Tulisan lama di 2014. Hanya saja baru diposting daripada nganggur
ngendap terus lumutan. Sekedar keinginan bahwa beberapa lagu di bawah akan saya
jadikan tulisan tersendiri nantinya—bila tak lupa. Tapi tentu saja kecil
kemungkinanya untuk tidak lupa huehehe...
Jujur
salah satu penyelamat terbesar dalam titik paling rendah di hidup saya adalah
musik—selain substansi yang memperberat kerja ginjal. Dibalik berbagai tindakan
bodoh yang sempat saya lakukan saat berada di titik itu, musik menyelamatkan
lebih dari yang saya duga. Ada banyak album bagus yang saya dengar saat itu.
Ghost Stories dari Coldplay misalnya. Album ini adalah album tergalau Coldplay
dengan sang vokalis Chris Martin sebagai penyumbang tangis terbanyak. Tak hanya
tangis mungkin bahkan ratapan dan rasa sakit yang dalam: album ini memang
terinspirasi dari kisah perceraian Chris dengan artis Hollywood Gwyneth Paltrow.
Sialnya, kisah patah hati Chris ini mirip-mirip dengan saya dan lebih sialnya
lagi album ini rilis tepat saat saya sedang dalam kondisi parah-parahnya. Agak
ekstrem untuk mendengarkan album ini lagi karena emosi yang didapat bisa cukup
intens (bayangkan saja kamu baru putus cinta dan band favoritmu mengeluarkan
album dengan konsep serupa—semacam soundtrack yang pas nggak tuh?) Tapi lepas
dari Ghost Stories atau apapun itu yang membuat muka saya jadi jelek kerena
kerap nangis, ada beberapa lagu yang membuat saya menyadari betul bahwa ini
semua bukanlah akhir. Lagu-lagu ini membuat saya hanya duduk, menatap awan,
bernafas dan kemudian merenung. Tak ada lagi kecengengan disini. Saya telah
membuang memori tentang “Ghost Stories” versi saya itu dan kembali berjalan ke
depan. Lagu-lagu berikut berada di masa transisi yang penuh dengan perenungan: Diterusno tah gak urip iki?
1. Radiohead – “I Can’t”
Tempat merenung: Balkon T4 lt.3
Waktu: pas telat kuliah
Hasil: bingung dewe, aku lapo nang kene
dewean?
Mas Thom Yorke yg super keren |
Kalimat ini indah bila diawali dengan
jancuk. Ya, jancuk! Tak ada emosi yang sebegitu intens selain karena mendengar
lagu ini. Tapi entah saya dengar yang versi apa, yang pasti bukan versi pertama
di album Pablo Honey yang menurut saya lebih raw dan meluap-luap—padahal versi
yang saya dengar ini mirip sekali. Tapi Thom Yorke dalam versi kedua ini
terdengar lebih menghayati, sendu dan hiks, gelap. Suram jancuk. Sudah telat
kuliah, belum sarapan, masih ngantuk dan...baru putus. Faak! Untung saja ada
balkon tempat bernaung (bukan untuk loncat ndeng). Putar saja smatphone gila
itu sambil menatap tembok atau apapun deh gelas Aqua juga bisa. Berdiam diri
dan merenung, Dan yayaya, “I Can’t”
adalah lagu pertama yang akan saya lempar pada pikiran yang setengah
mampus ingin mengejar pacar kembali padahal sudah putus. Tentu saja dengan refrain: “Even how i might/ Even how i
try/ I can’t.” Bahkan walaupun itu
mungkin, bahkan walaupun mencoba, kamu tak akan bisa. Jadi, saya memilih mundur
perlahan, dan memang inilah hal yang paling masuk akal. Duduk di balkon tak
pernah sesendu ini. Terima kasih Thom Yorke sudah membuat saya merenung dengan
cukup tekun selama hampir lima menit, untuk kemudian mempertanyakan kenapa saya
di balkon ini membusuk sendirian bukannya cabut cari makan.
2. Pure Saturday – “Musim Berakhir”
Tempat merenung: Kelas
Waktu: di kala dosen itu belum tiba
Hasil: cuk tugaskuuuuu dorong mari
Pure saturday dan Pure People di belakang |
Penikmat musik illegal seperti saya
kadang memang suka telat mendengar album bagus. Yang terbayang dari Pure
Saturday hanyalah lagu pop mengawang “Kosong”yang dulu sempat saya dengar
sewaktu SMP. Tanpa dinyana tanpa diduga PS mengeluarkan mahakarya—kalau menurut
saya—berupa Grey album yang rilis tahun 2012. Gila. Apa-apaan ini band indie
pop bereksplorasi liar ke arah prog/art rock. Wuih. “Horsemen” cukup
memprovokasi saya agar jadi pria jantan, mampu menghadapi kenyataan dan selalu
berkepala dingin (keramas dengan Clear Menthol maksudnya). Tapi yang terbaik
dari Grey bukanlah track itu, melainkan “Musim Berakhir.” Sebagai satu-satunya
lagu di album itu yang memakai bahasa Indonesia, mencerna liriknya yang lumayan
bagus diiringi perpaduan indie pop khas PS dengan hawa prog-rock yang kental
(khususnya terasa di bagian drum) menjadi sentuhan emosi tersendiri. Merenung
tak selalu harus memikirkan sesuatu hal. Merenung juga bisa berarti sadar akan
segala yang sedang dialami. Dalam konteks ini, saya tersadar dosen akan segera
datang. Dan ini berarti hanya akan ada
dua pilihan: tetap santai di bangku belakang atau mengeluarkan binder dan mulai
mengerjakan tugas. Saya dan 62% warga kelas tentu memilih yang pertama.
3. Mew
– “Behind The Drapes”
Tempat merenung: Kasur empuk di rumah
Waktu: sesudah sahur sebelum subuh
Hasil: turu ae wes
Mew, pahlawan post-rock kita |
Frengers dari Mew adalah soundtrack hidup
saya di Ramadan tahun ini selain Ghost Stories. Tapi saya mengapresiasi
Frengers tanpa pernah merengek-rengek galau, merengek-rengek nangis. Cuih!
Album ini dibuka dengan “Am I Wry? No” dengan intro yang kemungkinan dijiplak
Peterpan, dan track-track selanjutnya setidaknya juga mendukung dua keinginan:
keinginan untuk nonton konsernya dan keinginan untuk lekas-lekas menyudahi
kegalauan. “Behind The Drapes” sesungguhnya bukanlah track terbaik di Frengers
(menurut selera pribadi sih yang terbaik masih “She Came Home For Christmas")
tapi entah kenapa di suatu malam pekat sesudah sahur Indomie, mendengarkan lagu
ini membuat segalanya jadi penuh renungan. Atau lamunan karena saya mulai
ngantuk. Tapi apapun itu yang paling menyentil tentu saja kutipan: Why are we so alone/Even with company? Benar, kondisi ini memang sedang
parah-parahnya. Merasa tetap sendirian meskipun di sana-sini banyak sekali
teman. Tapi apa daya, efek Indomie dengan saran penyajian sepertinya mulai
beraksi. Mata sudah tak kuat. Saya akhirnya mendapatkan hasil perenungan yang
cukup brilian: bahwa dalam perasaan seperti ini tak ada lagi hal yang bisa
dilakukan, kecuali kembali merapatkan selimut dan tidur tentu saja. Hoamsss.
4. Payung Teduh – “Untuk Perempuan yang
Sedang Dalam Pelukan”
Tempat merenung: Balkon kos lantai dua
Waktu: magrib
Hasil: onok bu kos ndelok teko nisor cak
singitan ae
Suaramu lho, mz |
Balkon kos saya tidak ada
romantis-romantisnya. Penuh jemuran kutang yang entah milik siapa. Tapi
romantis memang butuh menunggu, seperti saya yang harus menunggu malam hari
agar dapat feel itu saat kutang-kutang tersamarkan gelap malam. Teman saya
selalu saja Mas Is dari Payung Teduh. Cemen dong kalau nangis—kan sudah tadi
siang. Sekarang sebaiknya merenung saja, sebau apapun atmosfir udara karena
saya terus-terusan kentut akibat salah memilih cabe gorengen hasil nyuri punya
anak-anak. “Untuk Perempuan...” kemudian hadir. Denting gitar surga (ah saya
terlalu berlebihan), tapi vokalnya itu lho mas, standard banget. Tapi enaknya
itu disitu karena folk yang paling indah justru hadir dari musik yang paling
sederhana. Liriknya menyebalkan karena puitis sekali dan saya tak mengerti.
Tapi entah mengapa suasana jadi sedikit cemas-banyak rindunya dan saya
mendingan merenung saja deh. Segalanya jadi selow. Untuk apa deh kesal terus
mending nerima aja. Saya jadi tenang sekali. Sunyi. Tapi oh bu kos mengintip
tiba-tiba dari bawah yah saya lebih baik ngumpet deh daripada ditanya
aneh-aneh. Gak dititipi ibuk duwek gawe
mbayar kos ta nak?
5. Efek Rumah Kaca – "Balerina"
Tempat merenung: Bus Surabaya – Malang
Waktu: di pagi itu
Hasil: luwe
Cak Cholil dari ERK |
Lagu terakhir di album Kamar Gelap ini
membuat telinga saya seakan punya dua versi. Disisi lain lagu ini terkesan
optimis, tapi disisi lain terdengar seperti upaya menerima segala hal yang
terjadi tanpa butuh macam-macam tendensi. Dan tanpa mempersoalkan versi telinga
kiri-kanan, kadar perengungan di lagu ini cukup baik; hampir 80%. Dengan 20%
sisanya lagi bisa dicapai dengan menenggak Bintang. Tapi saya mah apa di bus
cuman mengkonsumsi Vitamin Water dan roti cokelat. Saat “Balerina” dimulai,
saya baru duduk di kursi dan bus masih sangat longgar. Tapi sebelum masuk pintu
tol tiba-tiba saja itu bus jadi banyak sekali penumpang. Dan masih dengan lagu
ini sebagai musik pengiring. Bagaimanakah rasanya? Jangan tanya. Roti cokelat
ini enak sekali apalagi saya belum sarapan. Tapi perenungan tingkat tinggi dari
“Balerina” adalah saat bus mulai masuk tol dan lagu sampai pada bagian: biar tubuhmu berkelana/lalui
kegelisahan/mencari keseimbangan/mengisi ketiadaan/di kepala dan di dada. Dan
akhirnya saya berpikir bahwasanya cukup tolol bila terus-terusan meratapi hal-hal
yang sudah terjadi. Seperti kenapa saya beli roti cokelat cuman satu padahal
perut masih lapar dan kenapa saya beli Vitamin Water bukannya susu Ultramilk.
6. Naif – “Piknik 72” “Johan & Enny”
“Janji Setia” “Rumah yang Yahud” (Medley)
Tempat merenung: kamar kos terbaik sejagad
Waktu: pas mari mangan rame-rame terus
ngeseng
Hasil: ayo ngopi ayo dolen ayo party ayo lapo
ae
Band paling naif di dunia |
Lagu ini direkam di GoetheHaus Jakarta
dan masuk dalam album Naif Live At Schouwburg. Klasik. Inilah Naif. Apa adanya,
kadang cukup fals, kadang seringkali lupa part: beberapa bagian di album ini
memang sengaja dibiarkan ‘bersalah’. Live-nya terasa. Seperti pada medley
pembuka “Piknik 72” “Johan & Enny” “Janji Setia” “Rumah yang Yahud”—yang
menurut hemat saya keempat lagu ini adalah lagu paling romantis dari Naif
dengan Piknik di urutan pertama. Waktu itu saya habis makan dan perut ini sakit
sekali. Setelah tuntas di WC jongkok, kembali ke kamar, meraih speaker dan
menyetel album ini membuat saya mengerti bahwa bagian tubuh yang panas seusai
buang air adalah hal yang cukup romantis. Ini ibarat mengikhlaskan ‘masa lalu’ dan
walaupun masih merasakan ‘panas’ kita tetap enjoy berjalan melanjutkan hidup.
Lega cuy. Karena setelah itu segalanya jadi go ahead. Apapun yang ada apapun
yang nampak fun segera saya lakukan. Naik
Vespa kliling kota/Sampai binaria: Dan saya cukup yakin lagu ini masih akan
jadi lagu paling romantis sepanjang Indonesia masih berdiri dan belum menemukan
penemuan revolusioner pengganti WC jongkok.
Demikianlah. Semoga kita selalu diberi
pencerahan dalam setiap apapun perenungan kita. Bahkan saat jongkok di kakus umum ataupun selokan.