Thursday, July 19, 2018

Menyembah YouTube

Pertanyaan pertama, mengapa manusia harus bekerja. Pertanyaan kedua, mengapa saya mempertanyakan pertanyaan macam pertanyaan pertama. Pertanyaan ketiga, bisakah saya berhenti ngedumel?

Ringkas saja. Ini hari jelang pukul sembilan malam. Saya masih di kantor dan terkepung entah apa itu namanya yang lebih bajingan dari kebosanan. Brengsek. Tapi tahukah Anda bahwa internet selalu menyediakan caranya sendiri untuk menyelamatkan hidup. Tahu-tahu saya sudah berada di YouTube--dengan mungkin milyaran orang yang juga mengakses situs yang sama. Bahkan mungkin pencarian yang sama. Lebih ekstrem lagi, video yang sama!

Luar biasa. Kita semua ternyata terkoneksi secara tidak langsung dengan YouTube! 

Ngomong-ngomong, gerakan self-healing di lingkungan pekerjaan yang membuat kita jadi batu, bisa dilakukan secara sederhana. Sesederhana membuka tab baru, mengetikkan platform video-sharing kesayangan, dan mulailah berselancar sampai mabuk.

Tapi apa guna link kalau tidak dibagi? Apa guna fungsi teknologi bernama hyperlink? Apa guna selera manusia kalau tidak dipamerkan? Maka dari itu saya berkenan membagikan sejumlah video yang saya putar random dan berurutan, dan saya harap kalian juga berkenan mengontak saya, membagikan video yang sekiranya bisa menyelamatkan hari-hari saya dari kondisi ekstra boring.

Deafheaven - "You Without End" (Full Album Stream)


Saya sedang berada tepat di samping editor musik kenamaan Surabaya saat memamerkan track ini kemarin malam. Dalam posisi rebah di waktu jelang hampir subuh hari dengan kondisi badan yang payah dan tenggorokan yang sengak kebanyakan nikotin, mendengarkan album baru Deafheaven adalah keindahan tiada tara. Kata Yang Mulia Editor: "Gini ini black metal? Yang bener?" Saya menanggapinya dengan semakin mengencangkan volume. Kemudian mengulang-ulang satu album Ordinary Corrupt Human Love di Spotify semenjak tadi siang, dan kembali mendengarkannya lagi di YouTube dengan komputer kantor yang sepertinya sudah sangat lelah. Satu pendapat saya: bagaimana mungkin sebuah album metal--ehm, black metal--bisa membuat perasaan saya perih dan tiba-tiba ingin menitikkan air mata? Jawabannya: pemakaian kadar bumbu post-rock, emotive hardcore, dan shoegaze yang begitu proporsional. YouTube hanya selingan. Anda harus mendengarkan albumnya via pemutar yang lebih jernih.

PENDAKIAN GUNUNG KERINCI Part I - What's in My Bag #DindaDimana




"She's so cute i'm gonna die!" - tulis salah satu komentar di vlog perdananya mbak ini. Bener juga sih. Saking tidak fokusnya, saya bahkan enggak tahu Adinda Thomas ngomong dan menjelaskan apa saja, tahu-tahu video kelar. "Kak terbuat dari apa kok manis banget?" - komen selanjutnya yang saya baca--yang walaupun rada anjing tetap saya amini juga.

rumahsakit - Hilang - Lirik



Adinda Thomas mungkin adalah penggemar Rumahsakit garis keras karena menampilkan dua lagunya--satu lagu lama yang luar biasa mahadahsyat sampai level menyembah-nyembah, dan satu lagu barunya yang biasa-biasa saja--dalam vlog imut-imutnya di atas. Siapa bisa menahan godaan Dinda? Akhirnya saya menyerah dan mengikuti alur selera Dinda. Dan lagu luar biasa mahadahsyat sampai level menyembah-nyembah dan punya lirik yang beneran ikonik ini akhirnya terputar juga.

jangan biarkan aku jangan hilang, Mbak Dinda... 

Friday, July 13, 2018

Saat Pure Saturday Jadi Band Cover Nan Mengecewakan


Gigs kemarin memang jadi perjumpaan perdana saya dengan Pure Saturday. Band yang hanya menyisakan tiga personil asli ini (dengan tambahan Iyo yang sudah mengisi vokal di album Elora), punya tempat tersendiri dalam ingatan. Pasca patah hati luar biasa beberapa tahun ke belakang, album Grey jadi penyelamat dan salah satu pendorong saya untuk bisa menentukan sikap. Bahkan, tanpa tendensi berlebihan, Grey jadi pemicu saya untuk hidup kembali dan kembali hidup. Sayang seribu sayang, tidak ada satupun dari album Grey yang dibawakan di acara yang disponsori merek bir hitam ternama itu.

Bercerita Grey akan panjang dan mungkin bisa diceritakan lain waktu. Tapi saya ingin menekankan kalau penggemar PS pasti punya satu album favorit, dan mungkin itu bukanlah Grey. Penggemar era lawas mungkin mencintai Utopia, Elora, atau Time For A Change. Semuanya bagus dan berkesan. Tapi di Grey, PS memainkan musik yang berbeda; melebur indie-pop dengan prog-rock. Analoginya; indie pop bisa dianggap musik kebun bunga yang indah mewangi, tapi prog-rock adalah hamparan langit yang gelap, panjang dan berliku. Seperti itulah Grey. Keputusan untuk tidak memainkannya membuat saya kecewa.

Saya datang di acara seorang diri. Siapapun yang saya ajak sebelumnya kemungkinan tidak mengetahui PS, dan saya mungkin hanya melakukan pemaksaan untuk sekadar menemani. Beruntung di sana saya bertemu Abraham Herdyanto dari Anti Warna Zine dan Ricky Mahardika dari unit space rock Dopest Dope. Mereka datang dengan alasan yang sama: PS punya tempat penting dalam perjalanan mereka menggilai musik. Pun juga saya yang selain ingin menggenapi gigs dari band yang belum sempat saya tonton, juga demi menjaga kenangan.

"Jancok sepi cok!" Kata Abraham sambil terus berjalan ngalor-ngidul kesana-kemari dengan rambutnya yang tergerai. Sementara Ricky lebih kalem. Frontman Dopest Dope ini sesekali mengangguk mengikuti tata suara sound yang lumayan bagus.

Dua sampai tiga lagu pertama PS adalah katalog lama. Katalog nostalgia. Mungkin diambil dari album Utopia. Selanjutnya saya hanya mencatat Pagi, Elora, dan Pathetic Waltz (porsi dengar saya pada lagu-lagu ini lumayan intens). Sekali lagi lagu dalam Grey tidak ada yang dimainkan. Padahal saya menantikannya.

Crowd yang sepi dan kurang apresiatif mungkin akhirnya membuat PS berinisiatif. Iyo membawa stand khusus tempat kertas lirik. Kemudian mulai membawakan kejutan--demi membuat orang-orang yang asyik sendiri menyesap bir sambil main PS di tengah gigs PS.

"Main Play Station sambil diiringi Pure Saturday. PS, diiringi PS." Ujar saya pada Abraham.

"Ya, ya. Lumayan lucu." Ujar si skeptis Abraham. Lalu dia menimpali.

"Sebenarnya PS ini influence-nya siapa sih!"

"The Cure." Jawab saya.

Abraham melotot. "Mosok?"

Lalu PS terdengar memainkan intro yang familiar. Oasis dengan Don't Go Away. Anjing, saat cover lagu orang, crowd malah terlihat menikmati. Mungkin karena tahu lagunya.

Karena crowd makin terlihat apresiatif saat cover song, PS sepertinya semakin tahu diri. Saya yang dalam hati berharap PS memainkan katalognya sendiri, dibalas intro lagu lain yang memang mungkin sudah diketahui khalayak. The Cure dengan Friday I'm In Love. Disusul intro sejuta umat yang sudah pasti membuat crowd bir hitam bergairah.

"Ini siapa sih? Lali aku."  Tanya Abraham.

"The Killers." Jawab saya. Dan Mr. Brightside yang legendaris itu berkumandang. Saya hampir putus asa karena PS memainkan lagu cover berturut-turut. Tapi di lagu cover terakhir, sedikit membuat saya salut.

"Eh! Iki opo iki opo? Lali aku." Tanya Abraham lagi.

"Regrets. New Order." Saya menjawabnya dengan hati agak sedikit senang karena lagu ini lumayan asoy geboy, meskipun dibawakan PS.

Abraham kemudian pamit kencing sementara saya dan Ricky sedikit bercakap-cakap.

Saya kemudian tahu gigs ini akan segera berakhir saat Kosong dimainkan. Ini jadi hits awal PS dan masih dijagokan sampai hari ini. 

Secara keseluruhan, saya belum puas. Apalagi ini gigs PS perdana saya. Kemungkinan PS juga baru pertama kali ini manggung di Surabaya. Meskipun pernyataan ini dibantah Abraham, dengan keraguan.

"Kayaknya pernah dulu buanget maen di sini. Kayaknya."

"Masak sih? Rumahsakit mungkin?" Jawab saya.

"Eh enggak ya! Rumahsakit 'kan main di Sunday Market pertama. 2013."

"Iyo. Vokalisnya masih Si Lemes. Sakjane nggak usah diganti yo Bram." 

"Yoi. Lemes enggak tergantikan."

"Walaupun ancur-ancuran dan fals nemen ya. Haha."

Pure Saturday, Rumahsakit, Themilo, semuanya grup indie-pop yang punya tempat tersendiri di hati saya. Meskipun mengecewakan, tapi gigs perdana PS saya akhirnya keturutan. Yang belum sekarang hanya tinggal Themilo dan Rumahsakit--meskipun vokalisnya sekarang sudah bisa bernyanyi.

Saturday, July 7, 2018

Tuan Marah: "Pekerjaan Ini Membuatku Alami Keterbelakangan Mental!"

"Di tengah hiruk-pikuk Piala Dunia yang membuat bumi seolah melambat dan lebih santai karena para manusia bisa asyik memantengi televisi sampai jelang subuh padahal besok kerja, aku terpuruk dan seolah berada di ambang batas kebosanan. Menonton pertandingan apapun--kecuali Spanyol lawan Rusia kemarin--belum ada yang membuatku berteriak wow dan melupakan gelapnya jiwa. Ah, aku memang Si Raja Sambat. Tapi apa kegunaan kau, sahabatku, kalau tak kugunakan menampung rewelan dan cerewetanku, tanpa perlu proses dan sok menasehati untuk bersyukur dan bersabar. Semua tukang ceramah adalah tai anjing ngentot babi yang tidak tahu apa yang sebenanya  kualami. Semuanya tidak jauh lebih baik dari gorong-gorong... ah sudahlah. Kenapa aku jadi semakin melantur dan mengata-ngatai orang begini. Kenapa juga orang-orang tidak ada yang mengerti aku. Melarangku sambat seolah-olah Mario Teguh hidup kembali dan memasuki pembuluh darah vena orang itu via dubur. Ah bangsat. Mengapa aku mengoceh. Mengapa aku ngotot. Mengapa aku jadi bangkai di tempat kerja yang hidup hanya demi perut dengan mata panas dan lelah, dingin AC goblok dan deru mesin ketik yang membuatku tertahan delapan jam sehari dengan alokasi 70 persen waktu berpikiran untuk terbang seperti burung, lepas ke alam bebas, melupakan hidup penjara yang no life dan anjing-anjing aturan yang mengharuskan kita untuk bersedih-sedih dahulu bersenang-senang kemudian. Goblok. Ini semua membuatku sedikit demi sedikit, alami keterbelakangan mental!"

***
Itu tadi adalah tulisan kawan saya, yang harus saya samarkan nama terangnya di sini dan bisa dipanggil Tuan Marah saja. Dia menuliskannya via WhatsApp--lagi-lagi dengan panjang sekali. Saya juga terpaksa memotong, mengedit, dan memperhalus beberapa bagian tulisan ini yang menyebut nama, instansi, atau kata-kata yang terlampau kasar. Pemuatan tulisan ini dalam blog ini murni karena apa yang dialami Tuan Marah ini, agak identik dengan apa yang saya dan ribuan pekerja lain rasakan. Saya berjanji pada Tuan Marah untuk membalas tulisannya ini di blog. Tapi karena kebingungan membalas dengan apalagi--jujur stok cacian dan umpatan saya untuk bumbu tulisan seperti tenggelam ditelan kejemuan pekerjaan. Jadi saya akan bagikan saja materi berat yang berpotensi membuat hidup makin ruwet dan semakin alami mental-breakdown. Atau bisa juga malah bisa melepaskan hormon kelegaan dari dalam diri kita; manusia-manusia pemalas yang diperas korporat sampai keluar ampas dan akhirnya melupakan diri sendiri karena harus melulu palsu di tempat kerja.

Materi berat yang saya maksud langsung teringat begitu saja saat Tuan Marah menuliskan 'keterbelakangan'. Segera saja saya mencari-cari album yang saya simpan di Spotify dan menemukan Tyranation, satu lagi mahakarya dari unit death metal bintang lima Deadsquad. Jujur akhir-akhir ini saya jarang mendengar lagu metal baru. Apalagi yang serapat death metal. Tapi Deadsquad memang punya pesona sendiri. Materinya sejak Horror Vision dilanjutkan Profanatik, selalu saya simpan dan putar. Tidak ketinggalan album baru Tyranation, yang digarap bersama musisi-musisi ternama, seperti Dewa Budjana, Andra Ramadhan, Coki Bollemeyer, bahkan Sudjiwo Tedjo untuk track pembuka berjudul "Jancuk." 

Album ini epik dan menggambarkan dunia pasca-apokaliptik yang tanpa harapan, gelap, dan kotor. Diksi Daniel Mardhany si lirikus sekaligus yang menggeramkannya memang tidak jauh berbeda dari lagu-lagu lain. Penuh benci, kesumat, dan kesakitan. Sangat relevan dengan kondisi Tuan Marah. Karena itu saya membalas gundah-gulana Tuan Marah tadi dengan "The Comfort Of Retardation"; track iblis mati yang mau tidak mau harus nyaman di dunia yang busuk dan alami keterbelakangan. Daniel menggeram: 

We still need an education
Teach us how to sold the world Teach us how to erase your soul Teach us how to kiss the fear!

Anjing Setan!