Untung membakar rokok lagi.
Penat. Di hadapannya, berkumpul puluhan mahasiswa dengan raut muka yang sama:
kombinasi lelah, marah dan gelisah. Hari ini memang hari yang berat. Pengumuman
kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terjadi serentak di Fakultas Bahasa dan Seni
(FBS) Universitas Negeri Surabaya. Menyulut emosi. Korban berjatuhan. Ada
mahasiswa yang menangis, mengancam akan bunuh diri, sampai ada yang mau jual
diri. Semua karena UKT. Untung, sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
FBS bertanggung jawab akan hal ini. Ia mengumpulkan hampir seluruh mahasiswa
angkatan 2013 yang ada di kontaknya untuk berdialog bersama membahas UKT. Tapi
nyatanya, dari sekian banyak yang diundang oleh Untung, tak sampai separuh yang
hadir. Yang datang itupun hanya kurang lebih, curhat, marah-marah dan
menyampaikan keluh kesah tanpa ada kejelasan aksi apa yang akan dilakukan
menyikapi UKT yang menurut beberapa pihak tidak wajar ini. Solusi menggantung.
Malamnya, Untung mengajak beberapa perwakilan per jurusan yang hadir tadi untuk
membahas solusi di warung kopi. Seperti stiker yang menempel di notebook-nya yang bertulis “SOLUSIMU,”
Untung menawarkan solusi untuk segera beraksi: demonstrasi. Segera saja tagar
#UKTUNESA menyebar dengan cepat menanggapi UKT dan aksi ini. Twitter ramai,
Facebook menggila. Halaman BEM FBS Unesa sesak oleh komentar curhatan para
mahasiswa yang gerah akan kenaikan UKT. Sesekali ada yang marah, tak sedikit
pula yang provokatif. Semuanya tampak bagus. Kritis. Inilah salah satu modal
penting, tak hanya bagi aksi demonstrasi yang akan dilaksanakan lusa, tapi juga
bagi mahasiswa. Solusi tercapai, Untung membakar bara rokoknya lagi. Lega.
Kamis yang suram. Setelah
menjalani perkuliahan kurang lebih enam bulan dan melepas predikat Mahasiswa
Baru, babak baru mulai terbuka. Beranjak ke semester dua, dan menerima
pengumuman UKT untuk semester dua dan seterusnya. Ada yang tetap, ada yang
turun tapi banyak juga yang naik. Kecuali mahasiswa Bidik Misi yang benar-benar
kuliah gratis karena kurang mampu, seluruh mahasiswa panik dan deg-degan.
Penentuan UKT ini akan mengubah segalanya. Masalah biaya memang selalu menjadi
masalah klasik bagi perkuliahan. Dikhawatirkan, jika UKT mereka naik, mereka
makin merepotkan orang tua, memberatkan keluarga dan akhirnya terancam cuti
kuliah. Dan, yang dikhawatirkan pun terjadi. Beberapa mahasiswa merasa terjebak
ketika membuka amplop coklat berisi surat penentuan yang datangnya langsung
dari pusat (rektorat). “SUPERTRAP” dan “JEBAKAN BETMEN” istilah mereka. UKT
mereka naik. Tak main-main, kenaikan UKT bagi beberapa mahasiswa ini di luar
nalar. Penghasilan orang tua dan jumlah tanggungan keluarga dikesampingkan. Pun
juga pekerjaan orang tua. Mahasiswa merasakan adanya ketidakadilan. Rasa-rasanya,
UKT ini sangat rancu. Kenaikan UKT melebihi ambang batas pundak orang tua
mereka terasa amat memberatkan. Banyak mahasiswa yang tak terima. Bom pun
meledak. Berbagai aksi di FBS pun bermunculan. Segala upaya dan aksi ini akhirnya
bermuara pada Senin pagi, di kampus Unesa Ketintang, Surabaya. Demonstrasi
menolak hegemoni pihak kampus yang memerah UKT di luar kewajaran pun terjadi.
#AKSIUKTUNESA2013 menjadi tagar baru di tengah aksi ini.
Menjadi sebuah polemik ketika ide
secemerlang UKT ternoda oleh ketidaktepatan verifikasi pihak Rektorat yang
menaikkan UKT seenak udelnya tanpa
memperhatikan banyak faktor. UKT, yang awalnya bertujuan sebagai subsidi
silang, dimana mahasiswa yang mampu membayar mahal, dan mahasiswa kurang mampu
boleh membayar murah untuk kemudian ditutup oleh sumbangsih dari sekelompok
mahasiswa mampu ini kemudian menjadi tidak adil. Banyak kejadian salah sasaran
yang terjadi seperti mahasiswa yang kurang mampu membayar mahal, sebaliknya
mahasiswa yang mampu malah membayar murah. Rencana di beberapa rapat perwakilan
jurusan yang mengusulkan adanya tim khusus dari kalangan mahasiswa sendiri
untuk bersama-sama tim dari pusat dalam melakukan verifikasi ulang UKT pun
muncul. Ide ini menyeruak karena perwakilan jurusan merasa pihak kampus
melakukan kesalahan yang amat fatal, entah disengaja atau tidak, dengan
menaikkan UKT fantastis di luar batas kewajaran. Di samping itu, kuota Bidik
Misi juga dirasa terlalu banyak dan ada yang salah sasaran–“Salah Bidik”
istilahnya–Perkuliahan pun menjadi tak nyaman. Muncul wacana miring dari
mahasiswa yang merasa keberatan karena UKT mereka mahal kepada mahasiswa Bidik
Misi yang memang digratiskan. Mulai muncul pertanyaan: apakah UKT, hanya “Untuk
Kalangan Tertentu,” atau bahkan “Untuk Kepentingan Tertentu?”
Agaknya kita perlu bertanya
tentang kenaikan UKT ini secara lebih mendalam. Penentuan kenaikan UKT yang
hanya “Untuk Kalangan Tertentu,” ini menjadi pertanyaan selanjutnya. Atas dasar
apa kenaikan UKT itu? Apakah faktor penghasilan dan jumlah tanggungan menjadi
penentu? Jika begitu, mengapa UKT terasa begitu berat dan di luar nalar?
Mengapa pula muncul perbedaan UKT antara mahasiswa satu dengan lainnya yang
bahkan orang tua dan tanggunganya berpenghasilan sama? Ada apa? Apakah ada
faktor “Untuk Kepentingan Tertentu,” dalam penentuan UKT itu? Dimana
transparansi dana yang seharusnya dicantumkan saat penentuan UKT? Apakah hanya
mereka-reka? Apakah pertimbangan telak dalam penentuanya? Atau, hanya
setinggi-tingginya menumpuk dana yang entah untuk apa tujuanya? Semua tak tahu.
Semuanya mungkin akan terjawab oleh waktu. Tapi, mahasiswa berhak bertanya,
mahasiswa berhak mengkritisi, mahasiswa pula yang berhak MENGUBAH.
Dampak kenaikan UKT ini juga
patut untuk dibahas. Ini bukan saja karena faktor uang yang mungkin membuat
beberapa mahasiswa terancam putus kuliah, tapi juga faktor dinamika kampus yang
mungkin pada akhirnya, didominasi mahasiswa yang kurang kritis karena mereka
seperti disokong, seperti disetir oleh pihak kampus dengan agenda Bidik Misi
dan Beasiswa. Selain itu, para mahasiswa yang benar-benar kritis bisa saja
terpaksa putus kuliah hanya karena tak mampu membayar karena UKT terlalu
tinggi. Akibatnya, mahasiswa yang tersisa menjadi takut untuk bersikap vokal karena
khawatir bidikmisi ataupun beasiswanya dicabut. Mahasiswa menjadi apatis,
enggan menyuarakan suara hati dan kebenaran karena sungkan biaya kuliah mereka
ditanggung pihak kampus. Mahasiswa tak lagi kritis karena menurut mereka tugas
mahasiswa hanyalah duduk di bangku kuliah dan menjadi sarjana. Mereka
sepertinya lupa, bahwa dari dulu pun, tugas mahasiswa adalah sebagai pendobrak,
sebagai penggerak, yang bahkan sejarah Indonesia pun sudah meletakkan mahasiswa
sebagai faktor kunci akan berbagai pergerakan. Robohnya rezim Orde Lama dengan
Soekarno yang berkuasa dan juga hancurnya Orde Baru dengan Soeharto yang
mendikte dengan tangan besinya adalah beberapa hal yang terjadi akibat
pergerakan mahasiswa.
Fakta bahwa masih ada ketakutan
atau mungkin keapatisan mahasiswa untuk bersikap kritis ini memang ada dan
benar-benar terjadi. Tak banyak memang, tapi bila tak segera diluruskan, hal
ini bisa menjadi benalu yang merongrong kekuatan utama mahasiswa FBS itu
sendiri. Sekedar pengalaman pribadi penulis, bahwa dari sekian banyak mahasiswa
yang dimohon bantuannya untuk ikut serta dalam aksi penurunan UKT, hanya
mahasiswa berkepentingan-lah yang langsung bersiap siaga di barisan. Sedangkan,
dari golongan lain merasa takut, merasa sungkan, merasa tidak perlu mengadakan
aksi karena khawatir sokongan biaya dari kampus menjadi macet.
Pernyataan senada juga pernah
dinyatakan oleh Untung saat rapat awal pembahasan aksi UKT ini: “Saya ini
mahasiswa Bidikmisi, dapat Beasiswa juga, tapi buktinya saya tetap ikut aksi
kalian. Saya tak takut kan.” Ujar Untung sambil sedikit tertawa. Tindak tanduk
Untung selama ini mungkin juga bisa menjadi refleksi. Pria ini tak pernah
sedikitpun takut untuk bersuara, takut untuk melawan, takut untuk kritis, takut
untuk mengaspirasikan kebenaran. Untung tetap teguh pada pendirian meskipun ia
juga mahasiswa Bidikmisi, penerima beasiswa. “Kita ini mahasiswa. Asalkan kita
benar, jangan takut pada apapun. Pihak kampus takkan semudah itu mencoreng kita
dari daftar Bidikmisi hanya karena kita kritis. Semuanya tentu harus melalui
prosedur terlebih dahulu.” Kata Untung. Ini juga berlaku bagi mahasiswa yang
takut dikeluarkan karena bersikap frontal dan kritis: “Kita nggak akan
dikeluarkan dari kampus hanya karena hal-hal itu, nggak akan. Pihak kampus tak
semudah itu mengeluarkan mahasiswa, ada hal-hal tertentu yang mesti
diperhatikan.” Tambah Untung.
Akhirnya, sekitar Senin siang,
#AKSIUKTUNESA2013 yang sedari tadi memadati Kampus Ketintang untuk berteriak
menyuarakan aspirasi kembali ke kampus Lidah Wetan. Iring-iringan ini sedikit
lega karena telah menyuarakan aspirasinya. Tapi sepertinya, aksi UKT ini masih
belum bisa menjawab misteri yang kebetulan cocok menjadi kepanjangan UKT ini:
UKT? “Untuk Kalangan Tertentu?” atau “Untuk Kepentingan Tertentu?”
*Ditulis untuk SESASI FBS Unesa.