Saturday, March 7, 2015

Enam Aturan People Like Us

Saya baru saja menonton People Like Us di HBO dan sedikit nangis pas ending. Saya ogah menjelaskan bagaimana ceritanya secara detail tapi intinya ini adalah film tentang keluarga yang hilang. Cukup menyentuh di beberapa babak, dan menurut saya yang paling berkesan dan menyentuh emosi adalah endingnya. Sambil mengusap sisa air mata cemen saya, berikut saya tulis kembali enam aturan yang sempat dibeberkan mas-mas itu (saya lupa nama perannya) di suatu adegan.

Six Rules:

 1. Jika kalian menyukai sesuatu karena kalian berpikir orang lain juga menyukainya, itu bukanlah hal yang sebenarnya ingin kalian sukai.
2. Sebagian besar pintu di dunia ini tertutup. Jika kalian ingin memasukinya, kalian harus mengetuk pintunya semenarik mungkin.
3. Segala sesuatu yang kalian anggap penting sebenarnya tak penting. Dan segala sesuatu yang kalian anggap tak penting sebenarnya penting.
4. Jangan taruh/buang kotoran (shit) ditempat makan kalian.
5. Masuklah ke dalamnya: tak perlu mempermasalahkan hasil. Yang terpenting adalah bahwa kalian berada di sana untuk itu.
6. Jangan pernah tidur dengan seseorang yang memiliki lebih banyak masalah dibanding kalian.

Tuesday, March 3, 2015

Headset Plug On: Mereka yang Pernah Menguasai Inbox

Kerjaan saya adalah buang-buang waktu. Setiap harinya melamun, bengong, garuk-garuk pantat: buang-buang waktu. Coret-coret asal, bikin puisi cemen, ngemut pensil: jelas itu buang-buang waktu. Tapi akhir-akhir ini saya tak suka buang-buang waktu saat mendengarkan musik. Seperti misal album Mellon Collie & Infinite Sadness yang berat dan double dics itu; saya tak pernah dengar seluruhnya dan hanya memilih dengar lagu yang kedengarannya hits saja. Saya takut jika mendengar lagu lain nantinya akan buang-buang waktu. Jelas ini adalah hal paling bodoh yang dilakukan pencinta musik. Entah kenapa saya bisa berpikiran hal yang sebegitu tolol pada mahakarya rock alternatif ini. Tak hanya Mellon Collie, koleksi album musik saya sebenarnya banyak sekali. Cuman mengapa saya terlalu malas untuk mendengarkannya dari track awal hingga akhir. Lagi-lagi semuanya berakhir klise: Sound Of Summer The Very Best Of The Beach Boys hanya saya putar sampai track Surfin’ Safari, It’s Blit’z-nya Yeah Yeah Yeahs bahkan hanya sampai di track ketiga Soft Shock. Padahal dulu, sejak saya mulai mengenal punk sampai death metal, saya tak pernah malas untuk mendengarkan satu disc penuh. Saya merasa mendengar satu album penuh adalah momen berharga. Tapi entah karena album musik semakin mudah didapat, juga dengan bombardir album-album keren yang mengisi memori saya tanpa henti-henti, praktis ini menjadikan mendengar album tak lagi jadi hal yang sakral. Adakalanya saya tak fokus pada satu album dan akhirnya menjelajah ke album lain saking banyaknya album keren yang saya dapat. Inilah yang mengakibatkan keserakahan dalam mendengarkan musik hingga saya malas untuk berlama-lama mendengar satu album dengan khusyuk dan penuh hikmat karena tergoda album lain.

Ditengah kebuntuan itu saya memutuskan untuk membongkar laptop kawan kos sebelah kamar, Raden Mas Esa Joyoboyodiningrat yang baik hati dan kece maksimal itu. Biasanya dia menyimpan bokep selusin tapi saya sudah terlalu malas untuk mencarinya di folder-folder yang sangat tersembunyi dan tak diduga (seperti folder Android – SMS – Template – Template 3 – dan nah akhirnya ketemu itu JAV, bayangkan begitu hebatnya tempat persembunyian bokep ini). Saya buka saja folder ‘esa lagu’ dan banyak juga koleksi lagu anak ini. Selera musik Esa berbeda 180 derajat dengan saya. Jelas ia tak pernah mengerti musik The Stone Roses, se-pop apapun itu. Atau ia juga tak pernah tahu kolektif seperti Homicide, sepandai apapun rima mereka. Seluruh isi ‘esa lagu’ adalah musisi-musisi yang pernah menguasai Inbox pada saat acara itu sedang jaya-jayanya. Saya jadi cukup merindukan lagu-lagu yang dulu sempat nge-hits itu. Sebelum saya belajar mendengarkan grindcore, ada masanya saya juga ikut menyukai lagu-lagu sejuta umat yang disukai lebih dari separuh populasi negeri ini dan secara over frekuentif diputar di televisi. Terlepas dari saya yang mengaku metalhead, punkers, garage-revivalist garis keras, grinders sejati, motherfvckers atau apapun itu, saya cukup bangga menyukai lagu mendayu-dayu yang telah lama saya lupakan dan akhirnya saya putar ulang berkali-kali. Dan sepanjang saya tak membuka satu folderpun dari Wali, Armada, D’Bagindaz ataupun Asbak Band, maka selera musik saya masih bisa dikatakan aman.

1. Gigi “My Facebook”
Salah satu lagu terbaik dari Gigi di era musik pagi, lipsync kurang professional, pop melayu bangsat dan tarian boyband. Formula cinta lagu ini sebenarnya klise sekali. Saya tak bisa membayangkan seperti apa nantinya jika saja lagu ini dinyanyikan ulang band oleh bernama Zivilia misalnya. Tapi untungnya Gigi meramu segalanya dengan pas. Saya cinta setengah mati dengan hentakan beat minimalis dari Gusti Hendy dan bas line Thomas Ramdhan yang mendominasi namun hebatnya tetap sederhana. Cara terbaik mendengarkannya adalah kita tak perlu memperhatikan judulnya yang cenderung norak dan sok Inggris—bandingkan dengan judul seperti “Andai” maupun “Nirwana” yang cukup keren. Tapi walau begitu saya belum bisa merekomendasikan judul yang pas untuk lagu ini. Judul “Jejaring” mungkin cukup Gigi walau tak semenjual “Facebook-ku”.

2. D’Masiv “Rindu Setengah Mati”
Ya ya saya cemen, cengeng, suka menye-menye, banci. Ya ya terserah saja. Jika saja Rian D’Masiv sadar bahwa suaranya yang menyedihkan (dalam konotasi positif tentunya) itu punya peran besar dalam mempengaruhi tingkat kegalauan putra-putri terbaik bangsa, maka ia akan membuang demo lagu ini dan tak jadi menyerahkannya ke Musica. Tapi apa daya, Rian mungkin terlalu sibuk mencari potongan rambut yang pas—yang hingga hari ini belum ketemu—dan akhirnya membuatkan klip hingga lagu ini meledak. Tak ada bedanya dengan Charile Van Houten sebenarnya, tapi saya lebih respect ke D’Masiv atas banyak alasan. Mereka tak setengah-setengah, bahkan jika galau sekalipun. Tak seperti band-band lain yang berdendang galau tapi dengan musik kampungan dan cengkok dangdut, hei! Lagipula tak memalukan menjadi fans D’Masiv, selain karena kualitas musiknya, potongan personilnya juga tak alay-alay bingits.

3. Drive “Melepasmu”
Drive adalah band nanggung. Jujur lagu-lagunya enak-enak. Tapi entah kenapa kurang bisa sejajar dengan Noah, Geisha ataupun D’Masiv. Lagu-lagunya tak norak dan bisa mewakili suasana hati. Saya punya kenangan manis dengan lagu ini. Sewaktu SMP, dengan kisah-kisah cinta monyet-monyetan menjijikkan itu, saya tak sengaja melihat Drive memainkan lagu ini di MTV Studio. Sejak itulah saya selalu punya feeling bahwa Drive nantinya akan mampu sejajar dengan band-band seperti Padi ataupun Dewa. Tapi setelah Anji mundur, saya tak pernah tahu kabar dari band ini. “Melepasmu” mungkin adalah artefak terindah dari mereka. Pop hangat dengan isi-isian manis. Dua gitar beradu. Ritmis-melodis. Rythym-melody. Kombinasi yang asyik. Suara Anji serenyah crackers, pas mewakili isi lagu tentang perselingkuhan ini. Jika saja lagu ini diciptakan sebelum Sheila On 7 meramu “Sephia”, sudah barang tentu ini akan jadi lagu perselingkuhan nomor satu.

4. September Band “Bintang Hatiku”
Saya tak mengerti siapa itu September Band. Mengapa menamakannya September bukannya Januari. Seperti apa personilnya. Ganteng atau busuk. Keren atau kampungan. Kece atau norak. Saya tak tahu. Pun album mereka. Platinum atau tidak. Dirilis Nagaswara atau Swaradewanaga saya juga tak paham (karena mustahil sepertinya dirilis oleh Sony Music, Musica ataupun EMI). Saya hanya tahu lagu “Bintang Hatiku” yang saya jamin ini adalah satu-satunya lagu yang terbaik dalam karir musik mereka—itupun jika mereka sekarang belum bubar karena tak laku. Lagu ini tak membuat kalian keren, juga tak membuat kalian nangis dan mengusapkan air mata ke tembok kamar. Lagu ini indah karena mereka bernyanyi dengan hati (dengarkan saja suara vokalisnya kurang enak tapi benar-benar menghayati). Itu saja. Meski terus terang, liriknya luar biasa butuh diolah ulang.

5. Antique “Selamat Tinggal”
Dari kesemuanya diatas, saya paling rela untuk mengcopy lagu ini dan menambahkannya ke dalam koleksi lagu-lagu keren saya, bersanding diantara album Pure Saturday dan Mocca. Tak ada yang salah memasukkannya dalam daftar putar. Lirik yang cukup menyentuh. Kehadiran string section yang tak sia-sia—saya tak akan memasukkan lagu ini sebagai favorit jika saja diaransemen tanpa string section. Sama seperti September, saya juga tak tahu band apa itu Antique, tapi saya rela untuk mencari tahu. Band ini adalah pemenang kontes band KFC yang albumnya dijual bersama sepaket ayam. Tak peduli. Lagu ini menghanyutkan. Meski tak bikin nangis, tapi saya tak pernah bosan untuk memutarnya. Lagu antik yang dicipta band bernama Antique. Saya sampai kehabisan kata karena terhanyut.

Oke begitu saja. Sebenarnya kalian juga sudah membuang waktu dengan membaca ulasan ini. Huaha.