Kerjaan saya
adalah buang-buang waktu. Setiap harinya melamun, bengong, garuk-garuk pantat:
buang-buang waktu. Coret-coret asal, bikin puisi cemen, ngemut pensil: jelas
itu buang-buang waktu. Tapi akhir-akhir ini saya tak suka buang-buang waktu
saat mendengarkan musik. Seperti misal album Mellon Collie & Infinite
Sadness yang berat dan double dics itu; saya tak pernah dengar seluruhnya dan
hanya memilih dengar lagu yang kedengarannya hits saja. Saya takut jika
mendengar lagu lain nantinya akan buang-buang waktu. Jelas ini adalah hal
paling bodoh yang dilakukan pencinta musik. Entah kenapa saya bisa berpikiran
hal yang sebegitu tolol pada mahakarya rock alternatif ini. Tak hanya Mellon
Collie, koleksi album musik saya sebenarnya banyak sekali. Cuman mengapa saya
terlalu malas untuk mendengarkannya dari track awal hingga akhir. Lagi-lagi
semuanya berakhir klise: Sound Of Summer The Very Best Of The Beach Boys hanya
saya putar sampai track Surfin’ Safari, It’s Blit’z-nya Yeah Yeah Yeahs bahkan
hanya sampai di track ketiga Soft Shock. Padahal dulu, sejak saya mulai
mengenal punk sampai death metal, saya tak pernah malas untuk mendengarkan satu
disc penuh. Saya merasa mendengar satu album penuh adalah momen berharga. Tapi
entah karena album musik semakin mudah didapat, juga dengan bombardir
album-album keren yang mengisi memori saya tanpa henti-henti, praktis ini
menjadikan mendengar album tak lagi jadi hal yang sakral. Adakalanya saya tak
fokus pada satu album dan akhirnya menjelajah ke album lain saking banyaknya
album keren yang saya dapat. Inilah yang mengakibatkan keserakahan dalam
mendengarkan musik hingga saya malas untuk berlama-lama mendengar satu album
dengan khusyuk dan penuh hikmat karena tergoda album lain.
Ditengah
kebuntuan itu saya memutuskan untuk membongkar laptop kawan kos sebelah kamar,
Raden Mas Esa Joyoboyodiningrat yang baik hati dan kece maksimal itu. Biasanya
dia menyimpan bokep selusin tapi saya sudah terlalu malas untuk mencarinya di
folder-folder yang sangat tersembunyi dan tak diduga (seperti folder Android –
SMS – Template – Template 3 – dan nah akhirnya ketemu itu JAV, bayangkan begitu
hebatnya tempat persembunyian bokep ini). Saya buka saja folder ‘esa lagu’ dan
banyak juga koleksi lagu anak ini. Selera musik Esa berbeda 180 derajat dengan
saya. Jelas ia tak pernah mengerti musik The Stone Roses, se-pop apapun itu.
Atau ia juga tak pernah tahu kolektif seperti Homicide, sepandai apapun rima
mereka. Seluruh isi ‘esa lagu’ adalah musisi-musisi yang pernah menguasai Inbox
pada saat acara itu sedang jaya-jayanya. Saya jadi cukup merindukan lagu-lagu
yang dulu sempat nge-hits itu. Sebelum saya belajar mendengarkan grindcore, ada
masanya saya juga ikut menyukai lagu-lagu sejuta umat yang disukai lebih dari
separuh populasi negeri ini dan secara over frekuentif diputar di televisi.
Terlepas dari saya yang mengaku metalhead, punkers, garage-revivalist garis
keras, grinders sejati, motherfvckers atau apapun itu, saya cukup bangga
menyukai lagu mendayu-dayu yang telah lama saya lupakan dan akhirnya saya putar
ulang berkali-kali. Dan sepanjang saya tak membuka satu folderpun dari Wali,
Armada, D’Bagindaz ataupun Asbak Band, maka selera musik saya masih bisa
dikatakan aman.
1. Gigi “My Facebook”
Salah satu lagu terbaik dari Gigi di era musik
pagi, lipsync kurang professional, pop melayu bangsat dan tarian boyband.
Formula cinta lagu ini sebenarnya klise sekali. Saya tak bisa membayangkan
seperti apa nantinya jika saja lagu ini dinyanyikan ulang band oleh bernama
Zivilia misalnya. Tapi untungnya Gigi meramu segalanya dengan pas. Saya cinta
setengah mati dengan hentakan beat minimalis dari Gusti Hendy dan bas line Thomas
Ramdhan yang mendominasi namun hebatnya tetap sederhana. Cara terbaik
mendengarkannya adalah kita tak perlu memperhatikan judulnya yang cenderung
norak dan sok Inggris—bandingkan dengan judul seperti “Andai” maupun “Nirwana”
yang cukup keren. Tapi walau begitu saya belum bisa merekomendasikan judul yang
pas untuk lagu ini. Judul “Jejaring” mungkin cukup Gigi walau tak semenjual
“Facebook-ku”.
2. D’Masiv “Rindu Setengah Mati”
Ya ya saya cemen, cengeng, suka menye-menye, banci.
Ya ya terserah saja. Jika saja Rian D’Masiv sadar bahwa suaranya yang
menyedihkan (dalam konotasi positif tentunya) itu punya peran besar dalam
mempengaruhi tingkat kegalauan putra-putri terbaik bangsa, maka ia akan
membuang demo lagu ini dan tak jadi menyerahkannya ke Musica. Tapi apa daya,
Rian mungkin terlalu sibuk mencari potongan rambut yang pas—yang hingga hari
ini belum ketemu—dan akhirnya membuatkan klip hingga lagu ini meledak. Tak ada
bedanya dengan Charile Van Houten sebenarnya, tapi saya lebih respect ke
D’Masiv atas banyak alasan. Mereka tak setengah-setengah, bahkan jika galau
sekalipun. Tak seperti band-band lain yang berdendang galau tapi dengan musik kampungan
dan cengkok dangdut, hei! Lagipula tak memalukan menjadi fans D’Masiv, selain
karena kualitas musiknya, potongan personilnya juga tak alay-alay bingits.
3. Drive “Melepasmu”
Drive adalah band nanggung. Jujur lagu-lagunya enak-enak.
Tapi entah kenapa kurang bisa sejajar dengan Noah, Geisha ataupun D’Masiv.
Lagu-lagunya tak norak dan bisa mewakili suasana hati. Saya punya kenangan
manis dengan lagu ini. Sewaktu SMP, dengan kisah-kisah cinta monyet-monyetan
menjijikkan itu, saya tak sengaja melihat Drive memainkan lagu ini di MTV
Studio. Sejak itulah saya selalu punya feeling bahwa Drive nantinya akan mampu
sejajar dengan band-band seperti Padi ataupun Dewa. Tapi setelah Anji mundur,
saya tak pernah tahu kabar dari band ini. “Melepasmu” mungkin adalah artefak
terindah dari mereka. Pop hangat dengan isi-isian manis. Dua gitar beradu.
Ritmis-melodis. Rythym-melody. Kombinasi yang asyik. Suara Anji serenyah crackers,
pas mewakili isi lagu tentang perselingkuhan ini. Jika saja lagu ini diciptakan
sebelum Sheila On 7 meramu “Sephia”, sudah barang tentu ini akan jadi lagu
perselingkuhan nomor satu.
4. September Band “Bintang Hatiku”
Saya tak mengerti siapa itu September Band. Mengapa
menamakannya September bukannya Januari. Seperti apa personilnya. Ganteng atau
busuk. Keren atau kampungan. Kece atau norak. Saya tak tahu. Pun album mereka.
Platinum atau tidak. Dirilis Nagaswara atau Swaradewanaga saya juga tak paham
(karena mustahil sepertinya dirilis oleh Sony Music, Musica ataupun EMI). Saya
hanya tahu lagu “Bintang Hatiku” yang saya jamin ini adalah satu-satunya lagu
yang terbaik dalam karir musik mereka—itupun jika mereka sekarang belum bubar
karena tak laku. Lagu ini tak membuat kalian keren, juga tak membuat kalian
nangis dan mengusapkan air mata ke tembok kamar. Lagu ini indah karena mereka
bernyanyi dengan hati (dengarkan saja suara vokalisnya kurang enak tapi
benar-benar menghayati). Itu saja. Meski terus terang, liriknya luar biasa
butuh diolah ulang.
5. Antique “Selamat Tinggal”
Dari kesemuanya diatas, saya paling rela untuk
mengcopy lagu ini dan menambahkannya ke dalam koleksi lagu-lagu keren saya,
bersanding diantara album Pure Saturday dan Mocca. Tak ada yang salah memasukkannya dalam daftar putar. Lirik yang cukup menyentuh. Kehadiran string section yang tak
sia-sia—saya tak akan memasukkan lagu ini sebagai favorit jika saja diaransemen
tanpa string section. Sama seperti September, saya juga tak tahu band apa itu
Antique, tapi saya rela untuk mencari tahu. Band ini adalah pemenang kontes
band KFC yang albumnya dijual bersama sepaket ayam. Tak peduli. Lagu ini
menghanyutkan. Meski tak bikin nangis, tapi saya tak pernah bosan untuk
memutarnya. Lagu antik yang dicipta band bernama Antique. Saya sampai kehabisan
kata karena terhanyut.
Oke begitu saja. Sebenarnya kalian juga sudah membuang waktu
dengan membaca ulasan ini. Huaha.