Friday, August 17, 2018

8 Lagu Padi Paling Ajaib

Di suatu masa, musik Indonesia pernah berada pada satu puncak keajaiban. Padi--salah satu yang memicunya.

Riwayat tape rongsokan punya kakak perempuan saya tidak bisa diceritakan tanpa album Save My Soul punya Padi. Tape seringkali memutar lirih satu album ini tanpa jeda, di kamar si mbak yang berjendela terbuka dan penuh poster Simple Plan. Itu masih 2003, saya masih kelas tiga SD.  Tapi kaset bercover lukisan surealis ini seolah menandai sebuah era penting dalam hidup saya.

Mendengarkan Padi dari masa sebelum saya baligh jelas membawa memori tersendiri. Sebelum industri musik menjadi kacang pasca viralnya 3gp Ariel-Luna Maya-Cut Tari, Padi berada di satu kontingen bersama Dewa 19, Sheila On 7, dan Naif. Padi jelas menempati posisi tertinggi. Tape yang diulang-ulang dalam rumah, menggema di ingatan setiap waktu.

Pertanyaan yang mungkin relevan sekarang: apa sih lagu Padi yang paling ajaib? Saya berusaha menjawabnya sambil membongkar-ulang katalog lama dari semua album mereka.

8. "Terbakar Cemburu" (Tak Hanya Diam, 2007)
Liukan maut Piyu di "Terbakar Cemburu" benar-benar membakar. Membuat saya cemburu buta pada Fender Stratocaster-nya. Lagu tentang cemburu selama ini adalah yang dinyanyikan Once dengan marah-marah. Milik Padi lebih romantis.  Membuat perasaan cemburu lebih berkesan. Pujaan hati dibonceng orang lain? Sambil berpelukan? Mendengarkan lagu ini jauh lebih berkelas daripada merencanakan duel satu-lawan-satu.


7. "Patah" (Save My Soul, 2003)
Mungkin solo Piyu di awal lagu ini mengingatkan kita pada kejayaan rock 90-an akhir yang sopan dan romantis. "Memelukmu kuingin, menyentuhmu kuingin, dan mengucapkan sepatah kata... "; Lirik yang kalau didengarkan sekarang berpotensi membuat saya mengucek-ucek mata yang agak perih,  sambil melihat riwayat chat yang penuh emoticon bunga dan ciuman.


6. "Kasih Tak Sampai" (Sesuatu Yang Tertunda, 2001)
"Kasih Tak Sampai" mungkin jadi penghiburan kegalauan muda-muda era 2000-an, bahkan sebelum kata galau jadi booming. Petikan gitarnya hanya berfungsi menambah deras air mata. Kalau lagu ini rilis di masa remaja saya, mungkin saya akan menjadi lebih cengeng saat berada di fase hampir menenggak Baygon cair pasca putus cinta.


5. "Harmoni" (Tak Hanya Diam, 2007)
Terputar sendu dengan vocal Piyu. Jangan lupakan choir yang parah sekali bagusnya menjelang lagu usai. Kontemplasi yang disudahi dengan semakin kencangnya gebukan Yoyo. Lagu yang paling doyan wara-wiri di MTV Ampuh pukul sebelas siang saat VJ kesayangan kita Marissa Nasution masih fresh graduate. Ehm, Tahukah kalian kalau Ernest Prakasa yang jadi model di video klip lagu ini?


4. "Jangan Datang Malam Ini" (Tak Hanya Diam, 2007)
"Jangan Datang Malam Ini" justru malah membuat saya ingin mendatangi sekali lagi pengalaman pertama  menonton klip lagu ini via Inbox SCTV.  Video klip yang mungkin jika dirilis sekarang akan jadi bahan perdebatan sengit warganet yang seenak udel. Sheila Marcia  sebagai bintang klip,  ditampilkan punya affair dengan sesama jenisnya. Dengan musik minimalis nan segar, Padi membuktikan kalau kekuatan pop sebenarnya terletak pada kesederhanaanya.


3. "Tak Hanya Diam" (Padi, 2005)
Track ini sebenarnya masih amat dingin. Tambah lagi gebukan drum yang monoton, tidak seperti kebiasaan Yoyo. Penyelamatnya: pertama, pemakaian organ hammond atau synthetizer. Kedua, siulan Fadly yang syahdu benar. Ketiga, dari lagu ini kita bisa tahu definisi terbaik dari cinta adalah cinta.


2. "Hitam" (Save My Soul, 2003)
"Hitam" adalah wahana urakan Padi. Berisi tonjokan tanpa ampun dari Yoyo si mesin tempur kelas kakap yang doyan membuang tenaganya demi menggetarkan drum sekalap mungkin. Soundtrack sinetron setan di RCTI puluhan tahun lalu. Tapi masih menyeramkan dan ngeri didengar sekarang. Di sini kita bisa mengakui kalau Padi adalah supergrup keren tanpa ampun. Simak progresi jelang akhir lagu saat musik mulai beralih jadi ajang pamer kegilaan para alumnus Universitas Airlangga ini. Hasilnya? Desah panjang tanda orgasme.


1. "Ternyata Cinta" (Padi, 2005)
Sebenarnya semua daftar di atas hanyalah kedok dan alibi belaka untuk menuliskan tentang lagu ini. "Ternyata Cinta" adalah satu lagu yang membuat saya menyadari kalau Padi adalah keajaiban, kalau musik adalah keajaiban, kalau cinta adalah keajaiban. Sejauh ini, "Ternyata Cinta" adalah lagu terbaik Padi. Salah satu alasannya? Saya tidak bisa melupakan intronya yang aduhai brengseknya. Alasan lain? Tidak ada. Lagu ini terlalu sempurna.


Ditulis untuk Kolaborasik. Bisa juga dibaca disini.

Thursday, July 19, 2018

Menyembah YouTube

Pertanyaan pertama, mengapa manusia harus bekerja. Pertanyaan kedua, mengapa saya mempertanyakan pertanyaan macam pertanyaan pertama. Pertanyaan ketiga, bisakah saya berhenti ngedumel?

Ringkas saja. Ini hari jelang pukul sembilan malam. Saya masih di kantor dan terkepung entah apa itu namanya yang lebih bajingan dari kebosanan. Brengsek. Tapi tahukah Anda bahwa internet selalu menyediakan caranya sendiri untuk menyelamatkan hidup. Tahu-tahu saya sudah berada di YouTube--dengan mungkin milyaran orang yang juga mengakses situs yang sama. Bahkan mungkin pencarian yang sama. Lebih ekstrem lagi, video yang sama!

Luar biasa. Kita semua ternyata terkoneksi secara tidak langsung dengan YouTube! 

Ngomong-ngomong, gerakan self-healing di lingkungan pekerjaan yang membuat kita jadi batu, bisa dilakukan secara sederhana. Sesederhana membuka tab baru, mengetikkan platform video-sharing kesayangan, dan mulailah berselancar sampai mabuk.

Tapi apa guna link kalau tidak dibagi? Apa guna fungsi teknologi bernama hyperlink? Apa guna selera manusia kalau tidak dipamerkan? Maka dari itu saya berkenan membagikan sejumlah video yang saya putar random dan berurutan, dan saya harap kalian juga berkenan mengontak saya, membagikan video yang sekiranya bisa menyelamatkan hari-hari saya dari kondisi ekstra boring.

Deafheaven - "You Without End" (Full Album Stream)


Saya sedang berada tepat di samping editor musik kenamaan Surabaya saat memamerkan track ini kemarin malam. Dalam posisi rebah di waktu jelang hampir subuh hari dengan kondisi badan yang payah dan tenggorokan yang sengak kebanyakan nikotin, mendengarkan album baru Deafheaven adalah keindahan tiada tara. Kata Yang Mulia Editor: "Gini ini black metal? Yang bener?" Saya menanggapinya dengan semakin mengencangkan volume. Kemudian mengulang-ulang satu album Ordinary Corrupt Human Love di Spotify semenjak tadi siang, dan kembali mendengarkannya lagi di YouTube dengan komputer kantor yang sepertinya sudah sangat lelah. Satu pendapat saya: bagaimana mungkin sebuah album metal--ehm, black metal--bisa membuat perasaan saya perih dan tiba-tiba ingin menitikkan air mata? Jawabannya: pemakaian kadar bumbu post-rock, emotive hardcore, dan shoegaze yang begitu proporsional. YouTube hanya selingan. Anda harus mendengarkan albumnya via pemutar yang lebih jernih.

PENDAKIAN GUNUNG KERINCI Part I - What's in My Bag #DindaDimana




"She's so cute i'm gonna die!" - tulis salah satu komentar di vlog perdananya mbak ini. Bener juga sih. Saking tidak fokusnya, saya bahkan enggak tahu Adinda Thomas ngomong dan menjelaskan apa saja, tahu-tahu video kelar. "Kak terbuat dari apa kok manis banget?" - komen selanjutnya yang saya baca--yang walaupun rada anjing tetap saya amini juga.

rumahsakit - Hilang - Lirik



Adinda Thomas mungkin adalah penggemar Rumahsakit garis keras karena menampilkan dua lagunya--satu lagu lama yang luar biasa mahadahsyat sampai level menyembah-nyembah, dan satu lagu barunya yang biasa-biasa saja--dalam vlog imut-imutnya di atas. Siapa bisa menahan godaan Dinda? Akhirnya saya menyerah dan mengikuti alur selera Dinda. Dan lagu luar biasa mahadahsyat sampai level menyembah-nyembah dan punya lirik yang beneran ikonik ini akhirnya terputar juga.

jangan biarkan aku jangan hilang, Mbak Dinda... 

Friday, July 13, 2018

Saat Pure Saturday Jadi Band Cover Nan Mengecewakan


Gigs kemarin memang jadi perjumpaan perdana saya dengan Pure Saturday. Band yang hanya menyisakan tiga personil asli ini (dengan tambahan Iyo yang sudah mengisi vokal di album Elora), punya tempat tersendiri dalam ingatan. Pasca patah hati luar biasa beberapa tahun ke belakang, album Grey jadi penyelamat dan salah satu pendorong saya untuk bisa menentukan sikap. Bahkan, tanpa tendensi berlebihan, Grey jadi pemicu saya untuk hidup kembali dan kembali hidup. Sayang seribu sayang, tidak ada satupun dari album Grey yang dibawakan di acara yang disponsori merek bir hitam ternama itu.

Bercerita Grey akan panjang dan mungkin bisa diceritakan lain waktu. Tapi saya ingin menekankan kalau penggemar PS pasti punya satu album favorit, dan mungkin itu bukanlah Grey. Penggemar era lawas mungkin mencintai Utopia, Elora, atau Time For A Change. Semuanya bagus dan berkesan. Tapi di Grey, PS memainkan musik yang berbeda; melebur indie-pop dengan prog-rock. Analoginya; indie pop bisa dianggap musik kebun bunga yang indah mewangi, tapi prog-rock adalah hamparan langit yang gelap, panjang dan berliku. Seperti itulah Grey. Keputusan untuk tidak memainkannya membuat saya kecewa.

Saya datang di acara seorang diri. Siapapun yang saya ajak sebelumnya kemungkinan tidak mengetahui PS, dan saya mungkin hanya melakukan pemaksaan untuk sekadar menemani. Beruntung di sana saya bertemu Abraham Herdyanto dari Anti Warna Zine dan Ricky Mahardika dari unit space rock Dopest Dope. Mereka datang dengan alasan yang sama: PS punya tempat penting dalam perjalanan mereka menggilai musik. Pun juga saya yang selain ingin menggenapi gigs dari band yang belum sempat saya tonton, juga demi menjaga kenangan.

"Jancok sepi cok!" Kata Abraham sambil terus berjalan ngalor-ngidul kesana-kemari dengan rambutnya yang tergerai. Sementara Ricky lebih kalem. Frontman Dopest Dope ini sesekali mengangguk mengikuti tata suara sound yang lumayan bagus.

Dua sampai tiga lagu pertama PS adalah katalog lama. Katalog nostalgia. Mungkin diambil dari album Utopia. Selanjutnya saya hanya mencatat Pagi, Elora, dan Pathetic Waltz (porsi dengar saya pada lagu-lagu ini lumayan intens). Sekali lagi lagu dalam Grey tidak ada yang dimainkan. Padahal saya menantikannya.

Crowd yang sepi dan kurang apresiatif mungkin akhirnya membuat PS berinisiatif. Iyo membawa stand khusus tempat kertas lirik. Kemudian mulai membawakan kejutan--demi membuat orang-orang yang asyik sendiri menyesap bir sambil main PS di tengah gigs PS.

"Main Play Station sambil diiringi Pure Saturday. PS, diiringi PS." Ujar saya pada Abraham.

"Ya, ya. Lumayan lucu." Ujar si skeptis Abraham. Lalu dia menimpali.

"Sebenarnya PS ini influence-nya siapa sih!"

"The Cure." Jawab saya.

Abraham melotot. "Mosok?"

Lalu PS terdengar memainkan intro yang familiar. Oasis dengan Don't Go Away. Anjing, saat cover lagu orang, crowd malah terlihat menikmati. Mungkin karena tahu lagunya.

Karena crowd makin terlihat apresiatif saat cover song, PS sepertinya semakin tahu diri. Saya yang dalam hati berharap PS memainkan katalognya sendiri, dibalas intro lagu lain yang memang mungkin sudah diketahui khalayak. The Cure dengan Friday I'm In Love. Disusul intro sejuta umat yang sudah pasti membuat crowd bir hitam bergairah.

"Ini siapa sih? Lali aku."  Tanya Abraham.

"The Killers." Jawab saya. Dan Mr. Brightside yang legendaris itu berkumandang. Saya hampir putus asa karena PS memainkan lagu cover berturut-turut. Tapi di lagu cover terakhir, sedikit membuat saya salut.

"Eh! Iki opo iki opo? Lali aku." Tanya Abraham lagi.

"Regrets. New Order." Saya menjawabnya dengan hati agak sedikit senang karena lagu ini lumayan asoy geboy, meskipun dibawakan PS.

Abraham kemudian pamit kencing sementara saya dan Ricky sedikit bercakap-cakap.

Saya kemudian tahu gigs ini akan segera berakhir saat Kosong dimainkan. Ini jadi hits awal PS dan masih dijagokan sampai hari ini. 

Secara keseluruhan, saya belum puas. Apalagi ini gigs PS perdana saya. Kemungkinan PS juga baru pertama kali ini manggung di Surabaya. Meskipun pernyataan ini dibantah Abraham, dengan keraguan.

"Kayaknya pernah dulu buanget maen di sini. Kayaknya."

"Masak sih? Rumahsakit mungkin?" Jawab saya.

"Eh enggak ya! Rumahsakit 'kan main di Sunday Market pertama. 2013."

"Iyo. Vokalisnya masih Si Lemes. Sakjane nggak usah diganti yo Bram." 

"Yoi. Lemes enggak tergantikan."

"Walaupun ancur-ancuran dan fals nemen ya. Haha."

Pure Saturday, Rumahsakit, Themilo, semuanya grup indie-pop yang punya tempat tersendiri di hati saya. Meskipun mengecewakan, tapi gigs perdana PS saya akhirnya keturutan. Yang belum sekarang hanya tinggal Themilo dan Rumahsakit--meskipun vokalisnya sekarang sudah bisa bernyanyi.

Saturday, July 7, 2018

Tuan Marah: "Pekerjaan Ini Membuatku Alami Keterbelakangan Mental!"

"Di tengah hiruk-pikuk Piala Dunia yang membuat bumi seolah melambat dan lebih santai karena para manusia bisa asyik memantengi televisi sampai jelang subuh padahal besok kerja, aku terpuruk dan seolah berada di ambang batas kebosanan. Menonton pertandingan apapun--kecuali Spanyol lawan Rusia kemarin--belum ada yang membuatku berteriak wow dan melupakan gelapnya jiwa. Ah, aku memang Si Raja Sambat. Tapi apa kegunaan kau, sahabatku, kalau tak kugunakan menampung rewelan dan cerewetanku, tanpa perlu proses dan sok menasehati untuk bersyukur dan bersabar. Semua tukang ceramah adalah tai anjing ngentot babi yang tidak tahu apa yang sebenanya  kualami. Semuanya tidak jauh lebih baik dari gorong-gorong... ah sudahlah. Kenapa aku jadi semakin melantur dan mengata-ngatai orang begini. Kenapa juga orang-orang tidak ada yang mengerti aku. Melarangku sambat seolah-olah Mario Teguh hidup kembali dan memasuki pembuluh darah vena orang itu via dubur. Ah bangsat. Mengapa aku mengoceh. Mengapa aku ngotot. Mengapa aku jadi bangkai di tempat kerja yang hidup hanya demi perut dengan mata panas dan lelah, dingin AC goblok dan deru mesin ketik yang membuatku tertahan delapan jam sehari dengan alokasi 70 persen waktu berpikiran untuk terbang seperti burung, lepas ke alam bebas, melupakan hidup penjara yang no life dan anjing-anjing aturan yang mengharuskan kita untuk bersedih-sedih dahulu bersenang-senang kemudian. Goblok. Ini semua membuatku sedikit demi sedikit, alami keterbelakangan mental!"

***
Itu tadi adalah tulisan kawan saya, yang harus saya samarkan nama terangnya di sini dan bisa dipanggil Tuan Marah saja. Dia menuliskannya via WhatsApp--lagi-lagi dengan panjang sekali. Saya juga terpaksa memotong, mengedit, dan memperhalus beberapa bagian tulisan ini yang menyebut nama, instansi, atau kata-kata yang terlampau kasar. Pemuatan tulisan ini dalam blog ini murni karena apa yang dialami Tuan Marah ini, agak identik dengan apa yang saya dan ribuan pekerja lain rasakan. Saya berjanji pada Tuan Marah untuk membalas tulisannya ini di blog. Tapi karena kebingungan membalas dengan apalagi--jujur stok cacian dan umpatan saya untuk bumbu tulisan seperti tenggelam ditelan kejemuan pekerjaan. Jadi saya akan bagikan saja materi berat yang berpotensi membuat hidup makin ruwet dan semakin alami mental-breakdown. Atau bisa juga malah bisa melepaskan hormon kelegaan dari dalam diri kita; manusia-manusia pemalas yang diperas korporat sampai keluar ampas dan akhirnya melupakan diri sendiri karena harus melulu palsu di tempat kerja.

Materi berat yang saya maksud langsung teringat begitu saja saat Tuan Marah menuliskan 'keterbelakangan'. Segera saja saya mencari-cari album yang saya simpan di Spotify dan menemukan Tyranation, satu lagi mahakarya dari unit death metal bintang lima Deadsquad. Jujur akhir-akhir ini saya jarang mendengar lagu metal baru. Apalagi yang serapat death metal. Tapi Deadsquad memang punya pesona sendiri. Materinya sejak Horror Vision dilanjutkan Profanatik, selalu saya simpan dan putar. Tidak ketinggalan album baru Tyranation, yang digarap bersama musisi-musisi ternama, seperti Dewa Budjana, Andra Ramadhan, Coki Bollemeyer, bahkan Sudjiwo Tedjo untuk track pembuka berjudul "Jancuk." 

Album ini epik dan menggambarkan dunia pasca-apokaliptik yang tanpa harapan, gelap, dan kotor. Diksi Daniel Mardhany si lirikus sekaligus yang menggeramkannya memang tidak jauh berbeda dari lagu-lagu lain. Penuh benci, kesumat, dan kesakitan. Sangat relevan dengan kondisi Tuan Marah. Karena itu saya membalas gundah-gulana Tuan Marah tadi dengan "The Comfort Of Retardation"; track iblis mati yang mau tidak mau harus nyaman di dunia yang busuk dan alami keterbelakangan. Daniel menggeram: 

We still need an education
Teach us how to sold the world Teach us how to erase your soul Teach us how to kiss the fear!

Anjing Setan!


Thursday, June 7, 2018

Cerita Dewasa Untuk Pemula: Sebuah Pengantar

Oleh Bili Sayuti*
Saya pernah punya pengalaman menjijikkan. Sebenarnya tidak etis diceritakan di sini, karena itu saya hanya akan melempar pertanyaan ini saja: pernahkah Anda-anda semua, terutama yang mengaku sebagai moralis tulen, suci tak ternoda, pendukung keras boikot pornographic, ke-gap orang tua anda saat melakukan hal-hal yang kurang senonoh?

Jika belum, sebaiknya Anda membaca cerita bersambung karya mahasiswa sableng saya ini. Atau kalau Anda memang punya pengalaman ke-gap serupa, Anda juga bisa menyimak dalam-dalam esensi cerita nir-faedah ini dan membandingkannya dengan hidup anda yang tidak kalah absurd. 

Ini untuk kesekian kalinya saya disuruh membuat kata pengantar untuk proyekan fiksi mahasiswa saya yang sangat kurang ajar ini. Bagaimana tidak? Cerita ini, lagi-lagi dibagikan gratis di sebuah platform digital, dan terang-terangan mendokumentasikan kisah amoral nan jujur soal bagaimana sensasi menonton bokep pertama, atau pengalaman nyabun pertama di toilet sekolah karena tidak betah melihat bu guru magang yang aduhai tampilannya.

Karena itu, Anda direkomendasikan untuk menggantung moral Anda di balik pintu, dan mulai membaca bacaan senggang yang mengingatkan pada kejayaan Enny Arrow dan Freddy S. ini. Gaya penulisan Tito dalam ceritanya kali ini amat ringan, tidak berbelit-belit melilit seperti karyanya terdahulu. Juga tidak terlalu frontal dari segi pemilihan bahasa, meskipun tema yang diangkat terang-terangan berputar pada blue film, onani, dan seks pertama. 

Sebagai pamungkas saya ingin bertanya satu hal lagi pada Anda: pernahkah Anda onani pakai balsem? Saran saya jangan. Teman saya pernah bermain yang begini ini, lalu tidak sadarkan diri selama dua setengah jam di ruang UKS. Panas.

Rekomendasi Pak Bili bisa dibaca gratis di sini.

*Pak Bili Sayuti, mantan dosen saya. Sekarang fokus menjadi slackers di rumahnya. Pasca menamatkan Breaking Bad rekomendasi saya, beliau kecanduan Netflix sampai hari ini.

Wednesday, May 16, 2018

Bagaimana Jajan Rock Mempengaruhi Hidup Kita?

Lebih bernilai mana kaus Joy Division atau My Bloody Valentine? Tape Utopia dari Pure Saturday atau Rumahsakit? Plat Badai Pasti Berlalu atau Guruh Gipsy? CD album terbaru Taylor Swift atau Coldplay? Susah kalau perkara selera. Apalagi hasrat untuk jadi hipster kadang membuat selera jadi terkotak: harus cult, indie, menyimpang: apapun yang disuka arus utama, kita sebisa mungkin harus menghindarinya. Mau tidak mau ini berpengaruh pada hasrat belanja. Tapi musik memang sebegitunya. Memaksa kita keluarkan duit tidak hanya untuk nada dan irama: kaset dan sejenisnya. Musik juga bisa dipakai, dalam pernak-pernik merchandise: kaus, bracelet, sampai gantungan kunci. Beberapa tahun terakhir ini, beberapa penerbit juga mulai rilis buku-buku musik. Musik bisa dibaca. Elevation Records, label milik Taufiq Rahman penulis musik kesayangan kita semua—meluncurkan divisi ‘usaha kecil menengah’ bernama Elevation Books. Jadi gebrakan lewat kumpulan esai musik karya Taufiq, disusul kumpulan tulisan Herry Sutresna aka. Morgue Vanguard aka. Ucok Homicide – legenda hip hop yang doyan menuliskan musik secara personal. Apalagi layanan musik streaming seperti Spotify, yang harus dipaksa premium supaya bebas iklan. 50 ribu terlalu mahal untuk sealbum penuh A Moon Shaped Pool plus jutaan lagu streaming lain? Atau bagaimana dengan tiket konser—yang kini makin mudah karena bisa dipesan virtual. DWP sudah jadi rutinitas, gigs-gigs kampus pakai band lokal juga sudah ada ticketing, apalagi tur dari band-band rilisan Kolibri atau label-label luar kota yang ajaib.

Ini tidak bisa dibiarkan. Mau sampai kapan isi dompet kita dikoyak segala pernak-pernik musik?

Mungkin ada frase ‘jajan rock’—sebagai istilah belanja musik entah itu tape, CD, plat, sampai kaus band. Kamu tidak harus mengerti frase itu buat njajan. Apapun motivasinya, musik mungkin sudah jadi semacam candu yang terlalu seru untuk tidak diusahakan. Kamu butuh, tidak hanya ingin. Hasrat yang menggebu-gebu untuk tidak beli vinyl Rajasinga atau Taring-nya Seringai edisi splatter vinyl, bisa disesali seumur hidup kalau tidak dituruti. Kamu ingin benar-benar menikmatinya secara maksimal, dengan pemutar musik terbaik. Kaus juga harus original merchandise, tidak boleh premium murah. Pengorbanan bukan hanya sebagai bentuk dukungan pada musik dan musisi. Tapi lebih pada kenikmatan pribadi.

Beberapa orang bertanya ‘ngapain beli tiket konser mahal-mahal, pakai kaus band cotton 30’s mahal, beli vinyl di eBay, bla-bla-bla, sebenarnya mencari apa sih?

Karena sesungguhnya manusia tidak pernah puas. Dan kepuasan dari musik, selalu harus diperjuangkan.

Kaus Band
Banyak band di Surabaya sudah mulai produksi kausnya sendiri. Ada yang jadi barang buruan seperti kaus Si Pelanggannya Silampukau. Atau kaus Timeless dengan font album Beetwen And Beyond. Beberapa merasa ini perlu dibeli untuk mendukung eksistensi band. Tapi lebih dari itu semua, ini juga bukti betapa cintanya kita pada musik. Musik tidak hanya nempel di kuping, tapi juga di badan dan kulit. Kurang cinta apalagi coba? Kita serahkan jiwa raga kita pada musik, karena kita sadar begitu banyak peran musik di hidup kita.

Plat
Plat bukan hanya untuk orang-orang berdoku dan tua. Ini masalah kualitas dan kamu lebih baik kembali ke klasik. Lebih baik menabung tidak apa-apa, beli plat dulu turntable-nya menyusul. Mungkin event Record Store Day bisa jadi awal yang bagus. Ya beli plat-plat empat ratus ribuan dari album-album top 40’s yang keren boleh juga dicoba. Lalu sesudah kamu mengerti ada banyak ‘suara lainnya’ yang bisa terdengar lewat layer-layer tersembunyi dalam lagu, kamu akan semakin mengerti bedanya headset 18 ribuan dengan turntable. Plat punya perbandingan 1:2 dengan rekaman di studio. Turntable mahal ya? Pikir ulang dulu rencana nikah pakai resepsi di gedung, lebih baik buat beli turntable, sisanya buat beli mobil sport. Boleh jugalah.

 CD/Tape
Tape dulu baru kemudian CD. Tape menurut banyak orang lebih romantis, tapi beberapa orang lebih memuja CD. Semuanya tergantung selera masing-masing—dan di zaman apa kita bertumbuh. Sebagai genarasi mp3 mungkin memuja Spotify tidak kalah romantis. Apapunlah buat konsumsi musik. Kita tidak tahu mau jadi apa umat manusia kalau tidak ada benda bernama album. Mau jadi apa malam gelap gulita tanpa Mellon Collie and Infinite Sadness? Mau jadi apa anak-anak muda yang terasing di kelas tanpa Nevermind dan In Utero. Kebanyakan—atau mungkin semua orang punya utang budi pada tape atau CD. Termasuk audio mobil butut ayahmu yang doyan memutar sealbum penuh Sgt. Pepper-nya The Beatles dalam perjalanan mengantarmu ke sekolah.

Buku
Ini tidak kalah pentingnya, dan mungkin perlu diusahakan. Beberapa dari kalian mungkin bingung cari dimana buku rilisan Continuum: 33 1/3 karangan Mike McGonigal. Buku itu membahas semua album yang mungkin pernah masuk kuping kalian, secara berkelas. Kalau lewat eBay atau Amazon terlalu asing dicoba dan Bahasa Inggris kalian tidak bagus-bagus amat, mending mulai baca Setelah Boombox Usai Menyalak karya Herry Sutresna, atau Nice Boys Don’t Write Rock And Roll-nya Nuran Wibisono yang rilis tahun ini. Seperti kata Erie Setiawan musikolog Jogja: teks musik membantu lagu atau album, mengatakan apa yang tidak bisa dikatakan lagu dan lirik. Bacalah!

Tiket Konser
Karena musik gratisan berarti tidak segmented dan akan ada banyak penonton non-penggemar yang nonton hanya untuk eksis belaka. Pernahkah kalian merasakan sensasi teriak koor massal saat intro bas lagu I Wanna Be Adored dimulai?  Kalau belum, buka website The Stone Roses, cari kemungkinan kapan mereka Reuni lagi, segera booking tiket. Ya, semoga harganya tidak separuh gaji kalian ya, wahai kelas menengah.

Naskah nan slebor ini pernah dimuat di Majalah SCG.

Deathwords – Abandon The Truth: Jenuh dan Terasing Dalam Buram Hitam Putih


Kita sering merasa terasing tanpa tahu apa itu keterasingan; Marx menjelaskannya dengan agak bertele-tele dan mungkin bagi saya yang berotak di bawah rata-rata ini cukup membingungkan: manusia terasing dari dirinya sendiri, akibat dari sistem kapitalis yang membuat manusia bekerja agar tidak kelaparan. Bla-bla-bla selengkapnya bisa baca Manifesto--atau sekalian Das Kapital. Tapi kamu bisa sedikit-sedikit belajar soal keterasingan dalam video klip baru Deathwords; unit brutal stoner (begitu saya menyebutnya), berisi sobat-sobat SMA saya yang sejak dulu jadi begundal. Kita digiring di situasi hitam putih: buram dan agak sedikit menyeramkan. Kota Malang, tempat klip itu diambil, terasa seperti Norwegia, atau kota di negara Eropa yang jadi tempat kelahiran Black Metal. Padahal hanya menyorot sisi paling remeh dari Pasar Besar Malang, sampai daerah Kayu Tangan. Keterasingan dalam klip bisa dilihat dari kusamnya Converse punya Iqbal--si vokalis dengan geraman mematikan--lalu angan kita secara otomatis memasuki situasi nihil. Bocah bahagia bermain ayunan tampak kelabu; mendung dan melankoli. Jerit-jerit Iqbal yang ditampilkan berjalan di trotoar pertokoan menunjukkan sisi muram kota. Busuk dan tidak indah. Bagaimana Iqbal menyiksa pita suaranya diiringi berat knalpot distorsi Riki; membuat rasa tertohok dan meradang dalam satu paket. Malang kota hujan, tampak ortodoks dan ragu. Denging Tomi Iommi menekankan pengaruh Sabbath yang kuat. Klip mulai menggelinding menyorot aspal keras, dan jalan yang mulai penuh dengan hal-hal yang menggelisahkan. Meskipun sederhana, pikiranmu perlahan akan penuh deru. Seolah ada asap dalam hisap Marlboro yang tertelan dan masuk ke otak. Linu dan pegal, saya akui, tapi Deathwords sedang membangun nuansa. Split underground dengan Band Singapura tampak perlu digembar-gembor sebagai hal yang luar biasa; hanya saling berbagi keterasingan, kemuraman, kegelisahan--yang selalu ada di gang-gang kotor penuh kecoak, asbak yang selalu pekat terisi, got penuh kadal dan tikus coro: sudut suburb sebuah kota yang meskipun brengseknya minta ampun, tetap nyaman untuk ditinggali. Terbiasa dengan keterasingan, lalu sedikit-demi-sedikit mencicil kejenuhan dan lambat laun mencapai titik didih keputus-asaan. Mengutip Nietzsche: aku bukan manusia, aku dinamit. Lamat-lamat kita akan meledak sendiri. Meledek dan mengumpat pada hidup. Siaga pada kesedihan yang bisa datang dalam hitungan menit. Segaring Indomie yang kita makan mentah. Absurd, kosong, sekaligus renyah dan beracun. Mungkin keterasingan tiada peduli situasi apapun: ia bersemayam dalam pikir bawah sadar. Sistem pendingin dalam tubuh kita tidak berfungsi; seperti Malang yang semakin penuh, sesak, dan tidak bisa dinginkan panas kotanya sendiri. Deathwords menggambarkanya dalam klip berbudget rendah, tapi dengan kemasan yang mengena.

Tulisan sebelumnya dimuat di Wayward Online Magz.

Saturday, May 5, 2018

Merayakan May the Fourth Be With You

source: wilx.com
Demi memperingati empat Mei alias Star Wars Day, saya baru saja mengkhatamkan The Last Jedi via situs streaming gratisan. Saya memang bukan penggemar Star Wars yang taat, malah kadang sering lupa jalan cerita dan nama tokohnya. Tapi secara garis besarnya, saya tentu ingat karena sejak usia dini sudah dicekoki hal macam beginian via VCD rental. Star Wars Episode IV sampai VI sudah pernah saya tonton kira-kira di usia sebelum sekolah dasar. Membuat saya sempat trauma dan ketakutan pada sosok Darth Maul yang muncul di Phantom Menace. Sekuel selanjutnya, I sampai III sempat saya tonton di ANTV di hari-hari kecil saya. Meskipun sempat lupa dan harus menontonnya kembali saat kuliah; khusunya di 2015 akhir saat Star Wars Episode VII The Force Awakens membuat ramai jagad raya. Saya yang sudah lama menimbun memori perang bintang mau tidak mau harus menggalinya lagi. Alhasil, saya sudah menemukan titik terang dan jalan cerita yang jelas, seiring kedewasaan pikiran. 

Star Wars memang menarik dan pantas ditonton meskipun saya bukanlah fans yang terlampau fanatik. Tapi memang manusia yang belum pernah menonton Star Wars seumur hidupnya sama saja seperti mengkhianati budaya pop; keterlaluan, kemana saja kalian selama ini? Lalu tibalah saatnya saat trailer The Last Jedi meluncur dan saya sungguh tidak sabar menunggu natal tahun lalu, saat film diputar serentak di seluruh bioskop kesayangan Anda. Tapi nyatanya hidup adalah sekumpulan tai kucing yang menyebar di jalanan; bisa terinjak tanpa diduga. Adaptasi dengan waktu kerja dan ketidaksesuaian agenda dengan pacar--rekan nonton waktu itu--membuat saya menunda-nunda terus menonton pemutaran The Last Jedi ini. Alhasil saat niatan untuk menonton mulai terlupakan karena banyaknya kesumpekan hidup, termasuk bertengkar dengan pacar dan remeknya badan di awal bekerja, The Last Jedi sudah hilang dari peredaran. Saya menggoblok-goblokkan diri karena menonton Star Wars memang punya kesenangan tersendiri; terutama saat bersama dengan fanatik Star Wars yang kebetulan menonton. Ada hawa-hawa nostalgik saat soundtrack John Williams berkumandang di pembuka; ada rasa haru, ingatan kolektif masa kecil. Seperti saat saya menyaksikan langsung saat pemutaran The Force Awakens--film Star Wars pertama sesudah sekitar sepuluh tahun penantian. Kemunculan Han Solo dari Millenium Falcon disambut riuh penonton, bahkan ada yang bertepuk tangan. Momen seperti ini sangat jarang, meskipun kadang bisa dijumpai di film yang punya banyak massa; seperti sekuel Marvel atau DC. Tapi saya tidak bisa merasakan momen itu di The Last Jedi, yang kabarnya jadi sekuel terakhir Star Wars. Dan saat perayaan May the Fourth inilah saya seperti diingatkan kembali untuk menamatkan Star Wars. Hasilnya adalah streaming via komputer kantor selama dua jam setengah, lalu teka-teki serta rasa penasaran saya hilang sudah.

Walaupun sangat telat, izinkan saya bercerita sejenak. The Last Jedi dibuka dengan adegan di luar angkasa; baku hantam antara First Order dan Pemberontak. Aksi sudah dimulai sedemikian dini. Tidak ada nafas yang terbuang sia-sia karena ketegangan di film ini bisa muncul di adegan hening sekalipun; saat Rey bertemu Luke Skywalker di suatu tempat indah nan antah berantah. Banyak spekulasi bermunculan yang akhirnya berbelok tajam; semacam twist yang tidak akan terduga oleh penebak manapun. Teka-teki siapakah Rey akhirnya terjawab. Alasan Luke memilih sembunyi juga bisa diterima nalar. Selebihnya adalah hal-hal mengejutkan lain yang berpotensi jadi spoiler saat saya ocehkan di sini.

Tapi toh mungkin semua sudah nonton The Last Jedi, jadi istilah spoiler tadi sepertinya tidak relevan. Intinya yang paling menarik adalah pertemuan Rey dan Kylo Ren (Ben Solo) via Force, yang saling melempar pengaruh dan kekuatan. Juga pertemuan sekaligus duel terakhir antara Luke Skywalker, ksatria Jedi terakhir, dengan Kylo Ren, anak cucu Darth Vader. Nafas dibuat berhenti saat menyaksikan film yang katanya jadi akhir dari Star Wars. Meskipun kita semua tahu pada akhirnya kalau tiga sekuel lanjutan akan segera diproduksi. Ini berarti The Last Jedi bukanlah sekuel terakhir. Tebakan kalian salah semua. Tapi masih mending daripada saya yang telat menonton dan baru bisa menjawab semuanya, saat dunia mulai disibukkan dengan spoiler Infinity War. Karena itu saya ingin membagi satu spoiler penting kalau di The Last Jedi, Jenderal Snoke, pak tua pimpinan First Order, tewas dibantai Rey, dan nasib Luke Skywalker... silahkan tebak sendiri.

Friday, April 20, 2018

Menyetujui Rejeki

Manusia memang doyan sambat. Sedikit-sedikit menyalahkan keadaan, ngedumel dan ngomel sendiri. Walaupun tahu dan sadar kalau semua tidak akan bisa membalik keadaan. Manusia gudangnya ngomel, dan parahnya isi omelan dan sumpah serapahnya tidak habis-habis. Kemarin saat obrolan via chat dengan Mas Rona, saya seperti kembali diingatkan untuk tidak terus merengek-rengek akan nasib. Rona sebagai jurnalis musik paling berpengaruh di Surabaya (sejauh mata memandang), banyak memakai kata rejeki dalam chat. Inilah yang membuat saya tiba-tiba sadar kalau saya tidak pernah memakai kata ini. Rejeki atau rezeki dalam versi baku KBBI, memang kata yang ajaib. Tidak heran kalau para orang tua banyak menyelipkan kata rizki untuk nama anak mereka. Selama ini saya belum sadar kalau sudah diberi rejeki yang melimpah ruah. Tidak pernah kekurangan uang untuk ngopi, selalu bisa makan cukup, dan membeli tetek bengek remeh temeh yang sebenarnya juga saya tidak butuh-butuh amat. Selama ini saya menganggap kerja adalah kewajiban, just for money. Ini membuat saya berasa seperti robot uang yang bekerja dengan satu motivasi: duit. Tapi tentu saja hati ini rasanya tiap hari gundah gulana. Anjing, pekerjaan gini amat. Tapi terus dipacu demi duit, duit, duit. Dengan mengganti kata duit dengan rejeki, konotasi dan maknanya sepertinya berubah. Jadi bekerja memang tujuannya mencari rejeki. Kalian tahu rejeki menurut versi Ibunda saya itu seperti apa? Rejeki bukan hanya sekadar uang, tapi juga koneksi, pengalaman, dan ilmu yang tidak ternilai. Selama saya bekerja ini, tidak terhitung kenikmatan rejeki yang saya peroleh, dan itu benar-benar priceless. Perenungan saya malam ini akhirnya membawa saya pada berbagai pertanyaan, sebelum akhirnya bingung sendiri dan akhirnya memilih melanjutkan membaca Dilarang Gondrong terbitan Marjin Kiri yang aduhai ciamik itu. Ya, semoga saja tulisan dan perenungan ini ada guna manfaatnya yaa.

Monday, April 2, 2018

10 Pertanyaan Tak Kunjung Ada Jawabnya

1. Kenapa ada orang yang suka Fourtwenty?
Gelombang folk Indonesia menghasilkan sejumlah band dengan tiga tipe; luar biasa bagus, biasa saja, dan buruknya minta ampun. Fourtwenty; tidak termasuk ketiganya.

2. Kenapa harus bangun pagi?
Kalau jawabannya buru-buru kerja biar rejeki tidak dipatok ayam, saya menyerah dan tidak akan bertanya lagi.

3. Kenapa harus kerja delapan jam sehari enam kali seminggu (dan di beberapa perusahaan, tanggal merah dan weekend tidak libur)?
Uang? Masa depan? Membedakan diri dari hewan? Betapa lelahnya.

4. Kenapa hampir semua orang merasa dirinya benar?
Saya harap saya salah karena sudah mempertanyakan ini.

5. Kenapa outro di lagu "Di Bangku Taman" dihilangkan di album Time For A Change?
Hanya Tuhan dan Pure Saturday yang tahu.

6. Kenapa orang harus mempertanyakan sesuatu?
Saya tidak puas dengan quote Phytagoras: pertanyaan yang bagus mendorong hidup Anda semakin progresif.

7. Kenapa harus nyoblos?
Nyoblos lima menit untuk menentukan lima tahun? Sepertinya ada yang aneh.

8. Kenapa harus menjilat bos dan terlihat baik di mata semua orang?
Opsi pertama: Karena hidup cuman sekali, berpura-puralah. Opsi kedua: be your fucking self like a Kurt Cobain eksistensialism quote.

9. Kenapa dalam setiap pertemuan ada perpisahan?
Kecuali karena maut, perpisahan dalam konteks apapun selalu membuat kita penasaran, menduga-duga, lalu berdamai dengan perasaan. Mungkin jawabannya supaya mendidik kita lebih dewasa. Mungkin.

10. Kenapa kita tidak jadi anak kecil selamanya?
Karena tiap hari bulu-bulu di organ tubuh kita selalu bertumbuh. Tapi saya yakin itu bukan jawabannya.

Saturday, March 31, 2018

Ridho Riblisiandi Putra (1994 - 2018)


Sekali lagi aku menulis obituari, dan berharap ini jadi yang terakhir. Tapi kau tahu, kematian tidak pernah berhenti, selalu mendadak, dan seringkali mengagetkan. Aku tidak tahu kenapa kau meninggalkan kami semua begitu cepat, Mas San. Terlalu banyak ingatan yang meski kubuka saat membuka memori tentangmu. Tentang hidup yang masih polos saat kita sama-sama rajin mengaji di TPQ pukul dua siang, saat kau membimbingku--anak bawang ingusan yang selalu apes dalam permainan kejar-kejaran--untuk menjauhi teman yang kau anggap sengak dan kaku. Atau saat kau begitu mudah membeberkan standar warna favorit--dan saat itu kau masih kelas lima SD--dan yang terlambat aku sadari, bahwa Caroline--cinta pertamamu sewaktu masih di sekolah dasar--benar-benar cantik dan mempesona. Aku langsung mencari-carinya di semua akun media sosial saat kabar kematianmu datang, tapi entah tidak kutemukan--termasuk juga media sosialmu.

Kita sudah lama, lama sekali tidak bercengkrama. Lebih kurang enam atau tujuh tahun semenjak kau lulus SD dan memilih melanjutkan studi keluar kota. Sementara aku, disini-sini saja, masih dengan bekas nasehat dan kegilaanmu. Aku ingat momen di mana kamu menyobek satu lembar ayat suci, melipatnya jadi 32 bagian dan menambalnya dengan plakban. Kamu namakan itu jimat dan menyuruhku membawanya supaya sakti. Hanya saja aku terlalu polos hingga cerita ini mudah menyebar. Akhirnya kamu sempat kecewa padaku, kekecewaan anak bau kencur yang sehari-dua hari sudah berganti rupa. Kita kembali berkumpul di pos ronda, bermain karambol, kelereng, dan perang lempar-lemparan mangga yang masih bayi dengan anak gang sebelah. Padahal kau anak gang sebelah juga tapi yang aku ingat, kau membela gang kami, dan dengan nyala mata yang penuh kebahagiaan, menyasar wajah Kloneng--tokoh terpandang di gang sebelah--untuk dilempari mangga. Dan saat mangga itu tepat mengenai matanya, kamu seolah jadi anak kecil paling bahagia sedunia.

Masa kecil yang indah dan aku tidak pernah tahu cara untuk kembali ke sana. Kamu pergi begitu saja meninggalkan bekas ingatan yang tidak pernah rampung. Bahkan aku harus mengakui ini: kalau di semester kedua kelas empat SD aku sangat mengidolakanmu dan berusaha menyamai kegilaanmu. Hasilnya adalah Bu Tutik yang marah-marah di depan kelas, membuatku dipanggil dan dihardik karena meludahi Yunus--seorang bocah tidak naik kelas yang sebelumnya jadi temanmu.

Kalau ada satu kenang yang harus aku bawa dan rawat, adalah kegilaan TPQ kita dibawah naungan Ustadzah Ulfa. Bagaimana di suatu hari, kita berlomba mencuri rambutan dan besoknya Ustadzah kesayangan kita itu menangis sejadi-jadinya, lalu membelikan semua pencuri tadi, termasuk aku, kau, Samsul Suhendro, Herlly Prakoso, Diki Diantono, dan semua kawan seangkatan kita, satu plastik rambutan supaya kami tidak mencuri lagi.

Ada sedikit air yang kuusap di sudut mata saat mengingat ini. Terutama Mbak Olin--Caroline--yang ada di lokasi saat kami membuat Ustadzah Ulfa menangis. Tapi semua ini tentangmu, Mas. Tentang masa kecilku. Tentang begitu cepatnya larimu saat bermain kejar-kejaran. Tentang aku yang selalu kau rangkul dan kau anggap adik sendiri. Menolong aku saat jatuh dari sepeda, membela aku saat dihadang bajingan gendut jelek hitam bernama Djaya, memberi tahuku cara mudah memainkan permainan tazoz Chiki, atau mobil krek-krekan sebelum Hot Wheels booming.

Only good die young, mas. Aku selalu percaya hal itu, dan kau harus tahu, dimanapun dirimu berada, masa kecilku akan terus berlarian bersamamu; dalam ingatan yang akan kubawa dan kuceritakan ke anakku nanti.

"Dulu Papa punya sahabat baik, namanya Mas Sandi..."

Long Weekend Nan Mantap Anjing

Ini adalah hari kesekian saya bekerja di suatu media berita di mana karyawan on air-nya tetap masuk meskipun tanda di kalender menunjukkan tanggal merah. Long weekend dimulai Jumat ini hanya saja saya sebagai pekerja pantang merasakannya. Sesudah dibombardir tugas kantor yang menumpuk sejak pukul sembilan pagi, saya akhirnya bisa rehat selepas pukul lima sore. Sobat saya, Jonip, merencanakan untuk membunuh stres barang sebentar nanti malam. Entah itu memperingati hari film nasional di bioskop terdekat, main ke gereja merayakan Jumat Agung Paskah, atau sekadar ngopi rasan-rasan dengan jutaan rutukan dan luapan perasaan tertekan atas ritme kerja yang membuat kehidupan kaum somplak seperti kami amburadul jaya. Tapi apa daya badan sudah terlalu keras dihantam teks-teks berita. Kepala sudah sedemikian puyeng dan sedang malas dihantam paracetamol. Akhirnya sesudah mengisap bunga saya rebah sejenak, sambil mencoba membuka mulut, melemaskan otot-otot. Saya membayangkan adegan dalam Spongebob Squarepants di mana salah satu tokoh antagonis kesayangan kita, Squidward, sedang berusaha melepaskan diri dari gangguan Si Kuning dan mengafirmasi dirinya dengan berkata "santai, santai, santai." Tapi sesudah membayangkan adegan itu saya malah terbang entah ke mana, mengalami pertempuran luar biasa di alam mimpi, dan bangun dengan bermacam-macam umpatan karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Brengsek bajigur. Saya langsung mengecek ponsel dan ada ribuan message dan telfon. Salah satunya dari Jonip yang saya duga sedang marah tidak karuan, menganggap saya seorang terkutuk yang menyalahi janji dan rencana. Dan yang sureal adalah suasana di luar sedang hujan begitu derasnya. Satu hal lagi, kawan baik saya, Mas Nirwana, menyampaikan kesedihan dalam sebuah kiriman share location di WhatsApp. Saya langsung mendadak bodoh karena selepas pulang kerja tadi mengajak Nirwana ini ngopi-ngopi juga di daerah Ketintang. Saya langsung merasa berdosa dan iba tapi tidak mau berlarut-larut. Akhirnya saya kembali menumpuk guling di atas kepala, menikmati badan yang sudah segar sesudah tidur tiga jam, dan ingin merasakan kembali kesyahduan. Mata yang masih sepet begitu asoy dipejam-pejamkan. Hawa yang dingin karena hujan, sungguh mantap anjing karena biasanya Surabaya selalu gerah dan panasnya minta ampun. Terbersit keinginan untuk makan karena perut terakhir kali diisi pentol pukul lima sore tadi. Tapi sedihnya di luar hujan dan saya sedang sedemikian enjoynya menikmati suasana asoy geboy ini.

Friday, March 30, 2018

Sebuah Kiriman Kegelisahan Kaum Pekerja

Sepulang kerja (ini pukul setengah dua dini hari), saya mendapat kiriman puisi, atau prosa, atau apalah ini, dari sobat dekat saya. Beberapa waktu sebelumnya saya merekomendasikannya untuk menonton Captain Fantastic, film manusia yang menolak modernitas. Nyatanya dia keterusan dan sedikit nyandu dengan film sejenis. Dilahap pula Into The Wild dan film yang diangkat dari novel Nick Hornby (dia memberi saya tebak-tebakan tapi saya belum tahu judulnya). Bahkan, bocah ini terlalu keterusannya sampai menonton pula George Of The Jungle. Mungkin ini yang membuatnya merasa agak sedikit nge-blank dan menuliskan tulisan ini. Dia mengirimi saya via WhatsApp sesudah telepon selama sekitar limabelas menitan membahas rencana ngopi karena dia sedang butuh cerewet dan curhat; membahas masalah kerjaan yang semakin asu--katanya. Tulisannya saya taruh sini, selain sekadar untuk mengisi blog yang sudah lama tidak terisi, apa yang dia tulis sepertinya sama dengan apa yang saya rasakan sekarang. Anggap saja penulisnya bernama Tuan Marah. Sorry kalau kau membaca prosa penuh amarahmu di blog cihuy kesayanganku. 

Selamat membaca, handai taulan!

***

Seharusnya, kita punya waktu untuk diri kita sendiri. Sebentar saja, jangan lama-lama. Dua-tiga hari, tanpa harus dihantui suara khas dari keyboard saat dipencet, tetikus yang kita gerakkan kesana-kemari, klik laman, software, folder, mata yang menatap ruang maya dibalik LCD. Tambah lagi dinginnya pendingin ruangan 16 derajat Celcius, televisi berita keparat yang terus menjerit, kursi yang tidak pernah nyaman, tertawa palsu, bodoh dan tidak lucu, sikap sok asyik, sok dekat, sok jaim, sok akrab antar rekan kerja. Profesionalisme kepentingan pribadi, peduli hanya sebagai basa-basi, keuntungan dalam roda bernama industri yang tidak pernah berhenti.

Kita seharusnya tidak melulu terpenjara waktu semacam ini. Kita seharusnya, seharusnya, seharusnya, membuat peta perjalanan kita sendiri. Kita seharusnya tidak jadi babu, diperas seperti kanebo, sampai kering dan kaku, lalu tua dan dibuang. Kita adalah urat-urat penis yang menegang tanpa pernah merasa puas, tanpa pernah merasa klimaks.

Kita memenjarakan diri kita sendiri dalam semu kesuksesan omong kosong berbalut rutinitas harian busuk yang sebenarnya membunuh kita dari dalam. Kita menjadi mesin, budak, yang terus menerus mempersenjatai nyawa dengan vitamin, nikotin, kafein, menggenjot produktivitas sekaligus membunuh kreativitas demi rupiah yang tidak seberapa. Kita kuda liar yang dijinakkan gara-gara perut. Kita dikutuk bernasib sial gara-gara semua orang mewacanakan kerja, kerja, kerja, tapi tidak pernah peduli pada arti bahagia. 

Bahagia tidak boleh dicari tapi dirasa tapi apa daya hati sudah sedemikian mati, kelu, menghitam dan dengan sendirinya obatnya hanya alkohol murah yang susah didapat, pemerintah banyak bacot dan aturan, membuat kita yang awam jadi kebingungan.

Pada siapa kita bergantung selain pada murah hati pemilik modal, yang sialnya hanya ongkang-ongkang kaki. Tidak bisa. Tidak bisa begini. Tidak mau begini. Besok pagi kita tetap bangun pagi dan menunda aktivitas mengoles nutella di roti, karena waktu dan weker sudah mengubah alur hidup kita, jadi kencang dan terburu-buru, mandi terbirit-birit, dikejar telat, dikejar kemarau goblok, umpatan tidak berguna, profesionalisme babi buduk.

Anjing!

Thursday, February 15, 2018

Menunggu Kamu di Teras Depan, Menunggu Kamu Pulang ke Rumah

Saat sedang ngendon depan kompi yang memutar lagu-lagu dari Oathbreaker, ada pertanyaan menarik yang dilempar Rahma, kawan baik saya di Jogja, lewat status WhatsApp:

“Pengguna WhatsApp ada yang suka C’mon Lennon?”

Secara impulsif, saya langsung menjawab: 'aku dong!' Lagu Oathbreaker yang lumayan kencang, mendadak berhenti, otomatis berganti intro “Aku Cinta J.A.K.A.R.TA” dari C’mon Lennon di dalam pikiran. Sial. Waktu seperti berputar. Pikiran saya terbang ke laptop tua yang yang berkali-kali sekarat. Tempat saya mengepulkan banyak rilisan dari rip-CD atau unduh illegal. Dan ada satu folder dari ratusan album musik yang rutin saya buka. C’mon Lennon dengan Ketika Lalala

Lalu, lagi-lagi secara impulsif, saya ngobrol dengan Rahma. Membahas objek favorit anak-anak segerombolan kami. Apalagi selain musik. Dan C’mon Lennon bisa jadi adalah satu yang tidak boleh dilupakan.

“Punya lagu favorit?” Tanya saya.

“Gadis Bertangan Satu, Adiksi, semuanya. Hehe.”

Semuanya di sini adalah 12 track di album Ketika Lalala. Hanya ini. Satu-satunya rilisan band yang menyandang status criminally underrated; tapi mungkin jadi band indie terbaik yang pernah ada.

Saya mencoba mengingat-ingat sejumlah track itu: nyaris terlupa. Saya memang sempat beberapa kali mendengarkan full-album. Tapi selalu berhenti, mengulang lagi satu track yang benar-benar tidak bisa lenyap dari pikiran. Bahkan, hanya lagu ini yang saya putar rutin, saat membuka folder C’mon Lennon. Tanpa perlu ditanya, saya menyebut satu lagu sakral yang menurut saya paling berkesan dari C’mon Lennon’.

“Aku paling suka Kikuk.”
***
Sore hari kerumahmu sendiri
Jalan kaki perlahan menuju harapan
Awan putih dan layangan di atasku
Jarak ini semakin dekat, tiga langkah.
Di muka rumahmu, menyapa pintu
Selamat sore.

Televisi hitam putih masih menyala
Tapi kamu telah pergi entah kemana
Dalam kebingungan kucoba menerka
Kemana kah kamu pergi di sore ini
Jam berapa ‘kan kembali di hari ini
Aku menunggu

Menunggu kamu di teras depan
Menunggu kamu pulang kerumah
Malam hari kamu pulang
Bertemu aku
Aku kikuk

Musik yang menyayat. Lirik yang memikat. Sekarang saya tiba-tiba merasakan kesenduan itu. Ingatan itu. Di teras rumah seorang perempuan, berjabat tangan, dan berucap malu-malu: “Selamat sore.”

C'Mon Lennon - Kikuk - Bisa didengar disini.

Wednesday, February 14, 2018

Guilty Pleasure: Fluktuasi Glukosa


Semacam guilty pleasure - sesuatu yang dari lubuk hati terdalam, saya akui tidak penting buat didengar, tapi toh tetap saya dengarkan juga. Saya tidak berani memuji Pee Wee Gaskins. Menurut saya, Pee Wee hanya band beranggotakan anak-anak emo yang meletakkan dasar berpakaian so called dorks, cupu tapi keren, semacam kutu buku (lihat Dochi), tapi trendi dan doyan pakai kaus merek (lihat Dochi). Just that. Semua albumnya menurut saya tidak penting. Hanya pengulangan Blink 182 versi powerpop dengan tambahan bebunyian uwiw uwiw synthetizer yang lucu. Tolong, singkirkan kata punk atau apapun yang mengerucut ke sana kalau membahas soal Pee Wee Gaskins. Saya tidak punya kebencian apapun pada band ini, bahkan ada atau tiadanya band ini pun saya tidak ambil pusing. Album Sophomore atau yang paling baru sekalipun, saya tidak punya alasan untuk mendengarkannya. Saya tidak tahu kenapa dan memang malas sekali mencari tahu. Saya akui lagu-lagunya memang mudah dihafal. Seperti, ah saya lupa judulnya. Pernah nampang di Dahsyat sewaktu saya SMP. Tapi, hanya itu. Tidak ada kesan lain. 

Meski begitu saya akui, Pee Wee Gaskins lumayan bisa diperhatikan di track "Sebuah Rahasia". Balada yang tidak terlalu pamer bebunyian ambulan dan tidak terlalu nge-beat. Ini lagu yang lumayan worthed dari Pee Wee Gaskins. Kekuatan Pee Wee Gaskins muncul di lagunya yang mungkin paling ballad. Saya menyimaknya juga dalam versi akustik; sama-sama menarik. Ini guilty pleasure saya pada Pee Wee. Tidak ada alasan untuk bilang "Sebuah Rahasia" sebagai sesuatu yang tidak penting. Saya mencoba meminggirkan fanatik Pee Wee dan anti Pee Wee yang sempat merebak beberapa tahun belakangan. Biarlah. Itu juga lebih tidak penting untuk dibahas.

Sampai saya tidak sengaja mendengar "Fluktuasi Glukosa" via Spotify. Ini lumayan crunchy. Saya tidak tahu kenapa bisa doyan konsumsi lagu ini. Saya mencoba memperhatikan apa yang membedakan lagu ini dengan lagu tidak penting di semua album mereka (maafkan saya, saya bisa dikeroyok fans berat Pee Wee kalau begini). Tapi ini berbeda. Saya tidak berani bilang bahwa di lagu ini Pee Wee mulai matang, karena kapasitas saya tidak sampai mengamati seluruh katalog Pee Wee. Tapi saya semakin tidak tahu kenapa lagu ini terngiang-ngiang terus di kepala. Akhirnya saya ada pada satu kesimpulan yang tidak pasti: lagu ini catchy. Catchy as fuck. Ada kenikmatan dalam telinga yang sulit dijelaskan. Mungkin saya sedang jenuh dengan sejumlah band yang saya puja-puji sepanjang masa. Atau kesalahan memang terletak pada telinga saya? Who knows. Tapi, dalam lagu ini saya berani mengakui: Pee Wee, akhirnya kalian keren di mata saya.

Monday, February 12, 2018

My World Is'nt Dying Enough


First gigs sesudah sebelumnya hanya bisa ngaplo di tempat kerjaan, meratapi nasib jelek karena berbenturan jadwal. Terhitung sudah hampir dua bulan saya kurang asupan gigs. Kerjaan menbuat saya bodoh temporer: tiap hari layar komputer dan deadline. Atau kalau sedang ada waktu senggang sedikit, pasti tidur atau ketiduran, melewatkan hal-hal indah di luaran sana.
Sebenarnya saya sedang dalam kondisi mood yang benar-benar fluktuatif. Lingkungan kerja membuat pikiran saya buntu, sumpek, dan seperti ingin segera kiamat saja. Beberapa hiburan adalah main PS sampai jelang subuh, dan Tekken 7 benar-benar membuat jari saya kapalan. Susah sekali kalahkan Heihachi bandot sok kuat di Story Level 8. Tapi kalau ketemu lawan yang bisa Versus, pasti cupunya minta ampun sampai-sampai saya harus turunkan kemampuan main Tekken saya.
Hiburan lain seperti ngopi sudah jadi hal rutin sampai saya tidak perlu anggap itu hiburan. Saya hanya butuh liburan. Ke tempat yang jauh, terasing, dan buat pikiran sedikit terbantu. Rencana ke pantai batal karena saya belum diizinkan cuti. Termasuk di dalamnya: bawa botolan untuk dihabiskan saat remang rembulan di kasar pasir pantai.
Untuk itu, saya hanya butuh gigs. Bukan band-band jelek murahan yang sering bikin saya tahan napas saking amburadulnya. Untungnya SCALLER, band Jakarta yang saya tonton kemarin, bukan masuk kategori band pemicu muntah berak. Di beberapa lagu yang dimainkan live, ada energi itu: energi yang saya butuhkan untuk jalani hidup yang semakin tengik.
Dan kemarin, solar saya sepertinya sudah terisi lagi. Lapar dahaga saya akan hiburan selalu bisa terpuaskan oleh SCALLER. Tidak pernah mengecewakan. Walau di beberapa lagu, saya kurang begitu suka–-sorry to say, khususnya di lagu yang pakai vokal Rene Karamoy. Hidup tidaklah penting sampai kita menghidupkan hidup. “Live And Do”, “Flair” sampai “The Youth”, buat saya bisa kembali menemukan sesuatu yang lama hilang dalam diri: semangat masa muda.
Bahwa hidup tidak hanya tentang kerja, kerja, kerja. Singkirkan waktu dan lelah sejenak. Live gigs lebih keren dari Spotify. Meskipun lirik SCALLER di lagu penutup masih tengiang-ngiang. Menandakan saya memang berada di dunia yang batuk-batuk, hampir mati, dan sekarat.
“My world, is dying!”