Di masa kuliah tak ada hal yang paling membuat kangen selain mengenang
kembali masa-masa SMA yang penuh dengan kenakalan, keisengan, pacaran dan aksi labil lainnya. Pun jika mengingat kembali segala elemen menyebalkan yang
harus dialami tiap hari: bangun pagi-pagi buta pulang sore-sore betul untuk
PIB, melewatkan sarapan pagi bernutrisi yang dibuatkan bunda tercinta, menahan
lapar, dahaga, kencing dan buang air demi pelajaran jam pertama, sampai menahan
kantuk sembari menyangga kepala dengan tangan waktu pelajaran Sejarah. Ternyata
semua yang menyebalkan itu kini seakan ingin terulang kembali. SMA memang
mempunyai daya tarik kuat--semacam magnet baja yang membuat kita sukar
melupakannya. Berikut beberapa
tokoh dari SMAN 1 Pandaan tercinta yang menurut saya paling sukar dilupakan, entah itu
karena jasa-jasanya, kenangannya atau hal lain yang melegenda. Sengaja dibuat
urutan dari lima sampai satu, dengan urutan puncak sebagai tokoh yang paling
sukar dilupakan. Dan, tercantum juga honorable mention karena keterbatasan saya
dalam membuat list.
5. Mak Kun Cs.
Bukti bahwa 'love' pun masih bisa bikin manyun. Untuk itu 'keep smiling' saja ha-ha! |
Kuartet pemadam kelaparan: Mak Kun, Om Heri, Mak Yati dan Pak No adalah
hal yang sukar --bahkan sangat sukar dilupakan karena mereka sungguh berjasa
menyelamatkan ‘hidup’ saya dari ancaman busung lapar dan gizi buruk seusai PIB.
Menu-menu ajaib yang lebih seksi dari masakan Farah Quinn, lebih gahar dari
selera Chef Juna, lebih mak-nyus dari rekomendasi Bondan Winarno: mie, nasi,
tahu dan soto mereka adalah legenda. Meletakkan mereka di list ini cukup masuk
akal karena tanpa mereka, sudah bisa dibayangkan jadinya akan seperti apa.
Mereka adalah penguasa kantin SMANDA sepanjang masa. Juara!
Baca juga tulisan tentang kantin SMANDA disini.
4. Bu Atifa
Tak ada yang lebih killer dibanding tatapan mata Bu Atifa. Dibalik
auranya yang bersahaja, guru Matematika legendaris ini sukses merampasi
gelang-gelang saya berkali-kali dengan metode yang paling sadis: digunting.
Selalu menyebut nama saya waktu situasi hening karena tak ada yang bisa
menjawab soal Logaritma, menyuruh maju untuk mengerjakan rumus-apa-itu-yang-saya-bahkan-tidak-tahu-namanya
di papan tulis sembari ditertawakan teman-teman dan yang terakhir, mempunyai
kata-kata cercaan bermajas sarkastis yang hingga hari ini masih terngiang:
“Tito, hmm. Masak dari tadi nggak ngerti-ngerti?” Ampun bu…
3. Pak Mustofa
Jika Pak Mustofa mulai ngelantur saat mengajar, kita hanya perlu segera
menyadari bahwa ngelantur adalah proses alami menuju sebuah kesepahaman sejati.
Tak ada salahnya juga membayangkan bahwa waktu masih muda dulu beliau mirip
dengan Vin Diesel jika kita sudah mulai bosan dan mengantuk mendengar beliau
mengabsen murid satu-persatu --dengan durasi sepuluh menit per murid. Beliau
adalah tipe orang yang betah membaca buku-buku Koentjaraningrat hingga
berjam-jam, menarik kesimpulan secara objektif dan subjektif, hingga meramunya
menjadi kata-kata penuh metafora sebagai bahan ajar. Intinya; beliau seperti
semacam geek jenius bidang Antropologi dan Sosiologi. Tak ada yang salah dengan
beliau. Seorang baik hati yang ikhlas mengajar bahkan kala sebagian murid belum
datang atau sudah pulang. Pak Mustofa adalah satu dari beberapa guru terbaik
saya selama beberapa tahun terakhir. Akhirnya saya mengakuinya.
Pengalaman nongkrong depan kelas saat Monseour Wanta sudah berada di
kelas menjadi pengalaman yang tak pernah terlupakan. Beliau marah hingga
menggebrak meja dan meninggalkan kelas. Saya dan beberapa teman yang nongkrong
tadi pun pun jadi sasaran amuk teman-teman cewek yang emosi. Kami pun langsung
menuju ruang guru untuk meminta maaf. Mengharukan karena beliau hanya tersenyum
teduh sambil menepuk bahu kami. Meskipun saya tak pernah paham konjugasi bahasa
Prancis dan cara bacanya, saya tak pernah lupa bagaimana kerennya beliau saat
memamerkan foto-fotonya waktu berada di Paris, dengan percaya dirinya menunjuk
bagian papan tulis yang diyakininya pernah ia tulisi sesuatu yang penting,
senyumnya yang selalu membuat melting kala teman-teman hanya bisa melongo saat diterangkan,
hingga air matanya yang mencair dalam pelukan teman-teman di hari mengharukan
sesaat setelah istighosah untuk UNAS berlangsung. Satu lagi ucapan dari beliau
yang paling saya ingat selain “Bonjour!”
dengan logat khas Menara Eiffel: “Saya tak mengharapkan surga, neraka, atau apa
saja. Saya hanya mencoba ikhlas, menyerahkan apapun pada-Nya.” --ini yang
membuat saya yakin bahwa beliau sudah mencapai titik ikhlas tertinggi.
1. Bu Niamah
Slogan “Niamah For President!” tak pernah lapuk dimakan zaman. Jika
ribuan penduduk mendukung Jokowi sebagai capres, saya tetap menjagokan Bu
Niamah. Argumennya soal televisi, politik, pemerintahan, kemanusiaan dan percintaan
adalah pemikiran yang paling bernas yang pernah saya temui sampai saat ini. Pun
sikap keibuannya yang membuat teman-teman betah di kelas. Mengubah saya yang
awalnya canggung menjadi sedikit lebih berani bicara depan umum. Tugas baca
pidato terakhirnya sukses membuat saya menahan pipis di celana karena nervous.
Ini guru terbaik saya hingga saat ini; guru yang paling sukar dilupa, juga
paling banyak membentuk saya; beliau pantas menduduki peringkat pertama. Banyak buktinya jika tangan dingin beliau mampu
mengubah anak-anak yang gagap menjadi banyak omong. Hingga pengalaman spiritual
waktu detik-detik terakhir menjelang UNAS di saat PIB kala beliau melakukan retrospeksi dua tahun terakhir bersama
kelas bahasa sampai menitikkan air mata. Peristiwa ini jauh lebih mengharukan
dibanding film Laskar Pelangi yang soundtrack-nya pernah menjadi salah satu
lagu bersejarah kelas bahasa. Ibu kelas bahasa? Iya. Pejuang siswa minoritas?
Iya. Sosok penting pengubah hidup? Iya. Kalau saja tak ada Bu Niamah yang
mengajar Sastra Indonesia, mungkin sekarang saya sudah belepotan cat sambil
menenteng efek gitar ke kampus untuk kuliah kesenian atau sibuk mempelajari
ilmu roket. Mimpi-mimpi masa kecil untuk menjadi pelukis, rockstar dan astronot
berani saya tanggalkan dan lebih memlilih untuk kuliah Sastra Indonesia walaupun
tak jelas nanti kerjanya apa; semuanya adalah pengaruh Bu Niamah. Yang jelas,
saya suka Sastra Indonesia dengan guru pembimbing Bu Niamah. Dosen-dosen di
kampus tak ada apa-apanya!
Baca juga tulisan tentang Bu Niamah disini.
Honorable Mention.
- Pak Tirto: “Perubahan itu perlu. Tapi ada juga yang perlu
dipertahankan.” kata-kata beliau waktu
menjelaskan tentang paradigma Pancasila yang tercatat dengan font besar di
halaman pertama buku tulis PKN saya. Great
Quotes Ever!
- Pak Harto: Ayahnya Shofi, pengisi siraman rohani di jam pertama hari
Senin setelah dibakar terik matahari lapangan seusai upacara bendera. Asyik,
sambil belajar sambil nambah pahala. Lumayan juga buat pengingat untuk tobat.
- Pak Sulkan: Dibuka dengan Pak Sulkan, dilanjut dengan Bu Atifa.
Matematika memang selalu luar biasa.
- Bu Nurul: Hai, bu :) Mari berdoa lagi.
- Pak Ula: Hai, pak :) Mari mengaji lagi.
- Pak Nur: Hai, pak :) Mari Facebook-an lagi.
- Pak Imad: “Ohayou Gozaimasu… Konbanwa… Ogenki Desuka!” --benar, hanya
kata itu yang saya ingat.
- Pak Agus: “Good morning students. Nice to meet you. Are you fine
enough today?” Dan seisi kelas kompak menjawab “Noooooooooooooo…..sir!”
- Bu Riris: Semoga menikah tak mengurangi keceriaannya. “Be Cheerful,
guys!”
- Pak Heru: Bukan hanya cinta yang bisa melukiskan sejarah, Pak Heru
sebagai guru paling ber-SEJARAH di SMANDA inipun bisa. Sukar dilupa, terutama
waktu dua kali diusir dari kelas karena tak mengerjakan buku paket. Lepas dari
itu, tidur siang dengan bantal paket Matematika yang tebal waktu pelajaran
beliau di jam terakhir saat beliau asyik membahas ‘ilmu pertamanan’ adalah
pilihan yang tepat --jika tak ketahuan.
- Pak Timbul: Sampai kapanpun, kepala sekolah SMANDA bagi saya adalah
pak Timbul, irreplaceable!
- Mrs. Eni: Guru paling baik dan telaten. Bisa nyantai kalau diajar Bu
Eni, tapi tak bisa malas-malasan atau tiduran karena sungkan.
Dan semuanya yang tak bisa disebutkan satu-satu…