Friday, October 10, 2014

Biaskan Semu, Semua yang Tersisa

Saat ini kita duduk di tepian danau. Kamu berharap imajinasimu kali ini tak jadi nyata. Seolah-olah sesudah kamu bercerita bahwa apa yang kamu pikirkan—hal-hal tabu, tak masuk akal, sulit dinalar—selalu saja jadi kenyataan, ular besar sebesar naga yang kau bayangkan akan muncul dari dasar danau dan mencelakai kita semua: termasuk orang memancing, muda-mudi yang berpacaran juga ayah yang menggendong anaknya sambil menatap danau. Tapi aku justru berharap ular itu muncul dan kita akan terkejut; biar kamu yakin bahwa imajinasimu selalu jadi nyata. Karena sejujurnya aku berharap bahwa aku ada dalam jutaan imajinasimu.

Waktu berlalu. Kita hanya duduk. Menatap danau jernih seluas tiga kali lapangan bola, dan melamun. Kita sudah membicarakan banyak hal. Aku tahu kamu gelisah menunggu nilai test-mu diumumkan. Kamu tahu aku gelisah banyak deadline yang harus dikerjakan. Semua menumpuk. Tapi tumpah seketika saat kita bicara. Sore ini bebanku terbagi. Kita selalu seperti ini. Membagi semua. Biaskan semua. Tanpa sisa. Aku tahu kamu ingin berjumpa adik bayiku yang baru berusia tiga tahun—atau empat tahun aku lupa?—dan kamu akan menggendongnya, mengajaknya bermain, meninabobokannya, tapi kamu bingung saat dia minta mimik. Sementara kamu tahu aku masih mengharapkan ular besar itu muncul dari dasar. Dan di sore itu, genap dua puluh kali kamu mencubit pipiku. “Ih, aku takut lho. Jangan ular-ularan terus!” katamu. Aku semakin menggila. Dua puluh satu cubitan mendarat. Aku kesakitan dan entah mengapa juga kegirangan.

Senja mulai turun. Pukul lima lebih sekian menit. Ada sesuatu di angkasa yang membuat kita terus memandanginya. Langit mulai kekuningan. Indah. Aku melihat sorot matamu lembut menatap pendar sinar, sedikit menyilaukan retina. Air danau mulai bergerak tertiup angin. Membentuk gelombang elok. Begitu pula kita. Bersamaan dengan itu aku menunjuk tengah danau. “Hey liat, danaunya kayak kekuning-kuningan gitu. Keren nggak?” Kamu mengangguk sambil tersenyum. Aku menantikannya sedari tadi. Senyuman termanis di penghujung senja. Senyuman terlembut di antara bayang-bayang nilai test, tumpukan deadline dan ular sebesar naga. Senyuman terhangat, yang entah untuk senja, atau untuk aku.

Keniscayaan yang muncul pasca senja adalah gelap. Tapi bukan gelap yang membutakan mata. Aku masih bisa melihat daun tertiup angin, sinar lampu kota yang mulai nampak, penjual cilok yang duduk menghisap kretek, dan, aku masih bisa melihatmu. “Nggak pengen senyum? Cantik kayaknya kalo senyum.” Dan kamu pun tersenyum. Melengkapi langit orange-keungu-unguan yang sedang terjadi. Soreku sempurna.

"Diam
Tatap wajahku perlahan
Derukan, derukan
Angin panjang
Sisakan bebas
Bebas yang tertinggal
Huuhu…"

Danau Lidah, October, 2014
Title and quotes taken from Humi Dumi’s song “Ceria Cerita”
It’s just fiction or reality? Who cares.