Wednesday, December 3, 2014

Menghilangkan Kehilangan

Kami memulai dengan semangkuk indomie, kemudian menyusul extra joss dan marimas. Malam itu remang. Hujan baru usai. Aspal jalanan masih basah. Sinar bulan kekuningan hinggapi bercak hujan. Sejuk. Kami memulainya dengan mengaduk-urap bumbu dengan indomie yang baru tersaji. Warung kopi sederhana gang 7: malam resmi membisik pilu.

"Sakjane piye yo. Aku yo sek sayang nang arek'e, aku yo sek pengen perhatian. Tapi arek'e wingi ngomong jujur nang aku: de'e wes bosen LDR-an. Gak enak. Gak isok ketemuan bendino. Gak isok cidek bendino. De'e yo ngaku lek nang kono de'e wes nemu wong lanang liyo. Malah de'e ngomong 'aku lho udah bahagia sama dia disini'. Koyok piye ngono rasane. Sesek nang ati. Tapi yoweslah aku sabar ae. Ngalah. Engkok lek ngamuk-ngamuk kuliahku nang kene malah keteteran. Sakno wong tuwoku."

Salah satu sahabat saya. Teman ngopi walaupun tak sering-sering amat. Dia teman satu kosan. Sambil terus melahap indomie-nya, dia bercerita sambil sesekali menahan kegundahan. Saya bisa merasakan, ada hal yang membuatnya tak tenang. Sampai indomie habis dan menyisakan sisa bumbu di mangkuk, rasa itu masih menggantung di kelopak matanya yang kurang tidur: malamnya adalah malam panjang, memikirkan pujaan hati yang jauh disana. Diambilnya kretek. Dinyalakannya pelan-pelan. Memburai saja pikiran, melayang jauh ke malam-malam sebelumnya...

"Doakan ae yo bro. Ben langgeng. Aku iki wes serius ambek arek iki." 

Dia berujar suatu hari saat sedang bersama saya menunggu pesanan penyetan. Waktu itu saya baru saja putus dari pacar saya. Tak ada rasa iri. Saya turut senang. Mendoakan walaupun hanya dengan ucapan.

"Mayak kon pacaran ae! Ha-ha! Aku ae mari putus he-he. Oke wes moga langgeng, dan dapat restu dari orang tuane, Amin." 

"Seng sabar tah cuk! Mariki lak oleh maneh ha-ha! Masalah restu wong tuwo seh aku lek ndelok ayah'e rodok piyeee ngunu, tapi yo gak popo seh jare arek'e. Pokok'e aku iki wes serius nemen, walaupun LDR tetep tak jogo."

Berbahagialah kawan. Batin saya ketika itu. Pulang ke kos dan langsung menyambar penyetan. Dia kembali melanjutkan telfonan dengan sang wanita. Saya kembali bingung harus berbuat apa. Kesepian. Ide lama kembali muncul: menjahili anak kamar sebelah.

"Juancok, To! Wasu tenan we iki! Urip nggak genah gianggu uwong ae! Jiancok!" 

Kurang etis menjelaskan apa yang telah saya perbuat. Hanya kata-kata itu yang pantas ditulis. Sementara teman saya di ujung sana, sempat-sempatnya berkomentar dalam percengkramaannya.

"Opo to dul dul kok rame pisan! Gibeng ndasmu kon engkok!"

Dengan hati yang awesome karena berhasil menuntaskan aksi jahat pengusir sepi, saya kembali turun ke jalan, duduk-duduk sok sangar, melihat kendaraan lalu lalang. Jomblo always feel lonely--oh my god i'm not alay person, this real.

***
Dua malam sebelum malam pilu milik kawan kos saya. Masih di tempat yang sama. Masih indomie dengan racikan yang sama. Masih extra joss, masih marimas. Gorengan juga tak kalah seru. Kretek terbakar. Malam yang berat. Kawan sekelas saya memulai nostalgia bersama mantannya. Bercerita.

"To kon lek ero yo, aku biyen iku gak ero opo-opo To! gara-gara aku pacaran ambek de'e, aku dadi koyok ngene, gara-gara de'e iku To!"

"Podo aku pisan."

"Aku wes pacaran telung taun To! Bayangno, telung taun! Terus putus! Jancuk!"

"Podo aku pisan."

"Aku ambek arek'e wes koyok ngono, aku gak mikir aneh-aneh sampek tibak'e de'e mengkhianati aku ambek arek Jakarta! Jiancookk! Bayangno To yaopo rasane!"

"WIh iyo a? Wah ceritomu terlalu nemen cuy, ceritoku ae gak sampek koyok ngunu, bersyukur aku. Terus-terus?"

"Yowes. Arek'e tak putus. Tak delcont. Tak blokir FB-ne. Arek'e lek nghubungi aku gak tau tak respon."

"Oalah seng sabar ae men. Eh awakmu nanges gak biyen?"

"Iyo. Tapi akhir-akhir iki wes enggak?"

"..."

"Lapo cuk salah ta lek aku nanges?"

"Enggak. Podo, aku pisan..."

Indomie ludes. Kisah masih berlanjut. Menenggak extra jos di malam hari adalah keniscayaan. Tubuh jadi segar dan dengan sendirinya mata jadi melek. Ia mengambil gorengan untuk yang kedua kali. Saya menanyakan apa dia sudah bisa move-on atau tidak. Oke, dia memilih jomblo selama hampir dua tahun. Move-on tak segampang yang kalian kira. 

"Tapi aku saiki cidek ambek arek Bahasa Jepang, To! Wes kroso nyaman aku!"

"Yo ndang ditembak tah."

"Lho ojok sek. Nunggu momen seng pas."

"Saiki tembak'en lho nggak masalah."

"Lewat opo? BBM? Kupingmua! Aku lek nembak ngomong langsung yo!"

"Mayak! Aku ae gak tau nembak langsung. Nembak mek pisan ikupun lewat SMS. Ajarono tah."

"Cuk mosok? Arek model koyok kon ngene lak luweh pengalaman seh timbang aku To To!"

"Lho jancuk iki dikandani kok! Sumpah ilo!"

Kawan saya membeberkan tips klise yang sebenarnya bisa saya dapat lewat google ataupun situs kegemaran saya saat ini: hipwee.com. Saya banyak mendapat ilmu dari pertemuan indomie malam ini. Tapi masih belum ada niatan untuk mencoba semua yang ia sarankan di malam itu. Biarkan berlalu. 

***

Saya menulis ini diantara tumpukan tugas yang saya-pun belum tahu sudah selesai apa belum saking banyaknya. Hampir pukul 12 malam. Ada kalimat paling lucu malam ini: ini tugas apa kasih ibu, kok panjang buangeet! Sudah tertebak kalian tidak tertawa. Malam ini cukup dingin. Hujan sore hari tadi lumayan deras. Sebelum pulang kampus tadi, saya sempat diajak kawan sekelas yang biasanya jadi teman ngopi untuk mampir ke penyetan langganan yang sudah lama tutup dan kini buka kembali. Mampirlah bila ke kampus saya, warung kecil dekat gang 7A. Fuck nyus banget rasanya. Awesucks!--dalam konotasi paling positif tentunya. Minggu depan saya dan teman-teman akan penelitian ke Bali. Saya mengkhawatirkan motor. Kawan saya menanggapi santai sekali. 

"Tak titipno kos'e pacarku ae sepeda-ku."

"Lho cukkkkkk kon moro-moro pacaran ae? Ambek sopo? Arek Jepang iku a?"

"Iyoohhhhhhhh."

"Gathel. Mbok tembak nangndi? Gawe trik seng wingi ta?"

"Yoiyoseh! Nang Danau Unesa. Sip kon lek nembak ndek kunu!"

"Danau Lidah?"

"Duduk! Danau Unesa seng Ketintang! Bengi-bengi tapi, marine magrib! So swit kon jus'e mek limangewu."

"Aku yo tau mrunu seh ambek adek kelasku."

"Jam piro?"

"Moleh kuliah sampek arep magrib!"

"Halahh wes tah arek'e jak'en mrunu bengi-bengi! Apik wes percoyo'o aku!"

Sumpah demi dewa tendang-pantat, bajingan beruntung ini sudah dapat pacar baru. Move-on-move-on-move fuckin' on! Bitchessss! Saya tak pernah iri, tapi sore ini saya sungguh tak menyangka. Semuanya cepat sekali. So fast so furious!


***

Hidup saya tak pernah jauh-jauh dari penyetan. So sebelum mengerjakan tugas barusan saya membeli penyetan dan menyantapnya rame-rame (apakah makan berdua bisa dikatakan rame-rame? jika bisa berarti istilah saya sudah tepat horraaayy!--Ah, salah ya?) Disitu saya bertemu kawan yang dulunya sempat satu kos. Dia pacaran dengan sahabat saya. Kemarin sepulang kuliah kami tak sengaja bertemu di parkiran, dan saya iseng mengajaknya cangkruk di kos. Iseng-iseng berhadiah. Barangkali saja ia mentraktir saya jus. Tapi nyatanya dia belum dapat kiriman jadi sayalah yang mentraktirnya. All is fine for friend, allright? Jus ditenggak.

"He piye iki To, aku wes gak betah LDR ambek koncomu kuwi. Uabot eram (fakk! eram ini bahasa Magetan, artinya kurang lebih 'bingits') Aku iki gak disetujui wong tuwoku lek LDR. Mak-ku ae ngongkon aku golek pacar seng sak fakultas ben penak isok ketemuan terus."

"Jancuk lha salahmu ndeng nembak arek'e! Gateli kon!"

"Lha piye iki To terusan?"


"Cewekmu iku curhat'e nang aku ndul, sering. Aku sampek bingung ngrasakno gak lapo-lapo bengi-bengi di BBM, isine duwowooooo koyok... manukmu dowo nggak? Em, koyok ulo wes dowone. Lha iku isine koyok novel kon lek ero, aku gak paham opo tapi intine de'e nggolek'i kon cuk! Nangndi ae toh le le! Aku kok maleh terlibat jiangkrek hare!"

"Hahahaha, mosok To! Yo ngapuro tah! Tugasku akeh tenan iki!"

"Ndasmua wong kon yo chattingan ambek koncoku arek Bahasa Inggris ae lho, arek'e wingi cerito ndul!"

"Lho mosok?"

'Arek iku lek onok hubungan ambek lanang kadang-kadang yo cerito nang aku ndeng!"

"Gak onok opo-opo lho To, sumpah!"

"Bajingan kon iki cuk hahahahaha! Padahal raimu yo ngene-ngene ae seh le hahaha!"

"Wes tah aku serius ikiii. Piye enak'e?"

"Ngomong jujur ae nang arek'e: lek pengen putus yo putus, gak betah yo gak betah. Tapi alon-alon ae disamping cewek arek'e yo koncoku. Tapi yo sak karepmu seh!"

"Iyo wes To tapi emboh kapan aku ngomonge saiki aku dorong sempet. Sek bingung nugas."

"Sakarepmu leeee...."

Dan memang dunia ini serba mengejutkan. Malam ini sebelum pulang dan menyantap penyetan, saya sempat menemui bajingan satu ini. Berkata sepatah dua-patah kata jorok dan dilanjut straight to the point:

"Wingi pacarmu bengi-bengi BBM aku: 'aku udah putus.' KON KOK CUEPET MEN LEK MUTUSNO AREK CUK!"

Dia hanya tertawa-tawa tanpa beban. Dan disini, 00.19 WIB: tugas menanti lagi. Huaaahhhh ngantukkkkk Buuu! 

Thanks Rocket Rockers "Akhiri Sepi" yang diputer terus sampai mampus: "Hampa terasaaa dan sepi pun menyapaaa~

Thursday, November 20, 2014

Headset Plug On: Belai-Belai Melankolia

Dan di posting sebelumnya jujur saya akui saya galau hehe. Dan saya tak peduli-laaahhhh. Dan disini saya berencana pamer playlist yang ultra frekuentif saya putar di pemutar musik saya. Dan tanpa banyak bacot inilah playlist saya minggu ini yang kebanyakan berisi lagu-lagu so called pop dan jujur, lagu-lagu berikut cukup menyentuh perasaan saya. Jangan terharu. Plis!

1. Sherina "Sebelum Selamanya"
Dari album Tuna, Sherina bernyanyi ringan di lagu berdurasi hampir lima menit ini. Baik, "Sebelum Selamanya" agaknya menjadi lagu yang harus saya camkan baik-baik saat nanti ingin menjalani hubungan lagi (entah kapan itu entah kapan!). Pesan yang ingin disampaikan lagu ini adalah bahwasanya Sherina sudah kebelet kawin. Tapi sesungguhnya sebelum berikrar selamanya ada baiknya membicarakan dulu soal komitmen ke depan. Dan sebelum saya jadi makin sok pakar dan sok tahu masalah percintaan, sebaiknya baca lirik dibawah baik-baik. 

Jaga hati yang kuserahkan untukmu
Jangan lupa rasa jatuh cinta pertama kita
Dan tali asmara kita yang tlah diuji waktu
berjanjilah sayangku, sebelum selamanya...

2. Dewi Lestari "Malaikat Juga Tahu"
Dee adalah penulis idola saya meski saya hanya pernah baca Supernova Petir saja, itupun meminjam paksa dari teman. Tapi film Rectoverso menurut saya adalah satu dari banyak film drama keren Indonesia yang juga diadaptasi dari kumpulan cerpen Dee yang berjudul sama. Dengan unduh pdf saya sudah dapat itu semua plus album musik bagus berisi lagu-lagu dengan suara melankolis Dee yang mempunyai benang merah dengan isi cerpen. "Malaikat Juga Tahu" adalah satu-satunya lagu yang saya dengar di album ini, juga satu-satunya lagu yang mungkin paling ultra frekuentif saya putar saat sedang melamun. Dee mengolah lagu ini dengan magis, tanpa ratapan cengeng dan menye-menye lagu ini bahkan bisa membuatmu meraung-raung. Dengan kapasitas Dee sebagai penulis jempolan, urusan lirik dalam lagu ini bagaikan sebuah jurang di dasar lautan. Dalam. Dalam sekali. Hiks. Jangan nangis. Hiks.

Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu
Ada cinta yang nyata
Setia, hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri...

3. Mocca "Twist Me Around"
Saya menyesal tak menonton Mocca minggu lalu di ICE2014 dan malah menonton Rosemary faaakkkk! Tapi tak mengapa toh saya juga baru mengerti indahnya lagu-lagu Mocca sebulan sebelum ICE2014 digelar. Ya ya saya brengsek karena saya mengunduh hanya album My Diary saja dan itupun lewat bebas unduh karena internet jaman sekarang murah sekali. Tapi Mocca, oh Mocca. Musikmu memang mempesona. Dalam lagu ini khususnya, ada sebuah momen entah di menit ke berapa saya malas ah untuk menghitung dimana suara vokal Arina Epiphania--dan dia adalah adik Dee you know--yang seringan kapas dan seperti hembusan angin yang siap membawamu terbang. Ah, jangan dibayangkan. Vokal 'terbang' itu menyanyikan larik ini:

Twist me around
All i need is someone who's
Willing to stroke my hair
Like a soft blowing breeze
My poor sentimental side
Twist me around...

4. The Titans "Seandainya"
Lagu ini sesungguhnya merusak tatanan playlist diatas dimana semua penyanyinya adalah wanita. Saya pun sudah lupa band apa The Titans ini dan bagaimana nasib mereka sekarang. Pun apakah lagu-lagu mereka yang lain layak dengar atau tidak saya juga tidak tahu. "Seandainya" adalah satu-satunya hal yang saya tahu mengenai band ini. Dan iya benar lagu ini memang easy listening dan saya yakin pernah berseliweran di Inbox. Entah mengapa saya suka lagu ini. Mungkin karena musiknya memang sederhana, liriknya jujur dan ada sesuatu dalam lagu ini yang membuat saya teringat masa SMP. Maaf The Titans saya baru searching di Google dan saya baru ingat bahwa kalian adalah pecahan dari Peterpan. Jangan terkejut.

Seandainya ku dapat menemanimu malam ini
Hilangkan sepi
Seharusnya ku ada di sisimu dan ku terjaga
Hingga kau terlelap mimpi...

5. Efek Rumah Kaca "Melankolia"
Duh, ini band besar. Band indie kesayangan Indonesia. Band dengan kekuatan diatas rata-rata. Lagu ini mengubah kegalauan yang seolah panas di padang tandus menjadi beku dibawah 0 derajat. Entah kegalauan akan menjadi lebih galau atau malah akan berkurang yang pasti tak ada perumpamaan yang lebih pas selain kalimat di atas. Dengan kharisma vokal Cholil yang sendu dan terasa amat sangat mengiris perasaan, lagu ini sungguh menjadi ultra frekuentif dalam playlist terutama saat saya sedang di kampus dengan suasana mendung yang mendukung. Dalam liriknya, ada hawa murung yang indah, juga hawa gelap yang mesra. Melankolia. 

Nikmatilah saja kegundahan ini
Segala denyutnya yang merobek sepi
Kelesuan ini jangan lekas pergi
Aku menyelami sampai lelah...

Begitulah, hanya ini yang mampu saya pamerkan. Dan secemen-cemennya saya yang mengaku metalhead tapi malah bermenye-menye ria, saya hanya bisa berkata: iyo bener seh hehe! :D

Friday, October 10, 2014

Biaskan Semu, Semua yang Tersisa

Saat ini kita duduk di tepian danau. Kamu berharap imajinasimu kali ini tak jadi nyata. Seolah-olah sesudah kamu bercerita bahwa apa yang kamu pikirkan—hal-hal tabu, tak masuk akal, sulit dinalar—selalu saja jadi kenyataan, ular besar sebesar naga yang kau bayangkan akan muncul dari dasar danau dan mencelakai kita semua: termasuk orang memancing, muda-mudi yang berpacaran juga ayah yang menggendong anaknya sambil menatap danau. Tapi aku justru berharap ular itu muncul dan kita akan terkejut; biar kamu yakin bahwa imajinasimu selalu jadi nyata. Karena sejujurnya aku berharap bahwa aku ada dalam jutaan imajinasimu.

Waktu berlalu. Kita hanya duduk. Menatap danau jernih seluas tiga kali lapangan bola, dan melamun. Kita sudah membicarakan banyak hal. Aku tahu kamu gelisah menunggu nilai test-mu diumumkan. Kamu tahu aku gelisah banyak deadline yang harus dikerjakan. Semua menumpuk. Tapi tumpah seketika saat kita bicara. Sore ini bebanku terbagi. Kita selalu seperti ini. Membagi semua. Biaskan semua. Tanpa sisa. Aku tahu kamu ingin berjumpa adik bayiku yang baru berusia tiga tahun—atau empat tahun aku lupa?—dan kamu akan menggendongnya, mengajaknya bermain, meninabobokannya, tapi kamu bingung saat dia minta mimik. Sementara kamu tahu aku masih mengharapkan ular besar itu muncul dari dasar. Dan di sore itu, genap dua puluh kali kamu mencubit pipiku. “Ih, aku takut lho. Jangan ular-ularan terus!” katamu. Aku semakin menggila. Dua puluh satu cubitan mendarat. Aku kesakitan dan entah mengapa juga kegirangan.

Senja mulai turun. Pukul lima lebih sekian menit. Ada sesuatu di angkasa yang membuat kita terus memandanginya. Langit mulai kekuningan. Indah. Aku melihat sorot matamu lembut menatap pendar sinar, sedikit menyilaukan retina. Air danau mulai bergerak tertiup angin. Membentuk gelombang elok. Begitu pula kita. Bersamaan dengan itu aku menunjuk tengah danau. “Hey liat, danaunya kayak kekuning-kuningan gitu. Keren nggak?” Kamu mengangguk sambil tersenyum. Aku menantikannya sedari tadi. Senyuman termanis di penghujung senja. Senyuman terlembut di antara bayang-bayang nilai test, tumpukan deadline dan ular sebesar naga. Senyuman terhangat, yang entah untuk senja, atau untuk aku.

Keniscayaan yang muncul pasca senja adalah gelap. Tapi bukan gelap yang membutakan mata. Aku masih bisa melihat daun tertiup angin, sinar lampu kota yang mulai nampak, penjual cilok yang duduk menghisap kretek, dan, aku masih bisa melihatmu. “Nggak pengen senyum? Cantik kayaknya kalo senyum.” Dan kamu pun tersenyum. Melengkapi langit orange-keungu-unguan yang sedang terjadi. Soreku sempurna.

"Diam
Tatap wajahku perlahan
Derukan, derukan
Angin panjang
Sisakan bebas
Bebas yang tertinggal
Huuhu…"

Danau Lidah, October, 2014
Title and quotes taken from Humi Dumi’s song “Ceria Cerita”
It’s just fiction or reality? Who cares.

Saturday, September 20, 2014

Mereka Yang Muter-Muter Terus Di Kepala Saya Akhir-Akhir Ini

Di tengah pembodohan dan omong kosong korporasi TV milik politikus yang makin memperkeruh suasana politik Indonesia pasca terpilihnya presiden metalhead pilihan saya dan jutaan orang Indonesia Pak Joko Widodo, fokus saya terhadap TV pun berubah. Pemberitaan bernada positif kalah dengan berita tentang kesialan Indonesia. Prediksi rapuhnya pemerintahan Jokowi-JK dihembus secara militan. Tambah lagi dengan news anchor yang membawakan tema yang itu-itu terus. Mereka memberi makan para pengamat politik yang kian hari makin banyak order. TV berita pun lama kelamaan bisa bikin sesak napas. Saya yang biasanya selalu nonton berita akhirnya memilih lepas sejenak dari keruhnya ini-itu dan mulai menemukan hal baru. Tapi hal-hal ini justru malah jadi muter-muter terus di kepala. Inilah!

Haruka
"Hah? Masak sih? Oya?"
Saya bukan penggemar fanatik yang gemar pakai kaus JKT48 versi hardcore yang sempat nghype itu—‘tampang heavy metal, hati heavy rotation’—yang baru-baru ini muncul juga versi death metalnya dan dijual di distro berjajar dengan kaus Dimmu Borgir. Tapi mbak Haruka (atau Dik Haruka ya?) yang imut-imut menggemaskan itu heavy rotation melulu di kepala saya. Haruka ini asli Jepang jadi wajar bahasa Indonesia-nya amburadul sekali di INI Talkshow. Anak ini konyolnya minta ampun, bloon pula. Tapi kerennya, semua itu tak dibuat-buat alias alami. Tak seperti artis-artis medioker yang baru sekali dua kali muncul di TV tapi lagaknya sudah sok keren berlagak superstar. Hina sekali kau para artis kacangan. Media gosip secara mengenaskan juga menampilkan artis gadungan ini berkali-kali walau minim prestasi, hanya modal tampang dan sensasi. Gaya bicara, tingkah laku, bahkan semua yang menempel di diri si artis sepertinya dibuat-buat alias settingan. Tapi Haruka ini berani jadi diri sendiri tanpa peduli—persetan lah!—dengan pendapat orang lain. Mau konyol lah, bloon lah, malu-maluin lah, terserah gue keleus, yang penting gue fun jadi diri gue sendiri. Itu sih yang saya suka. He-he. Jadi kapan nih mbak main ke rumah?

Prilly
Sekarang para vampir jadi sering nongol siang bolong lho mbak. Nggak takut?
Oke sebelum hingar-bingar media gosip yang selalu ditonton anak-anak di TV kosan yang tiap hari memberitakan cinta monyet Prilly-Aliando saya sudah terlebih dulu melamunkan Prilly. Bangsat kau Aliando tapi tidak mengapa karena sinetronmu makin hari makin absurd saja. Saya menonton Ganteng Serigala bukan karena jalan ceritanya yang super-duper amburadul dan pantas dicaci maki tapi karena Prilly semata. Sekali lagi karena Prilly semata (diulang dua kali karena saya tak mau jatuh dalam lubang kenistaan sinetron penjiplak serial keren True Blood dengan vampir yang bisa nongol siang-siang tanpa terbakar, OMG Helloooow!). Terbukti saya selalu ganti channel jika tak ada Prilly dalam adegan. Saya bingung kenapa ini anak terus muter-muter di kepala mungkin karena mimiknya yang imut-imut dan cerewetnya yang kebangetan kali ya. Tapi belum lama ini sepertinya saya sudah mulai bosan melihat ini anak. Entah kenapa. Mungkin karena Prilly makin hari makin sering nongol di acara gosip pagi yang tak penting-penting amat. Jadi maaf ya mbak, foto-foto di hape saya yang nyolong dari Instagram pribadi mbak sudah saya hapus.

The Strokes
"Minggir! Berandalan New York mau lewat neeh!"
Album Is This It (2001) dari The Strokes baru saya dengar kira-kira sebulan lalu. Jadi saya baru tahu band ini. Musiknya primitif, 60-an ala-ala band garage rock/punk yang dipatenkan Velvet Underground. Saya juga belum pernah dengar Lou Reed bahkan VU sekalipun, jadi kalimat sebelumnya saya tulis berdasarkan baca-baca referensi saja. Terima kasih untuk The Strokes karena berkat mereka saya jadi tahu bagaimana serunya musik garage 60-an. Julian Casablancas dkk. ini pernah saya tonton di YouTube saat mereka membawakan set konser. Dan langsung saja, mereka jadi muter-muter terus di kepala saya selama berhari-hari, dalam artian lagu dan lirik mereka di Is This It—yang konon katanya masuk daftar album terbaik sepanjang masa versi banyak media musik terhormat—selalu mengalun baik di headset, speaker, maupun playlist YouTube. Favorit saya di album ini: “New York City Cops”, “The Modern Age” dan “Hard To Explain”. Sementara track lain saya juga suka tapi tak masuk daftar favorit.Yang sabar mas Julian walau banyak yang mencela album terakhir sampean dan kawan-kawan tak sebagus Is This It. Saya masih medioker kok mas. Baru dengar Is This It saja jadi belum berani nyela yang aneh-aneh. He-he.

Cerpen Kompas
Ini judul kumcer atau grup WhatsApp?
Saya tak mementingkan siapa pengarangnya untuk itu saya tak sebutkan disini—walaupun sebenarnya itu modus karena saya selalu lupa nama para penulisnya he-he—tapi intinya kumpulan Cerpen Kompas yang menyebar di dunia maya dan saya unduh PDF-nya mulai dari yang tahun 2000-an sampai yang terakhir 2013 ini sukses membuat saya merinding sendiri bahkan ketika saya sedang boker di WC. Jalan ceritanya yang agak suram di beberapa cerpen muter-muter terus di kepala saya. Untung yang muter-muter itu tak saya siram juga bersama feses karena saya akhirnya ketagihan membaca Cerpen Kompas berkali-kali dan tak pernah bosan. Tuh kan saya jadi ingin membacanya lagi. Cerpen Kompas ini secara keseluruhan memang bagus dan berkualitas dari segi sastra dan gaya bahasa. Itulah sebabnya bagi para penulis yang cerpennya sudah dimuat bisa langsung berbangga hati sambil sujud syukur tujuh hari tujuh malam karena Cerpen Kompas ini sudah jadi salah satu barometer cerpen bermutu Indonesia.

Berpacu Dalam Melodi
"Satu hari kita berpisah, satu hari pula usia kita bertambah!"
Sejak kecil Naif sudah menjadi salah satu band Indonesia favorit saya. David, Jarwo, Pepeng dan Emil dengan gaya klasik dan musiknya yang asyik membuat saya mengidolakan mereka apalagi bang David. Semenjak workout, David yang dulu gondrong dan tambun sekarang menjadi sixpack dan keren dengan rambut jambul. Terakhir saya tahu David saat baca artikel panjang di Rolling Stone Indonesia dengan cover Agnes Monica. Siapa sangka ia kemudian jadi host kocak yang membawakan Berpacu Dalam Melodi dengan bagus. Dari pertama saya lihat kuis ini begitu meriah dan banyak nyanyinya. Apalagi ada kepuasan tersendiri saat berhasil menebak apa judul lagu, band atau foto wajah yang ditampilkan. Sering gemas juga saat lagu yang dibawakan terlalu asing bagi telinga. Kuis ini pun muter-muter terus di kepala saya Senin-Jumat usai salat maghrib. Rumah jadi ramai. Kosan jadi ricuh. Berebut tebak lagu. Berebut nyanyi. Lepas dari itu, David Bayu sebagai host—yang pernah dicaci di Twitter karena menurut si tweeps David ini terlalu kampungan dan norak—berhasil membawakan acara ini dengan seru bingit walau memang masih perlu banyak belajar sih keleus. Ho-ho-ho!

Yeah Yeah Zine #1: Editorial Hura-Hura

Pengalaman pertama membaca zine sejujurnya saya dapat sewaktu SD. Kakak saya punya setumpuk koleksi zine lokal di meja kamarnya, selain koleksi kaset pita band-band underground. Masa SD yang biasanya diisi dengan mengisi LKS, mencongak atau menggambar gunung di buku gambar A4 mendadak berubah usai membaca salah satu zine. Saya tanpa ragu minta dibelikan sepatu Converse, tiba-tiba anti Mc-Donald, benci Bush dan invasi Amerika, serta mulai tertarik dengan kompilasi punk lawas rilisan Proton Records ‘Berpacu Dalam Melodic.’
Pengalaman tersebut membawa saya hingga masa SMA. Masa dimana mulai ada luapan rasa bosan, muak, kesal dan kecenderungan untuk melawan. Trend hipster menjamur, anti-mainstream merebak, pergaulan bawah tanah mulai masuk. Dan lagi-lagi, saya bertemu dengan zine punk sebagai bahan bacaan: semangat ugal-ugalan, lempar molotov, dan bersenang-senang sampai mampus. Saya pun kembali temukan kesenangan disitu.
Dan akhirnya sampai pada masa kuliah. Bersama beberapa kawan seperjuangan, muncul kesepakatan untuk mulai merangkum karya dalam konsep zine ini. Masih berlandaskan semangat do-it-yourself yang dibuat seenak udel, kami tak berharap lebih selain bisa menyalurkan energi dan membagi inspirasi.
Oke, bahasa kami memang masih buruk, media kami masih awut-awutan, proses kami masih ugal-ugalan dan tulisan kami masih absurd; tapi tak mengapa atas nama gairah, hura-hura dan senang-senang semata. Jangan heran dengan nama zine kami, Yeah Yeah Zine memang dicomot langsung  tanpa tedeng aling-aling dan beban moral sedikitpun dari nama band art punk asal New York, Yeah Yeah Yeahs! Trims berat Mbak Karen O. Oh Yeah!

Yeah Yeah Zine #1 format PDF bisa kalian unduh bebas DISINI.

Antichrist Demoncore (ACxDC) – Antichrist Demoncore: Grindcore Mengerikan Para Pemuja Setan


Singkirkan kata perlahan, persetan kata woles. Antichrist Demoncore bermain tak sopan disini: merangsak cepat, tempo brutal, isian-isian kejam. Ini bukan pesta lagi namanya, tapi penghancuran. Newschool Grindcore, atau apapun yang ingin kalian sebut tentang band ini, yang pasti mereka tak segan mengajakmu berhura-hura sambil melonjak-lonjak kesetanan. Bersiaplah headbang sampai salah urat. “Destroy//Create” –track pertama: penuh amarah, putus asa, kesakitan tiada tara; lagu yang membuat ungkapan ‘urip gak segampang cocot’e Mario Teguh’ benar adanya. “Misled” selanjutnya. Lebih kejam. Hyperblast menjadi-jadi. Kalian mungkin tanpa sadar akan memaki: ‘Anjing, ini kacau sekali!’ Buang lagu-lagu metal kekinian dari band-band sok cadas milik kalian karena ini jauh lebih mengerikan. “Paid In Full”: iringan breakdown ala hardcore dipadukan jerit keji dari sang vokalis. Hardcore sepertinya kurang pantas disebutkan karena ini jauh lebih edan. Nikmatilah sembari menyeringai dan tonjok muka sendiri. Mutilasi gendang telinga, bombardir denyut jantung dan oke, kalian akan segera berlumur dosa. “Holmes” adalah mampus, setengah mati, minta ampun atau apapun ungkapan yang menggambarkan kepala pecah. Band ini kemungkinan besar menelan pil koplo sampai hampir overdosis saat rekaman. Tak karuan tapi lama-kelamaan rasanya mengasyikkan. It’s Really Party Chaos! “Cheap Punks” adalah murni grindcore tanpa ba-bi-bu. Kalian akan seperti mendengar ‘Aaarrrggh!’ 41 detik tanpa interupsi. Saran: segera beli Bodrex di warung sebelah. Hingga sampai pada “Savior Complexxx,” track bengis, kasar dan liar. Jangan sekali-kali mendengarkannya dekat penderita asma.

Melihat konten album penuh pertama mereka, jangan sungkan untuk bilang bahwa Antichrist Demoncore adalah band para pendosa bahagia dan para pemuja iblis sesungguhnya. Suguhan manifestasi kekerasan dalam bentuk album. Dari gaya vokal growl senapan mesin, scream pengiris daging, sampai teriakkan antah berantah penuh murka semuanya ada. Dari down-tunned, hyperblast, grinding, riff kasar, hook jahat, tempo palu godam, dan seluruh istilah dalam kamus grindcore segalanya lengkap. Kurang apalagi? Kurang ajar! 16 track penuh kesakitan. Pendengar berpotensi paranoid. Kaca pecah, tembok retak, gedung runtuh: perumpamaan yang menyebalkan karena tak ada kata lain yang lebih pas. Grindcore ganas memang selalu begitu. Camkan!

Dimuat juga di Ronascent.

Tuesday, August 19, 2014

Tuan Tanah - A Thousand Different Moving Pictures Can’t Describe This Feeling: Mendeskripsikan Thriller Dengan Instrumentalia Elektronika


Ketika coba mendeskripsikan A Thousand Different Moving Pictures Can’t Describe This Feeling, EP teranyar dari trio asal Surabaya yang mengaku memainkan post-rock instrumental Tuan Tanah, bisa jadi imajinasi akan langsung tergiring menuju lembah Timur Tengah dengan konflik tak berkesudahan dan kecamuk rasa kesepian. Menurut Tuan Tanah tentang konsep EP berisi lima lagu ini: “Kami membayangkan seorang ibu yang sedang hamil tua lalu menjadi tahanan tentara perang. Mulai dari disiksa, melahirkan bayinya, sampai meninggal dunia setelah melahirkan.”—sebuah konsep ala film bergenre thriller yang mau tak mau akan membuat denyut jantung naik turun. Masih dengan formula yang sama: suguhan elektronik-instrumental yang menyembur dari sayatan gitar yang terdengar miris, melodis sampai melankolis dibalut ketukan-ketukan elektronik, Tuan Tanah meramu genre musik yang masih terdengar asing di Surabaya ini dengan sound yang mendekati prima. Berbekal laptop dan efek-soundcard tercanggih, mereka memaksimalkan apa yang ada. Tak hanya merekamnya, mixing sekaligus mastering-pun juga dilakukan sendiri. Meski haslinya masih kurang dibanding musisi-musisi luar yang bergenre sama seperti Robot ataupun Lorelei, upaya mereka tetap patut disimak. 

Track pertama “Shopping With Dilated Eyes On Ghost Market” adalah introduksi yang pelan, lembut namun membunuh—khas film thriller. Berlanjut ke “A Farewell To Arms”, materi memusingkan dengan iringan gitar repetitif yang dibalut ketukan-ketukan elektronika. Memusingkan disini adalah dalam artian perasaan kesepian yang amat dalam; tepat menggambarkan adegan seorang ibu yang terkurung sendirian dalam penjara dengan perut membesar. Repetisi musik terus terdengar dengan tempo yang semakin intens. Rasa optimis hadir pada “Samsara’s Night” dimana kemungkinan besar sang ibu akan terus berjuang melahirkan bayinya walau sedang dalam penyiksaan sekalipun. Sekali lagi, nuansa repetitif kembali hadir. Namun disini Tuan Tanah terdengar lebih mengeksplor permainan gitar. Bayi yang dinanti pun akhirnya lahir dengan “Requiem” sebagai iringan. Tangis tersedu-sedu, kulit yang masih memerah dan tali pusar yang belum terlepas adalah murni kebahagiaan diantara kemuraman yang ada. Bertempo lebih lambat dari dua track sebelumnya, “Requiem” coba tawarkan harapan. Tapi thriller yang baik adalah yang mampu membuat bergidik bahkan ketika hampir berakhir. Mempersetankan happy ending, Tuan Tanah lebih memilih memainkan “Synthesizer Opus No. 1 on G# Major” sebagai ode kematian untuk sang ibu. Yang ada kini hanya tembok penjara gelap nan berlumut di tengah senja yang mulai datang. Sang ibu menghembuskan nafas terakhir dengan bayi masih di pangkuan. Film pun berakhir dingin. 

Secara keseluruhan, EP ini cukup berkesan walaupun di beberapa part terasa monoton. Dengan melihat potensi yang ada, besar kemungkinan Tuan Tanah bisa mengeksplorasi lebih dalam lagi musik mereka di album-album selanjutnya. Tapi lepas dari itu semua, thriller ala Tuan Tanah ini sungguh patut untuk diapresiasi: mereka berhasil bercerita hanya dengan instrumentalia sederhana yang direkam di kamar mereka sendiri.

Dimuat juga di Ronascent. dengan penyuntingan seperlunya. Thanks @fajroboy @TuanTanahExp

Tuesday, July 1, 2014

Linkin Park – The Hunting Party: Bahwa Linkin Park Bukanlah Sebuah Band Elektronik, Setidaknya Untuk Saat Ini

On The Cover: Linkin Park kembali memburu euforia 'nu-metal'?
  Linkin Park bukanlah band elektronik. Pernyataan ini mungkin akan segera disanggah habis-habisan, jika mengacu pada A Thousand Suns dan Living Things –album keempat dan kelima mereka; yang meramu habis-habisan sound dubstep kencang, hardrock futuristik dan eksplorasi bebunyian elektronika megah. Tapi sanggahan itu sepertinya harus kembali dipikirkan masak-masak ketika tahun ini LP memutuskan untuk merilis album keenam mereka, The Hunting Party. Mari tinggalkan pesta DJ penuh taburan lampu warna-warni dalam kedua album sebelumnya; saatnya kembali menginjak lumpur dan menggempur arena-arena rock, melonjak bersama. The Hunting Pary adalah sekuel dari Hybrid Theory; rap rock eksperimental penuh distorsi kencang, teriakkan penuh amarah dan musik jauh lebih gahar dibanding band rock langganan radio mainstream. Gitar Brad Delson kembali mengerang, kali ini dibantu Daron Malakian (System Of A Down) dalam track seru “Rebellion” – gabungan distorsi gelap berisi tindak-tanduk melawan dunia, dan Tom Morello (Rage Against The Machine, Audioslave) dalam instrumentalia ‘Drawbar” yang sedingin salju. 
  Bagaimana rockstar-rockstar berusia hampir 40 tahun tahun membuat sekuel dewasa dari album marah-marah mereka saat usia 20-an? Semuanya terangkum di The Hunting Party. Mengagetkan. “Keys To The Kingdom” cukup bisa membangunkan kalian dari tidur untuk kemudian bertanya-tanya: “It’s really Linkin Park?” Tak ada yang lebih bisa diapresiasi kecuali teriakkan vokalis yang kini juga tergabung di Stone Temple Pilots, Chester Bennington, yang tetap memiliki daya kejut yang prima –setelah sekian lama mengisi vokal main aman di A Thousand Suns dan Living Things. Dalam “Guilty All The Same,” nuansa nu-metal yang rancak hadir bersama rapper Rakim yang tak kalah seru dengan MC Shinnoda. Juga Page Hamilton yang menawarkan hardrock pada “All For Nothing.” Perlu juga dicatat bahwa kalian sedang mendengarkan Linkin Park, bukan Bad Religion ataupun Rancid saat track “War” mengumandang: nomor punk rock bengal ugal-ugalan; energi urakan tingkat maksimal. Dan, mengacu pada makna The Hunting Party yang berarti mencoba memburu kembali pesta-pesta rock layaknya masa lalu; bisa dibilang ini adalah Hybrid Theory 2.0 –album penuh kedewasaan untuk merayakan nostalgia nu-metal. Meski tak sebagus sekuel pertamanya, album ini lebih dari mampu untuk menyanggah pernyataan bahwa Linkin Park adalah band elektronik. Setidaknya untuk saat ini.

*Dimuat juga di Ronascent. dengan penyuntingan seperlunya.

Saturday, May 17, 2014

5 Tokoh Semasa SMA Yang Sukar Dilupakan

Di masa kuliah tak ada hal yang paling membuat kangen selain mengenang kembali masa-masa SMA yang penuh dengan kenakalan, keisengan, pacaran dan aksi labil lainnya. Pun jika mengingat kembali segala elemen menyebalkan yang harus dialami tiap hari: bangun pagi-pagi buta pulang sore-sore betul untuk PIB, melewatkan sarapan pagi bernutrisi yang dibuatkan bunda tercinta, menahan lapar, dahaga, kencing dan buang air demi pelajaran jam pertama, sampai menahan kantuk sembari menyangga kepala dengan tangan waktu pelajaran Sejarah. Ternyata semua yang menyebalkan itu kini seakan ingin terulang kembali. SMA memang mempunyai daya tarik kuat--semacam magnet baja yang membuat kita sukar melupakannya. Berikut beberapa tokoh dari SMAN 1 Pandaan tercinta yang menurut saya paling sukar dilupakan, entah itu karena jasa-jasanya, kenangannya atau hal lain yang melegenda. Sengaja dibuat urutan dari lima sampai satu, dengan urutan puncak sebagai tokoh yang paling sukar dilupakan. Dan, tercantum juga honorable mention karena keterbatasan saya dalam membuat list.


Bukti bahwa 'love' pun masih bisa bikin manyun. Untuk itu 'keep smiling' saja ha-ha!
5. Mak Kun Cs.
Kuartet pemadam kelaparan: Mak Kun, Om Heri, Mak Yati dan Pak No adalah hal yang sukar --bahkan sangat sukar dilupakan karena mereka sungguh berjasa menyelamatkan ‘hidup’ saya dari ancaman busung lapar dan gizi buruk seusai PIB. Menu-menu ajaib yang lebih seksi dari masakan Farah Quinn, lebih gahar dari selera Chef Juna, lebih mak-nyus dari rekomendasi Bondan Winarno: mie, nasi, tahu dan soto mereka adalah legenda. Meletakkan mereka di list ini cukup masuk akal karena tanpa mereka, sudah bisa dibayangkan jadinya akan seperti apa. Mereka adalah penguasa kantin SMANDA sepanjang masa. Juara!

Baca juga tulisan tentang kantin SMANDA disini.

4. Bu Atifa
Tak ada yang lebih killer dibanding tatapan mata Bu Atifa. Dibalik auranya yang bersahaja, guru Matematika legendaris ini sukses merampasi gelang-gelang saya berkali-kali dengan metode yang paling sadis: digunting. Selalu menyebut nama saya waktu situasi hening karena tak ada yang bisa menjawab soal Logaritma, menyuruh maju untuk mengerjakan rumus-apa-itu-yang-saya-bahkan-tidak-tahu-namanya di papan tulis sembari ditertawakan teman-teman dan yang terakhir, mempunyai kata-kata cercaan bermajas sarkastis yang hingga hari ini masih terngiang: “Tito, hmm. Masak dari tadi nggak ngerti-ngerti?” Ampun bu…

3. Pak Mustofa
Jika Pak Mustofa mulai ngelantur saat mengajar, kita hanya perlu segera menyadari bahwa ngelantur adalah proses alami menuju sebuah kesepahaman sejati. Tak ada salahnya juga membayangkan bahwa waktu masih muda dulu beliau mirip dengan Vin Diesel jika kita sudah mulai bosan dan mengantuk mendengar beliau mengabsen murid satu-persatu --dengan durasi sepuluh menit per murid. Beliau adalah tipe orang yang betah membaca buku-buku Koentjaraningrat hingga berjam-jam, menarik kesimpulan secara objektif dan subjektif, hingga meramunya menjadi kata-kata penuh metafora sebagai bahan ajar. Intinya; beliau seperti semacam geek jenius bidang Antropologi dan Sosiologi. Tak ada yang salah dengan beliau. Seorang baik hati yang ikhlas mengajar bahkan kala sebagian murid belum datang atau sudah pulang. Pak Mustofa adalah satu dari beberapa guru terbaik saya selama beberapa tahun terakhir. Akhirnya saya mengakuinya.

"Ternyata kamu begitu, dibelakangku....."
2. Monseour Wanta
Pengalaman nongkrong depan kelas saat Monseour Wanta sudah berada di kelas menjadi pengalaman yang tak pernah terlupakan. Beliau marah hingga menggebrak meja dan meninggalkan kelas. Saya dan beberapa teman yang nongkrong tadi pun pun jadi sasaran amuk teman-teman cewek yang emosi. Kami pun langsung menuju ruang guru untuk meminta maaf. Mengharukan karena beliau hanya tersenyum teduh sambil menepuk bahu kami. Meskipun saya tak pernah paham konjugasi bahasa Prancis dan cara bacanya, saya tak pernah lupa bagaimana kerennya beliau saat memamerkan foto-fotonya waktu berada di Paris, dengan percaya dirinya menunjuk bagian papan tulis yang diyakininya pernah ia tulisi sesuatu yang penting, senyumnya yang selalu membuat melting kala teman-teman hanya bisa melongo saat diterangkan, hingga air matanya yang mencair dalam pelukan teman-teman di hari mengharukan sesaat setelah istighosah untuk UNAS berlangsung. Satu lagi ucapan dari beliau yang paling saya ingat selain “Bonjour!” dengan logat khas Menara Eiffel: “Saya tak mengharapkan surga, neraka, atau apa saja. Saya hanya mencoba ikhlas, menyerahkan apapun pada-Nya.” --ini yang membuat saya yakin bahwa beliau sudah mencapai titik ikhlas tertinggi.

1. Bu Niamah
Slogan “Niamah For President!” tak pernah lapuk dimakan zaman. Jika ribuan penduduk mendukung Jokowi sebagai capres, saya tetap menjagokan Bu Niamah. Argumennya soal televisi, politik, pemerintahan, kemanusiaan dan percintaan adalah pemikiran yang paling bernas yang pernah saya temui sampai saat ini. Pun sikap keibuannya yang membuat teman-teman betah di kelas. Mengubah saya yang awalnya canggung menjadi sedikit lebih berani bicara depan umum. Tugas baca pidato terakhirnya sukses membuat saya menahan pipis di celana karena nervous. Ini guru terbaik saya hingga saat ini; guru yang paling sukar dilupa, juga paling banyak membentuk saya; beliau pantas menduduki peringkat pertama. Banyak buktinya jika tangan dingin beliau mampu mengubah anak-anak yang gagap menjadi banyak omong. Hingga pengalaman spiritual waktu detik-detik terakhir menjelang UNAS di saat PIB kala beliau melakukan retrospeksi dua tahun terakhir bersama kelas bahasa sampai menitikkan air mata. Peristiwa ini jauh lebih mengharukan dibanding film Laskar Pelangi yang soundtrack-nya pernah menjadi salah satu lagu bersejarah kelas bahasa. Ibu kelas bahasa? Iya. Pejuang siswa minoritas? Iya. Sosok penting pengubah hidup? Iya. Kalau saja tak ada Bu Niamah yang mengajar Sastra Indonesia, mungkin sekarang saya sudah belepotan cat sambil menenteng efek gitar ke kampus untuk kuliah kesenian atau sibuk mempelajari ilmu roket. Mimpi-mimpi masa kecil untuk menjadi pelukis, rockstar dan astronot berani saya tanggalkan dan lebih memlilih untuk kuliah Sastra Indonesia walaupun tak jelas nanti kerjanya apa; semuanya adalah pengaruh Bu Niamah. Yang jelas, saya suka Sastra Indonesia dengan guru pembimbing Bu Niamah. Dosen-dosen di kampus tak ada apa-apanya!

Baca juga tulisan tentang Bu Niamah disini.

Honorable Mention.

- Pak Tirto: “Perubahan itu perlu. Tapi ada juga yang perlu dipertahankan.” kata-kata beliau waktu menjelaskan tentang paradigma Pancasila yang tercatat dengan font besar di halaman pertama buku tulis PKN saya. Great Quotes Ever!

- Pak Harto: Ayahnya Shofi, pengisi siraman rohani di jam pertama hari Senin setelah dibakar terik matahari lapangan seusai upacara bendera. Asyik, sambil belajar sambil nambah pahala. Lumayan juga buat pengingat untuk tobat.

- Pak Sulkan: Dibuka dengan Pak Sulkan, dilanjut dengan Bu Atifa. Matematika memang selalu luar biasa.

- Bu Nurul: Hai, bu :) Mari berdoa lagi.

- Pak Ula: Hai, pak :) Mari mengaji lagi.

- Pak Nur: Hai, pak :) Mari Facebook-an lagi.

- Pak Imad: “Ohayou Gozaimasu… Konbanwa… Ogenki Desuka!” --benar, hanya kata itu yang saya ingat.

- Pak Agus: “Good morning students. Nice to meet you. Are you fine enough today?” Dan seisi kelas kompak menjawab “Noooooooooooooo…..sir!”

- Bu Riris: Semoga menikah tak mengurangi keceriaannya. “Be Cheerful, guys!”

- Pak Heru: Bukan hanya cinta yang bisa melukiskan sejarah, Pak Heru sebagai guru paling ber-SEJARAH di SMANDA inipun bisa. Sukar dilupa, terutama waktu dua kali diusir dari kelas karena tak mengerjakan buku paket. Lepas dari itu, tidur siang dengan bantal paket Matematika yang tebal waktu pelajaran beliau di jam terakhir saat beliau asyik membahas ‘ilmu pertamanan’ adalah pilihan yang tepat --jika tak ketahuan.

- Pak Timbul: Sampai kapanpun, kepala sekolah SMANDA bagi saya adalah pak Timbul, irreplaceable!

- Mrs. Eni: Guru paling baik dan telaten. Bisa nyantai kalau diajar Bu Eni, tapi tak bisa malas-malasan atau tiduran karena sungkan.

Dan semuanya yang tak bisa disebutkan satu-satu…

Notes: IB2012: Rek nggaweo list pisan tak enteni haha.

Ronascent #GigSeadanya [Day 2 - Unesa]: The Wise Menghipnotis, GRIBS Tampil Membaptis


Setelah sukses mengumpulkan band-band indie Surabaya dari berbagai aliran dalam album kompilasi “Ronascent Compilation #1” yang merangkum musik-musik indie keren yang sempat hype di akhir 2013 kemarin, sebuah gigs sederhana bertajuk “Gigs Seadanya” untuk merayakan kompilasi itu akhirnya dihelat, tak tanggung-tanggung di dua universitas besar di Surabaya; Unair (Universitas Airlangga) dan Unesa (Universitas Negeri Surabaya), bekerja sama dengan dua komunitas musik terbesar di kampus tersebut, yakni BSO Unair dan Emuc Unesa. Dengan semangat untuk meramaikan kembali gelora musik indie yang sempat vakum di kedua kampus tersebut, serta untuk bersenang-senang bersama teman-teman sekaligus menjaga kekompakan antar pecinta musik, gigs ini dimulai di Kantin FIB Unair (7/5) dan esok harinya di Lapangan Parkir FBS Unesa (8/5). 

Kampus FBS Unesa yang terletak di Lidah Wetan memang sengaja dipilih sebagai penutup rangkaian acara Gigs Seadanya ini. Sesuai dengan namanya, gigs ini memang benar-benar memasang konsep sederhana: dimulai dengan tidak adanya panggung sehingga penonton seakan sama rata sama rasa dengan pengisi acara hingga memungkinkan interaksi intim, ditambah lagi dengan nuansa kampus Unesa Lidah Wetan yang terasa seperti di hutan kota nan eksotis. Tapi, jangan tanya headliner-nya; GRIBS—aksi hair metal revival asal Jakarta—siap mengobrak-abrik gigs ini sekaligus promosi album baru mereka. Dipandu dengan host kocak Attur Razaki dari kelompok folk-rock Taman Nada, acara yang telah dinanti-nanti pecinta musik indie Surabaya ini dimulai sekitar pukul 17.00 WIB. 

Tuan Tanah, band pembuka, membuka waktu menuju senja itu dengan musik Ambient yang mereka usung: semacam soundtrack yang pas menjelang Adzan Maghrib. Tuan Tanah tampil prima dengan instrumentalia gelap nan misterius yang hanya tersembur dari synthytizer dan melodi gitar. Sayangnya, penonton masih terlihat sepi. Menjelang malam hari, suguhan istimewa datang dari Edso Coustic, yang meramu konsep pop dengan akustik. Mereka sempat membawakan lagu “Unconditional” dari Katy Perry selain lagu-lagu mereka sendiri. Dilanjut dengan band beraliran pop-punk dari Unair, Nevermore. Mereka melumat habis tatanan kesenduan yang dilakukan oleh dua band sebelumnya. Disini mereka bermain blak-blakan, mengingatkan pada musik-musik ala Sum 41. 

Suasana di area gigs tampak mulai ramai saat mereka mengcover lagu masa kecil dari Sherina. Gigs yang semakin larut semakin ramai ini pun seketika mulai mengencangkan ikat pinggang untuk ber-moshing ria ketika band dari Unesa, Tiga, membawakan dengan apik cover lagu dari band post-punk Marjinal. Energi three-fuckin-chord yang termashyur meledak diiringi suara vokalis yang berteriak-teriak bengal. Lagu “Aku Ingin Sekolah Gratis,” sepertinya tepat sasaran dibawakan di area kampus untuk menyindir biaya kuliah yang semakin mahal. Suasana yang berapi-api ini tak begitu saja dilewatkan, muncul Jodum, band baru yang mengaku memainkan musik Hardcore. Mereka tak segan untuk membuat arena moshpit semakin panas. Dengan vokalis Bang Keweh yang berkali-kali orasi dan misah-misuh sebelum awal lagu, emosi penonton seperti diauduk-aduk. Lagu berbahaya macam “Satpol PP” dan “Buang Sampah” dengan gaya vokal layaknya rapper berhasil membuat malam di Unesa membara.  Egon Spengler, band selanjutnya yang juga memainkan hardcore, rupanya tak mau kalah. Walau dengan vokalis yang terlihat ngos-ngosan –entah karena lelah berjingkrakan atau karena sudah tak kuat nge-growl—Egon Spengler tetap bermain sadis. 

Setelah puas berjingkrakan tak karuan dengan alunan musik yang membuat nyeri sendi dan leher kaku, waktunya cooling down. The Wise didaulat sebagai pengisi acara selanjutnya. Band beraliran post-rock/indie pop ini meramu instrumentalia dengan sound yang menghipnotis penonton. Ada nuansa Radiohead yang misterius saat band ini memulai aksinya. Efek delay yang terus menerus dihujani raungan gitar mengawang seketika membuat penonton terbius. Bodikz, bassist My Mother Is Hero yang kebetulan sedang menonton, mengiyakan bahwa The Wise adalah band yang bagus. “Tapi aku nggak terlalu mengerti aliran semacam ini.” ujarnya. The Wise, yang kebetulan juga merupakan band yang masuk dalam Ronascent Compilation #1 akhirnya membawakan “Time Machine” dari kompilasi yang sama. Sambutan dari penonton sungguh meriah. 

Sempat ada rasa berat hati ketika The Wise akhirnya menyudahi permainan. Tapi semua itu langsung tergantikan oleh Charlie’s Rum And The Chaplin. Membawakan lagu-lagu punk dengan nuansa etnik, band ini sempat memperolah komentar dari Eben Andreas, gitaris GRIBS yang kebetulan sedang bersiap untuk tampil. “Gila! Musiknya kayak Rancid banget!” katanya. Tak heran karena Charlie’s Rum sendiri mendefiniskan aliran musiknya sebagai irish-folk-punk.

Puluhan orang kini tampak sudah memadati arena gigs, beberapa lainnya berkeringat. Suguhan demi suguhan musik telah ditampilkan, tapi mereka masih menyisakan sisa tenaga untuk bersenang-senang dengan headliner yang paling ditunggu-tunggu; GRIBS. Sebelum manggung, saya sempat berbincang singkat dengan Rezanov, vokalis GRIBS tentang ramainya penonton yang menanti GRIBS malam ini, Rezanov pun berujar dengan mata berapi-api,.”Yeah! Saya suka penonton Surabaya! Selalu suka!”

Yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba. “Hai Surabaya!” sapaan ramah dari Rezanov, vokalis GRIBS langsung disambut dengan gegap gempita oleh penonton yang hadir. Tanpa di komando, band yang digawangi Rezanov (vokal), Eben Andreas (gitar), Gahariden Sukaca (drum) dan  Hugo Singarimbun (bass) ini langsung membuat penonton merapat hingga benar-benar dekat dari tempat GRIBS. “Sinetron Indonesia”—lagu pembuka, langsung menyentil penonton untuk headbanging. Malam ini GRIBS tampil penuh kharisma. Dengan kostum ala band hair metal era 80-an awal seperti Guns N’ Roses dan Motley Crue, GRIBS adalah mesin yang bersiap membawa hair metal kembali pada tahtanya. Rezanov, vokalis kharismatik ini berteriak lantang, “Jancok ya, sinetron memang jancok!” disambut sorakan bahagia dari arek-arek Suroboyo yang hadir malam itu. 

GRIBS juga membawakan lagu andalannya di album terbaru THUNDER, “Gir Dan Belati”, yang mengundang masa untuk slam dance di arena moshpit. Mereka juga membawakan hits terbaru, “Istana Ilusi” yang mendapat tanggapan positif dari publik Surabaya. Setelah itu, salah satu lagu dari dedengkot thrash metal, “Shouth Of Heaven” dari Slayer, yang sempat di cover oleh band metal legendaris Indonesia Disinfected, dibawakan dengan kencang oleh GRIBS. Ini membuktikan bahwa skill band yang berdiri dibawah naungan Demajors ini tak kalah dibanding band-band extreme metal lain. “Sampai Jumpa Di Neraka”, lagu dari album pertama GRIBS –yang sempat masuk dalam 10 album Indonesia terbaik 2010 versi Rolling Stone Indonesia—seperti menyiramkan solar pada api moshpit yang mulai tak terbendung lagi. Satu kata yang terucap saat melihat ini: GILA! Dari mulai pogo dancing, slam dance, diving hingga headbanging liar semuanya seakan memuncak di lagu yang versi albumnya direkam dengan bintang tamu Arian13 dari Seringai pada vokal ini. 

“Rock Bersatu” adalah klimaksnya. GRIBS membaptis Surabaya dengan hymne rock andalannya. Jika band legendaris Roxx mempunyai lagu kebangsaan “Rock Bergema”, maka GRIBS mempunyai “Rock Bersatu” sebagai anthem. Disini para penonton tak hanya pogo, tapi mereka seakan sudah menyatu satu sama lain dengan berangkulan dan saling berbagi bir—membuktikan bahwa rock memang bisa menyatukan segala perbedaan. Di akhir lagu, Surabaya seperti ingin membuktikan bahwa sejak zaman nenek moyang kota ini memang dikenal sebagai kota yang selalu menghormati jasa-jasa para rockstar. Rezanov, sang vokalis, sempat dipeluk dan kemudain diangkat oleh penonton sembari dielu-elukan ketika lagu “Rock Bersatu” berakhir. Suasana yang sungguh mengharu-biru. Lagu ini menjadi pamungkas pertunjukkan GRIBS malam ini. Walaupun tanpa encore, GRIBS sudah mampu melampaui ekspekstasi penonton dengan aksi panggung yang memukau.

Mooikite, band yang juga ambil bagian dalam Ronascent Compilation #1 tampil sebagai penutup. Dengan formula pop-punk yang mereka bawakan, penonton merasakan anti-klimaks yang sempurna. Mookite membawakan “Agatha,” lagu di kompilasi Ronascent yang sekaligus menutup pagelaran “Gigs Seadannya,” di Surabaya. Penonton yang puas dan pulang dengan senyum tersungging di mulut, membawa setitik harapan: semoga gigs-gigs seperti ini bisa menjadi acara yang rutin diadakan. See you in the next GIGS!

*Pernah dimuat di Ronascent dengan penyuntingan seperlunya.

Foster The People – Supermodel: Kerumitan Psychedelic Yang Hampir Terdengar Menyenangkan


Apa ekspresi yang paling pas untuk membuka hal yang baru setelah era kesuksesan tak terduga single “Pumped Up Kicks” dari album Torches yang rilis tahun 2010 lalu? Dan, Foster The People – pasukan pop rock psychedelic asal Los Angeles, California – menjawab itu semua dengan nyanyian lantang: “Nananana-nanana-nanana-nanana!” – dalam “Are You What You Want to Be?”, track pembuka yang ceria di album terbaru mereka, Supermodel; mengumbar sound tradisional ala Afrika dipadu dengan irama pop yang membuat pinggul bergoyang. Mark Foster, Cubbie Fink dan Mark Pontius seakan  mencipta Supermodel dengan ambisi ingin mengulang kesuksesan single “Pumped Up Kicks” yang sempat berjaya di Billboard dan beberapa kali mendapat nominasi penghargaan MTV. Tapi, Supermodel adalah sesuatu yang lebih rumit, menggema dengan irama yang lebih kompleks; selain “Are You What You Want to Be?” yang penuh eksplorasi, simak “Coming Of Age” yang menggoda, catchy dan kalem – irama synth memabukkan disertai kocokan gitar renyah yang saling mengisi hingga ujung lagu. Ada juga rasa shoegaze yang menonjol pada “Pseudologia Fantastica”; mengingatkan pada My Bloody Valentine dengan rasa distorsi tipikal Kevin Shields yang mengawang. Pada “Best Friend”, ada momen yang membawa kita menuju radio disko 80-an; beat dan melody yang mengajak untuk segera berdansa. Pengalaman mendengar Supermodel memang membawa kita pada sesuatu yang baru, sound yang seru, emosi yang menggelitik dan eksplorasi yang membuncah. 11 track yang kesemuanya hampir berdurasi lebih dari empat-menit terdengar hampir sempurna. Tapi sayangnya, Supermodel lama-kelamaan malah terdengar agak membingungkan dan memusingkan. Karena eksplorasi berlebihan atau karena banjir nuansa psychedelic? Semua agaknya terlalu rumit. Too Explore Psychedelic!

**Pernah dimuat di Ronascent dengan penyuntingan seperlunya.

Tuesday, May 13, 2014

Suatu Sore Dan Web-cam

Berdoa, mulai!
Yang tengah lebih mirip Armstrong era Dookie atau DeLonge era Enema Of The State? :D
Boy Fukkin' Ba(n)d!
Haha, Fukk You!
Nggateli, haha!
"Terus lek aku mayak kon kate lapo cuuukkk!!!" Haha!
Bosan upload di Facebook, ribet tweet-pic di Twitter, malas share di Instagram, ogah ngurus BBM, Path, Line, Whats App, We Chat and many fuckin' app, saya memilih untuk mengupload foto-foto suram paling nggateli di blog saja. Di-shot dengan web-cam yang untungnya lumayan bening di balkon eksotis kampus. Hey, ternyata aku imut banget ya :D