Saturday, March 31, 2018

Ridho Riblisiandi Putra (1994 - 2018)


Sekali lagi aku menulis obituari, dan berharap ini jadi yang terakhir. Tapi kau tahu, kematian tidak pernah berhenti, selalu mendadak, dan seringkali mengagetkan. Aku tidak tahu kenapa kau meninggalkan kami semua begitu cepat, Mas San. Terlalu banyak ingatan yang meski kubuka saat membuka memori tentangmu. Tentang hidup yang masih polos saat kita sama-sama rajin mengaji di TPQ pukul dua siang, saat kau membimbingku--anak bawang ingusan yang selalu apes dalam permainan kejar-kejaran--untuk menjauhi teman yang kau anggap sengak dan kaku. Atau saat kau begitu mudah membeberkan standar warna favorit--dan saat itu kau masih kelas lima SD--dan yang terlambat aku sadari, bahwa Caroline--cinta pertamamu sewaktu masih di sekolah dasar--benar-benar cantik dan mempesona. Aku langsung mencari-carinya di semua akun media sosial saat kabar kematianmu datang, tapi entah tidak kutemukan--termasuk juga media sosialmu.

Kita sudah lama, lama sekali tidak bercengkrama. Lebih kurang enam atau tujuh tahun semenjak kau lulus SD dan memilih melanjutkan studi keluar kota. Sementara aku, disini-sini saja, masih dengan bekas nasehat dan kegilaanmu. Aku ingat momen di mana kamu menyobek satu lembar ayat suci, melipatnya jadi 32 bagian dan menambalnya dengan plakban. Kamu namakan itu jimat dan menyuruhku membawanya supaya sakti. Hanya saja aku terlalu polos hingga cerita ini mudah menyebar. Akhirnya kamu sempat kecewa padaku, kekecewaan anak bau kencur yang sehari-dua hari sudah berganti rupa. Kita kembali berkumpul di pos ronda, bermain karambol, kelereng, dan perang lempar-lemparan mangga yang masih bayi dengan anak gang sebelah. Padahal kau anak gang sebelah juga tapi yang aku ingat, kau membela gang kami, dan dengan nyala mata yang penuh kebahagiaan, menyasar wajah Kloneng--tokoh terpandang di gang sebelah--untuk dilempari mangga. Dan saat mangga itu tepat mengenai matanya, kamu seolah jadi anak kecil paling bahagia sedunia.

Masa kecil yang indah dan aku tidak pernah tahu cara untuk kembali ke sana. Kamu pergi begitu saja meninggalkan bekas ingatan yang tidak pernah rampung. Bahkan aku harus mengakui ini: kalau di semester kedua kelas empat SD aku sangat mengidolakanmu dan berusaha menyamai kegilaanmu. Hasilnya adalah Bu Tutik yang marah-marah di depan kelas, membuatku dipanggil dan dihardik karena meludahi Yunus--seorang bocah tidak naik kelas yang sebelumnya jadi temanmu.

Kalau ada satu kenang yang harus aku bawa dan rawat, adalah kegilaan TPQ kita dibawah naungan Ustadzah Ulfa. Bagaimana di suatu hari, kita berlomba mencuri rambutan dan besoknya Ustadzah kesayangan kita itu menangis sejadi-jadinya, lalu membelikan semua pencuri tadi, termasuk aku, kau, Samsul Suhendro, Herlly Prakoso, Diki Diantono, dan semua kawan seangkatan kita, satu plastik rambutan supaya kami tidak mencuri lagi.

Ada sedikit air yang kuusap di sudut mata saat mengingat ini. Terutama Mbak Olin--Caroline--yang ada di lokasi saat kami membuat Ustadzah Ulfa menangis. Tapi semua ini tentangmu, Mas. Tentang masa kecilku. Tentang begitu cepatnya larimu saat bermain kejar-kejaran. Tentang aku yang selalu kau rangkul dan kau anggap adik sendiri. Menolong aku saat jatuh dari sepeda, membela aku saat dihadang bajingan gendut jelek hitam bernama Djaya, memberi tahuku cara mudah memainkan permainan tazoz Chiki, atau mobil krek-krekan sebelum Hot Wheels booming.

Only good die young, mas. Aku selalu percaya hal itu, dan kau harus tahu, dimanapun dirimu berada, masa kecilku akan terus berlarian bersamamu; dalam ingatan yang akan kubawa dan kuceritakan ke anakku nanti.

"Dulu Papa punya sahabat baik, namanya Mas Sandi..."

Long Weekend Nan Mantap Anjing

Ini adalah hari kesekian saya bekerja di suatu media berita di mana karyawan on air-nya tetap masuk meskipun tanda di kalender menunjukkan tanggal merah. Long weekend dimulai Jumat ini hanya saja saya sebagai pekerja pantang merasakannya. Sesudah dibombardir tugas kantor yang menumpuk sejak pukul sembilan pagi, saya akhirnya bisa rehat selepas pukul lima sore. Sobat saya, Jonip, merencanakan untuk membunuh stres barang sebentar nanti malam. Entah itu memperingati hari film nasional di bioskop terdekat, main ke gereja merayakan Jumat Agung Paskah, atau sekadar ngopi rasan-rasan dengan jutaan rutukan dan luapan perasaan tertekan atas ritme kerja yang membuat kehidupan kaum somplak seperti kami amburadul jaya. Tapi apa daya badan sudah terlalu keras dihantam teks-teks berita. Kepala sudah sedemikian puyeng dan sedang malas dihantam paracetamol. Akhirnya sesudah mengisap bunga saya rebah sejenak, sambil mencoba membuka mulut, melemaskan otot-otot. Saya membayangkan adegan dalam Spongebob Squarepants di mana salah satu tokoh antagonis kesayangan kita, Squidward, sedang berusaha melepaskan diri dari gangguan Si Kuning dan mengafirmasi dirinya dengan berkata "santai, santai, santai." Tapi sesudah membayangkan adegan itu saya malah terbang entah ke mana, mengalami pertempuran luar biasa di alam mimpi, dan bangun dengan bermacam-macam umpatan karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Brengsek bajigur. Saya langsung mengecek ponsel dan ada ribuan message dan telfon. Salah satunya dari Jonip yang saya duga sedang marah tidak karuan, menganggap saya seorang terkutuk yang menyalahi janji dan rencana. Dan yang sureal adalah suasana di luar sedang hujan begitu derasnya. Satu hal lagi, kawan baik saya, Mas Nirwana, menyampaikan kesedihan dalam sebuah kiriman share location di WhatsApp. Saya langsung mendadak bodoh karena selepas pulang kerja tadi mengajak Nirwana ini ngopi-ngopi juga di daerah Ketintang. Saya langsung merasa berdosa dan iba tapi tidak mau berlarut-larut. Akhirnya saya kembali menumpuk guling di atas kepala, menikmati badan yang sudah segar sesudah tidur tiga jam, dan ingin merasakan kembali kesyahduan. Mata yang masih sepet begitu asoy dipejam-pejamkan. Hawa yang dingin karena hujan, sungguh mantap anjing karena biasanya Surabaya selalu gerah dan panasnya minta ampun. Terbersit keinginan untuk makan karena perut terakhir kali diisi pentol pukul lima sore tadi. Tapi sedihnya di luar hujan dan saya sedang sedemikian enjoynya menikmati suasana asoy geboy ini.

Friday, March 30, 2018

Sebuah Kiriman Kegelisahan Kaum Pekerja

Sepulang kerja (ini pukul setengah dua dini hari), saya mendapat kiriman puisi, atau prosa, atau apalah ini, dari sobat dekat saya. Beberapa waktu sebelumnya saya merekomendasikannya untuk menonton Captain Fantastic, film manusia yang menolak modernitas. Nyatanya dia keterusan dan sedikit nyandu dengan film sejenis. Dilahap pula Into The Wild dan film yang diangkat dari novel Nick Hornby (dia memberi saya tebak-tebakan tapi saya belum tahu judulnya). Bahkan, bocah ini terlalu keterusannya sampai menonton pula George Of The Jungle. Mungkin ini yang membuatnya merasa agak sedikit nge-blank dan menuliskan tulisan ini. Dia mengirimi saya via WhatsApp sesudah telepon selama sekitar limabelas menitan membahas rencana ngopi karena dia sedang butuh cerewet dan curhat; membahas masalah kerjaan yang semakin asu--katanya. Tulisannya saya taruh sini, selain sekadar untuk mengisi blog yang sudah lama tidak terisi, apa yang dia tulis sepertinya sama dengan apa yang saya rasakan sekarang. Anggap saja penulisnya bernama Tuan Marah. Sorry kalau kau membaca prosa penuh amarahmu di blog cihuy kesayanganku. 

Selamat membaca, handai taulan!

***

Seharusnya, kita punya waktu untuk diri kita sendiri. Sebentar saja, jangan lama-lama. Dua-tiga hari, tanpa harus dihantui suara khas dari keyboard saat dipencet, tetikus yang kita gerakkan kesana-kemari, klik laman, software, folder, mata yang menatap ruang maya dibalik LCD. Tambah lagi dinginnya pendingin ruangan 16 derajat Celcius, televisi berita keparat yang terus menjerit, kursi yang tidak pernah nyaman, tertawa palsu, bodoh dan tidak lucu, sikap sok asyik, sok dekat, sok jaim, sok akrab antar rekan kerja. Profesionalisme kepentingan pribadi, peduli hanya sebagai basa-basi, keuntungan dalam roda bernama industri yang tidak pernah berhenti.

Kita seharusnya tidak melulu terpenjara waktu semacam ini. Kita seharusnya, seharusnya, seharusnya, membuat peta perjalanan kita sendiri. Kita seharusnya tidak jadi babu, diperas seperti kanebo, sampai kering dan kaku, lalu tua dan dibuang. Kita adalah urat-urat penis yang menegang tanpa pernah merasa puas, tanpa pernah merasa klimaks.

Kita memenjarakan diri kita sendiri dalam semu kesuksesan omong kosong berbalut rutinitas harian busuk yang sebenarnya membunuh kita dari dalam. Kita menjadi mesin, budak, yang terus menerus mempersenjatai nyawa dengan vitamin, nikotin, kafein, menggenjot produktivitas sekaligus membunuh kreativitas demi rupiah yang tidak seberapa. Kita kuda liar yang dijinakkan gara-gara perut. Kita dikutuk bernasib sial gara-gara semua orang mewacanakan kerja, kerja, kerja, tapi tidak pernah peduli pada arti bahagia. 

Bahagia tidak boleh dicari tapi dirasa tapi apa daya hati sudah sedemikian mati, kelu, menghitam dan dengan sendirinya obatnya hanya alkohol murah yang susah didapat, pemerintah banyak bacot dan aturan, membuat kita yang awam jadi kebingungan.

Pada siapa kita bergantung selain pada murah hati pemilik modal, yang sialnya hanya ongkang-ongkang kaki. Tidak bisa. Tidak bisa begini. Tidak mau begini. Besok pagi kita tetap bangun pagi dan menunda aktivitas mengoles nutella di roti, karena waktu dan weker sudah mengubah alur hidup kita, jadi kencang dan terburu-buru, mandi terbirit-birit, dikejar telat, dikejar kemarau goblok, umpatan tidak berguna, profesionalisme babi buduk.

Anjing!