Sunday, December 13, 2015

Review Wenak

sumber: Orange Cliff Record
kemarin cangkruk warung kopi sama mugsan sambil dengerin crimson eyes-nya sigmun. mendapatkan album ini tidak sesulit yang dibayangkan karena tentu saja ada teman yang mau berbagi setelah beli albumnya. mau berkabar dengan mas bob tapi bonus sms saya habis. pulsa juga tidak memungkinkan untuk berkirim pesan. jadilah saya menikmati album debut band yang pernah main di kantin feb unair ini sendirian. untung headset baru jadi rada manteb dah suaranya. sambil mesen kopisusu yang rada pahit-pahit nikmat, sensasi yang ditimbulkan sungguh yahud sekali. saya ngaceng sampai sekian menit.

anda warga univ. lidah wetan pasti tahu ini dimana
sambil nyambi dengerin saya iseng-iseng buka official instagramnya orangecliff--label yang menaungi sigmun. juga ig bandnya sendiri (sigmun_). selain kabar release party album ini berupa konser bertajuk in the wake of crimson eyes di IFI bandung, ada sebuah foto yang membuat saya tanpa banyak dikomando langsung membuka dan mengunduhnya. crimson eyes sudah di review oleh rolling stone edisi desember ini (dengan cover adele) dan tentu saja, empat bintang. tinggal satu bintang lagi untuk bisa menyamai suharto si jendral bintang lima. karena kondisi keuangan yang lagi pelit-pelitnya dikeluarin jadilah saya nggak beli itu majalah. tidak seperti dugaan, crimson eyes di review oleh senior editor wening gitomartoyo, dan bukannya reno nismara (reno sempet mereview cerebro soalnya mengingat seleranya yang cult). alhasil, seperti review-review kebanyakan yang ditulis mbak wening: selalu menarik, simpel dan tidak berbelit-belit. beliao ini sudah jadi suhu, atau bisa dibilang patokan saya dalam menulis review album yang wenak.

struktur dan dinamika lagu tak tertebak, hanya mereka dan Tuhan yang tahu akan belok kemana selanjutnya. tugas pendengar adalah berserah dan percaya bahwa kuping kita akan direndam oleh bebunyian yang demikian nikmat. (wening gitomartoyo)

Portofolio

sudah sekitar 2 tahunan nyambi jadi jurnalis musik abal-abal di webzine ronascent. webzine indie surabaya yang makin lama makin gede karena anak-anak di dalamnya--yang walaupun hanya berjumlah 6 orang termasuk saya--punya passion yang gede banget sama musik. cukup bersyukur bahwasanya sampai di tahun kedua ini masih mendapat banyak pengalaman baru selain tugas liputan atau nongkrongin backstage buat interview. ribet ngurusin komplasi cd dan majalah juga jadi pembelajaran yang nggak akan pernah bisa didapet di kursus manapun: mulai dari nol, learning by doing, kadang salah juga tapi it's okay buat belajar. juga dapet banyak referensi-referensi musik baru (juga album gratis hihi) yang cukup sebagai bukti bahwa ternyata musik itu amat luas cakupannya meski hanya berdiri di tujuh nada. dan portofolio tulisan saya--kumpulan review, artikel, feature atau yang lainnya--di webzine ini dapat dibuka-baca di tautan berikut:


meski kadang nggak puas sama hasil tulisan yang menurut saya kurang gimana gitu--apakah saya perfeksionis?--tapi nggak pedulilah yang penting nulis terus aja entar juga keren dengan sendirinya hehehe.

Bring Me The Horizon - That's The Spirit: Menemukan Jatidiri Baru


Mimpi apa band ini bisa bertahan dari paceklik jatidiri dan kemudian menelurkan satu lagi hal yang membuat kita sulit untuk melupakan mereka—lagipula selain itu siapa pula yang bisa melupakan kharisma Oli Sykes sebrengsek apapun dia. Terserah Alternative Press dan webzine-webzine alternatif lain  yang memberi nilai sempurna (atau hampir!) pada album ini. That’s The Spirit tidak sesempurna itu, tapi juga tidak secacat Sempiternal. Ada dua kemungkinan bagi kalian dua tipe pendengar musik: yang berpikiran fanatik dan yang cenderung berpikiran terbuka—dan diantara keduanya tidak ada yang paling benar. Fanatik deathcore/hardcore punk akan segera mencaci album ini. Pengkhianat scene. Tidak konsisten. Buruk. Melacur pop. Dan segala komentar nyinyir lainnya. Sementara kalian penikmat musik yang tidak pernah terlalu mempermasalahkan siapa band yang bermain tetapi apa yang mereka mainkan akan menganggap ini adalah hal baru. Segar. Segar sekali. secara kualitas bisa dibilang jempolan. BMTH lebih kurang berhasil. Dan pantas mendapat tepuk tangan yang paling kencang. Juga ada dua kemungkinan lain bagi dua tipe penggemar BMTH: penggemar sejak awal dan penggemar baru. Penggemar sejak awal yang cinta mati death metal, gagah dan masih bertahan dengan musik geraman, bisa dipastikan sudah melupakan band ini karena mereka berhenti mendengarkannya bahkan mulai album busuk Sempiternal. Tapi bagi penggemar baru, sudahlah. Ini adalah hal termetal yang pernah didengar. Terlepas dari metal yang maknanya sendiripun semakin lama semakin kabur (dan untuk itu lepaskan saja stigma kalian tentang metal yang baik dan benar ke tong sampah), kami sendiri sepakat untuk berpikir seterbuka mungkin tentang salah satu album paling menarik tahun ini: That’s The Spirit. Tanpa berusaha mempedulikan dan kemudian membandingkan dengan BMTH-BMTH zaman dulu karena dulu dan sekarang sudah berjarak terlalu jauh bagai pucuk langit dan inti bumi.

Benang merah That’s The Spirit seperti kita ketahui bersama, masih dipegang oleh Oli Sykes. Dengan gaya vokal khas dan lirik yang berusaha sekalam mungkin. Oleh karena itu jangan heran bila Oli hengkang nasib BMTH tidak akan selamat. Tidak masalah gitaris Jona Weinhofen memilih pulang ke Australia dan bermain di I Killed A Prom Queen. Jordan Fish masuk sebagai keyboardis, mengubah semuanya. Memegang peranan sebagai produser, dia juga berperan menambah unsur-unsur elektronika yang membuat That’s The Spirit menjadi benar-benar lepas dari belenggu album-album terdahulu. Untuk track Doomed, kita semua benci lagu itu. Apa lagi yang paling menjengkelkan selain mendengar lagu yang seolah duet Justin Bieber dan Skrillex. Tapi selanjutnya ada Happy Song yang membuat kita kembali optimis. Kalian akan menganggukan kepala saat suara bocah-bocah kecil berteriak lantang: S-P-I-R-I-T! Dan memang jantung album ini terletak pada lagu ini. Pukulan drum memang kencang tetapi tidak sekencang bayangan kalian (untuk itu dengar albumnya jangan hanya baca!). Ada kontrol pada lagu ini. Ada yang ditahan. Tapi seketika itu pula terjadi pelepasan. Tipe-tipe rock stadium yang mampu membuat ribuan orang melonjak bersama.

Baiklah jujur saja kita akan membenci banyak lagu lagi di album ini. Lagu yang kadang terlalu membingungkan seperti Blasphemy—terkesan seperti memaksakan untuk elegan—dan Follow You—terdengar seperti Maroon V dengan Adam Levine yang kehilangan kemampuan untuk ceria. Dengarkan saja Throne yang bagus. Ada semangat modern rock ala 30 Second To Mars di lagu ini. Dua puluh langkah lebih maju pula dibanding Linkin Park (ini untuk kalian yang menganggap BMTH masa kini adalah jelmaan Linkin Park!). Nu Metal sudah jadi sampah dan tentu saja BMTH tidak memainkan renik-renik lama. Jadi bisa dibilang ini adalah evolusi rock generasi Z yang cukup segar didengar telinga. Throne cocok sebagai pemancing kerusuhan di konser-konser langganan mereka—Reading Festival, atau konser puluhan ribu manusia di Wembley Stadium.

Terakhir adalah Drown. Meluncur sebagai single dan sudah dipastikan lagu ini akan disukai semua golongan—terlepas dari VEVO mereka yang terlalu melucu dengan surealis dimana drummer berubah jadi manusia kera dan darah yang mengucur berwarna hijau. Drown memakai formula baru yang tidak pernah dipakai di Count Your Blessings (2006), Suicide Season (2008), There Is A Hell (2010)... dan Sempiternal (2013). Suara Oli yang terdengar lebih alami tanpa paksaan ataupun teriakkan omong kosong. Dari segi musik BMTH sudah jadi sedemikian matang. Kharisma Oli Sykes justru semakin kuat dalam format seperti ini. Menarik minat bocah-bocah belasan yang harus tahu bahwa ada banyak band rock bagus di luar sana. Meskipun semua orang fanatik bilang cemen, barbie, rendah, tai kucing, dan sejenisnya tapi kami percaya bahwa BMTH akan terus bereksplorasi sampai menemukan pakemnya yang benar-benar epik. Tetapi meski begitu, kami berani menjamin bahwa di tahun-tahun mendatang BMTH tidak akan pernah berevolusi menjadi One Direction.

sila buka www.ronascent.biz untuk membaca versi editnya. juga ada banyak review dan cacimaki band-band terbaru.

Tuesday, November 24, 2015

Sudikah Kalian Membikin Buku?

Mimpi apa kemarin diajak cangkruk oleh artis macam Alan Maulana—saya lupa nama aslinya yang panjang. Calon news anchor berpenampilan mentereng dan gemar broadcast kaus My Trip Adventure di BBM ini tiba-tiba komen DP saya yang majang foto cerpen terakhir bukunya Lan Fang Sonata Musim Kelima. Dipikirnya itu buku bikinan saya ah apa-apaan ini orang. Saya sudah sejak lama takzim dengan suhu macam Alan. Lulusan 3,5 tahun dan dia adalah juga seorang aktivis di Universitas Lidah Wetan kesayangan kita bersama. Saya lupa nanya dia cum laude atau tidak tapi yang pasti lulusan 3,5 tahun itu keinginan semua mahasiswa yang terhampar di kampus-kampus di seluruh dunia. Biasanya orang eksis, hits, dan berpengaruh macam Alan lama lulusnya entah karena kepingin nampang dulu di kampus mumpung masih muda atau betah-betah saja jadi seleb kampus tapi Alan tidak. Dia langsung ngajar di SMP anak-anak Chinese di daerah Citraland. Kurang baik apa Tuhan sama dia. Sudah di SMP Chinese dengan gaji yang menurut saya terjaminlah. Dan murid-murid China perempuan yang masyaallah, SMP apalagi sedang sejuk-sejuknya. Tapi kalau menurut filsafat eksistensialisme sih itu ya karena kerja keras Alan sendiri yang membuahkan hasil. Terlepas dari bagaimana penulisan namanya yang saya lupa menggunakan double L atau tidak (Alan Maulana atau Allan Maullana?), dan pak guru baik hati ini mentraktir saya nasi goreng terenak di Lidah Wetan dan membuat saya agak sedikit sungkan tapi sebenarnya senang karena bisa ngirit, perbincangan dengan Allan ini membuka pemahaman baru yang saya tidak pernah terpikir untuk serius.

Saya kudu bikin buku!

Alkisah blog ini sudah ada sejak 2011. Sejak itulah saya selalu nulis segala bentuk ketidakjelasan hidup, pemujaan terhadap bir, penyembahan terhadap Indomie, menganggap rock and roll sebagai nabi dan jalan hidup, kenistaan warga kos-kosan, kebiadaban cerita cinta dan lain-lain yang saya mah tidak peduli dibaca orang atau tidak. Nulis saja menumpahkan uneg-uneg. Lagipula saya lega setelah nulis dan posting di blog, butuh apa lagi selain itu? Saya selama ini hanya berpikiran akal hal itu. Belum muluk-muluk. Mungkin hal paling serius yang pernah saya lakukan adalah di dunia literasi (bangsat entah kenapa saya benci menggunakan istilah ini) adalah menerbitkan zine bersama Bob. Zine sastra yang tidak sastrawi. Zine musik yang tidak kredibel. Zine ilustrasi yang tidak punya juntrungan. Intinya zine abal-abal. Juga antologi rada serius bersama yang mulia Tri Nanang dan tentu saja, penulis langganan saya, Bobby Habib. Tapi karena kurangnya publikasi akhirnya mandek di tengah jalan (Oya saya dan teman-teman sastra mau bikin lagi tunggu saja). Alan memicu saya untuk bergerak. Bahwa nulis itu kudu diseriusi. Tidak hanya buat pajangan di blog. Atau zine. Atau webzine. Mungkin orientasi bukan duit dulu. Tapi karya. Dalam bentuk yang paling purba sekaligus paling puncak dari tulis-menulis... buku!

Orang bernama Alan ini benar juga.

Karena itulah sepanjang jalan pulang diantara dinginnya malam saya jadi kepikiran untuk langsung nyemplung saja sebagai penulis. Ya nulis buku. Bukan abal-abal. Tapi total. Bukan orientasi duit dulu tetapi punya karya dulu. Mr. Alan juga memamerkan novel milik temannya sendiri yang dirilis self publishing alias buku indie. Menarik. Padahal dia dokter gigi. Kuliahnya di FKUI. Nyemplungnya di sastra pula. Dan dia bisa. Alan kepingin seperti dia. Saya juga. Dan kami sedang dalam proses mengumpulkan ide, inspirasi dan naskah untuk kemudian terbit jadi sebuah buku. Buku yang menurut Alan, ya pokoknya nulis dulu, diterbitin, laku atau enggak urusan belakang, minimal kita sudah berkarya. Tapi... eits!

Semua ada ilmunya. Semua ada triknya. Dan salah satu trik itu adalah... Personal Branding.

Saya menangkap intisari pembelajaran Personal Branding dari seorang Alan. Bagi yang ingin ngobrol lebih jauh lagi sila kontak saya untuk sekedar ngopi-ngopi. Ilmu-ilmu Bang Alan yang cukup mumpuni akan saya sharing juga ke kalian. Di Personal Branding sendiri adalah ilmu yang mengajari bagaimana kita menjual diri kita sendiri (sudahlah kita sudah dewasa dan saatnya serius, menjual diri tidak berarti melacur cuk), membuat orang lain mengerti apa bakat kita, kemudian kita akan beruntung karena hal itu. Alan mencontohkan triknya saat mulai membuat lapak Olshop: Alan Shop—atau apa itu namanya.  Menjual kaus-kaus pegunung, My Trip Adventure, Nike, Adidas dan lain-lain. Dia langsung personal branding dengan broadcast ke kontak BBM, majang DP, mengganti nama dengan kontak person, buat akun IG: pokoknya semua orang kudu tahu kalau dia jualan. Tidak hanya itu, jualannya juga kudu dipercaya alias kredibel, biar laku dan dipercaya konsumen. Alhasil, jadilah. Alan Shop kini semakin besar saja, termasuk pagi ini dia broadcast list apa-apa aja yang tersedia di tokonya. Karena saya bukan maniak barang-barang gituan jadi agak tidak tertarik tapi tidak mengapa karena di luar sana, barangnya laku keras dan banyak yang pesan. Sama juga saat dia jadi MC atau host, dia bukan siapa-siapa awalnya. Percayalah. Tapi ya itu tadi, kerja keras plus tekad, plus personal branding. Sama halnya dengan karir sebagai penulis buku, pertama-tama kita harus membangun personal branding yang pas dulu.

Jadi sekarang kita tidak melihat Alan sebagai manusia yang terlahir ganteng dan berkulit putih dengan dandanan kekinian: tetapi Alan sudah naik enam puluh tingkat dari itu karena prestasi-prestasinya yang bisa diraihnya di usia muda. Juga keinginannya untuk menginspirasi orang-orang bebal yang belum tercerahkan macam saya.

Suwun Oom!

Saturday, November 7, 2015

Stars And Rabbit - Constellation: Konstelasi Bintang Kelinci



Dengar dan nikmati. Rebah dan hayati. Pejamkan mata dan ulang sekali lagi: cara terbaik menikmati konstelasi sendu dari duo Stars And Rabbit. Penampilan yang tidak akan terlupakan di Folk Music Festival di Sutos beberapa waktu silam menjelma menjadi audio berkelas yang menemani sendunya hari; saat bangun tidur, akan tidur, dan bangun tidur lagi. Like It Here menjadikan kita manusia lagi. Tidak peduli betapapun capeknya kerja atau kuliah, selama musik macam begini masih ada dan bisa diputar saat melepas lelah, segalanya tampaknya akan baik-baik saja. Suara Elda bercorak khas; kekanakan, manja, renyah, gurih, kenyal seperti cimol. Membuat beban dimarahi bos atau dosen menyebalkan hilang seketika. Atau The House, dimana racauan Elda yang malu-malu manja membuat anda hanya butuh memandangi langit-langit kamar, merasakan synthetizer yang berjalan teriring petikan serius dari teman Elda yang bermain gitar. Catch Me yang bernuansa reggae dan soul juga bisa jadi pilihan. Will you catch me... ujar Elda, dan tentu kita akan mengangguk-angguk cepat. Tapi unsur funky-nya dilebur lagi dengan kesenduan di tengah. Kegelisahan not balok, kemuraman chord, tapi juga ceria dengan reggae patah-patah. Benar-benar. Semua track disini penting. Meski terdengar sederhana sekalipun. Misal, Worth It. Ini malah track yang bernilai. Lagi-lagi suara Elda. Kami tidak begitu peduli dengan genjrengan atau iringan. Elda dan Elda. Ringan. Seperti mengunyah Chiki Balls. Balon udara. Puncak gunung. Tapi ini juga masih sendu, sekuat apapun usaha kita untuk menjadi ceria. Nah kita baru bisa benar-benar gembira bak anak kecil dikasih balon saat Rabbit Run berkumandang. Lucuk, imut, marmut berputar, Hamtaro, macaroni panggang, pesta kebun, dan... kelinci. Rabbits run! Menyenangkan. Mengapresiasi tabuhan perkusi yang bermain tipis-tipis tapi pas. Dan sekali lagi Elda: dengarkan ceracauannya saat akan memungkasi lagu. Kita digiring kembali ke playgroup bersama kelinci putih peliharaan pemberian nenek.

Cry Little Heart, persetan dengan makna. Itu urusan belakangan. Yang penting kami dan anda-anda sekalian suka lagu ini. Dan bahkan bisa menangis. Teringat dibedaki oleh mama di suatu sore yang cerah sehabis mandi saat kita masih lima tahun dan belum bisa mandi sendiri. I’ll Go Along dibawakan kemudian dengan elegan. Intro hamster berputar. Refrain menggigiti cone es krim. Sekali lagi kemagisan album yang kabarnya direkam di London ini tak perlu diragukan lagi. Atau You Were The Universe: astronot pesawat ulang-alik, bintang bergemelapan. Sejauh ini tidak pernah ada band bersuara perempuan yang menyanyikan luar angkasa dengan sebaik ini. Padahal ini sederhana. Tapi Elda memungkasi lagunya dengan memberi klimaks yang total. Kita bisa mendengar sisi lain dari suara gadis eksentrik asal Jogja ini. Dalam, serak, kuat, magis, mengademkan. Untuk lagu-lagu lainnya silahkan dengar sendiri. Tapi jangan lewatkan track paling penting di album ini. Inilah intinya. Man Upon The Hill yang epik. 9,97 dari 10. Jagoan. Jika kesepuluh track sisanya yang ada di album ini digabung, maka kekuatannya bisa diwakili oleh lagu ini. Can i fall into your constellation... dan desahan sensual Elda yang membuat kita kehilangan akal sehat. Penghayatan yang gila. Lagu yang membuat kita kembali menjadi manusia. Yang punya nurani. Punya hati. Punya kebahagiaan. Inilah lagu yang paling membekas dari penampilan mereka di Folk Music Festival beberapa waktu silam. Lagu yang dibutuhkan semua orang yang ingin segera waras dari kejenuhan akan dunia. Mengobati kebosanan akan musik pop ataupun folk yang makin generik. Stars And Rabbit. Bintang dan Kelinci. Entah apa korelasi keduanya. Tapi apapun itu, konstelasi keduanya berhasil.

Pagi yang Asu Selalu

Sudah tertebak apa yang akan diputar oleh Esa Si Manusia Drama – drama queen berpenis – dengan pemutar musik atau sound kecil bututnya yang membuat iba itu. Bayangkan sound seukuran kotak cincin dengan kondisi remuk sana-sini, mesin lepas tak berbentuk, namun masih bisa menyala dan – Dewa Sound Maha Baik – memutar lagu-lagu dari Five Minutes. Baik ini adalah menit-menit ternorak dalam hidup; Five Minutes, band jebolan Inbox dengan vokalis yang berusaha menjadi Ariel – dalam konteks ini Duta SO7 kurang relevan. Dan Esa, mahasiswa pribumi asal Jombang, penganut NU sejati, Gus Dur tulen, Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Tebu Ireng, Hadratus Syaikh, mulai melakukan aksi yang paling tidak relevan dengan itu semua: menambah volume tanpa peduli tetangga kamar kos sebelahmu sedang ngorok. Kemudian berteriak, meniru pitch Ricky FM, dan tentu saja gagal total. Bahwa sesungguhnya suara Esa adalah bukti konkrit betapa dunia sudah hampir kiamat. Kompor meleduk, LPG pecah, Roy Suryo ketipu olshop, Rahmad Gobel dicopot jadi menteri: seperti itulah rasanya. Tapi apa daya, saya adalah tetangga kamar kosnya yang sedang ngorok itu – dan kini terbangun. Jancuuuukkk!

Esa si manusia drama adalah manusia yang unik. Anda membutuhkan acara Ripleys Believe It Or Not versi Indonesia untuk bisa menggalinya lebih dalam. Dia eksentrik. Seniman sejati. Paku payung disulap jadi komponen elektronika. Lempeng kaleng jadi penghantar listrik. Karet gelang jadi penyelamat charger laptop dia yang rusak. Benar-benar. Mendeskripsikan Esa adalah paradoks yang tak berkesudahan. Tubuhnya ceking—bobot kira-kira kurang dari 50 kg. Tapi nafsu makannya mengalahkan kuli bangunan proyek yang kerja lembur siang sampai pagi. Kaya raya bocah ini. Dulu seminggu sekali selalu mengajak ke Matahari—kadang dua sampai tiga kali. Mencomot dua sampai tiga pasang kemeja diskonan untuk dipakai kuliah. Persetan celana pinsil atau skinny fuckin jeans. Esa tidak suka. Celananya masih saja pakai celana berpotongan norak seperti yang dihadiahi tantemu sewaktu kamu khitan. Jelek. Kampungan. Semacam bukan jeans, bukan pula kain, apalagi khaki. Entah itu bahan apa. Seperti celana petualang di gunung tertinggi di dunia. Entah namanya apa. Tapi bila kau anti skinny seharusnya kau pakai slim fit sehingga pas badanmu. Tapi entahlah, saya hanya bisa berkomentar, Esa yang menjalankan.

Entah kenapa saya menulis tentang manusia mutan ini. Apa karena saya belum makan, ataukah karena sudah terlalu iba. Tapi yang pasti, dia adalah sahabat saya—tetangga sebelah kamar yang suaranya benar-benar mampu membuat jembutmu rontok satu persatu.

Sunday, November 1, 2015

Bergegas Apatis

Kelas, kampus dan politik: bagaimana sikap apatis terkadang bisa menyelamatkanmu.

Yang pasti siang ini sudah terlalu gerah. 34 derajat Celcius Surabaya bahkan di ruang kelas ber-AC sekalipun—dua keping pongah di depan dan belakang kelas. Entah mengapa. Tapi mungkin karena daya jangkau AC – yang mungkin perlu direparasi atau diganti lagi – tidak menjangkau seluruh sudut kelas. Kursi dosen terletak di sebelah kanan kelas. Dan saya – sebagai satu dari tiga laki-laki di kelas yang didominasi perempuan – hanya punya sedikit opsi untuk menentukan dimana posisi duduk terbaik. Jika menuruti letak yang pasti terkena dingin AC, itu ada di posisi depan sebelah kiri. Dan belakang sebelah kiri. Tapi apa daya, depan sudah dihuni mahasiswa – atau mahasiswi – berotak cemerlang, tahan banting, mampu menatap mata dosen lebih dari tiga detik untuk selanjutnya sanggup dihujani berbagai pertanyaan yang bersumber dari buku teori. Kalaupun ada kursi kosong – satu atau dua saja – kemungkinan besar saya juga tidak akan duduk disana. Mata ini terlalu mengantuk untuk terjaga barang empat puluh lima menit saja. Menatap papan tulis tanpa menggerakkan tangan untuk mencoreti buku catatan dengan gambar-gambar absurd sepertinya tidak akan pernah bisa saya lakukan. Jadi, yang paling masuk akal adalah saya duduk di pojokan kanan – tentu saja bukan di depan sendiri: sudah ada penghuni saingan dari pojok kiri; geng-geng kece modis dan sekumpulan anak geek yang selalu diandalkan oleh anggota geng. Duduk di pojokan kiri belakang yang terkena efek dingin AC sebenanarnya bisa saja dilakukan. Tapi entahlah, saya pernah mencoba beberapa kali. Dan kalian tahu tatapan dosen yang merasa ganjil. Ataukah menganggap saya mahasiswa tak tahu diri karena sengaja menjauh dari dirinya. Ataukah menganggap saya sebagai lelucon di kelas yang sengaja menjauh dari teman-teman karena bully dari teman perempuan jauh lebih destruktif dibanding teman laki-laki.

Duduk di sebelah kanan belakang akhirnya sudah tidak jadi masalah lagi – masalah yang berbeda akan muncul bila kita rolling class dan mendapati ruang kelas pengap dengan AC sekarat. Sudah mendarah daging juga bila kami – sekumpulan bebal berjenis kelamin pria ini sukanya memenuhi ruang di pojok belakang; terlepas dari tujuh orang pria penghuni kelas yang kini hanya tinggal tiga. Mungkin dulu sempat ada satu-dua pria yang duduk di depan, bergabung bersama perempuan-perempuan diktat, tapi setelah beberapa tragedi (atau mungkin kata ini terlalu hiperbolik), maka tinggallah tiga orang laki-laki yang kesemuanya sukar menahan kantuk lama-lama. Minder menahun. Menganggap fokus kuliah itu tabu. Lebih suka didongengi dibanding mendengar ceramah dosen muda tentang teori dongeng Levi Strauss – dalam hal ini kami sempat salah orang karena kami pikir Levi Strauss adalah tokoh pencipta Levis, celana jeans favorit kita bersama. Dan jadilah kami, penghuni pojok kanan belakang sejati.

Tapi untuk saat ini kelas sudah usai. Dosen sudah pergi. Tinggal hanya kami dan selangkah lagi menuju pintu ke luar, pulang ke tempat pertapaan masing-masing. Perempuan-perempuan geek akan menuju ruang Himpunan Mahasiswa. Atau perpustakaan. Perempuan-perempuan modis abad ini; geng hampir sosialita dengan akun Instagram, akan segera menuju tempat kuliner favorit mereka. Membahas kelanjutan geng ke depan atau mungkin akan ada proyek lain yang bisa mempererat persahabatan juga menjaga eksistensi mereka. Jikalau membuat girlsband tampaknya masih terlalu dini, maka mereka adalah petarung olshop yang tinggal beberapa langkah lagi untuk sukses. Dan kami – para perjaka yang kadang berpikiran bahwa kuliah di tempat macam begini adalah kesalahan terbesar – akan nimbrung di giras favorit kita bersama. Menyesap jeruk-jerukan Nutrisari. Menimbun energi Hemaviton. Atau kafein medioker Good Day. Semuanya diberi es batu karena gerah. Kemudian mulai menyalakan korek api untuk membakar dupa tembakau. Surya adalah pilihan terbaik; atau bisa juga Sampoerna Mild. Sejuta kali lebih mengasyikkan dibanding menggauli papan tulis, di pojok kanan kelas dengan kaki yang terus bergerak menahan bosan. Giras adalah pahlawan. Giras dengan free-wifi: mendekati Tuhan.

Di giras kami bisa bermain apa saja. Menjauhkan tas dari jangkauan karena benda ini mampu membangkitkan ingatan tentang tugas hari Senin. Menyebut kata giras mungkin asing bagi kalian. Baiklah, ini adalah tempat yang rada luas dengan banyak meja kursi – termasuk bila kalian tipe yang suka meluruskan kaki, disediakan lesehan. Menyediakan minuman-minuman ringan dengan es batu yang berlimpah. Atau bila kalian lapar, sudilah memanggil mas-mas sebentar untuk pesan Indomie. Bisa pakai nasi. Atau tambah telor dadar bila kalian mau – dan uang saku kalian memadai. Tapi persetan dengan menu. Generasi paket data seperti kami sudah tidak terlalu peduli dengan semuanya selama gadget android kami dalam genggaman. Mencaplok bandwitch untuk menjajal aplikasi-aplikasi terbaru Play Store. Atau hanya untuk meneruskan Clash Of Clans – yang kini sudah jadi permainan nomor wahid di Play Store, tapi kabarnya pamornya tergeser oleh Duel Otak. Dengan intensitas angin yang membunuh panas, maka memilih giras untuk melepas lelah kuliah dibanding mushola sudah tak perlu diperdebatkan lagi.

Tapi lagi-lagi. Selalu saja ada halangan untuk pulang. Tinggal selangkah lagi menuju pintu keluar dan kami sudah ancang-ancang dengan kontak motor di tangan kanan. Kita perlu menahan nafsu untuk pulang dan memasukkan kontak kembali ke saku. Agen penyelamat kelas – dalam hal ini adalah para calon aktivis, ataukah anggota Hima, ataukah hanya yang sekedar memajang giginya – mulai menyampaikan pengumuman.

Adalah Devi. Kami semua mengenalnya dengan baik – atau bahkan terlalu baik. Kita boleh menganggapnya begini: anggota geng yang paling banyak dibully, tapi sekaligus orang nomor satu di dalamnya. Mungkin dia adalah orang yang paling banyak punya julukan di kelas – dan tentunya hanya dipahami oleh para perempuan. Kami – tiga orang pria culun dan bisanya hanya manggut-manggut saja menghadapi apapun di kelas – memahami jikalau dia pernah berujar bahwa motto hidupnya tak lain tak bukan ialah bebas dari lelaki: siapapun itu. Tapi entah mengapa, laki-laki dan Devi adalah satu paket bully-an yang tidak dapat dipisah. Apalagi bila melihatnya diserang oleh anggota gengnya yang beringas. Devi pantas malu. Tapi urat malunya seperti sudah hilang. Maju di depan kelas tanpa peduli nyinyiran gengnya sendiri – entah guyon atau tidak. Dan dia adalah master dengan kuasa penuh: baik kurangnya penghormatan dari anggota gengnya sendiri atau tidak adanya respon dari kami sudah tidak jadi masalah. Yang penting propaganda tersampaikan. Dan kini, tubuh gempalnya yang sekilas mirip laki-laki pekerja keras – dengan tambahan kumis tipis sekaligus cambang malu-malu, ia menyampaikan rencana keberangkatan menuju daerah yang dikehendaki dosen untuk melakukan yoga aneh penggali inspirasi: Pacet, Mojokerto.

Dominasi perempuan ini tidak muncul begitu saja. Saya pribadi pernah memangku jabatan dalam kelas, yang walaupun tidak saya inginkan, tetapi akhirnya jadi juga. Diundang rapat kesana-kemari. Berteman dengan ketua dan anak-anak BEM-F. Mengikuti propaganda mereka untuk disampaikan pada anak-anak sekelas. Politk. Sekilas saya tidak berbuat apa-apa untuk kelas, tapi percayalah, saya – bersama wakil-wakil dari jurusan lain – berusaha memperjuangkan anak-anak di dalam kelas itu sendiri. Bagaimana saya seorang diri berburu bahan-bahan demonstasi fakultas: cat, spidol, kertas gambar, kain putih panjang, untuk mendemo pihak kampus yang seenak udel menaikkan UKT beberapa waktu silam sudah saya alami. Bagaimana pihak Bidikmisi apatis menggembosi semangat kami dengan seolah merasa bahwa demo itu tidak penting bla-bla-bla sudah saya terima. Dan nyatanya menjadi penggerak untuk kompak tidak semudah yang saya kira. Demo berhasil – walau kelas kami tidak mengikuti karena sedang UAS – dan UKT berhasil diturunkan. Panjang diceritakan. Tapi saat menjabat itu, saya memang lebih sering melawan. Ikut gerombolan pendemo dengan BEM-F. Mencoba membantahi apa-apa saja yang dikatakan anggota Hima tentang pertunjukkan sastra – dengan membawa nama kelas – dan nyatanya argumen saya malah dibantah teman-teman sastra sendiri – padahal saya mewakili mereka, mencoba mencari titik tengah agar kebijakan itu tidak memberatkan nantinya. Dan yang berat adalah berdiskusi berkedok ngobrol dengan kalian satu-persatu, mencoba mendengar pendapat kalian, dan untuk kemudian berusaha memperjuangkannya. Tapi entah karena apa, saya tidak pernah mendapatkan apa yang saya inginkan saat menjabat posisi itu di kelas. Ditambah lagi dengan sikap bebal dan sok saya. Kebrengsekan terhadap dosen. Tidak lulus mata kuliah. Lebih sering membangkang dibanding mengayomi. Dan akhirnya, it’s better been burn than fade away: apa-apa yang saya perjuangkan dari dan untuk kelas hanya mendapat nyinyiran dari sekumpulan geek yang justru mereka tidak pernah saya tahu berjuang untuk kelas; saya lebih baik padam daripada memudar sedikit-demi-sedkit. Saya tidak menonjolkan diri pada kalian, tapi kalian sudah saatnya tahu bahwa saya bekerja dalam diam. Intinya adalah melawan; saya ingin menjadikan kalian semua tidak berempati lagi pada ketidakadilan. Proyek-proyek Hima yang absurd. Maaf. Tapi sekali lagi nyinyiran tersebut membuat saya malas. Jadilah yang nyinyir yang berkuasa. Saya salah karena menyerah. Meskipun si nyinyir juga tidak melakukan apa-apa dan bahkan, jauh lebih menyedihkan dibanding saya. Tapi sudahlah. Saya akhirnya memilih untuk menjalankannya lepas; biarkan saja, sudah lelah berjuang sendiri. Tinggal menanti-nanti saat yang tepat untuk mengundurkan diri. Persetan dengan pamor. Persetan dengan nyinyiran kalian. Saya tidak peduli. Membanggakan bisa berjuang demi kalian. Bisa turut menyumbang peran untuk kalian – dan kau si nyinyir – bisa merasakan turunnya uang kuliah. Membanggakan bisa membuat denda absurd 50 ribu untuk kelas yang tidak mengikuti drama-dramaan jurusan bisa dihilangkan – meski sekarang ada lagi. Membanggakan bisa menjemput Mas Ilham untuk pertama kali– sebagai pelatih drama kalian hingga kalian memboyong piala berkali-kali – meskipun saya sendiri tidak ikut tampil karena saya penyakitan gagap. Silakan remeh temehkan saya sudah tidak peduli lagi. Ikutlah arus, jangan dilawan. Jangan ikut saya – pecundang kelas berat, plagiator ulung yang membuat kelas jadi jelek di mata Pak Budi, dosen linguistik. Tukang nongkrong gaduh yang membuat kelas kalian jadi sarang marah-marah dosen. Sekali saya diusir dari kelas dan seketika itu pula saya mundur teratur. Saya tidak tertarik menjadi pemimpin kalian yang maunya main aman, ikut arus, dan secara teratur-periodik nyinyir terhadap sikap orang macam saya yang cenderung kiri. Ikutlah arus saja, patuhi nasihat dosen, dengarkan kata Hima. Saya memang tak punya peran bagi kalian. Nyinyiri saja. Menanglah. Banggalah. Dan persetan dengan semua: ketua kelas cemen, omong besar doang, pecundang, penakut, tidak berbuat apa-apa, labil, pemarah, kafir, pemabuk—terserah congor kalian. Lebih baik apatis dan tidak turut campur, memelihara persepsi dan idealisme sendiri, menghindari yang banal, untuk selanjutnya cepat-cepat lulus kabur dari kampus hutan. Seperti itu.

Hal diatas sejujurnya tidak akan saya bagikan—biarkan saya dan segelintir anak yang tahu: termasuk Tri Nanang, sahabat yang sepemikiran dengan saya, meski dia selalu mengkritik sikap saya saat menjadi ketua yang bebal keras kepala dan seenaknya sendiri. Tapi karena rasa-rasanya sudah terlampau terbawa emosi, izinkan saya membaginya. Saya kini lebih banyak diam di kelas. Dinyinyiri dan disudutkan sudah cukup membuat saya malas untuk bergerak. Memang saya salah karena menyerah, tapi saya juga tidak mau buang-buang waktu untuk mereka yang tidak sepersepsi—sekeras apapun saya membicarakan opini saya. Toh kepala orang memang berbeda-beda. Lagipula ketua kelas macam apa yang jadi biang keladi plagiasi, dibenci dosen, dimusuhi banyak anak, dianggap sok padahal bodoh, dinyinyiri anggota Hima, tidak lulus mata kuliah, dan diusir dari kelas. Saya tahu diri. Dan persetan dengan apapun pendapat kalian – terutama yang bilang bahwa saya tidak pernah bekerja untuk kelas – saya sudah tidak peduli lagi. Sama sekali. Lagipula perjuangan tampaknya akan sia-sia: tidak ada yang namanya mengembangkan diri di kampus hutan; menjadi apapun adalah kehendak kalian sendiri, jangan terlalu bergantung pada kegiatan jurusan dan kelas. Mencari aktivitas di luar kampus jauh lebih bermakna: saya sudah melakoninya sejak semester pertama, dan tampaknya berhasil. Selamat wahai kau tukang nyinyir; apa kabarmu?

Dan inilah. Apa-apa yang saya jawab saat ditanya sewaktu jerit malam ospek jurusan benar-benar saya terapkan. Kemungkinan besar yang bertanya adalah  – saya tidak sebut nama – mantan kamtib super judes yang kini sibuk mengurus bisnis. Karena malam sangat pekat tanpa penerangan hingga saya tak mampu lihat sebatang hidungpun. Jadi saya juga agak ragu, apakah benar dia yang bertanya.

“Tito! Menurut kamu, kamu sendiri termasuk orang yang peduli atau apatis?”

Saya tak mempedulikan pertanyaannya. Buat apa. Bahkan saat pertanyaan ditanyakan saya sudah mulai apatis. Bodoh besar bila menganggap pertanyaan macam begini bisa menginspirasi atau menyadarkan kami – sesuai dengan tujuan ospek jurusan. Apalagi yang perlu diketahui. Sudah jelas kami disini: menggerutu dengan kantuk, dengan jaket tebal, dini hari, dikerubuti hewan-hewan malam, dehidrasi, bangsat, karena kami peduli dengan acara jurusan. Basa-basi. Sudah sejak lama jika misal kami apatis, kami akan memilih menjadi, katakanlah sahabat-sahabat saya, Ruben dan Ardi, yang tidak pernah menampakkan kepala seharipun di acara-acara miskin manfaat tersebut. Tapi kami – ya sudahlah.

Dan kembali ke kelas sendiri, di penghujung 2014 silam. Bayangkanlah bila segala kenyinyiran sudah disiapkan sedari awal bahkan sebelum saya memulai berbuat sesuatu. Segala cap sudah distempel di jidat: kamu sampah, tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kelas sendiri di dominasi oleh mahasiswa-mahasiswa yang entah kenapa, lebih mudah termakan hasutan bohong dari si Krisna – teman sekaligus pengkhianat paling mutakhir abad ini – dibanding dengan pemikiran yang rasional. Krisna sendiri sudah membusuk di awal semester tiga. Tiba-tiba sok pindah kuliah ke Jogja dengan alasan tahi kucing. Ibu meninggal, mata bengkak karena donor retina, kerja di Jepang. Tengik. Saya tidak percaya apapun yang keluar dari mulutnya. Babi. Dan lagipula saya tahu dia mengadu domba saya dengan berbagai macam pihak. Mungkin itu salah satu sebabnya saya jadi dinyinyiri. Hanya saja saya cukup tahu diri dan menganggap bahwa mengurus itu semua hanyalah kind of wasting time. Lebih baik mundur teratur, berdiam diri, dan mulai tidak peduli. Menjadi apatis terkadang menyelamatkanmu.

Lain cerita bahwa setelah Sony – sahabat saya – menjadi ketua semuanya serba aman-aman saja dan terkendali. Tanpa huru-hara. Tanpa keributan. Tapi lihat, perbandingan cekcok antara saya atau Sony dengan penghuni kelas. Sony adalah orang baik, tidak pernah ada masalah dengan teman atau cekcok apapun. Sementara saya, kurang lebih beberapa anak sempat tidak bertegur sapa dengan saya, menyinyiri saya diam-diam, karena saya dianggap terkutuk. Terserah. Tapi yang jelas, saya melawan. Sony tidak. Meskipun dia juga ingin melawan, tapi apa daya, lebih baik ikut arus. Karena sekali lagi, berenang melawan arus lebih berat dibanding ikut arus. Pun apakah Sony benar-benar menjalankan peran sebagai ketua. Saya kira tidak. Segalanya ditentukan oleh dominasi perempuan-perempuan dalam lingkaran yang tentu saja itu-itu melulu. Lelaki hanya tiga orang, sedangkan perempuan dua pulahan orang. Tentu saja sudah jadi bulan-bulanan. Mereka menuntut lelaki berada di garda depan sekaligus berteriak soal feminisme bahwa perempuan juga bisa berada di depan. Mereka masih patriarki tapi sekaligus sok feminis. Menyuruh bergerak sekaligus menjajah. Entah siapa – saya tak mau sebut nama – tapi siapapun itu saya sudah tidak terlalu memusingkannya. Juga tidak perlu terlalu diperpanjang lagi karena itu usang dan lama. Silakan nyinyiri tulisan ini sepuasnya, bencilah dengan saya, persetan. Saya menuliskan uneg-uneg lama saya yang sudah lama saya simpan sendiri. Kalau-kalau saya mati muda setidaknya saya tidak membawa cerita ini dalam liang lahat sendirian. Sekali lagi, ini uneg-uneg lama. Saya sudah berdamai dengan itu semua, menjadi apatis tulen yang berusaha tak terpengaruh kebusukan orang. Lebih baik jadi orang brengsek daripada pura-pura baik. Kepura-puraan itu kehinaan. Atau kalian akan jadi manusia macam Krisna, si penyeleweng pemfitnah fakta sejarah yang matanya pura-pura buta, untuk kemudian sembuh di waktu kurang dari dua minggu, dan kalian hey para dosen yang percaya dengan itu semua, ternyata daya fungsi nalar kalian mudah tertipu oleh rasa iba.

Baik. Setelah Devi sudah mengumumkan sesuatu, kini giliran Neva. Perempuan baik-baik yang cocok jadi remaja masjid. Dia tekun salat lima waktu – posturnya yang kecil mungil dengan bicaranya yang santun membuat kita yakin bahwasanya masih ada perempuan berakhlak mulia. Tapi sepertinya ia sudah terlalu sering, dalam artian, sudah mulai terobsesi dengan talkshow politik Najwa Shihab. Sering adu genderang argumen dengan Sony – yang kita juga tahu siapa yang masih hijau siapa yang sudah matang. Dalam hal ini Sony, pengagum berat BJ Habibie (dia menganggap Habibie sebagai Presiden Terbaik Indonesia, apa engkau lupa Soekarno, Bung?), penyimak channel berita politik, pendukung Risma, pembenci Bakrie dan Harry Tanoe. Apalagi Prabowo Subianto. Pengamat Lumpur Lapindo sejak kecil – dia berumah di Tanggulangin, beberapa kilometer dari pusat semburan lumpur. Argumen terbarunya: KompasTV dimasuki antek Koalisi Merah Putih; karena TV ini menyudutkan Jokowi dari segala sisi. Sialnya Sony adalah pendukung Jokowi pula. Sementara Neva. Mohon maaf. Negara tak seringan pertanyaan talkshow. Meski saya tak memihak Neva, bukan berarti saya juga memihak Sony. Saya juga punya pandangan sendiri soal politik – dan kalian tidak harus tahu. Adu argumen yang berujung pada penyampaian Personal Message BBM dari Neva ini dimulai saat dia mengajukan usul: ngamen untuk menggalang dana korban asap Riau.

“Ini sebagai bentuk kepedulian kita sebagai anak bangsa, kepada Saudara-Saudara kita. Dengan ngamen ini nantinya kita akan meminta sumbangan seikhlasnya, untuk nantinya diberikan pada korban asap Riau.” Ujar Neva. Ngamen disini adalah istilah. Disini kalian bebas ingin melakukan apa saja: baca puisi, gitaran jrang-jreng-jrang-jreng, nyanyi keras, debus, pamer jurus karate, drama mini, segalanya bisa kalian lakukan – kecuali debus, kalian mungkin harus puasa dahulu. Harusnya dia sudah mendapat dukungan dari seluruh kelas: bantu orang, okelah, berangkat. Apalagi untuk kaum gila eksistensialis dan suka cari perhatian manusia sekitar, segera berangkatlah tanpa berpikir. Tapi dua orang manusia bodoh di kelas, Saya dan Sony, tidak terlalu setuju. Sebelumnya kami sempat membahas ini via WhatsApp – ya, kegiatan saya selain rutin cangkruk adalah WhatsApp Sony, diskusi masalah pelik yang terjadi sampai masalah yang cemen misal berantem dengan pacar.

Sony, bocah berambut Pomade Gatsby 25 ribuan belah pinggir sebulan sekali cukuran ini mendekati Neva. Mencoba menyanggah pelan-pelan usulan dia.

“Sekarang gini Nev. Korban kabut asap itu sudah tidak butuh apa-apa lagi selain asap ilang. Mereka cuman butuh udara segar. Mereka nggak keilangan harta benda. Jadi sebenarnya kita mau nyumbang apa ke mereka. Indomie? Mereka nggak ngungsi. Butuhnya mereka cuman obat sama masker. Itu udah diurusin pemerintah. Beres. Tinggal asapnya aja yang belum ilang. Saranku Nev, kalo kita emang niat ngebantu, ya kita terjun disana sebagai relawan, madamin api, bukan dengan ngamen terus nyumbang.”

Pendapat Sony cukup masuk akal. Neva manggut-manggut. Tapi dia juga punya pendapat lain.

“Yaudah Son yang penting kita niat ngebantu. Perkara bantuannya nyampek atau enggak itu urusan belakangan, yang penting kita udah ada usaha buat bantu. Udah mau bergerak demi bangsa.”

Tipikal penonton setia Najwa Shihab. Soundtrack Creed ‘One Last Breath’—parodi grunge sampah favorit Najwa—berputar dalam hati saya saat menyaksikan Neva bicara.

Tapi saya punya pemikiran sendiri. Dalam artian, oke kamu boleh ngamen, nyari dana, toh itu juga bisa buat nambahin dana pemerintah buat beli obat, masker sama oksigen. Kamu boleh kayak gitu, asal uang sumbangan kasih ke pemerintah – perkara korupsi tai anjing semoga saja tidak terjadi – atau bisa juga kamu kasih ke badan-badan yang kredibel. Untuk Neva sendiri, kita tidak tahu uang akan dikasih ke siapa dan dalam bentuk apa bantuannya. Juga siapa yang akan menyalurkan. Terasa tidak jelas. Bukannya kita tidak peduli, tapi bukan seperti itu caranya. Karena ini hanyalah asap: bukan tsunami atau longsor. Menurut saya, nyari dana nyumbang boleh aja, asal jelas, enggak juga nggak apa-apa, kan udah dihandle pemerintah, dan beres. Problemanya sekarang hanya tinggal kabut asap yang belum ilang. Titik api yang belum padam. Itu saja. Bantuan yang lebih pas untuk diberikan adalah bantuan berupa tenaga untuk membantu pemadaman dan mengisi pos-pos kesehatan. Lagipula, Najwa Shihab pun tidak melakukan agenda meminta sumbangan – tidak seperti saat bencana-bencana lain dimana televisi-televisi sibuk menampilkan rekening mereka di layar kaca, dengan tujuan pemirsa akan iba dan menyumbang untuk kemudian didonasikan ke korban. Tapi nyatanya tidak ada. Jelaslah ini bukan bencana besar seperti yang kalian bayangkan.

Dan menjadi apatis bukan berarti tidak peduli dengan apapun yang terjadi di dunia ini: menjadi apatis adalah tidak mempedulikan apapun yang membuang-buang waktu dan tenaga tapi tidak menghasilkan apa-apa. Apatis justru sangat peduli pada hal-hal yang dirasa bermanfaat bagi dirinya ataupun masyarakat. Dan untuk perkara asap Riau yang dihadapi dengan ngamen ala sastra atau gerakan apapun itulah namanya, saya – dan Sony – memilih menjadi apatis. Tapi bila diterjunkan langsung ke Riau untuk membantu bencana, kami sudah siap menali tali sepatu erat. Berangkat.

Sebenarnya yang lebih membutuhkan bantuan berupa dana adalah kasus Salim Kancil di Lumajang kemarin. Temannya – yang sialnya saya lupa namanya – masih dirawat intensif di rumah sakit dan butuh biaya. Mungkin dengan ngamen kita bisa memberinya sedikit bantuan. Tapi – apa mungkin saya yang tidak dengar – tidak ada gerakan macam itu di lingkup jurusan, bahkan fakultas. Atau bila ada, kurang terdengar gemanya. Saya sendiri – sebagai orang yang notabene bekerja di lingkup media – sudah menemui Mas Bayu (vokalis Fraud, aktivis) untuk ngobrol-ngobrol panjang. Obrolan itu terjadi beberapa hari sebelum diadakannya acara Mas Bayu dkk  yakni penggalangan dana untuk Salim Kancil di Museum Kanker Surabaya. Sebagai perwakilan media saya diminta mendukung, dan it’s okay. Media tempat saya bernaung meworo-worokan acaranya. Lewat website. Tweet. Dan walaupun saya yang waktu itu sempat mau datang tapi karena urusan keluarga sehingga tak jadi datang, diwakili oleh teman wartawan lain di media yang sama untuk memberitakan reportasenya. Pun juga obrolan bersama Mas Bayu yang rencananya akan saya publikasikan di majalah. Jelas ini merupakan dukungan. Silakan nyinyiri saya sebagai tukang kibul omong besar, terserah. Intinya saya sudah berbuat sesuatu. Dan tidak hanya diam. Dan tidak hanya diam sambil nyinyir. Dan tidak hanya diam sambil nyinyir sambil merasa sok paling benar.

Dan setelah Neva melepas argumennya, pun juga Sony, yang keduanya bahkan belum menyepakati apapun, kelas mendadak langsung sepi. Penghuninya lari – ya seperti itulah. Saya yang sudah ancang-ancang pulang bahkan sebelum mereka berpikir untuk pulang, nyatanya malah terperangkap di kelas didahului oleh mereka. Menyaksikan adu argumen Neva-Sony. Tentu tidak ada menang kalah. Berani berpendapat lebih baik daripada, hai nyinyir... dimana kamu?

Sebenarnya ada satu orang lagi dari gerombolan siberat ini: Saya, Sony serta yang terakhir, Rojak. Maniak burung dari Madura. Sudahlah, mendeskripsikan dirinya memang serumit pertanyaan bagaimana sebuah apel bisa membuat Newton mencipta rumus gravitasi. Tapi sepatu bootsnya – kami menebak ia menemukannya di salah satu pusat pakaian bekas di Surabaya. Tapi dia baik. Oh, hampir baik. Pengertian. Ah, hampir juga. Sedikit pemarah dan emosinya tinggi. Itu sudah jelas. Jiwa Madura. Siap tempur tanpa golok sekalipun. Dari kami bertiga: Rojak yang paling apatis. Panutan setia saya saat mulai jengah dengan congor-congor kelas yang berisik. Dari kami saat sempat bertujuh – plus Ruben, Ardi, Ardan, Krisna: dia termasuk yang paling apatis juga – urutan ketiga setelah Ardi dan Ruben. Urutan keempatnya saya. Kelima Ardan. Keenam Sony. Krisna? Entah dia peduli atau pura-pura peduli, tapi – ah sudahlah, biarkan dia tenang di pulau pribadnya.

Di kelas dia super cool. Atau mungkin cold. Hanya diam. Hanya mengangguk. Meski jiwanya pembangkang seperti saya. Sudah berkali-kali saya bolos dari kegiatan kurang bermanfaat bersama dia. Dan jangan lupa, dia partner in crime saya dalam plagiasi Linguistik Umum. Hingga mengulang empat SKS yang entah kapan akan terjadi. Dia rajin shalat, ngaji – sekaligus maksiat. Ah apalah ini, anggap saja bercanda. Lagipula tak lucu kalau sampai dibaca kekasihnya. Hentikan.

Setelah debat argumen politik Neva-Sony, dengan tentu saja tanpa menghasilkan apapun: Neva tetap melanjutkan aksinya, sementara Sony dan saya lebih baik menyingkir—karena punya persepsi masing-masing. Tapi yang saya salut adalah Rojak. Parlente. Kalian tahu nama lengkapnya Abdur Rozzak. Entah karena tidak mengerti masalah gituan, atau terlalu banyak beban pikiran, Rozzak tidak pernah turut runding. Cukup keren: mengurusi urusan diri sendiri dulu, baru setelah itu orang lain. Logikanya, kalian bisa ngamen sampai mampus demi gerakan sosial dan lain sebagainya, tapi jika kalian sendiri—atau daerah kalian sendiri—sebenarnya punya masalah yang belum tuntas, kenapa harus mati-matian ikut gerakan daerah lain: urus dirimu sendiri dulu, baru orang lain. Seperti saat pertemuan dengan Mas Bayu kemarin. Sambil menenggak Chocolate Ice, dia seperti memendam uneg-uneg.

“Lhaiyo, sekarang ini lho, kok banyak anak-anak Surabaya ikut-ikutan gerakan tolak reklamasi Bali kek dan sebagainya. Ya boleh-boleh aja, tapi seenggaknya masalah kotamu dulu itu lho urusen. Baru masalah kota lain. Surabaya begini masalah sosialnya udah banyak. Nah kalau itu udah selesai, baru kamu bisa urus masalah lain. Intinya kita nggak bersikap cuek sama kota sendiri, tapi peduli sama kota lain!”

Tapi lain Bayu, lain Rojak. Kegemarannya berwisata berburu baju bekas membuat dia sampai di Tugu Pahlawan. Di hari Minggu pagi, setidaknya ada tiga titik konsentrasi muda-mudi. Pertama tentu saja Car Free Day Darmo (Taman Bungkul), kedua Tugu Pahlawan, dan ketiga, sudah bisa ditebak: kasur empuk sambil memeluk bantal guling. Untuk Tugu Pahlawan sendiri memang bisa dikatakan ramai di Minggu pagi. Pedagang barang bekas segala jenis: kaus, jaket, topi, sepatu bahkan sampai tas pun dijual dengan harga miring—istilahnya rombengan. Saya baru sekali kesana dan memang, untung-untungan. Jangan terlalu ngoyo mencari barang. Santai saja. Nanti juga nemu. Kalau tidak nemu-nemu pulang saja. Jangan memaksa membeli barang jelek. Percuma. Kalian akan menyesal nantinya. Tapi biasanya setelah berkeliling kalian akan nemu pakaian bekas yang masih bagus, bermerek mahal dan dijual dengan harga super miring. Jika kalian bukan tipe orang yang norak, kalian tentu tidak akan pilih barang aneh-aneh atau yang terlihat sekali bekasnya. Memilih tidak perlu terlalu serius. Cukup lihat merek saja, dan ukuran setelah itu kondisi. Dan di suatu Minggu, Rojak—entah bersama siapa—sedang berburu di seputaran Tugu Pahlawan itu. Pukul 6 pagi. Cuaca sudah panas. Berjalan terburu-buru, memegangi tas agar tak kena copet, berdesak-desakan, bertubrukan, sudah biasa. Jalan saja. Sampai menemukan pedagang lumpia panjang. Tandaskan sebentar. Tambah seledri, cabe dan saus. Kunyah itu remahan. Telan itu minyak. Berburu lagi. Sampai di sebuah lapak yang ramai dikunjungi orang: tua-muda, pria-wanita, berjilbab-terbuka; semua ada. Hari itu adalah hari yang aneh. Rojak memandang seorang pria. Dia botak. Tinggi. Besar. Memakai masker. Tiba-tiba membuka celananya sambil ditutupi tas—tapi Rojak melihatnya detil. Sampai kemudian mengeluarkan penisnya dan menggesek-geseknya di pantat seorang perempuan seksi berbaju ketat dengan rambut sebahu “seperti pramugari” kata Rojak, dan seolah menikmati gesekan tersebut. Rojak hanya terpaku. Dia tidak tahu harus bagaimana. Jangan bayangkan seperti apa ekspresi dia melihat eksibionis tulen tersebut beraksi. Yang pasti si perempuan sadar ada yang aneh di pantatnya, dan dia langsung kabur. Pria ini—tentu saja menggesekkan ke pantat lain. Yang mungkin lebih empuk atau lebih kenyal, saya tidak tahu. Rojak hanya terdiam. Dan kemudian pergi.

“Ga ngurusi jak! Lek aku menyingkir ae! Nyari masalah ntar!” Ujar Sony saat mendengar ceritanya. Masuk akal. Saya membayangkan bagaimana bila saya membawa pacar kesana, dan melihat seperti itu. Tentu saja berusaha tidak peduli dan menyingkir dari situ bisa dilakukan. Ataukah langsung menghakimi si eksibionis, membogemnya mentah-mentah, dan kalian akan jadi pusat perhatian, pacar kalian menganggapnya jago. Tapi itu bila si pelaku tersebut roboh. Bila ternyata dia kuat, nekat, maka kalian yang jadi korbannya. Bukannya takut, tapi buat apa. Toh dia tidak menganggu kita. Hanya saja kasihan yang jadi korban. Kalau saya, sebisa mungkin mencoba memberi tahu si gadis korban itu, atau menariknya, atau bisa juga menghalanginya melakukan hal tersebut—lain masalah kalau dia eksibionis homoseks, maka saya juga bisa kena. Dan cara terakhir adalah menyingkir, tidak perlu dipedulikan. Buang-buang waktu. Orang yang sudah seperti itu terkadang bisa nekat. Ya itu tadi, tarik si korban, ajak dia menyingkir. Atau kasih tahu orang-orang sekitar. Itu lebih ampuh.

Dan konklusinya adalah, terkadang kita memang perlu apatis, tidak mau tahu, mencoba tidak peduli, karena itu bisa menyelamatkan diri kita sendiri. Tapi menjadi apatis bukan berarti harus pada segalanya. Intinya: ada hal-hal yang perlu kita pedulikan (fokuskan), ada pula hal-hal dimana kita perlu menjadi apatis. Fleksibel saja. Toh hidup adalah pilihan. Tapi tentu saja saya terheran; kalian sudah membaca sampai tulisan penutup ini, berarti kalian tidak apatis-apatis amat terhadap pendapat orang begajulan macam saya. Tapi, apa saya peduli?

Tuesday, August 18, 2015

Konsumsi Puasa Selain Fanta Merah

Ini adalah beberapa benda bertuah yang jadi konsumsi saya selama puasa kemarin. Saya share disini sebelum emak marah lagi karena meja ruang tamu lantai dua dipenuhi benda-benda ini—dengan kondisi gak rapi blas. Setelah itu baru saya ringkes-ringkes.

Rolling Stone Indonesia (Edisi 122 Juni 2015)
Kurt Cobain sebagai cover sampul (lagi). Patut dibaca bagi siapupun umat flannel kumal dan jeans belel yang tersisa. Sisi lain tuhan kalian diungkap langsung oleh putri kandungnya, Frances Bean Cobain dengan sangat hangat. Ada pula feature panjang tentang ISIS, yang tentunya lebih mencerahkan dibanding website PKS Piyungan.

Tabloid Rock (All Issues 1-34)
Bacaan adiktif bagi pemuja musik berisik kumur-kumur. Log Zhellebour—promotor rock hasil didikan arek-arek Suroboyo—dan Wenz Rawk—kini jadi jurnalis metal majalah Rolling Stone—adalah beberapa orang dibalik tabloid berumur pendek ini. Menemukan seluruh isu tabloid lawas era 2000-an ini di gudang secara tidak sengaja adalah berkah ramadan yang menjadikan puasa lebih heavy varokah.

Esquire (Anniversary Issues, Maret 2015)
Esquire pertama saya. Memuat a must have items pria dewasa yang juwancuk mahalnya—dan nggak penting-penting juga. Kurang memenuhi ekspekstasi. Pertama: tidak ada feature seperti Playboy. Kedua: model-model wanitanya kurang ngena—dengan pengecualian mbak Sigi Wimala: you’re always the badass!

Unfold Zine 2015
Zine untuk korporasi Bakrie tai. Jerit hati korban lumpur disuarakan lepas di zine anak-anak Porong, Sidoarjo ini. Sebagai dukungan saya berhenti nonton TvOne, atau Tv O’on—penyiarnya nggak cakep sih nggak kaya Metro—dan memilih setia dengan Youtube (dan Jav68).

10 Dosa Besar Soeharto
Kemungkinan besar buku ini tidak dijual bebas. Hanya dimiliki orang-orang tertentu saja. Saya nemu buku ini di lemari oom dan langsung mencomotnya gitu aja. Kesimpulannya sih cukup masuk akal bila ada jutaan orang yang ingin menggantung Pak Harto hidup-hidup (sayangnya udah meninggal duluan). Saya suka gaya provokasi di buku ini. Urat marah cepet kebakar. Yang diungkap pun juga fakta dan dari sumber-sumber yang sangat bisa dipercaya. Untuk itu, tidak ada ide lain yang lebih gegabah selain menjadikan Harto pahlawan nasional.

Selain menikmati majalah dan buku, puasa juga menjadikan saya pendengar musik yang lebih khusyuk.

Keane – The Best Of Keane
Cukup dengan mengganti gitar dengan piano dan memainkannya seemosional mungkin, jadilah rock era baru yang lebih cocok didengarkan sambil merangkul pacar. The Best Of Keane memuat kurang lebih tiga puluh lagu terbaik mereka. Percayalah, tidak hanya Coldplay yang pandai meramu musik sendu secara jenius. Keane juga patut diperhitungkan.

Alice - Konsorsium Humaniora (EP)
Alice (atau A.L.I.C.E) adalah band baru asal Bandung yang dalam sebuah wawancara berkeinginan jadi band cult – dan untuk itu rela mengeksplorasi hardcore, memadunya dengan stoner sampai melodic death metal. Untuk jadi cult saya rasa masih belum, eits tapi tunggu dulu, ini baru rilisan EP perdana. Akan lain pendapat mungkin jika nanti menyimak rilisan selanjutnya.

Chunk! No, Captain Chunk! – Get Lost, Find Yourself
Judul album setengik slogan acara travelling konyol itu. Tidak bagus-bagus amat, yang melekat hanya track pertama (lupa judulnya juga) dan lagu yang berjudul sama dengan album – satu-satunya lagu berformat akustik. Pop punk yang jadi agak berat karena dicampur unsur breakdown – hardcore (terdengar amat sangat di-pak-sa-kan dan itu nggak ma-suk). Tapi vokalis Chunk! Kayaknya lebih cocok menggantikan Tom DeLonge di Blink, cempreng-cempreng nikmat.

Black Sabbath – Paranoid
“Yang nyiptain metal padahal bukan Metallica, tapi Black Sabbath, ini patut diluruskan biar arek-arek yang baru ngerti metal nggak sok!” Mas Bison dari rombongan GRIBS saat berbincang santai di backstage jelang perform mereka. Dengan itu sepertinya tidak ada lagi alasan bagi kalian untuk tidak mendengar Sabbath, khususnya di album-album awal.

Buku dan musik. Kurang lengkap bila tak ditambah satu lagi: film/serial TV.

Silicon Valley (Season 1)
Serial HBO paling konyol. Bahwa jenius dan bodoh itu beda tipis. Menceritakan kumpulan programmer Silicon Valley yang bekerja untuk aplikasi yang diberi nama Pied Piper. Dibalut kata-kata sarkastis, cabul, rusuh, tak bermoral, tapi cerdas dan membuat terpingkal (saya sampe cegukan). Cocok bagi kalian yang muak dengan sitkom Tetangga Kok Gitu.

Silicon Valley (Season 2)
Melanjutkan kebodohan season pertama. Menjadi semakin serius karena Pied Piper sudah berharga jutaan dollar. Tapi tentu saja semakin serius serial komedi, semakin tolol pula adegan dan dialog yang terjadi.

Kurt Cobain: Montage Of Heck
Dokumenter rock terpenting tahun ini. Tidak berlebihan bahkan saat menceritakan sisi kegemilangan atau kejatuhan Cobain sekalipun—emosi yang ditampilkan pun cukup konstan. Dengan tambahan animasi visual yang seolah menyatu dengan dokumen-dokumen Cobain (khusunya diary atau catatan), kita diajak untuk memahami sisi manusiawi Cobain secara utuh dan mendalam. Saya resmi berhenti menganggap Cobain tuhan setelah menonton dokumenter ini. Ternyata dia manusia.

All Ages Party
Dokumenter hardcore ibukota mulai dari era 90-an. Menyenangkan: di dalamnya banyak berisi rekaman-rekaman gigs lawas dan hardcore kids yang nyanyi bareng, selain wawancara tokoh-tokoh legendaris di subgenre metal paling bergengsi ini. Jika kalian penasaran kenapa scene hardcore tak pernah mati, sebaiknya tonton dokumenter penting ini.