Wednesday, May 16, 2018

Bagaimana Jajan Rock Mempengaruhi Hidup Kita?

Lebih bernilai mana kaus Joy Division atau My Bloody Valentine? Tape Utopia dari Pure Saturday atau Rumahsakit? Plat Badai Pasti Berlalu atau Guruh Gipsy? CD album terbaru Taylor Swift atau Coldplay? Susah kalau perkara selera. Apalagi hasrat untuk jadi hipster kadang membuat selera jadi terkotak: harus cult, indie, menyimpang: apapun yang disuka arus utama, kita sebisa mungkin harus menghindarinya. Mau tidak mau ini berpengaruh pada hasrat belanja. Tapi musik memang sebegitunya. Memaksa kita keluarkan duit tidak hanya untuk nada dan irama: kaset dan sejenisnya. Musik juga bisa dipakai, dalam pernak-pernik merchandise: kaus, bracelet, sampai gantungan kunci. Beberapa tahun terakhir ini, beberapa penerbit juga mulai rilis buku-buku musik. Musik bisa dibaca. Elevation Records, label milik Taufiq Rahman penulis musik kesayangan kita semua—meluncurkan divisi ‘usaha kecil menengah’ bernama Elevation Books. Jadi gebrakan lewat kumpulan esai musik karya Taufiq, disusul kumpulan tulisan Herry Sutresna aka. Morgue Vanguard aka. Ucok Homicide – legenda hip hop yang doyan menuliskan musik secara personal. Apalagi layanan musik streaming seperti Spotify, yang harus dipaksa premium supaya bebas iklan. 50 ribu terlalu mahal untuk sealbum penuh A Moon Shaped Pool plus jutaan lagu streaming lain? Atau bagaimana dengan tiket konser—yang kini makin mudah karena bisa dipesan virtual. DWP sudah jadi rutinitas, gigs-gigs kampus pakai band lokal juga sudah ada ticketing, apalagi tur dari band-band rilisan Kolibri atau label-label luar kota yang ajaib.

Ini tidak bisa dibiarkan. Mau sampai kapan isi dompet kita dikoyak segala pernak-pernik musik?

Mungkin ada frase ‘jajan rock’—sebagai istilah belanja musik entah itu tape, CD, plat, sampai kaus band. Kamu tidak harus mengerti frase itu buat njajan. Apapun motivasinya, musik mungkin sudah jadi semacam candu yang terlalu seru untuk tidak diusahakan. Kamu butuh, tidak hanya ingin. Hasrat yang menggebu-gebu untuk tidak beli vinyl Rajasinga atau Taring-nya Seringai edisi splatter vinyl, bisa disesali seumur hidup kalau tidak dituruti. Kamu ingin benar-benar menikmatinya secara maksimal, dengan pemutar musik terbaik. Kaus juga harus original merchandise, tidak boleh premium murah. Pengorbanan bukan hanya sebagai bentuk dukungan pada musik dan musisi. Tapi lebih pada kenikmatan pribadi.

Beberapa orang bertanya ‘ngapain beli tiket konser mahal-mahal, pakai kaus band cotton 30’s mahal, beli vinyl di eBay, bla-bla-bla, sebenarnya mencari apa sih?

Karena sesungguhnya manusia tidak pernah puas. Dan kepuasan dari musik, selalu harus diperjuangkan.

Kaus Band
Banyak band di Surabaya sudah mulai produksi kausnya sendiri. Ada yang jadi barang buruan seperti kaus Si Pelanggannya Silampukau. Atau kaus Timeless dengan font album Beetwen And Beyond. Beberapa merasa ini perlu dibeli untuk mendukung eksistensi band. Tapi lebih dari itu semua, ini juga bukti betapa cintanya kita pada musik. Musik tidak hanya nempel di kuping, tapi juga di badan dan kulit. Kurang cinta apalagi coba? Kita serahkan jiwa raga kita pada musik, karena kita sadar begitu banyak peran musik di hidup kita.

Plat
Plat bukan hanya untuk orang-orang berdoku dan tua. Ini masalah kualitas dan kamu lebih baik kembali ke klasik. Lebih baik menabung tidak apa-apa, beli plat dulu turntable-nya menyusul. Mungkin event Record Store Day bisa jadi awal yang bagus. Ya beli plat-plat empat ratus ribuan dari album-album top 40’s yang keren boleh juga dicoba. Lalu sesudah kamu mengerti ada banyak ‘suara lainnya’ yang bisa terdengar lewat layer-layer tersembunyi dalam lagu, kamu akan semakin mengerti bedanya headset 18 ribuan dengan turntable. Plat punya perbandingan 1:2 dengan rekaman di studio. Turntable mahal ya? Pikir ulang dulu rencana nikah pakai resepsi di gedung, lebih baik buat beli turntable, sisanya buat beli mobil sport. Boleh jugalah.

 CD/Tape
Tape dulu baru kemudian CD. Tape menurut banyak orang lebih romantis, tapi beberapa orang lebih memuja CD. Semuanya tergantung selera masing-masing—dan di zaman apa kita bertumbuh. Sebagai genarasi mp3 mungkin memuja Spotify tidak kalah romantis. Apapunlah buat konsumsi musik. Kita tidak tahu mau jadi apa umat manusia kalau tidak ada benda bernama album. Mau jadi apa malam gelap gulita tanpa Mellon Collie and Infinite Sadness? Mau jadi apa anak-anak muda yang terasing di kelas tanpa Nevermind dan In Utero. Kebanyakan—atau mungkin semua orang punya utang budi pada tape atau CD. Termasuk audio mobil butut ayahmu yang doyan memutar sealbum penuh Sgt. Pepper-nya The Beatles dalam perjalanan mengantarmu ke sekolah.

Buku
Ini tidak kalah pentingnya, dan mungkin perlu diusahakan. Beberapa dari kalian mungkin bingung cari dimana buku rilisan Continuum: 33 1/3 karangan Mike McGonigal. Buku itu membahas semua album yang mungkin pernah masuk kuping kalian, secara berkelas. Kalau lewat eBay atau Amazon terlalu asing dicoba dan Bahasa Inggris kalian tidak bagus-bagus amat, mending mulai baca Setelah Boombox Usai Menyalak karya Herry Sutresna, atau Nice Boys Don’t Write Rock And Roll-nya Nuran Wibisono yang rilis tahun ini. Seperti kata Erie Setiawan musikolog Jogja: teks musik membantu lagu atau album, mengatakan apa yang tidak bisa dikatakan lagu dan lirik. Bacalah!

Tiket Konser
Karena musik gratisan berarti tidak segmented dan akan ada banyak penonton non-penggemar yang nonton hanya untuk eksis belaka. Pernahkah kalian merasakan sensasi teriak koor massal saat intro bas lagu I Wanna Be Adored dimulai?  Kalau belum, buka website The Stone Roses, cari kemungkinan kapan mereka Reuni lagi, segera booking tiket. Ya, semoga harganya tidak separuh gaji kalian ya, wahai kelas menengah.

Naskah nan slebor ini pernah dimuat di Majalah SCG.

Deathwords – Abandon The Truth: Jenuh dan Terasing Dalam Buram Hitam Putih


Kita sering merasa terasing tanpa tahu apa itu keterasingan; Marx menjelaskannya dengan agak bertele-tele dan mungkin bagi saya yang berotak di bawah rata-rata ini cukup membingungkan: manusia terasing dari dirinya sendiri, akibat dari sistem kapitalis yang membuat manusia bekerja agar tidak kelaparan. Bla-bla-bla selengkapnya bisa baca Manifesto--atau sekalian Das Kapital. Tapi kamu bisa sedikit-sedikit belajar soal keterasingan dalam video klip baru Deathwords; unit brutal stoner (begitu saya menyebutnya), berisi sobat-sobat SMA saya yang sejak dulu jadi begundal. Kita digiring di situasi hitam putih: buram dan agak sedikit menyeramkan. Kota Malang, tempat klip itu diambil, terasa seperti Norwegia, atau kota di negara Eropa yang jadi tempat kelahiran Black Metal. Padahal hanya menyorot sisi paling remeh dari Pasar Besar Malang, sampai daerah Kayu Tangan. Keterasingan dalam klip bisa dilihat dari kusamnya Converse punya Iqbal--si vokalis dengan geraman mematikan--lalu angan kita secara otomatis memasuki situasi nihil. Bocah bahagia bermain ayunan tampak kelabu; mendung dan melankoli. Jerit-jerit Iqbal yang ditampilkan berjalan di trotoar pertokoan menunjukkan sisi muram kota. Busuk dan tidak indah. Bagaimana Iqbal menyiksa pita suaranya diiringi berat knalpot distorsi Riki; membuat rasa tertohok dan meradang dalam satu paket. Malang kota hujan, tampak ortodoks dan ragu. Denging Tomi Iommi menekankan pengaruh Sabbath yang kuat. Klip mulai menggelinding menyorot aspal keras, dan jalan yang mulai penuh dengan hal-hal yang menggelisahkan. Meskipun sederhana, pikiranmu perlahan akan penuh deru. Seolah ada asap dalam hisap Marlboro yang tertelan dan masuk ke otak. Linu dan pegal, saya akui, tapi Deathwords sedang membangun nuansa. Split underground dengan Band Singapura tampak perlu digembar-gembor sebagai hal yang luar biasa; hanya saling berbagi keterasingan, kemuraman, kegelisahan--yang selalu ada di gang-gang kotor penuh kecoak, asbak yang selalu pekat terisi, got penuh kadal dan tikus coro: sudut suburb sebuah kota yang meskipun brengseknya minta ampun, tetap nyaman untuk ditinggali. Terbiasa dengan keterasingan, lalu sedikit-demi-sedikit mencicil kejenuhan dan lambat laun mencapai titik didih keputus-asaan. Mengutip Nietzsche: aku bukan manusia, aku dinamit. Lamat-lamat kita akan meledak sendiri. Meledek dan mengumpat pada hidup. Siaga pada kesedihan yang bisa datang dalam hitungan menit. Segaring Indomie yang kita makan mentah. Absurd, kosong, sekaligus renyah dan beracun. Mungkin keterasingan tiada peduli situasi apapun: ia bersemayam dalam pikir bawah sadar. Sistem pendingin dalam tubuh kita tidak berfungsi; seperti Malang yang semakin penuh, sesak, dan tidak bisa dinginkan panas kotanya sendiri. Deathwords menggambarkanya dalam klip berbudget rendah, tapi dengan kemasan yang mengena.

Tulisan sebelumnya dimuat di Wayward Online Magz.

Saturday, May 5, 2018

Merayakan May the Fourth Be With You

source: wilx.com
Demi memperingati empat Mei alias Star Wars Day, saya baru saja mengkhatamkan The Last Jedi via situs streaming gratisan. Saya memang bukan penggemar Star Wars yang taat, malah kadang sering lupa jalan cerita dan nama tokohnya. Tapi secara garis besarnya, saya tentu ingat karena sejak usia dini sudah dicekoki hal macam beginian via VCD rental. Star Wars Episode IV sampai VI sudah pernah saya tonton kira-kira di usia sebelum sekolah dasar. Membuat saya sempat trauma dan ketakutan pada sosok Darth Maul yang muncul di Phantom Menace. Sekuel selanjutnya, I sampai III sempat saya tonton di ANTV di hari-hari kecil saya. Meskipun sempat lupa dan harus menontonnya kembali saat kuliah; khusunya di 2015 akhir saat Star Wars Episode VII The Force Awakens membuat ramai jagad raya. Saya yang sudah lama menimbun memori perang bintang mau tidak mau harus menggalinya lagi. Alhasil, saya sudah menemukan titik terang dan jalan cerita yang jelas, seiring kedewasaan pikiran. 

Star Wars memang menarik dan pantas ditonton meskipun saya bukanlah fans yang terlampau fanatik. Tapi memang manusia yang belum pernah menonton Star Wars seumur hidupnya sama saja seperti mengkhianati budaya pop; keterlaluan, kemana saja kalian selama ini? Lalu tibalah saatnya saat trailer The Last Jedi meluncur dan saya sungguh tidak sabar menunggu natal tahun lalu, saat film diputar serentak di seluruh bioskop kesayangan Anda. Tapi nyatanya hidup adalah sekumpulan tai kucing yang menyebar di jalanan; bisa terinjak tanpa diduga. Adaptasi dengan waktu kerja dan ketidaksesuaian agenda dengan pacar--rekan nonton waktu itu--membuat saya menunda-nunda terus menonton pemutaran The Last Jedi ini. Alhasil saat niatan untuk menonton mulai terlupakan karena banyaknya kesumpekan hidup, termasuk bertengkar dengan pacar dan remeknya badan di awal bekerja, The Last Jedi sudah hilang dari peredaran. Saya menggoblok-goblokkan diri karena menonton Star Wars memang punya kesenangan tersendiri; terutama saat bersama dengan fanatik Star Wars yang kebetulan menonton. Ada hawa-hawa nostalgik saat soundtrack John Williams berkumandang di pembuka; ada rasa haru, ingatan kolektif masa kecil. Seperti saat saya menyaksikan langsung saat pemutaran The Force Awakens--film Star Wars pertama sesudah sekitar sepuluh tahun penantian. Kemunculan Han Solo dari Millenium Falcon disambut riuh penonton, bahkan ada yang bertepuk tangan. Momen seperti ini sangat jarang, meskipun kadang bisa dijumpai di film yang punya banyak massa; seperti sekuel Marvel atau DC. Tapi saya tidak bisa merasakan momen itu di The Last Jedi, yang kabarnya jadi sekuel terakhir Star Wars. Dan saat perayaan May the Fourth inilah saya seperti diingatkan kembali untuk menamatkan Star Wars. Hasilnya adalah streaming via komputer kantor selama dua jam setengah, lalu teka-teki serta rasa penasaran saya hilang sudah.

Walaupun sangat telat, izinkan saya bercerita sejenak. The Last Jedi dibuka dengan adegan di luar angkasa; baku hantam antara First Order dan Pemberontak. Aksi sudah dimulai sedemikian dini. Tidak ada nafas yang terbuang sia-sia karena ketegangan di film ini bisa muncul di adegan hening sekalipun; saat Rey bertemu Luke Skywalker di suatu tempat indah nan antah berantah. Banyak spekulasi bermunculan yang akhirnya berbelok tajam; semacam twist yang tidak akan terduga oleh penebak manapun. Teka-teki siapakah Rey akhirnya terjawab. Alasan Luke memilih sembunyi juga bisa diterima nalar. Selebihnya adalah hal-hal mengejutkan lain yang berpotensi jadi spoiler saat saya ocehkan di sini.

Tapi toh mungkin semua sudah nonton The Last Jedi, jadi istilah spoiler tadi sepertinya tidak relevan. Intinya yang paling menarik adalah pertemuan Rey dan Kylo Ren (Ben Solo) via Force, yang saling melempar pengaruh dan kekuatan. Juga pertemuan sekaligus duel terakhir antara Luke Skywalker, ksatria Jedi terakhir, dengan Kylo Ren, anak cucu Darth Vader. Nafas dibuat berhenti saat menyaksikan film yang katanya jadi akhir dari Star Wars. Meskipun kita semua tahu pada akhirnya kalau tiga sekuel lanjutan akan segera diproduksi. Ini berarti The Last Jedi bukanlah sekuel terakhir. Tebakan kalian salah semua. Tapi masih mending daripada saya yang telat menonton dan baru bisa menjawab semuanya, saat dunia mulai disibukkan dengan spoiler Infinity War. Karena itu saya ingin membagi satu spoiler penting kalau di The Last Jedi, Jenderal Snoke, pak tua pimpinan First Order, tewas dibantai Rey, dan nasib Luke Skywalker... silahkan tebak sendiri.