atau bumbu ditaruh piring dulu baru dicampur?
Sudah dijawab di pertanyaan sebelumnya ya. Saya pernah melakukan dua-duanya. Tapi kalau sedang banyak waktu luang, saya lebih memilih menggoreng mie, meskipun tanpa nasi, dan langsung mencampur bumbu di wajan. Menurutku cara ini bisa menimbulkan efek aromatik yang dahsyat. Bumbu bubuk yang bercampur dengan sedikit minyak panas ditambah bumbu minyak sayur dari mie instan,  akan terasa menguar lebih tajam aromanya jika kena wajan panas.

Saya sering kurang yakin saat akan mematikan kompor saat memasak mie. Apakah mie benar-benar matang atau tidak. Saya takut itu masih setengah matang, sekaligus takut itu akan terlalu matang seperti bubur. Kalau kamu bagaimana?
Lama waktu memasak yang sesuai dengan cara memasak di bungkus Indomie. ‘Kan lima menit tuh. Biasanya ya saya sesuaikan saja, nggak ada pola khusus, misal mie sudah kekuningan atau mie sudah amburadul dan nggak lengket.

Saya pernah ditegur Oma gara-gara makan mie keseringan. Mie punya micin yang bikin bodoh, katanya. Kalau pengalamanmu bagaimana?
Sudah ratusan kali ditegur oleh orang tua dan saudara. Mie punya micin, semua makanan yang biasa kita beli di luar juga pakai micin tuh. Gimana dong? Biarkan saja mereka menggonggong, Indomie tetap seleraku.

Sejauh ini setelah mencoba beberapa rasa mie, saya belum menemukan rasa mie terbaik selain Indomie Goreng Original. Menurut kamu sebagai penikmat mie, apa rasa mie terbaik sepanjang masa?
Yaaaa, Indomie Goreng original memang terbaik. Selain itu, saya juga suka Indomie goreng rasa sate. Untuk merek lain, saya sukanya mie pedas Samyang, Mie Bulnak juga enak karena kaya minyak alias oily. Selain mie tersebut rata-rata saya biasa saja dan nggak sampai kecanduan. Beberapa kali saya juga membeli mie instan dari Jepang. Rasanya pun tidak seenak Indomie. Terlalu light. Rasa minyak dan bumbunya malah cenderung hambar, meskipun di bungkusnya tertera mie pedas.

Ceritakan apa saja rasa mie instan paling nyeleneh dan unik yang pernah kamu makan. From bad to worst.
Saya bukan penggemar keju. Bukan tidak bisa makan keju, tapi nggak terlalu suka. Pernah makan mie instan rebus rasa keju dari Korea, rasanya sukses bikin muntah. Bumbunya beneran menohok, dan semua kuah yang ada menjadi keju. Ini juga saya alami ketika musim mie instan campur susu. Terjebak tren, saya ikutan deh. Suapan pertama langsung saya buang mie tersebut. Mie rebus campur susu totally worst. Core bumbu mie yang enak jadi amburadul ketika bercampur dengan susu yang manis. Entah kenapa orang-orang yang saya lihat di internet amat lahap dan bilang mie plus susu adalah paduan yang enak. Yiks.

Saya biasanya suka makan mie sambil minum kopi susu. Beberapa orang bilang itu bikin susah nelan. Bagaimana kalau kamu? Apa yang jadi minuman favorit kalau makan mie?
Saya sih bukan peminum kopi. Mungkin hanya sebulan sekali atau sebulan dua kali lah. Karena lambung gak kuat, termasuk mengkonsumsi cola dan sejenisnya. Ampun. Jadi saya lebih milih minum teh atau air putih saat makan mie.

Saya juga biasanya makan mie pas maraton nonton Breaking Bad atau 13 Reasons Why. Katanya sih itu bisa mengurangi fokus ke serial karena kenikmatan mie. Atau mie akan jadi kurang nikmat karena pikiran fokus ke serial. Kalau kamu biasanya makan mie sambil ngapain? Adakah waktu terbaik untuk makan mie?
 Makan sambil nonton TV amat saya hindari. Saya terbiasa makan sambil membaca berita olahraga, ataupun membaca koran. Membaca dalam artian bukan pure  membaca, karena membaca sambil makan termasuk ‘lauk’ buatku. Sulit menjelaskan, tapi rasanya ada yang aneh kalau makan tidak sambil membaca sesuatu. Jadi kalau kamu bertemu saya saat lagi makan, 99 persen pasti saya sedang membaca artikel lewat smartphone atau koran.

Terakhir, apa pesan kamu untuk kawan-kawan sekalian yang doyan mie instan di luaran sana? Mungkin ada tips topping mie, atau trik menggulung mie dengan garpu?
HINDARI makan mie instan menggunakan sayur! Hahaha. Ada beberapa orang yang merasa "aduh dosa nih makan mie terus nggak baik buat kesehatan, tambahin sayur ah biar sehat." BIG NO! Sayur nggak membuat penebusan dosa buatmu setelah makan mie. Selain itu, bumbu dan minyak mie akan lengket di sayur dan rasanya akan menjadi lain, tidak standar lagi. Rasa sayur anggap saja sawi atau yang lainnya juga akan menguar di bumbu rebusan, dan masuk ke dalam mie. Rasa mie jelas akan berbeda, berubah jauh. Berhentilah makan mie pakai sayur. Biar penikmat mie dan penikmat sayur happy dengan jalan masing-masing, tak perlu saling mencampuri. 

*tulisan saya tentang indomie lainnya, bisa dibaca disini.

Wednesday, January 10, 2018

Bagaimana Nuran Wibisono Mengutuk Saya Jadi Penulis Musik Amatiran


Saya baru saja masuk kantor, pukul setengah tiga sore. Shift malam sama brengseknya dengan shift pagi: macetnya, panasnya. Saya rehat sejenak sebelum menatap layar komputer untuk beberapa jam ke depan. Sesudah sebats saya mencomot Cola dari kulkas koperasi. Ya bisa bayar besok atau besoknya lagi. Terima kasih untuk Mbak Yani selalu mau terima kasbon. Saya bawa Cola itu dan bersiap ngendon depan komputer. Saya tidak cek handphone daritadi, saya masukkan saku. Tidak ingin terlalu terdistraksi dengan WhatsApp atau Instagram -- dunia maya bisa ditunda. Saya coba fokus di kerjaan, tapi entah kenapa masih belum konsen betul. Padahal sudah beberapa tegukan Cola mengisi lambung, juga cegukan-cegukan kebahagiaan yang hanya bisa dirasa pencandu soda tingkat akut. Karena masih terbayang busuknya jalanan tadi, saya tidak punya pilihan lagi selain mengeluarkan ponsel. Hidupkan data, dan seperti yang sehari-hari kamu alami: jutaan pesan -- kalau saya boleh sedikit hiperbolis -- beruntun masuk dengan derasnya. WhatsApp selalu begitu. Andai saja chat grup bisa sedikit lebih bermakna. Lalu dari beberapa grup yang saya ikuti, beberapa yang paling berisik adalah grup keluarga. Grup keluarga besar saya ada dua: satu keluarga besar ibuk dan satunya ibuk juga, cuman beda nasab atau garis keturunan. Jadi, beda eyang lah istilahnya. Dari grup-grup ini saya tahu -- kamu pun juga pasti tahu -- kalau bahaya hoax yang dikoar-koarkan orang-orang ternyata memang ada. Hoax yang benar-benar militan.  Disebar sama orang yang kamu kenal dekat. Kamu tidak berani untuk menegur, apalagi memberi tahu kebenaran. Bahkan, kapasitasmu sebagai buruh berita di media -- yang terverifikasi dewan pers -- tidak serta-merta bikin nyalimu memuncak untuk bilang: budhe, pakdhe, itu kabar hoax. Kamu lalu hanya diam saja -- bisanya memang begitu demi kesopanan -- dan melihat chat grup lain, yang kadang sama omong kosongnya. Menemukan fitur bisu di grup WhatsApp bisa jadi salah satu penyelamat hidup yang mungkin memang dari sononya sudah sumpek. Saya lalu merasa muak dan mual sendiri, kembali menaruh ponsel di meja. Saat akan mengetik, ponsel saya berbunyi. Ah, mungkin dari pacar. Penasaran sedikit, saya lirik sebentar. Saat melirik itulah mau tidak mau saya langsung fokus 100% pada ponsel, dan sadar tidak sadar mengenyahkan pekerjaan barang sebentar. Tertulis jelas di notifikasi: chat dari Mas Nuran Wibisono.

Kamu tidak salah baca. Ya, Nuran si jurnalis rock and roll -- atau hair metal -- super brengsek itu. Penulis musik ugal-ugalan kebanggaan Jember. Calon duta Guns N' Roses kawasan Asia Tenggara. Propagandis hair metal nomor wahid yang membuat band macam GRIBS, Sangkakala, dan gerombolan hair metal lokal lainnya, tetap percaya pada celana ketat dan rambut gondrong; gerombolan riang gembira yang merasa survive, karena karyanya selalu dicintai seorang Nuran -- penulis dengan kepercayaan diri tinggi pada apa yang disukainya. Ya, benar sekali. Nuran adalah penulis musik idola saya.

Sesudah bertanya kabar kabari dan lain sebagainya, dan saya balas dengan rasa tidak percaya dan menebak-nebak arah tujuannya, akhirnya Nuran bilang to the point.

"Kamu mau nggak ngisi bedah buku baruku di c2o?" tanyanya.

Tenggorokan saya serasa ingin minum air perasan jeruk lemon.

"Moderatornya Ayos Purwoaji." Nuran menambahkan.

Saya langsung mengambil air mineral di pantry. Lupa kalau di sebelah ada Cola.


***
Nuran Wibisono adalah penulis blog yang sudah saya ikuti sejak bandel-bandelnya masa SMA. Kalau tidak ada tulisan beliau, saya tidak akan bisa ikut menulis juga di blog kecil ini. Saya kenal dia waktu tidak sengaja nyasar di portal berita antah-berantah, pada tulisan -- yang kalau tidak salah -- berjudul 'Menulis Musik'. Pembukanya ciamik, mencomot daftar lima pekerjaan impian Rob, tokoh di film -- dan novel -- High Fidelity. Salah satu mimpi Rob: jadi musisi. Selanjutnya: jadi wartawan musik di New Musical Express atau NME. Nuran lalu menggiring saya ke dunia yang belum pernah saya tahu -- mungkin tahu tapi masih kurang dalam: dunia menulis musik. Ini orang keren, pikir saya. Meskipun tulisannya agak sok tahu  (mungkin karena waktu itu saya belum tahu apa-apa yang diketahui Nuran). Dari situlah saya paham sebuah profesi yang benar-benar menyenangkan bagi anak band gagal seperti saya: jadi penulis musik atau wartawan musik. Kurang ajar. Tulisan ini secara langsung -- dan tidak langsung -- membuka cakrawala saya yang masih sangat terbatas. Tahu-tahu saya nyasar di blog pribadi Nuran, dan hampir sudah membaca semua tulisannya (saya bahkan pernah baca kaburnya dia ke Gili Trawangan cuman gara-gara putus cinta). Yang saya tahu kemudian, dari Nuran-lah pintu gerbang menuju dunia tulis-menulis musik terbuka. Blog Nuran berisi banyak link ke blog lain. Semuanya seru dan hampir semuanya menulis tentang musik. Sampai saya nyasar di sebuah situs humaniora yang masih hangat: JakartaBeat. Di situs ini, Nuran juga ikut berkontribusi. Selanjutnya, perlahan-lahan kenal dengan tulisan penulis lain seperti Taufiq Rahman, dan Phillips Vermonte. Saya lupa nama penulis lainnya di Jakbeat, tapi tiga orang itulah yang selalu saya baca tulisannya dari awal sampai akhir, dari naskah paling lapuk sampai paling baru. Esai Taufiq Rahman bahkan sudah saya jadikan bahan skrpsi. 

Dari aktivitasnya di Jakbeat, Nuran kemudian aktif menulis di Tirto.Id -- sebuah situs berita yang menurut saya jadi yang pertama kali mempopolerkan infografis di Indonesia. Aura bengalnya masih sama; tulisan Nuran renyah dan mengenyangkan. Tapi tidak terlalu berat. Seperti menyantap Paket Panas 1 di McDonalds. Salah satu tulisannya tentang Nike Ardila, benar-benar mengambil sudut pandang baru. Bukan menyoroti sosok Nike sebagai legenda, tapi efek yang ditimbulkan sesudah kematiannya. Fokus pada fans sejati Nike, yang setiap tahun mengadakan ziarah. Kata Nuran: "Ini sudah seperti sebuah agama, dengan ritual wajibnya." Musik -- seperti yang Nuran dan saya yakini -- memang bisa menimbulkan efek sosial yang luar biasa. Kalau kata Taufiq Rahman: "Menulis musik adalah menulis tentang manusia", maka Nuran sudah berhasil meramu sisi humanis dari tulisan bertema musik.

Sebelum menulis di media, karya-karya Nuran di masa bengal (mungkin waktu masih gondrong) sangat-sangat menyentuh hati nurani. Nuran tidak memposisikan diri sebagai begundal tengik seperti Rio Tantomo -- ini 'guru' saya yang lain -- tapi cenderung apa adanya. Pernahkah kamu kepikiran untuk membuat tulisan berjudul "30 Lagu yang Membuat Jembutmu Rontok Satu Demi Satu"? Hanya Nuran yang segila itu. Lalu, kekonyolan lain adalah saat semua penulis musik berlomba menulis album terbaik di tahun ini -- seperti ritual media musik pada umumnya -- Nuran malah menjadi 'punk' dan menolak sama. Ia dengan bangga mempersembahkan daftar album terburuk tahun ini, dan siap dimaki-maki semua orang: terutama Ungu Cliquers dan fangirl Sigit Purnomo alias Pasha. Jelas ini tidak pakai teknik-teknikan: nulis ya nulis saja. Super subjektif. Sengak dan songong, tapi sekaligus cerdas. Apa yang kamu pikirkan saat mendengar band bernama 'Asbak Band'? Hanya Nuran yang berani menyarankan band itu untuk ganti nama lebih dulu, sebelum rilis album baru. Saya tidak mengesampingkan karya Nuran yang lain di luar tulisan musik (food writernya tentang warung makan juga keterlaluan biadab bagusnya, apalagi kisah tentang 'on the road' versi Nuran yang doyan backpacker). Tapi karena ini sedang fokus pada tulisan musik, maka saya hanya akan berfokus pada Nuran dan karya tulisan musiknya saja.

"Gimana? Mau nggak?" Nuran bertanya lagi. Itu sesudah saya mencoba ruwet, melempar kesana kemari dengan alasan sungkan, kurang pede, kurang kompeten dan lain sebagainya. Saya lalu menelfon Rona Cendera, editor senior Ronascent Webzine.

"Wancuk! Terima aja! Kesempatan!" katanya. Entah kenapa harus berteriak-teriak di telfon. Saya lalu mencoba mengopernya pada Mas Rona.

"Sek sek" ujarnya. "Moderatornya siapa?"

"Ayos. Ayos Purwoaji." 

"Cok! Emoh sungkan! Orang besar itu. Awakmu ae!" 

Bangsat. Saya sebenarnya tidak kenal Ayos, hanya suka mendengar namanya saja. Cukup disegani di ranah seni rupa, dan sempat aktif di dunia kepenulisan. Sebelumnya saya malah sempat mampir ke acara Biennale Jatim, disitu Ayos berperan sebagai kurator. Melihat tindak-tindak Ayos yang punya nama besar, dan Nuran yang hampir setara dengan Rudolf Dethu di kancah propagandis hair metal nusantara, saya jadi agak segan. Tapi ini adalah kesempatan bagus: lagipula saya belum beli bukunya -- masih menabung untuk beli yang hardcover seharga 150 ribuan. Akhirnya saya menyanggupi. Pikiran saya waktu itu: kapan lagi bisa sedekat ini dengan idola. Plus kemungkinan bisa dapat buku gratisan. Saya pikir bukunya lumayan worthed juga untuk dimiliki. Akhirnya saya mengiyakan tawaran Nuran. Saya yang belum baca bukunya, sedikit malu-malu kucing ingin 'membacanya' dulu. Tapi Nuran sepertinya membaca pikiran saya.

"Minta alamatnya. Nanti aku kirimin bukunya." 

Oh yes. Alamak di tanggal hampir mendekati tua, dapat kiriman buku gratis. Tapi dengan bodohnya sesudah mengiyakan saya kepikiran hal lain. Otak saya langsung kosong. Brengsek, mau ngobrolin apa nantinya di bedah buku. Cola di meja saya tandaskan. Luar biasa, saya belum mengerti harus bicara apa tapi sudah mengiyakan saja. 

Kebuntuan ini terjadi sampai jelang hari H tur buku Nuran di Surabaya. Karena banyak pekerjaan, saya sampai hampir lupa kalau ada bedah buku hari Minggu. Sampai di suatu sore, dengan sepatu saya yang mamel karena hujan di jalan, saya masuk ruangan kantor dengan gontainya. Mbak Maria, salah satu penyiar yang sedang melalukan hobi ceriwisnya di dekat meja makan, menyapa saya sambil sedikit berteriak.

"Tit, ada kiriman buat kamu. Kutaruh mejamu, ya."

Dalam hati saya langsung berdenyut 'deg'. Asu. Saya lupa kalau hari Minggu ada bedah buku, dan ini pasti kiriman dari Nuran. Ternyata benar. Tapi dasar otak saya memang sedungu itu, sesudah saya buka paket saya malah keasyikan membaca dari awal bukunya. Membaca tanpa sadar saja tahu-tahu sudah hampir separuh. Kemudian ingat lagi. Asu. Bedah buku Minggu. Lalu sampai di kos saya baca lagi sampai ketiduran, dan lupa lagi esok harinya. Buku saya bawa ke kantor, saya tuntaskan sampai habis. Mau tidak mau saya harus ingat, karena besok acara bedah buku itu sudah dijadwalkan. Saya sudah ditawari Rona untuk cangkruk, membahas materi yang setidaknya bisa saya sampaikan. Tapi Rona hampir belum pernah baca tulisan Nuran, jadi mungkin bisa sharing tentang geliat musik di Surabaya saja -- topik obrolan favorit Rona selain meniduri salah satu personil The Corrs. Alhasil, saya berpikir tidak muluk-muluk: saya akan hadir sebagai penggemar, yang mengapresiasi Nuran, itu saja. Dan inilah jeleknya saya: untuk acara dari penulis sebesar Master Nuran, saya tidak merangkai kata-kata apapun: cul-culan. 

"Wis gampang. Lihat besok saja. Nanti aku bantu kalau ada hal yang bikin awakmu kesulitan." ujar Rona.

***

Hari Minggunya, saya harus ke kantor dulu mengisi ruang-ruang berita untuk dibacakan awak gatekeeper. Bedah buku dimulai pukul tujuh, tapi pukul enam kerjaan masih belum kelar. Nuran sudah saya kontak, katanya berangkat ke c2o pukul enam, bersama Ayos. Setelah selesai semuanya, saya sudah siap-siap menjunjung tas, ndilalah di depan pintu ada Mas Iman Dwihartanto -- penyiar legendaris Kelana Kota Suara Surabaya, sekaligus Manager Newsroom. Saya agak sedikit sungkan kalau langsung pamit. Akhirnya saya duduk-duduk dulu dekat Mas Iman. Nah, di sini sepertinya Mas Iman bisa membaca pikiran saya, dan langsung memberi saya sedikit pelajaran tentang 'public speaking'. Padahal beliau tidak tahu sebentar lagi saya akan mengobrol ria di bedah bukunya Nuran.

"Keep smile face. Jangan cemberut. Usahakan kamu 'senyum' waktu ngobrol. Itu penting. Mempengaruhi pembawaanmu. Nanti kapan-kapan aku ajari teknik announcing lagi." Mas Iman melihat arloji. "Eh, apa sekarang saja belajarnya di ruang rekaman?" tanyanya. 

Saya yang memang sedang buru-buru menjawab seadanya: "Next time deh, mas. Buru-buru nih, ada acara."

"Oh, ok, ok. Santai. Mau berangkat sekarang? Hati-hati, loh ya. Lagi hari libur."

Saya langsung bergerak cepat ke c2o. Jaraknya hanya seperlemparan batu dari kantor. Tinggal turun sedikit, lewat beberapa lampu merah, lalu sampai. 

Sampai di sana, Mbak Yuli dan Charlie--atau siapa nama kucing itu--menyambut saya. 

"Mas Nuran lagi di dalem, silahkan silahkan!" ujar Mbak Yuli. Saya tidak sempat menengok buku-buku baru. Lalu sesudah mengasap Black Menthol sebentar di luar (dengan tanpa terasa sudah habis tiga batang di asbak), Nuran lalu WhatsApp saya

"Masuk aja. Ada temen-temen juga nih!" 

Saya lalu memasuki mini bar di c2o. Ada bercangkir-cangkir kopi hitam di meja, dan puntung rokok yang berceceran. Kharis Junandharu dari Silampukau juga ada di sana, dengan kaus merah lengan panjang yang biasa dipakai pas manggung. Ada juga basis Hi-Mom! yang bergaya cukup flamboyan: menebalkan bulu cambang dan pakai topi ala anak kampus kesenian. Ayos Purwoaji, si moderator kemudian sedikit ngobrol-ngobrol dengan saya. 

"Aku belum mbaca bukunya. Nanti tak lempar-lempar saja ya," ujarnya.

Saya lalu lanjut bercakap dengan Nuran. Untuk pertama kalinya kami berjumpa. Saya melihat Nuran sebagai sosok yang lumayan tambun, tapi gagah. Mungkin berbeda dengan foto-foto yang dipamerkan di blognya saat dia sedang travelling beberapa tahun silam. Nuran sudah punya bini. Jadi mungkin agak terlihat seperti bapak-bapak. Pakai celana 3/4, kamu tidak akan sadar kalau dia adalah penulis jempolan. Tapi saya ragu apakah benar dia propagandis hair metal nomor satu Indonesia, karena dia pakai kaus Seringai. Haha. 

Lalu satu-persatu pengunjung mulai datang. Saya, Nuran dan Ayos berada di depan. Hanya gelar tikar seadanya, dan itu lebih bisa bikin suasana jadi lebih intim dan hangat. Ada sekitar 5-6 orang yang hadir. Dan terus berdatangan kira-kira sampai belasan orang.

Nuran lalu sedikit bercerita tentang bukunya. Hanya gambaran kecil saja. Dulu Nuran sangat doyan dengar Guns N' Roses, lalu bersama Ayos, membuat blog pribadi. Saya sempat membuka blog bernama 'muntah berak'  milik Nuran. Isinya sangat raw, personal, ngehek, dan banyak berisi indahnya kenakalan masa muda. Selain tentang musik, blognya juga berisi sumpah serapah, dan perjalanan cintanya bersama beberapa perempuan (khusus yang ini saya khawatir akan terlalu paham kehidupan pribadi Nuran karena ia selalu tulis apa saja di blog).

Kehidupannya berubah sesudah Phillips Vermonte, founder JakartaBeat, mengontak dirinya untuk menulis di website JakBeat yang baru seumur jagung. Ini dibahas tuntas di Kata Pengantar yang ditulis Mas Phillips. Tulisan Nuran begitu 'kotor'. Pemuda brengsek yang tidak sungkan buat tulisan berjudul "30 Lagu yang Membuat Jembutmu Rontok Satu Per Satu" di blognya ini, membuat tulisan brengsek sejenis di JakBeat. Tulisan di awal-awal karir Nuran di JakBeat sih masih bisa dibilang 'lembut' dan 'elegan'--membahas John Mayer. Tapi lama-kelamaan keluar 'aslinya'. Selama dua tahun Nuran membuat tulisan "5 Album Terjelek 2009" dan "5 Album Terbaik 2010". Ini saat media musik lain seperti Rolling Stone sedang asyik menuliskan album terbaik sepanjang tahun. Dasar bajingan, tulisan ini sungguh tidak punya bobot objektivitas. Murni subjektivitas seenak udel Nuran, dan seenak jembutnya mengata-ngatai album dari Asbak Band, Ungu, The Harry Potters, The Bagindaz, dan band lain yang sama menye-nya. 


Saya yang baru berkenalan dengan Rolling Stone kisaran tahun 2011, jadi agak terganggu. Pikir saya, jurnalis atau penulis musik harus muluk-muluk. Harus pintar seperti Hasief Ardiasyah atau Wening Gitomartoyo. Pintar di sini dalam artian terkesan intelek, cenderung snob, dan punya milyaran referensi musik keren seluruh planet. Tapi sesudah baca Nuran di JakBeat, saya pikir penulis musik bisa ngehek juga. Bisa seenaknya juga. Tulisan-tulisan Nuran-lah yang kemudian memicu saya untuk mulai menulis juga. Patokan saya turun drastis. Nuran begitu seenaknya dan peduli setan: semua karya jelek ya jelek, dan dia tidak sungkan untuk menghina (saya bahagia dia mencaci-maki Ungu). Dan itu lebih terasa fun, menyenangkan. Memang kadang Nuran menghasilkan tulisan yang lebih berbobot, misal saat menulis tentang The Doors dan 'hair metal'. Tapi nuansanya sama: ringan dan asyik. Tidak membuat kepala terlalu banyak berpikir, malah ingin segera mencari band atau lagu apa yang menurut Nuran bagus. Bukankah begitu tujuan menulis musik? Saya lalu menyadari satu hal: tulisan Nuran menyenangkan karena dia hanya menulis tentang band-band yang dicintainya. Tulisan musik yang hidup erat kaitannya dengan selera. Dan saya setuju itu. Alhasil, tulisan Nuran di blog-nya atau JakBeat, jadi salah satu pemicu saya untuk membuat zine perdana.


***
Zine perdana saya adalah kumpulan tulisan anak muda sok pretensius yang sok mahir bermain alat musik dan sok idealis ingin bikin band yang super-duper hipster dan sok menolak selera kampungan macam screamo, tapi akhirnya gagal dan membusuk bersama dua edisi Rolling Stone dan lembaran-lembaran zine milik abang saya yang diperam sejak tahun 2000-an. Zine yang berani-beraninya dan dengan pedenya menjuluki diri sebagai digital rock zine (karena diproduksi pdf), dan total terpengaruh zinemaker asal Bandung Jiwa Singa (produsen Nobody Zine), tapi dengan gaya tulisan yang alamak sok cerdas dan berlipat pedenya. Patokan saya: Nuran Wibisono. Zine bernama Throwzine ini berhasil mewawancarai band lokal, dan seakan-akan dalam pandangan saya sudah jadi zine rock professional yang bisa membuat goyah Jann Wenner. Bangsat, saya terkikik saat mengingat ini. Atas jasa-jasa Nuran-lah saya berani menulis di media sendiri, dan akhirnya memberanikan diri mengirim naskah ke JakartaBeat. Saya kelas tiga SMA waktu itu, dan tiga tulisan tentang Green Day yang saya tulis, yang saya anggap punya kelas seperti Rob Sheffield atau David Fricke di rubrik review Rolling Stone, yang saya pikir akan mengubah dunia, semesta, dan jadi sejarah di jurnalisme musik, ternyata hanyalah seonggok sampah yang mungkin tidak dilirik oleh Phillips dan Taufiq, editor JakartaBeat. Tulisan yang kalau saya baca ulang sekarang, akan terlihat memalukan dan tolol, sok elitis dan sok punya selera musik bagus. Brengsek benar. Saya sudah melangkah terlalu jauh dari apa yang diterapkan Nuran: kesederhanaan dan ringan. Tiga tulisan tadi kemudian masuk di zine saya yang kedua, yang entah apa namanya (saya memutuskan tidak pakai nama Throwzine lagi), tapi tidak lolos kurasi JakBeat membuat saya sedikit sedih dan hampir patah arang. Apa kurangnya? Lalu saya memutuskan berhenti menulis sejenak, dan mengamati gaya-gaya penulisan tabib-tabib jurnalisme rock. Tidak ada yang lain lagi: blog Nuran Wibisono jadi tujuan akhir.

Sebelumnya, saya mengamati tulisan Taufiq Rahman yang sangat-sangat bagus, dan saya langsung menyerah. Saya tidak punya kecerdasan kritis macam Taufiq untuk hasilkan tulisan bermutu seperti itu. Otak saya masih sangat kurang. Lalu Ady Renaldi (di saat dia menulis tentang hubungan album Taring Seringai dan dihubungkannya dengan logical phallacy atau apalah), saya malah tidak nyambung. Saya ingin belajar dari pengisi kolom JakBeat tapi mengapa tidak ada yang bisa saya cerna dengan baik. Apalagi Arman Dhani. Saya menyerah dan akhirnya membuka lagi tulisan mahaguru utama saya: arsip tulisan Nuran Wibisono di JakBeat dan blognya saya babat habis--semua tulisan, tanpa kecuali, termasuk puisi lucu-lucuannya. Tanpa disangka, ada satu tulisan yang menginformasikan tentang pemesanan buku. Di situ tertulis nomor rekening Nuran, dan nomor ponselnya.

Aunnurahman Wibisono - 08xxxxxxxxx

Fuck! Tanpa tunggu esok pagi saya langsung SMS si mahaguru. Basa-basi dan akhirnya mengakui: tulisanku nggak diterimo JakBeat, mas. Lalu Nuran menjawab singkat: kenapa kamu kok pengen nulis di Jakarta Beat?

Saya tidak tahu. Betul-betul tidak tahu. Nihilisme tulen. Saya merasa hanya menulis karena ikut-ikutan review keren Rolling Stone saja. Padahal saya tahu, jadi keren tidak bisa hanya dengan ikut-ikutan. Sejak hari itu saya mulai berpikir kalau tulisan musik harus punya nyawa. Nuran bisa menulis 'hair metal lebih baik dari grunge' karena dia mungkin kesal atas kehadiran Nirvana yang menggeser dominasi Guns N' Roses. Taufiq mungkin kesal pada Phillips yang menganggap Nevermind The Bollocks sebagai album punk terbaik, bukan Marquee Moon dari Television. Semua penulis punya kekesalannya masing-masing.

Saya akhirnya merasa tulisan saya kurang satu hal yang amat sangat penting: kegelisahan. Ini membuat tulisan saya kering, kosong, hanya berusaha meng-keren-kerenkan kata, menyamakan rima, mengutip diksi-diksi keren as fuck untuk gambarkan jenis musik. Tidak ada isinya. Hampa tanpa gagasan.


***



Nuran duduk di sebelah saya. Di sampingnya ada Ayos Purwoaji. Sementara di depan kami ada beberapa orang yang punya minat sama: menulis musik. Salah satunya Kharis Junandharu dari Silampukau. Ini hari Minggu di akhir bulan, di luar mendung. Kopi dan snack disediakan Mbak Yuli penjaga C2o, untuk disambi sembari diskusi. Ini seperti hal yang sureal: kamu duduk di sebelah penulis yang membuatmu ingin menulis musik, dan saat ini kamu dan dia menjadi pembicara untuk diskusi menulis musik. Saya mewakili Ronascent--webzine musik indie lokal tempat saya menghabiskan waktu beberapa tahun terakhir, sementara Nuran membawa buku terbarunya: 'Nice Boys Don't Write Rock N' Roll'. Saya didapuk untuk menanggapi tulisan Nuran, dan sedikit berbagi tentang jurnalisme musik. Saya tidak tahu apa-apa, masih bodoh. Tidak punya draft atau bahan apapun untuk dibawakan. Saya tidak tahu teori menulis musik yang baik dan benar. Selama ini di Ronascent, saya selalu menulis untuk senang-senang: tidak bertendensi apapun. Saya menulis suka-suka belaka. Tanpa tuntutan profesi. Inilah yang jadi bahan bakar saya untuk selalu menghubungkan naskah musik dengan kegelisahan. Ini nikmat. Saya suka mendengarkan musik, dan saya kadang muak dengan dunia. Saya menulis kegelisahan itu, dan hubungannya dengan musik. Saya malas dengar band-band sok pretensius dan jelek seperti Foster The People, dan saya menuliskan semuanya di saat semua orang menganggapnya sebagai jenius tiada tara yang berhasil bla-bla-bla fuckin' psychedelic! Saya bisa bicara bersama Nuran, justru karena membaca tulisan-tulisan Nuran.

Saya sendiri agak lupa sudah mengobrolkan apa saja, pun juga petuah-petuah Nuran yang malam itu lebih banyak guyonnya. Pembahasan agak melebar ke arah bisnis musik dan era musik digital tapi bisa diantisipasi dengan baik oleh moderator. Satu yang saya ingat: ini adalah malam yang menyenangkan. Sesudah satu jam lebih kami membahas jurnalisme musik dan hal-hal di sekitarnya, Ayos menyudahi diskusi dan mengadakan sesi tanda tangan. 

"Ke Biennale nggak? Ayok bareng, sama aku, Nuran juga ikut." ujar Ayos. Dia sebenarnya jadi kurator Biennale Jatim tahun ini. Di malam penutupan yang seharusnya dia wajib hadir, sahabatnya, Nuran Wibisono malah mendaulatnya jadi moderator diskusi. Pilihan yang mudah karena tentu saja Ayos memilih acara Nuran. Masih pukul sembilan. Penutupan Biennale mungkin tersisan dua jam lagi. Saya dan awak Ronascent segera meluncur ke Gedung Prabangkara, menyusul Ayos dan Nuran.

***

Saya langsung menghampiri Nuran yang duduk di joglo depan Prabangkara. Ayos hilang entah ke mana, menyusul si Kharis yang berlalu-lalang seenaknya saja tanpa seorang pun tahu dia dedengkot Silampukau. Musik DJ mengalun kencang dan brengsek. Apa-apaan. Kenapa di perayaan penutupan pameran seni ada musik EDM Party kencang bertajuk perform art? Saya tidak mengerti dan sekarang saya hanya ingin mengobrol lagi dengan Nuran. Sambil teriak-teriak karena saking kencangnya suara, saya bertanya beberapa hal. Nuran juga sambil teriak-teriak dan kadang mendekatkan mulutnya ke kuping saya, menjelaskan tentang suatu hal.

"Tirto buka lowongan reporter. Coba aja kali aja minat." Ujar Nuran. 

Saya berpikir keras, keluarkan rokok putih dan membakarnya. Saya belum tahu hidup mau dibawa kemana, tapi untuk ke Jakarta, saya rasa belum saatnya. Kami lalu membahas banyak hal lagi, diselingi musik disko yang begitu brengseknya. Bisa apa saya. Lalu datanglah pejabat-pejabat Ronascent: Rona Cendera - editor, dan Ian Darmawan, public relations (ya sebut begitulah biar kelihatan keren dikit). Saat keduanya datang, Nuran langsung menghilang, entah mencari Ayos atau Kharis. Saya dan kru Ronascent langsung menuju kantin di pojokan untuk pesan satu gelas kopi dingin pembunuh kantuk. Saat sedang membicarakan hal-hal remeh-temeh Nuran datang dengan muka kusut: Ayos tidak ketemu. Dia langsung duduk di sebelah saya, dan memesan Indomie. 

"Oh ini timnya Ronascent?" tanya Nuran. Kami sebagai penulis musik lokal merasa seperti ditanya oleh jurnalis hair metal legendaris. Sambil diselingi kopi, udud, dan gorengan, kami mulai membahas apa saja tentang media musik. Rona dan Ian juga berkali-kali bertanya, mumpung ada pakarnya.

"Sekarang susah. Media cetak sudah gulung tikar semua. Kemarin, Trax, HAI..." kata Nuran.

"Sayang banget, ya Mas. Trax lumayan keren sih isinya menurutku." ujar saya menanggapi.

"Iya, penyeimbang Rolling Stone lah ya."

"Haha, itu Trax langsung tutup habisnya Rio keluar ya."

"Rio? Oh, Rio Tantomo? Kon kenal?"

"Sempet beberapa kali ngobrol. Haha brengsek sih dia. Tapi bagus."

"Aku ndak kenal sih, cuman tau aja. Gonzo dia."

"Iya, nulis Burgerkill pakai ganja pas tur, eh Ebenz dkk protes. Pantes keluar tuh si Rio." saya tertawa.

"Lahyo, jarene rock and roll, metal, ditulis ora wani." Nuran juga tertawa sambil mengecap Indomie-nya.

Kami lalu membahas industri media lagi, yang makin hari makin ditinggalkan. Semua orang bisa menulis di akunnya masing-masing. Semua orang bisa bikin media sendiri. Di saat seperti itu, kami--yang semuanya jadi buruh media dan budak naskah--harus siap seandainya radio, koran, atau media apapun tempat kami bekerja mendadak tutup. Kelihatannya tidak mungkin, tapi apa salahnya siap-siap. Sejumput rokok kami bakar--kecuali Nuran--untuk membunuh perasaan ini. Kami sudah terjerumus dalam media, wartawan, jurnalis: dan seperti kata Sudjiwo Tejo; sekali kamu jadi jurnalis, kamu tidak bisa meninggalkannya, seumur hidup. Jurnalis itu candu.

"Wis rek, mbayare iki ae." ujar Nuran yang berdiri dan serahkan sejumlah uang pada penjualnya. 

"Arek-arek kabeh, totale pinten?"

Kami hanya cengar-cengir. Dalam hati sedikit menggumam: ini penulis hair metal paling membumi dan murah hati yang ada.

Thanks, Mas Nuran Wibisono. See you next time!

Monday, January 1, 2018

Semenit Sebelum 30: Sebuah Pengantar

Oleh: Bili Sayuti*



Malam belum betul-betul dingin saat pesan pendek--atau lebih cepatnya WhatsApp--dari mahasiswa saya membuat saya sedikit kaget dan mendelik. Tito Hilmawan, mahasiswa yang pernah saya ajar setengah semester di Fakultas Bahasa dan Seni Unesa, mengaku sudah menulis novel. Saya mendelik bukan dalam artian novel itu begitu monumental melampaui Tere Liye, wong saya juga belum baca. Juga bukan dalam artian novel itu jeleknya minta ampun melampaui Tere Liye, wong saya--sudah saya bilang sebelumnya--belum mbaca sama sekali. Jadi kenapa saya mendelik kaget mungkin karena saya belum update Grab Taxi di Galaxy Note baru saya--iya baru beli. Jadi tiba-tiba ada notifikasi kalau aplikasi butuh pembaruan. Atau mungkin karena--kembali ke awal--Tito Hilmawan, mahasiswa saya mengabari saya dengan bahasa yang lincah dan tergesa-gesa, khas anak milenial yang doyan dianggap gesit, kalau dia bikin novel dengan tokoh utama seperti nama saya.

Sebagai dosen pengampu mata kuliah penulisan kreatif antara tahun Januari sampai April 2016, saya sudah menyadari potensi seorang Tito. Bukan potensi dalam hal penciptaan karya yang indah sekaligus busuk luar biasa seperti Tere Liye (saya mungkin bisa dipidana atas statement barusan), bukan juga dalam hal apapun tentang sastra super idiot, idiot, jenius, dan super jenius (empat tingkatan sastra menurut saya, ada dalam buku Sastra Mukjizatku yang saya tulis kisaran tahun 2001 silam tapi tidak laku karena dianggap buku rohani), tapi Tito berpotensi membuat hal-hal yang bebal.

Tito ini sempat menolak mendalami sastra, begitu pengakuannya saat mengajak ngopi saya di sore yang cerah-secerah-cerahnya, di Warkop Klutik Lidah Wetan. Begitu kurang ajarnya mahasiswa bau kencur mengajak seorang dosen untuk ngopi di warkop pinggir jalan. Tito yang awalnya ingin menggali ilmu dan pengalaman saya, justru seperti keasyikan membagi kisah hidupnya yang muram dan tidak baik-baik amat. Saya berusaha tidak peduli kisahnya tentang perempuan karena hanya berisi hal-hal receh, atau mungkin di beberapa nama agak terlalu berat dan terlalu privasi untuk disebar.

Tito mengaku sudah ngebet jadi penulis sejak dia mulai membaca Rolling Stone. Saya sedikit heran kenapa dan bagaimana seorang manusia bisa begitu biadabnya sampai yang menginspirasinya menulis bukanlah Shakespeare atau Hemingway, tapi malah David Fricke atau Lester Bangs. Saya tidak mengerti pola pikir seperti itu sampai akhirnya saya tahu, saat Tito semester empat, sewaktu saya belum dipercaya Kajur untuk memegang mata kuliah dan hanya jadi asisten dosen yang makan gaji buta: Tito ini bodohnya minta ampun soal sastra. Ini makin bikin saya geleng-geleng kepala. Kelakuan mahasiswa macam apa yang ingin jadi penulis fiksi tapi belum baca karya-karya hebat dunia. 

Tito kemudian memberi saya beberapa kertas bekas (yang sungguh bobrok dan tidak bisa digambarkan keadannya), lusuh dan fotokopian. Saya ingat betul kertas itu ketinggalan di Klutik karena memang saya tidak tahu kalau itu nantinya bisa berguna, dan memang tidak ada gunanya. Tito - si pemberi kertas bekas cebok, menyatakan kalau kertas itu berisi karyanya. Dia menyebutnya sebagai zine (kalau saya tidak saya tulis). Dia seperti melawan sastra itu sendiri tapi tidak keren, cenderung goblok dan saya memandangnya hanya pemalas tukang tidur saja. Sesudah mengambil kretek saya dari meja, saya hanya mengambil kertas karyanya dan membolak-baliknya, terlalu malas berbasa-basi sore itu, apalagi cangkir kopi gelas potel itu tidak kunjung dingin. Asu. Saya lalu memberinya beberapa wejangan, lalu menyamakan persepsi tentang apa sebenarnya yang diinginkan bocah tengil ini. Dia mengajak saya berdikusi dan mengumbar cita-citanya jadi penulis fiksi, tapi karyanya hanya bungkus gorengan semacam ini? Saya bisa saja mengusap tangan sisa minyak goreng saya ke kertas itu, tapi tidak kuasa karena dia begitu berapi-api.

Tito terus berkata zine, zine, zine, zine. Bebas, bebas, bebas, bebas. Free, fuck copyright, whatever, rock and roll, remeh-temeh tai kucing lainnya. Di depan muka dosennya sendiri. Biadab benar. Saya semakin tidak mudeng. Satu yang saya pahami, seorang penulis fiksi harus bikin buku. Titik. Saya puritan. Bukan nulis di sobekan kertas, atau majalah sekalipun. Tito lalu memamerkan blognya (mungkin tulisan ini akan dimuat disitu juga), tapi saya ogah membacanya, Bagaimanapun, Pramoedya Ananta Toer terkenal justru karena dia bikin buku, bukan nulis di Wordpress. Atau seheboh-hebohnya blog Raditya Dika, ia akan tetap dipandang sebelah mata kalau buku Kambing Jantan tidak terbit (bangsat lihat sekarang nasibnya). Tapi Tito keukeuh dengan jalannya. Ia terus baca majalah musik kapitalis, kecanduan, dan jadi goblok sendiri karena doyan habiskan waktu berjam-jam berburu album gratisan. Dasar miskin. Dia mau jadi penulis atau anak band. Satu lagi aktivitasnya adalah dia doyan menulis musik, di media-media lokal yang kecilnya minta ampun. Saya tidak tahu faedahnya apa bagi seseorang yang bercita menulis fiksi seperti Tito.

Awal kenal Tito terjadi saat saya dipercaya mengajar (walaupun saya mundur beberapa bulan sebelum UAS). Saya dipercaya menggantikan Pak--(saya tidak bisa sebut namanya di sini karena ada sedikit ketegangan pribadi) yang sedang ada urusan di Kyoto - Jepang. Saya mengajar mata kuliah Penulisan Kreatif sekitar empat bulan. Di situ saya tahu kalau anak-anak sastra angkatan 2013 kebanyakan gobloknya minta ampun. Bahkan yang bisa disebut pintar pun sebenarnya bodohnya amit-amit di mata saya. Bagaimana tidak? Anak sastra tapi tidak ada yang sastrawi. Membuat puisi seperti jadi hal yang mudah, lalu hasilnya kacangan. Mana prosesmu, mana mata kurang tidurmu, mana perjalananmu untuk hasilkan karya tulis, karya sastra. Semuanya terlihat tolol di mata saya, apalagi gerombolan biadab yang duduk di bangku belakang: Tito dan Rozzak. Ada satu lagi anak laki-laki tapi saya tidak hafal namanya. Tapi melihat mukanya sebentar saja saya tahu dia ini sama gobloknya. 

Perkenalan dengan Tito tentu saja terjadi saat saya mengajar. Saya bertanya dengan serampangan, menunjuk dua anak yang terlihat ngantuk, ada di pojokan seperti sedang nonton bokep dari ponsel. Brengsek. Satunya malah pakai headset di telinganya. Tito seperti kelimpungan, megap-megap, dan bertanya: 'aku ta yang ditanya?' Ini anak benar-benar jancok maksimal. Sudah celananya robek parah, dan kelihatannya tidak pernah dicuci. Teman-temannya yang ditanya Tito aku-ta aku-ta tadi juga kelimpungan, panik. Belum pernah saya menemukan kelas sesopral ini. Maafkan bahasa saya yang kurang mengindahkan tata krama. Tapi saya sudah resmi tidak jadi dosen, jadi bebas misah-misuh seenaknya. Saya lupa bertanya apa ke Tito--pastinya pertanyan mudah. Tapi jawabannya bikin mendelik: begitu koprol dan tidak penting sepanjang masa. Bahkan indra pendengaran saya harusnya tidak mendengar pernyataan tidak berkualitas semacam itu.

Lalu sesudah kelas yang berantakan, saya masih duduk di meja, entah malas sekali untuk sekadar melangkah ke luar pintu. Saya agak sedikit pusing entah karena kebanyakan kopi atau jawaban tahi kucing Tito tadi. Brengseknya saat saya duduk, mahasiswa saya justru pada pulang duluan! Mana sopan santun sebagai anak didik. Saat saya mengumpat dalam hati itulah muncul sosok Tito di hadapan saya. Saya bingung, dia kelihatan seperti campuran orang belum mandi, baru saja kumur benzoat, atau habis giting kemarin malam. Tanpa diduga dia mencium tangan saya. Tindakan yang sopan benar. Tapi sesudah itu langsung mengajak saya ngopi. Tindakan yang kurang ajar benar.

"Saya ingin berguru, pak." Ujar Tito. Saya melihat arloji. Istri saya baru pulang jam tujuh nanti. Baiklah, tidak ada salahnya ikut bajigur ini. Dari situlah dimulailah kedekatan saya dengan Tito. Sampai akhirnya disuruh memberi komentar pada draft novelnya yang belum selesai, dan masih teramat panjang untuk mencapai garis akhir. Saya sebenarnya sudah menolak permintaan Tito, karena saya diharuskan menuliskan komentar untuk ditaruh di blognya. Saya lebih suka cerewet dan mengobrol. Tapi setelah saya membaca kalau tokoh utama dalam draftnya pakai nama saya tanpa izin (baru izin setelah beberapa hari minta tolong, dengan alasan lupa), maka sebagai beban moral saya turuti permintaanya.

Tapi saya juga kaget sesudah Tito bilang kalau draftnya sudah diposting di salah satu platform online. Bebas diakses siapapun dan kapanpun, bebas dicaci-maki. Kalau penulis lain simpan draftnya rapat-rapat sebelum dicetak dalam bentuk buku, Tito malah dengan entengnya membiarkan semua orang bisa membaca karya-karyanya yang cenderung urakan dan tidak beraturan.

(bersambung)
***
*Penulis adalah dosen mata kuliah penulisan kreatif saya tahun lalu. Sekarang, Pak Bili berdomisili di (entah, saya disuruh merahasiakannya), bersama istri tercintanya. Sedang selesaikan buku kumpulan puisi terbarunya. Untuk draft novel yang dimaksud Pak Bili, bisa dibaca di sini: