Sunday, May 12, 2013

Spenda: The Real School Of Rock

Jaman – jaman SMP adalah masa yang seru. Masa pertumbuhan, gaya berandal dan musik keras. Mendengarkan lagu – lagu rock bagus yang belum pernah saya dengar sebelumnya, meniru habis – habisan style mereka dan menjadi sedikit bengal dengan lirik usil mereka. Ya, saya mengenal dunia musik keras saat SMP. Sekolah saya waktu itu, SMP Negeri 2 Pandaan (disingkat agak terbirit – birit menjadi “spenda”) adalah tempat mana saya pertama kali merasa jatuh cinta dengan musik rock.  Lirik yang anthemic, nada yang mengusik serta embel-embel bising menjadi santapan empuk bagi telinga awam yang belum paham distorsi. Saya mengingat banyak aliran yang akhirnya saya tahu dan saya cintai hingga saat ini. Dan Spenda adalah School Of Rock yang sejati. Nu Metal, Heavy Metal, Punk Rock, Proggressive, Rock N’ Roll bahkan Grunge, adalah dosa bila kita tak menganutnya. Perkenalan akan dunia musik keras banyak dipengaruhi oleh kawan-kawan saya semasa SMP (thanks friend!). Berkumpul di pojokan kelas, mengencangkan volume hingga tinggi dan menyanyikan lagu kita bersama, “Sweet Child O’Mine”. Mungkin Axl Roses akan bangga, tapi Slash -yang kini jadi seteru Axl- adalah idola kami bersama.
Waktu itu dunia masih hitam dan putih, polos. Saya tak mengenal apa itu rock, punk, metal atau apapun itu saya tidak tahu. Saya adalah pendengar musik televisi dan radio, terlalu mainstream. Saya cinta musik sejak menjadi penggemar MTV dan pendengar setia radio musik yang entah saya lupa namanya. Well, MTV “gue banget” dengan Top 20 Chart wajib dimiliki lagunya saat itu, entah download, bluetooth atau bahkan merekam televisi. Memang di rumah saya terdapat banyak kaset rock, apapun, tapi saya masih tak paham. Dan SMP adalah embrio rock n’ roll saya yang paling signifikan dan berpengaruh.
Pengaruh pertama adalah Avenged Sevenfold. Heavy metal kenamaan asal Huntington Beach California ini membuat saya meledak lewat “Bat Country”. Sebuah lagu bak kelelawar menyeramkan hadir dan bising di pemutar musik saya setelah salah seorang kawan menulis liriknya di buku usangnya. Lalu bayangan akan musik “keren” mereka muncul saat teman-teman mendengarkannya bersama sambil ber air – guitar dan air – drum. Lima orang “pemecah kepala” nan buas, Matt, Syn, Zacky, Johny dan Rev memainkan musik di bawah pengaruh cheap beer a la California, dan mereka mulai membual musik heavy seperti Metallica. Dan ini menarik. Saya tertarik dan akhirnya mendownload beberapa mp3 Sevenfold, dan berevolusi menjadi Sevenfoldism. Dunia hitam putih saya berubah seketika menjadi dunia yang gahar.
Avenged Sevenfold hampir selalu terdengar jika berkumpul dengan teman-teman. Yang saya tahu, banyak juga Deathbat atau Sevenfoldism perempuan di SMP saya yang juga jatuh cinta dengan band ini. Ini mengejutkan! Keren jika perempuan memuja distorsi, dan itu ada di jaman saya SMP. Pesona Matthew dengan topi dan kacamatanya, juga Zacky dengan ritme kidalnya banyak digemari. Beberapa ada yang meniru attitude mereka. Stiker murah Avenged yang ditempel di tas karet ataupun paralon, yang pernah jadi tren walaupun sesaat, menjadi pelengkap yang buas, seperti School Of Rock versi nyata. Tak hanya Avenged, banyak juga stiker band-band rock yang seperti berbicara bahwa mengoleksi stiker macam itu adalah keren, dan menempelkan stiker band rock adalah sebuah  kebanggaan. Meskipun waktu itu ada juga tempelan Wali, D’Masiv ataupun ST12, namun rock tetap menggema dengan tempelan lain seperti Misfits, Linkin Park, KoRn, Red Hod Chilli Pepper dan banyak lagi.
Avenged Sevenfold mulai meledak di Indonesia lewat album City Of Evil (2005), juga saat mereka datang untuk promo album self titled (2007). Saat itu pesona hair metal mungkin telah padam, tapi tingkah heavy yang khas membuat Avenged menjadi seperti band pop, populer dan menjadi agak mainstream. Walaupun dari segi musik mereka heavy, tapi seperti Enter Sadman dari Metallica, terlalu banyak terdengar di pelosok mainstream sehingga menjadi seperti lagu pop. Tapi itu tak dipedulikan. Beberapa lagu yang menjadi tren misalnya Dear God, Afterlife dan Almost Easy, yang muncul di tahun 2007, lewat debut self titled mereka. Ini diwarnai insiden Matt Shadow yang sudah menjalani operasi pita suara, dan mitosnya, ia sudah tidak bisa scream and growling, seperti di Unholly Confession, Second Heartbeat dan lain-lain di album Waking The Fallen (2003), Avenged era lawas. Hal itu juga diperkuat di City Of Evil, yang menunjukkan growling Matthew semakin melemah.
Lagu yang paling menarik adalah A Little Piece Of Heaven, yang saya dapat dari flashdisk kawan saat menancap di komputer saya. Momen mendengar lagu ini seperti soundtrack menuju ke tempat fantasi penuh darah. Semacam soundtrack Lord Of The Rings dengan Frodo yang berevolusi menjadi vampire. Jika dalam kondisi sakaratul maut, maka mendengarkan lagu ini akan membawa kita menuju tempat paling gelap dan menakutkan di alam sana. Yeah, sekitar 8 menit (dan menghabiskan memori sekitar 9 Mb, memori sangat berharga pada jaman itu), dengan ritme naik turun, suara vocal penuh eksplorasi dan seketika membuat gitar Syn dan Zack tak berfungsi distorsinya. Meski begitu, ini membuktikan bahwa metal dan rock tak harus dalam versi band yang monoton. Versi orchestra band yang diangkat di lagu ini cukup ngerock dan sungguh epic dengan durasi panjang. Jika kawan-kawan seperjuangan saya waktu SMP menari-nari dan menempatkan Dear God, Afterlife dan Almost Easy sebagai single terbaik Avenged Sevenfold yang harus dimiliki di pemutar musik, maka saya dengan bangga mendaulat A Little Piece Of Heaven, Unholly Confession dan Second Heartbeat  sebagai mahakarya terbaik Avenged Sevenfold. Sangat subjektif mungkin. Saya masih merindukan growl gahar Matthew yang tiada duanya. Hell, di 2 album (Bat Country dan Self Titled), semuanya hilang. Tapi mereka sedikit menghilangkan kekecewaan saya dengan epic mantap bak opera sabun berdarah, A Little Piece Of Heaven (By The Way, menyimak video klip-nya, versi asli maupun kartun pernah menjadi hiburan tersendiri waktu pelajaran komputer di lab multimedia SMP!)
Dogma mantap musik keras makin menjadi-jadi. Kali ini etos punk rock mudah dikenali dan digemari. “We Are The Outsiders” menjadi lagu kebangsaan selain Indonesia raya. Yap, Superman Is Dead, young-drunk-handsome punk rock bedebah asal Bali, penganut rockabilly riot  punk n’ roll a la Social Distortion, Living End dan Supersuckers ini menjadi primadona berikutnya. Dan jika kami bersama, kami selalu mendengar “Jika Kami Bersama”. Bersama Shaggy Dog, mereka mencipta lirik paling seru dan dinamis, seperti menolak tua dan menghitamkan uban. Dan ini menjadi lagu paling populer di masa SMP. Mayoritas kawan-kawan SMP saya waktu itu masih mencari jatidiri musik. Mereka menjadi massa atau menjadi fans band tertentu. Semakin keren band-nya, tentu makin membanggakan. Ada beberapa pilihan yang sering dibuat pelarian kawan-kawan saya untuk dianggap keren. Menjadi Slankers, BIPers, Cliquers, ST Setia, Virginity dan nama-nama lainnya (Rezpector belum terlalu populer di jaman saya SMP, Bondan masih belum meluncurkan “Unity”). Tapi setelah Superman Is Dead konser dengan luar biasa di Taman Chandra Wilwatikta, venue besar dekat SMP saya, semuanya berubah. Slank dan BIP dirasa terlalu bergelora, ST12 dan Ungu terlalu wanita, Virginity dan artis Republik Cinta terlalu ternama dan menjadi OutSIDers (sebutan fanbase Superman Is Dead) adalah alternatif sempurna. Hampir semua kawan-kawan saya sepakat jika Superman Is Dead itu keren, dan mereka menjadi OutSIDers. Mengoleksi lagunya, mencari tahu nama personilnya, dan merampok wallpapernya di internet. Sungguh tepat guna karena waktu itu jaman Friendster dan Facebook. Menampilkan lagunya di Friendster, mencomot foto Jerinx, Bobby ataupun Eka untuk photo profil Facebook, menyulap nama asli menjadi sedikit alay ditambah embel-embel nama personil SID dan menulis status berisi diksi dari lagu-lagu SID.
Penggemar baru ini umumnya hanya tahu lagu-lagu di album yang keluar tahun 2009, Angels And The Outsiders dan Black Maket Love (2005). Saya pun sempat menjadi OutSIDers walupun sebentar (sekarang saya tidak terikat fanbase band apapun kecuali Green Day). Lagu yang paling banyak didengar hanya itu-itu saja, “Bukan Pahlawan”, “Musuh Sahabat”, “We Are The Outsiders”, “Kuat Kita Bersinar” dan “Jika Kami Bersama”. Dan lagi-lagi, saya tahu lagu itu semua dari flashdisk 2GB kawan saya.
Saya juga pernah dipinjami kaset (CD-R  -The Cheapest Album Of All Time!-) oleh kawan saya yang berisi lagu-lagu SID hasil download. Sekitar 30 lagu. Saya mencoba memutar lagu-lagu dengan judul selain yang tercantum diatas, seperti “Punk Hari Ini”, “Kuta Rock City”, “Muka Tebal”, Goodbye Whiskey”, ‘Vodkabilly” dll. yang kebanyakan dimuat di album Kuta Rock City (2002) dan The Hangover Decade (2003). Ada juga beberapa lagu menarik di Angels And The Outsiders, seperti “Close To Fly Away”, “The Days Of Father”, “Memories Of Rose” yang saya dengarkan. Tentang “Memories Of Rose”, lagu ini merupakan lanjutan dari “Lady Rose” (Black Market Love). Beberapa teman juga kadang mendengar lagu ini dan bernyanyi, tapi kepopuleranya jauh dibanding “Bukan Pahlawan” dan “Kuat Kita Bersinar”.
Lagu-lagu di album Kuta Rock City dan The Hangover Decade ini menarik. Betul bahwa SID berjuang dengan keras di kedua album ini. Mereka menghadapi pemikiran beberapa massa punk yang menganggap SID berkhianat karena mengikuti major label (Sony Music). SID menurut kabar sering dilempari benda-benda berbahaya saat konser di luar kota (lebih beringas daripada massa Anti Pee Wee Gaskins). Sayangnya tidak semua penggemar baru yang tahu akan hal ini. Dan kini, SID telah berdiri di era matang dan mapan. Manager SID juga berganti dari Rudolf Dethu, seorang mistikus punk rock menjadi Dodix, yang merupakan seorang DJ. Dan kini SID menjadi lebih peduli lingkungan dan positif dalam segi lirik, dan tentunya, fans yang fanatik dengan massa besar. (Saya tak pernah mendengar anti SID di era ini). Dan ini berpengaruh baik bagi kawan-kawan OutSIDers saya. Tentu lebih hebat jikalau mereka juga menyelami SID di album Kuta Rock City. Punk Rock buka sekedar musik, tapi juga bentuk perlawanan terhadap The Man (karakter fiksi karangan si guru rock n’ roll di film School Of Rock). Tapi memang, menjamurnya OutSIDers di SMP saya banyak berpengaruh terhadap sikap musik saya hingga saat ini. Saya merindukan masa dimana saya dan kawan-kawan mendengarkan SID di pojokan kelas, di toilet pada waktu pelajaran, di depan kelas sambil bergerombol memainkan gitar dan di jalanan saat pulang, sambil mengeluarkan baju,menendang botol bekas, berdansa bernyanyi meneriakkan hymne pemberontakan.
Di waktu SMP ini juga saya mulai mendalami musik Green Day, punk rock asal Amerika. Awalnya saya hanya tahu lagu “Holiday” dan “Wake me Up When September Ends” dari channel musik VH1.  Lumayan suka namun belum fanatik. Tapi semuanya berubah saat kawan saya mengirim mp3 “American Idiot”  saat pelajaran. Dan WOW! Lagu itu adalah lagu Punk Rock terbaik sepanjang masa (itu sebelum saya dengar lagu Green Day yang lain seperti “Jesus Of Suburbia” dan Green Day klasik “Basket Case”). Dan saya adalah manusia paling beruntung saat itu karena mendapat kiriman lagu Green Day yang sungguh banyak (mulai album3/9 Smooth sampai American Idiot) dari seorang kawan lama. Dan ini berlanjut sampai saat ini. Inspirator musikal terbesar saya adalah three chords punk rock yang sederhana, kegelisahan, amarah, tingkah berandal, eyeliner dan idiot: mereka bernama Green Day.
Genre rock lain juga menjadi virus yang dinikmati banyak kawan saya di School Of Rock kami, Spenda. Yeah, mereka KoRn, System Of A Down, P.O.D , Linkin Park, DragonForce, Breaking Benjamin dll. Dari Indonesia: God Bless, EdanE, Boomerang dll. Beberapa band juga akhirnya saya dalami dengan tekun, seperti Dream Theater dan Nirvana. Saya dan kawan-kawan saling bertukar musik-musik keren mereka. Menjadi insomnia bersama karena mendengarkan rock lewat handsfree sampai telinga merinding. Adakalanya kami berkumpul dan membahas band-band yang kami gilai. Tak hanya sekelas tapi antar kelas. Perkenalan dengan teman baru karena musik ini cukup sering terjadi. Tempatnya adalah di dapan toilet pria, yang merupakan tempat hangout favorit dan terkadang di tempat duduk sebelah lapangan bola voli yang mirip lapangan skate. Sungguh cocok berada disana dibawah pengaruh musik skate punk dan panasnya mentari membahas musik-musik yang kami sukai. Terkadang juga ditempat duduk berbentuk gazebo sederhana sambil mencoret-coret bangkunya. Saya mengenang masa-masa hebat bersama kawan-kawan ini. Membahas alasan Kurt Cobain –vokalis Nirvana- bunuh diri, merundingkan aliran musik Dream Theater, memuja dan memuji skill Halloween sambil mencoba mempraktekkan solo gitarnya, menganalisa band-band modern rock baru seperti Paramore, mengkaji lirik lagu kontroversial Green Day, meramal kapan konser Avenged Sevenfold  akan digelar dan mem- bully teman yang sok tahu tentang itu semua, sambil tetap mengawasi sana-sini karena handphone berbunyi bising dan akan berbahaya bila ketahuan guru. Yeah, banyak momen yang pantas untuk dirindukan.
Satu yang saya paling ingat dan tak bisa terlupakan adalah, saya pertama kali mendengarkan lagu dengan vocal growl, scream ataupun yang berisik lainnya (tipikal musik brutal: death metal, hardcore, grindcore etc.) juga di jaman SMP. Gara-gara seorang kawan, lagu pertama yang terdengar dan merusak telinga  namun merubah hidup saya hingga saat ini adalah “Bendera Kuning” dari Betrayer. Awal mendengarkan adalah lagu ini aneh. Jujur, suara vocal macam ini adalah selera yang buruk. Betul-betul beringas musik band ini. Namun, setelah berkali-kali saya mendengarkan, lebih tepatnya belajar mendengarkan, musik mereka memuat saya berteriak “fuck you!” karena menyebabkan ketagihan dan ketergantungan luar biasa. Yeah, penggemar musik keras seperti metal pada awalnya memang membenci musik itu, namun setelah melalui beberapa kali didengarkan telinga, hal ini justru menjadi musik yang indah. Metal seperti mengandung zat adiktif dan substansi berbahaya yang menyenangkan. Sekali kita mendengarkan metal, mungkin tak berasa efeknya, tapi minimal tiga kali kita mendengarnya (kecuali Aliran Death Metal: DeadSquad dan Siksa Kubur saya dengarkan hampir 7 kali!) hidup kita akan berubah sepanjang masa. Dan saya serta kawan-kawan seperjuangan SMP saya telah banyak membuktikanya.
Aktivitas perkenalan pada metal ini memang mengubah hidup saya. Saya menjadi lebih pragmatis dan terkadang muak memandang dunia. Efek yang wajar. Butuh keberanian memang sebagai pendengar metal. Mulai muncul nama-nama seperti:  Getah, Tengkorak dan Purgatory yang saya dengar secara militan: berkali-kali dengan fitur shuffle (pernah meminjam kaset Metalik Klinik I dan saya hanya menikmati lagu Bluekuthuq -metal humor dengan clean vocal-  dan tidak mengerti lagu lainnya). Akhirnya,  Saya mulai bisa menikmatinya. Namun hal yang aneh terjadi. Sebuah band asal Ujung Berung, Bandung membuat saya meledak dan akhirnya pasrah pada kedigdayaan metal.
Mereka bernama Burgerkill. Sebuah tingkah heavy yang lain ketika mendenger mereka melakukan duet paling maut dalam sejarah musik keras Indonesia, bersama Fadly Padi di “Tiga Titik Hitam”. Cenderung mematikan dan ampuh menyayat hati dengan lirik pragmatis dan kesakitan yang amat dalam. Kemudian “Atur Aku”, lagu cover dari band legenda hardore Bandung Puppen. Lagu ini bersejarah karena di lagu ini saya pertama kali menyukai musik dengan growl, scream, distorsi sadis dan double tribal pedal dari awal sampai akhir lagu hanya dengan sekali dengar. Yeah, sekali dengar! Ini memuaskan! Seperti mengalami klimaks yang sangat tinggi. Mungkin ini rasanya stoned, namun bukan karena ganja, tapi karena Ivan Scumbag (almarhum), vokalis kharismatik Burgerkill, Bapak Metal Indonesia, yang menyenandungkan sepenuh jiwa raga kalutnya hati diiringi deru musik kencang dan terus bertambah kencang di telinga saya. Moshpit yang terjadi alami di indra pendengaran. Fuck! Disusul hits pemicu crowd liar “Shadow Of Sorrow”, agresi sempurna dari Andris, drummer metal paling nge-hook di Indonesia, menjadi senjata bermesin lapis dengan dentum drum yang mengalahkan deru angin. Rocks! Dan saya merekomendasikan kawan-kawan SMP saya waktu itu untuk mempunyai album “Beyond Coma And Despair”, mahakarya rock yang masuk dalam 150 Album Terbaik Sepanjang Masa Versi Rolling Stone Indonesia. Mahakarya terakhir Alm. Ivan Scumbag yang banyak dipenuhi pesan-pesan kematian sang divo metal berambrut gondrong itu. Dan album ini menjadi salah satu album penting yang merubah hidup dan tingkah bermusik saya. Burgerkill, band rock paling ugal-ugalan hingga saat ini, adalah iblis yang cukup mampu meracuni otak! Yeah! We Will Bleed! (Begundal Hell Club-nama massa fanatik Burgerkill- sempat saya imani juga dengan merubah nama Facebook menjadi Begundal). Dan sampai saat ini, kharisma Alm. Ivan Scumbag masih tetap dikenang. We’re gonna miss you bro!
Di akhir masa SMP, kira-kira tahun 2010 awal, muncul album rock yang paling saya tunggu-tunggu, Green Day – 21st Century Breakdown. Album  berkonsep bak opera dengan album art graffiti ini seperti menyusun strategi yang membuat Wal-Mart melarang album berlabel Parental Advisory ini dipajang di toko mereka karena cover album yang sangat ekstrem nan liar (coba cek dan rasakan getarannya!). Dengan cover pria dan wanita yang “seperti itu” ternyata juga diiringi dengan musik mereka yang makin sableng dan membabi buta. Simak “East Jesus Nowhwee” dan “Viva La Gloria”, yang merupakan lagu terbaik di album ini. Album ini sempat membuat ekspektasi bahwa Green Day akan tour album ini ke Indonesia (meskipun saya tak nonton tapi tetap bangga jika band favorit meluncur ke Indonesia!) Tapi ternyata tidak! (Green Day hanya sekali ke Indonesia tahun 1996). Sempat saya share album baru mereka ini di Facebook lewat status dan mendapat sambutan dari beberapa kawan “rock” saya. Senang memang berbagi album-album bermutu kepada kawan-kawan SMP.
Dan wisuda di pertengahan 2010 sepertinya menjadi saat yang paling menggembirakan sakaligus mengharukan. Perpisahan dengan beberapa kawan seperjuangan juga dengan School Of Rock tercinta. Dan pagi sebelum wisuda dimulai berdendang sebuah lagu yang sangat pas mewakili hari itu: Jeans kurobek dan pake anting/ Sambil dengerin musik bising/ Diomelin tak ambil pusing/ Orang bilang otakku miring/ Mungkin ku radikal/ Hidupku Rock N’ Roll Jack/ Kuingat lagi masa yang tlah kualami/ Teman sejalanku menghabiskan waktu menantang dunia/ Kuingat lagi dan aku ingin kembali (From EdanE “Rock In 82”) – Yeah, kutipan lagu ini bercerita tentang pengalaman masa sekolah yang dipenuhi musik bising dan lagu ini selalu saya perdengarkan dengan jernih ketika ingin merasakan lagi kenangan dan kehebatan School Of Rock!
Jujur, musikalitas rock saya waktu itu hanya sebatas Slank dan Seurius sebelum kawan-kawan saya mengenalkan rock yang sesungguhnya. Saya masih belum banyak mengatahui ritme cadas nan buas yang bisa meledak di telinga dan menghancurkan sisi soundsystem. Ini membawa pengaruh pada passion, homage dan attitude rockstar. Kawan-kawan SMP saya dulu yang sekarang masih sering saya jumpai ternyata juga masih memiliki nafas idealisme rock yang tinggi. Saya bangga. Sungguh bangga menjadi generasi rock Spenda. Mereka menjadikan masa SMP menjadi sedikit lebih liar dan berkesan! Hail! Hormat mendalam untuk kalian, Man!
Apa kabar generasi Spenda saat ini? Masih menjadi School Of Rock – kah?  

Tulisan ini didedikasikan kepada seluruh bocah-bocah spenda generasi saya, antara tahun 2007-2010. Thanks for comin’ and rockin’ my day! God fuckin’ love you all, friends! :)

No comments:

Post a Comment