Jaman – jaman SMP adalah masa yang seru. Masa pertumbuhan, gaya berandal
dan musik keras. Mendengarkan lagu – lagu rock bagus yang belum pernah saya
dengar sebelumnya, meniru habis – habisan style mereka dan menjadi sedikit
bengal dengan lirik usil mereka. Ya, saya mengenal dunia musik keras saat SMP.
Sekolah saya waktu itu, SMP Negeri 2 Pandaan (disingkat agak terbirit – birit
menjadi “spenda”) adalah tempat mana saya pertama kali merasa jatuh cinta
dengan musik rock. Lirik yang anthemic,
nada yang mengusik serta embel-embel bising menjadi santapan empuk bagi telinga
awam yang belum paham distorsi. Saya mengingat banyak aliran yang akhirnya saya
tahu dan saya cintai hingga saat ini. Dan Spenda adalah School Of Rock yang
sejati. Nu Metal, Heavy Metal, Punk Rock, Proggressive, Rock N’ Roll bahkan
Grunge, adalah dosa bila kita tak menganutnya. Perkenalan akan dunia musik
keras banyak dipengaruhi oleh kawan-kawan saya semasa SMP (thanks friend!).
Berkumpul di pojokan kelas, mengencangkan volume hingga tinggi dan menyanyikan
lagu kita bersama, “Sweet Child O’Mine”. Mungkin Axl Roses akan bangga, tapi
Slash -yang kini jadi seteru Axl- adalah idola kami bersama.
Waktu itu dunia masih hitam dan putih, polos. Saya tak mengenal apa itu rock, punk, metal atau apapun itu saya tidak tahu. Saya adalah pendengar musik televisi dan radio, terlalu mainstream. Saya cinta musik sejak menjadi penggemar MTV dan pendengar setia radio musik yang entah saya lupa namanya. Well, MTV “gue banget” dengan Top 20 Chart wajib dimiliki lagunya saat itu, entah download, bluetooth atau bahkan merekam televisi. Memang di rumah saya terdapat banyak kaset rock, apapun, tapi saya masih tak paham. Dan SMP adalah embrio rock n’ roll saya yang paling signifikan dan berpengaruh.
Waktu itu dunia masih hitam dan putih, polos. Saya tak mengenal apa itu rock, punk, metal atau apapun itu saya tidak tahu. Saya adalah pendengar musik televisi dan radio, terlalu mainstream. Saya cinta musik sejak menjadi penggemar MTV dan pendengar setia radio musik yang entah saya lupa namanya. Well, MTV “gue banget” dengan Top 20 Chart wajib dimiliki lagunya saat itu, entah download, bluetooth atau bahkan merekam televisi. Memang di rumah saya terdapat banyak kaset rock, apapun, tapi saya masih tak paham. Dan SMP adalah embrio rock n’ roll saya yang paling signifikan dan berpengaruh.
Pengaruh pertama adalah Avenged Sevenfold. Heavy metal kenamaan asal
Huntington Beach California ini membuat saya meledak lewat “Bat Country”.
Sebuah lagu bak kelelawar menyeramkan hadir dan bising di pemutar musik saya
setelah salah seorang kawan menulis liriknya di buku usangnya. Lalu bayangan
akan musik “keren” mereka muncul saat teman-teman mendengarkannya bersama
sambil ber air – guitar dan air – drum. Lima orang “pemecah kepala” nan buas,
Matt, Syn, Zacky, Johny dan Rev memainkan musik di bawah pengaruh cheap beer a
la California, dan mereka mulai membual musik heavy seperti Metallica. Dan ini
menarik. Saya tertarik dan akhirnya mendownload beberapa mp3 Sevenfold, dan
berevolusi menjadi Sevenfoldism. Dunia hitam putih saya berubah seketika menjadi
dunia yang gahar.
Avenged Sevenfold hampir selalu terdengar jika berkumpul dengan
teman-teman. Yang saya tahu, banyak juga Deathbat atau Sevenfoldism perempuan
di SMP saya yang juga jatuh cinta dengan band ini. Ini mengejutkan! Keren jika
perempuan memuja distorsi, dan itu ada di jaman saya SMP. Pesona Matthew dengan
topi dan kacamatanya, juga Zacky dengan ritme kidalnya banyak digemari.
Beberapa ada yang meniru attitude mereka. Stiker murah Avenged yang ditempel di
tas karet ataupun paralon, yang pernah jadi tren walaupun sesaat, menjadi
pelengkap yang buas, seperti School Of Rock versi nyata. Tak hanya Avenged, banyak
juga stiker band-band rock yang seperti berbicara bahwa mengoleksi stiker macam
itu adalah keren, dan menempelkan stiker band rock adalah sebuah kebanggaan. Meskipun waktu itu ada juga
tempelan Wali, D’Masiv ataupun ST12, namun rock tetap menggema dengan tempelan
lain seperti Misfits, Linkin Park, KoRn, Red Hod Chilli Pepper dan banyak lagi.
Avenged Sevenfold mulai meledak di Indonesia lewat album City Of Evil
(2005), juga saat mereka datang untuk promo album self titled (2007). Saat itu
pesona hair metal mungkin telah padam, tapi tingkah heavy yang khas membuat
Avenged menjadi seperti band pop, populer dan menjadi agak mainstream. Walaupun
dari segi musik mereka heavy, tapi seperti Enter Sadman dari Metallica, terlalu
banyak terdengar di pelosok mainstream sehingga menjadi seperti lagu pop. Tapi
itu tak dipedulikan. Beberapa lagu yang menjadi tren misalnya Dear God,
Afterlife dan Almost Easy, yang muncul di tahun 2007, lewat debut self titled
mereka. Ini diwarnai insiden Matt Shadow yang sudah menjalani operasi pita
suara, dan mitosnya, ia sudah tidak bisa scream and growling, seperti di
Unholly Confession, Second Heartbeat dan lain-lain di album Waking The Fallen
(2003), Avenged era lawas. Hal itu juga diperkuat di City Of Evil, yang
menunjukkan growling Matthew semakin melemah.
Lagu yang paling menarik adalah A Little Piece Of Heaven, yang saya dapat
dari flashdisk kawan saat menancap di komputer saya. Momen mendengar lagu ini
seperti soundtrack menuju ke tempat fantasi penuh darah. Semacam soundtrack
Lord Of The Rings dengan Frodo yang berevolusi menjadi vampire. Jika dalam
kondisi sakaratul maut, maka mendengarkan lagu ini akan membawa kita menuju
tempat paling gelap dan menakutkan di alam sana. Yeah, sekitar 8 menit (dan menghabiskan
memori sekitar 9 Mb, memori sangat berharga pada jaman itu), dengan ritme naik
turun, suara vocal penuh eksplorasi dan seketika membuat gitar Syn dan Zack tak
berfungsi distorsinya. Meski begitu, ini membuktikan bahwa metal dan rock tak
harus dalam versi band yang monoton. Versi orchestra
band yang diangkat di lagu ini cukup ngerock dan sungguh epic dengan durasi
panjang. Jika kawan-kawan seperjuangan saya waktu SMP menari-nari dan
menempatkan Dear God, Afterlife dan Almost Easy sebagai single terbaik Avenged
Sevenfold yang harus dimiliki di pemutar musik, maka saya dengan bangga
mendaulat A Little Piece Of Heaven, Unholly Confession dan Second
Heartbeat sebagai mahakarya terbaik
Avenged Sevenfold. Sangat subjektif mungkin. Saya masih merindukan growl gahar
Matthew yang tiada duanya. Hell, di 2
album (Bat Country dan Self Titled), semuanya hilang. Tapi mereka sedikit menghilangkan
kekecewaan saya dengan epic mantap bak opera sabun berdarah, A Little Piece Of
Heaven (By The Way, menyimak video klip-nya, versi asli maupun kartun pernah
menjadi hiburan tersendiri waktu pelajaran komputer di lab multimedia SMP!)
Dogma mantap musik keras makin menjadi-jadi. Kali ini etos punk rock
mudah dikenali dan digemari. “We Are The Outsiders” menjadi lagu kebangsaan
selain Indonesia raya. Yap, Superman Is Dead, young-drunk-handsome punk rock bedebah asal Bali, penganut
rockabilly riot punk n’ roll a la Social
Distortion, Living End dan Supersuckers ini menjadi primadona berikutnya. Dan
jika kami bersama, kami selalu mendengar “Jika Kami Bersama”. Bersama Shaggy
Dog, mereka mencipta lirik paling seru dan dinamis, seperti menolak tua dan
menghitamkan uban. Dan ini menjadi lagu paling populer di masa SMP. Mayoritas
kawan-kawan SMP saya waktu itu masih mencari jatidiri musik. Mereka menjadi
massa atau menjadi fans band tertentu. Semakin keren band-nya, tentu makin
membanggakan. Ada beberapa pilihan yang sering dibuat pelarian kawan-kawan saya
untuk dianggap keren. Menjadi Slankers, BIPers, Cliquers, ST Setia, Virginity
dan nama-nama lainnya (Rezpector belum terlalu populer di jaman saya SMP,
Bondan masih belum meluncurkan “Unity”). Tapi setelah Superman Is Dead konser
dengan luar biasa di Taman Chandra Wilwatikta, venue besar dekat SMP saya,
semuanya berubah. Slank dan BIP dirasa terlalu bergelora, ST12 dan Ungu terlalu
wanita, Virginity dan artis Republik Cinta terlalu ternama dan menjadi
OutSIDers (sebutan fanbase Superman Is Dead) adalah alternatif sempurna. Hampir
semua kawan-kawan saya sepakat jika Superman Is Dead itu keren, dan mereka
menjadi OutSIDers. Mengoleksi lagunya, mencari tahu nama personilnya, dan
merampok wallpapernya di internet. Sungguh tepat guna karena waktu itu jaman
Friendster dan Facebook. Menampilkan lagunya di Friendster, mencomot foto
Jerinx, Bobby ataupun Eka untuk photo profil Facebook, menyulap nama asli
menjadi sedikit alay ditambah embel-embel nama personil SID dan menulis status
berisi diksi dari lagu-lagu SID.
Penggemar baru ini umumnya hanya tahu lagu-lagu di album yang keluar
tahun 2009, Angels And The Outsiders dan Black Maket Love (2005). Saya pun
sempat menjadi OutSIDers walupun sebentar (sekarang saya tidak terikat fanbase
band apapun kecuali Green Day). Lagu yang paling banyak didengar hanya itu-itu
saja, “Bukan Pahlawan”, “Musuh Sahabat”, “We Are The Outsiders”, “Kuat Kita Bersinar”
dan “Jika Kami Bersama”. Dan lagi-lagi, saya tahu lagu itu semua dari flashdisk
2GB kawan saya.
Saya juga pernah dipinjami kaset (CD-R
-The Cheapest Album Of All Time!-)
oleh kawan saya yang berisi lagu-lagu SID hasil download. Sekitar 30 lagu. Saya
mencoba memutar lagu-lagu dengan judul selain yang tercantum diatas, seperti
“Punk Hari Ini”, “Kuta Rock City”, “Muka Tebal”, Goodbye Whiskey”, ‘Vodkabilly”
dll. yang kebanyakan dimuat di album Kuta Rock City (2002) dan The Hangover
Decade (2003). Ada juga beberapa lagu menarik di Angels And The Outsiders,
seperti “Close To Fly Away”, “The Days Of Father”, “Memories Of Rose” yang saya
dengarkan. Tentang “Memories Of Rose”, lagu ini merupakan lanjutan dari “Lady
Rose” (Black Market Love). Beberapa teman juga kadang mendengar lagu ini dan
bernyanyi, tapi kepopuleranya jauh dibanding “Bukan Pahlawan” dan “Kuat Kita
Bersinar”.
Lagu-lagu di album Kuta Rock City dan The Hangover Decade ini menarik.
Betul bahwa SID berjuang dengan keras di kedua album ini. Mereka menghadapi
pemikiran beberapa massa punk yang menganggap SID berkhianat karena mengikuti
major label (Sony Music). SID menurut kabar sering dilempari benda-benda
berbahaya saat konser di luar kota (lebih beringas daripada massa Anti Pee Wee
Gaskins). Sayangnya tidak semua penggemar baru yang tahu akan hal ini. Dan
kini, SID telah berdiri di era matang dan mapan. Manager SID juga berganti dari
Rudolf Dethu, seorang mistikus punk rock menjadi Dodix, yang merupakan seorang
DJ. Dan kini SID menjadi lebih peduli lingkungan dan positif dalam segi lirik,
dan tentunya, fans yang fanatik dengan massa besar. (Saya tak pernah mendengar
anti SID di era ini). Dan ini berpengaruh baik bagi kawan-kawan OutSIDers saya.
Tentu lebih hebat jikalau mereka juga menyelami SID di album Kuta Rock City.
Punk Rock buka sekedar musik, tapi juga bentuk perlawanan terhadap The Man
(karakter fiksi karangan si guru rock n’ roll di film School Of Rock). Tapi
memang, menjamurnya OutSIDers di SMP saya banyak berpengaruh terhadap sikap
musik saya hingga saat ini. Saya merindukan masa dimana saya dan kawan-kawan
mendengarkan SID di pojokan kelas, di toilet pada waktu pelajaran, di depan
kelas sambil bergerombol memainkan gitar dan di jalanan saat pulang, sambil
mengeluarkan baju,menendang botol bekas, berdansa bernyanyi meneriakkan hymne pemberontakan.
Di waktu SMP ini juga saya mulai mendalami musik Green Day, punk rock
asal Amerika. Awalnya saya hanya tahu lagu “Holiday” dan “Wake me Up When
September Ends” dari channel musik VH1.
Lumayan suka namun belum fanatik. Tapi semuanya berubah saat kawan saya
mengirim mp3 “American Idiot” saat
pelajaran. Dan WOW! Lagu itu adalah lagu Punk Rock terbaik sepanjang masa (itu
sebelum saya dengar lagu Green Day yang lain seperti “Jesus Of Suburbia” dan
Green Day klasik “Basket Case”). Dan saya adalah manusia paling beruntung saat
itu karena mendapat kiriman lagu Green Day yang sungguh banyak (mulai album3/9
Smooth sampai American Idiot) dari seorang kawan lama. Dan ini berlanjut sampai
saat ini. Inspirator musikal terbesar saya adalah three chords punk rock yang
sederhana, kegelisahan, amarah, tingkah berandal, eyeliner dan idiot: mereka
bernama Green Day.
Genre rock lain juga menjadi virus yang dinikmati banyak kawan saya di
School Of Rock kami, Spenda. Yeah, mereka KoRn, System Of A Down, P.O.D , Linkin
Park, DragonForce, Breaking Benjamin dll. Dari Indonesia: God Bless, EdanE, Boomerang
dll. Beberapa band juga akhirnya saya dalami dengan tekun, seperti Dream
Theater dan Nirvana. Saya dan kawan-kawan saling bertukar musik-musik keren
mereka. Menjadi insomnia bersama karena mendengarkan rock lewat handsfree sampai telinga merinding.
Adakalanya kami berkumpul dan membahas band-band yang kami gilai. Tak hanya
sekelas tapi antar kelas. Perkenalan dengan teman baru karena musik ini cukup
sering terjadi. Tempatnya adalah di dapan toilet pria, yang merupakan tempat
hangout favorit dan terkadang di tempat duduk sebelah lapangan bola voli yang
mirip lapangan skate. Sungguh cocok berada disana dibawah pengaruh musik skate
punk dan panasnya mentari membahas musik-musik yang kami sukai. Terkadang juga
ditempat duduk berbentuk gazebo sederhana sambil mencoret-coret bangkunya. Saya
mengenang masa-masa hebat bersama kawan-kawan ini. Membahas alasan Kurt Cobain
–vokalis Nirvana- bunuh diri, merundingkan aliran musik Dream Theater, memuja
dan memuji skill Halloween sambil mencoba mempraktekkan solo gitarnya,
menganalisa band-band modern rock baru seperti Paramore, mengkaji lirik lagu
kontroversial Green Day, meramal kapan konser Avenged Sevenfold akan digelar dan mem- bully teman yang sok tahu tentang itu semua, sambil tetap mengawasi
sana-sini karena handphone berbunyi bising dan akan berbahaya bila ketahuan
guru. Yeah, banyak momen yang pantas untuk dirindukan.
Satu yang saya paling ingat dan tak bisa terlupakan adalah, saya pertama
kali mendengarkan lagu dengan vocal growl, scream ataupun yang berisik lainnya
(tipikal musik brutal: death metal, hardcore, grindcore etc.) juga di jaman
SMP. Gara-gara seorang kawan, lagu pertama yang terdengar dan merusak
telinga namun merubah hidup saya hingga
saat ini adalah “Bendera Kuning” dari Betrayer. Awal mendengarkan adalah lagu
ini aneh. Jujur, suara vocal macam ini adalah selera yang buruk. Betul-betul
beringas musik band ini. Namun, setelah berkali-kali saya mendengarkan, lebih
tepatnya belajar mendengarkan, musik mereka memuat saya berteriak “fuck you!”
karena menyebabkan ketagihan dan ketergantungan luar biasa. Yeah, penggemar musik
keras seperti metal pada awalnya memang membenci musik itu, namun setelah
melalui beberapa kali didengarkan telinga, hal ini justru menjadi musik yang
indah. Metal seperti mengandung zat adiktif dan substansi berbahaya yang
menyenangkan. Sekali kita mendengarkan metal, mungkin tak berasa efeknya, tapi
minimal tiga kali kita mendengarnya (kecuali Aliran Death Metal: DeadSquad dan
Siksa Kubur saya dengarkan hampir 7 kali!) hidup kita akan berubah sepanjang
masa. Dan saya serta kawan-kawan seperjuangan SMP saya telah banyak
membuktikanya.
Aktivitas perkenalan pada metal ini memang mengubah hidup saya. Saya
menjadi lebih pragmatis dan terkadang muak memandang dunia. Efek yang wajar.
Butuh keberanian memang sebagai pendengar metal. Mulai muncul nama-nama seperti: Getah, Tengkorak dan Purgatory yang saya
dengar secara militan: berkali-kali dengan fitur shuffle (pernah meminjam kaset
Metalik Klinik I dan saya hanya menikmati lagu Bluekuthuq -metal humor dengan
clean vocal- dan tidak mengerti lagu
lainnya). Akhirnya, Saya mulai bisa
menikmatinya. Namun hal yang aneh terjadi. Sebuah band asal Ujung Berung,
Bandung membuat saya meledak dan akhirnya pasrah pada kedigdayaan metal.
Mereka bernama Burgerkill. Sebuah tingkah heavy yang lain ketika
mendenger mereka melakukan duet paling maut dalam sejarah musik keras
Indonesia, bersama Fadly Padi di “Tiga Titik Hitam”. Cenderung mematikan dan
ampuh menyayat hati dengan lirik pragmatis dan kesakitan yang amat dalam.
Kemudian “Atur Aku”, lagu cover dari band legenda hardore Bandung Puppen. Lagu
ini bersejarah karena di lagu ini saya pertama kali menyukai musik dengan
growl, scream, distorsi sadis dan double tribal pedal dari awal sampai akhir
lagu hanya dengan sekali dengar. Yeah, sekali dengar! Ini memuaskan! Seperti
mengalami klimaks yang sangat tinggi. Mungkin ini rasanya stoned, namun bukan
karena ganja, tapi karena Ivan Scumbag (almarhum), vokalis kharismatik
Burgerkill, Bapak Metal Indonesia, yang menyenandungkan sepenuh jiwa raga
kalutnya hati diiringi deru musik kencang dan terus bertambah kencang di
telinga saya. Moshpit yang terjadi alami di indra pendengaran. Fuck! Disusul
hits pemicu crowd liar “Shadow Of Sorrow”, agresi sempurna dari Andris, drummer
metal paling nge-hook di Indonesia, menjadi senjata bermesin lapis dengan
dentum drum yang mengalahkan deru angin. Rocks! Dan saya merekomendasikan kawan-kawan
SMP saya waktu itu untuk mempunyai album “Beyond Coma And Despair”, mahakarya
rock yang masuk dalam 150 Album Terbaik Sepanjang Masa Versi Rolling Stone
Indonesia. Mahakarya terakhir Alm. Ivan Scumbag yang banyak dipenuhi
pesan-pesan kematian sang divo metal berambrut gondrong itu. Dan album ini
menjadi salah satu album penting yang merubah hidup dan tingkah bermusik saya. Burgerkill,
band rock paling ugal-ugalan hingga saat ini, adalah iblis yang cukup mampu
meracuni otak! Yeah! We Will Bleed! (Begundal Hell Club-nama massa fanatik
Burgerkill- sempat saya imani juga dengan merubah nama Facebook menjadi
Begundal). Dan sampai saat ini, kharisma Alm. Ivan Scumbag masih tetap dikenang.
We’re gonna miss you bro!
Di akhir masa SMP, kira-kira tahun 2010 awal, muncul album rock yang
paling saya tunggu-tunggu, Green Day – 21st Century Breakdown.
Album berkonsep bak opera dengan album
art graffiti ini seperti menyusun strategi yang membuat Wal-Mart melarang album
berlabel Parental Advisory ini dipajang di toko mereka karena cover album yang
sangat ekstrem nan liar (coba cek dan rasakan getarannya!). Dengan cover pria
dan wanita yang “seperti itu” ternyata juga diiringi dengan musik mereka yang
makin sableng dan membabi buta. Simak “East Jesus Nowhwee” dan “Viva La
Gloria”, yang merupakan lagu terbaik di album ini. Album ini sempat membuat
ekspektasi bahwa Green Day akan tour album ini ke Indonesia (meskipun saya tak
nonton tapi tetap bangga jika band favorit meluncur ke Indonesia!) Tapi
ternyata tidak! (Green Day hanya sekali ke Indonesia tahun 1996). Sempat saya
share album baru mereka ini di Facebook lewat status dan mendapat sambutan dari
beberapa kawan “rock” saya. Senang memang berbagi album-album bermutu kepada
kawan-kawan SMP.
Dan wisuda di pertengahan 2010 sepertinya menjadi saat yang paling
menggembirakan sakaligus mengharukan. Perpisahan dengan beberapa kawan
seperjuangan juga dengan School Of Rock tercinta. Dan pagi sebelum wisuda
dimulai berdendang sebuah lagu yang sangat pas mewakili hari itu: Jeans kurobek
dan pake anting/ Sambil dengerin musik bising/ Diomelin tak ambil pusing/ Orang
bilang otakku miring/ Mungkin ku radikal/ Hidupku Rock N’ Roll Jack/ Kuingat
lagi masa yang tlah kualami/ Teman sejalanku menghabiskan waktu menantang
dunia/ Kuingat lagi dan aku ingin kembali (From EdanE “Rock In 82”) – Yeah,
kutipan lagu ini bercerita tentang pengalaman masa sekolah yang dipenuhi musik
bising dan lagu ini selalu saya perdengarkan dengan jernih ketika ingin
merasakan lagi kenangan dan kehebatan School Of Rock!
Jujur, musikalitas rock saya waktu itu hanya sebatas Slank dan Seurius
sebelum kawan-kawan saya mengenalkan rock yang sesungguhnya. Saya masih belum
banyak mengatahui ritme cadas nan buas yang bisa meledak di telinga dan
menghancurkan sisi soundsystem. Ini membawa pengaruh pada passion, homage dan
attitude rockstar. Kawan-kawan SMP saya dulu yang sekarang masih sering saya
jumpai ternyata juga masih memiliki nafas idealisme rock yang tinggi. Saya
bangga. Sungguh bangga menjadi generasi rock Spenda. Mereka menjadikan masa SMP
menjadi sedikit lebih liar dan berkesan! Hail! Hormat mendalam untuk kalian,
Man!
Apa kabar generasi Spenda saat ini? Masih menjadi School Of Rock – kah?
Tulisan ini didedikasikan kepada
seluruh bocah-bocah spenda generasi saya, antara tahun 2007-2010. Thanks for
comin’ and rockin’ my day! God fuckin’ love you all, friends! :)
No comments:
Post a Comment