Kelas,
kampus dan politik: bagaimana sikap apatis terkadang bisa menyelamatkanmu.
Yang
pasti siang ini sudah terlalu gerah. 34 derajat Celcius Surabaya bahkan di
ruang kelas ber-AC sekalipun—dua keping pongah di depan dan belakang kelas.
Entah mengapa. Tapi mungkin karena daya jangkau AC – yang mungkin perlu
direparasi atau diganti lagi – tidak menjangkau seluruh sudut kelas. Kursi
dosen terletak di sebelah kanan kelas. Dan saya – sebagai satu dari tiga
laki-laki di kelas yang didominasi perempuan – hanya punya sedikit opsi untuk
menentukan dimana posisi duduk terbaik. Jika menuruti letak yang pasti terkena
dingin AC, itu ada di posisi depan sebelah kiri. Dan belakang sebelah kiri.
Tapi apa daya, depan sudah dihuni mahasiswa – atau mahasiswi – berotak
cemerlang, tahan banting, mampu menatap mata dosen lebih dari tiga detik untuk
selanjutnya sanggup dihujani berbagai pertanyaan yang bersumber dari buku teori.
Kalaupun ada kursi kosong – satu atau dua saja – kemungkinan besar saya juga
tidak akan duduk disana. Mata ini terlalu mengantuk untuk terjaga barang empat
puluh lima menit saja. Menatap papan tulis tanpa menggerakkan tangan untuk
mencoreti buku catatan dengan gambar-gambar absurd sepertinya tidak akan pernah
bisa saya lakukan. Jadi, yang paling masuk akal adalah saya duduk di pojokan
kanan – tentu saja bukan di depan sendiri: sudah ada penghuni saingan dari
pojok kiri; geng-geng kece modis dan sekumpulan anak geek yang selalu
diandalkan oleh anggota geng. Duduk di pojokan kiri belakang yang terkena efek
dingin AC sebenanarnya bisa saja dilakukan. Tapi entahlah, saya pernah mencoba
beberapa kali. Dan kalian tahu tatapan dosen yang merasa ganjil. Ataukah menganggap
saya mahasiswa tak tahu diri karena sengaja menjauh dari dirinya. Ataukah
menganggap saya sebagai lelucon di kelas yang sengaja menjauh dari teman-teman
karena bully dari teman perempuan jauh lebih destruktif dibanding teman
laki-laki.
Duduk
di sebelah kanan belakang akhirnya sudah tidak jadi masalah lagi – masalah yang
berbeda akan muncul bila kita rolling class dan mendapati ruang kelas pengap
dengan AC sekarat. Sudah mendarah daging juga bila kami – sekumpulan bebal
berjenis kelamin pria ini sukanya memenuhi ruang di pojok belakang; terlepas
dari tujuh orang pria penghuni kelas yang kini hanya tinggal tiga. Mungkin dulu
sempat ada satu-dua pria yang duduk di depan, bergabung bersama
perempuan-perempuan diktat, tapi setelah beberapa tragedi (atau mungkin kata
ini terlalu hiperbolik), maka tinggallah tiga orang laki-laki yang kesemuanya
sukar menahan kantuk lama-lama. Minder menahun. Menganggap fokus kuliah itu
tabu. Lebih suka didongengi dibanding mendengar ceramah dosen muda tentang
teori dongeng Levi Strauss – dalam hal ini kami sempat salah orang karena kami
pikir Levi Strauss adalah tokoh pencipta Levis, celana jeans favorit kita
bersama. Dan jadilah kami, penghuni pojok kanan belakang sejati.
Tapi
untuk saat ini kelas sudah usai. Dosen sudah pergi. Tinggal hanya kami dan
selangkah lagi menuju pintu ke luar, pulang ke tempat pertapaan masing-masing.
Perempuan-perempuan geek akan menuju ruang Himpunan Mahasiswa. Atau
perpustakaan. Perempuan-perempuan modis abad ini; geng hampir sosialita dengan akun
Instagram, akan segera menuju tempat kuliner favorit mereka. Membahas
kelanjutan geng ke depan atau mungkin akan ada proyek lain yang bisa mempererat
persahabatan juga menjaga eksistensi mereka. Jikalau membuat girlsband
tampaknya masih terlalu dini, maka mereka adalah petarung olshop yang tinggal
beberapa langkah lagi untuk sukses. Dan kami – para perjaka yang kadang
berpikiran bahwa kuliah di tempat macam begini adalah kesalahan terbesar – akan
nimbrung di giras favorit kita bersama. Menyesap jeruk-jerukan Nutrisari.
Menimbun energi Hemaviton. Atau kafein medioker Good Day. Semuanya diberi es
batu karena gerah. Kemudian mulai menyalakan korek api untuk membakar dupa
tembakau. Surya adalah pilihan terbaik; atau bisa juga Sampoerna Mild. Sejuta
kali lebih mengasyikkan dibanding menggauli papan tulis, di pojok kanan kelas dengan
kaki yang terus bergerak menahan bosan. Giras adalah pahlawan. Giras dengan
free-wifi: mendekati Tuhan.
Di
giras kami bisa bermain apa saja. Menjauhkan tas dari jangkauan karena benda
ini mampu membangkitkan ingatan tentang tugas hari Senin. Menyebut kata giras
mungkin asing bagi kalian. Baiklah, ini adalah tempat yang rada luas dengan
banyak meja kursi – termasuk bila kalian tipe yang suka meluruskan kaki,
disediakan lesehan. Menyediakan minuman-minuman ringan dengan es batu yang
berlimpah. Atau bila kalian lapar, sudilah memanggil mas-mas sebentar untuk
pesan Indomie. Bisa pakai nasi. Atau tambah telor dadar bila kalian mau – dan
uang saku kalian memadai. Tapi persetan dengan menu. Generasi paket data
seperti kami sudah tidak terlalu peduli dengan semuanya selama gadget android
kami dalam genggaman. Mencaplok bandwitch untuk menjajal aplikasi-aplikasi
terbaru Play Store. Atau hanya untuk meneruskan Clash Of Clans – yang kini
sudah jadi permainan nomor wahid di Play Store, tapi kabarnya pamornya tergeser
oleh Duel Otak. Dengan intensitas angin yang membunuh panas, maka memilih giras
untuk melepas lelah kuliah dibanding mushola sudah tak perlu diperdebatkan
lagi.
Tapi
lagi-lagi. Selalu saja ada halangan untuk pulang. Tinggal selangkah lagi menuju
pintu keluar dan kami sudah ancang-ancang dengan kontak motor di tangan kanan.
Kita perlu menahan nafsu untuk pulang dan memasukkan kontak kembali ke saku.
Agen penyelamat kelas – dalam hal ini adalah para calon aktivis, ataukah
anggota Hima, ataukah hanya yang sekedar memajang giginya – mulai menyampaikan
pengumuman.
Adalah
Devi. Kami semua mengenalnya dengan baik – atau bahkan terlalu baik. Kita boleh
menganggapnya begini: anggota geng yang paling banyak dibully, tapi sekaligus
orang nomor satu di dalamnya. Mungkin dia adalah orang yang paling banyak punya
julukan di kelas – dan tentunya hanya dipahami oleh para perempuan. Kami – tiga
orang pria culun dan bisanya hanya manggut-manggut saja menghadapi apapun di kelas – memahami
jikalau dia pernah berujar bahwa motto hidupnya tak lain tak bukan ialah bebas
dari lelaki: siapapun itu. Tapi entah mengapa, laki-laki dan Devi adalah satu
paket bully-an yang tidak dapat dipisah. Apalagi bila melihatnya diserang oleh
anggota gengnya yang beringas. Devi pantas malu. Tapi urat malunya seperti
sudah hilang. Maju di depan kelas tanpa peduli nyinyiran gengnya sendiri –
entah guyon atau tidak. Dan dia adalah master dengan kuasa penuh: baik
kurangnya penghormatan dari anggota gengnya sendiri atau tidak adanya respon
dari kami sudah tidak jadi masalah. Yang penting propaganda tersampaikan. Dan
kini, tubuh gempalnya yang sekilas mirip laki-laki pekerja keras – dengan
tambahan kumis tipis sekaligus cambang malu-malu, ia menyampaikan rencana
keberangkatan menuju daerah yang dikehendaki dosen untuk melakukan yoga aneh penggali inspirasi: Pacet, Mojokerto.
Dominasi
perempuan ini tidak muncul begitu saja. Saya pribadi pernah memangku jabatan
dalam kelas, yang walaupun tidak saya inginkan, tetapi akhirnya jadi juga.
Diundang rapat kesana-kemari. Berteman dengan ketua dan anak-anak BEM-F.
Mengikuti propaganda mereka untuk disampaikan pada anak-anak sekelas. Politk.
Sekilas saya tidak berbuat apa-apa untuk kelas, tapi percayalah, saya – bersama
wakil-wakil dari jurusan lain – berusaha memperjuangkan anak-anak di dalam
kelas itu sendiri. Bagaimana saya seorang diri berburu bahan-bahan demonstasi
fakultas: cat, spidol, kertas gambar, kain putih panjang, untuk mendemo pihak
kampus yang seenak udel menaikkan UKT beberapa waktu silam sudah saya alami.
Bagaimana pihak Bidikmisi apatis menggembosi semangat kami dengan seolah merasa
bahwa demo itu tidak penting bla-bla-bla sudah saya terima. Dan nyatanya
menjadi penggerak untuk kompak tidak semudah yang saya kira. Demo berhasil –
walau kelas kami tidak mengikuti karena sedang UAS – dan UKT berhasil
diturunkan. Panjang diceritakan. Tapi saat menjabat itu, saya memang lebih
sering melawan. Ikut gerombolan pendemo dengan BEM-F. Mencoba membantahi apa-apa
saja yang dikatakan anggota Hima tentang pertunjukkan sastra – dengan membawa
nama kelas – dan nyatanya argumen saya malah dibantah teman-teman sastra
sendiri – padahal saya mewakili mereka, mencoba mencari titik tengah agar
kebijakan itu tidak memberatkan nantinya. Dan yang berat adalah berdiskusi
berkedok ngobrol dengan kalian satu-persatu, mencoba mendengar pendapat kalian,
dan untuk kemudian berusaha memperjuangkannya. Tapi entah karena apa, saya
tidak pernah mendapatkan apa yang saya inginkan saat menjabat posisi itu di
kelas. Ditambah lagi dengan sikap bebal dan sok saya. Kebrengsekan terhadap
dosen. Tidak lulus mata kuliah. Lebih sering membangkang dibanding mengayomi.
Dan akhirnya, it’s better been burn than fade away: apa-apa yang saya perjuangkan
dari dan untuk kelas hanya mendapat nyinyiran dari sekumpulan geek yang justru
mereka tidak pernah saya tahu berjuang untuk kelas; saya lebih baik padam
daripada memudar sedikit-demi-sedkit. Saya tidak menonjolkan diri pada kalian,
tapi kalian sudah saatnya tahu bahwa saya bekerja dalam diam. Intinya adalah
melawan; saya ingin menjadikan kalian semua tidak berempati lagi pada
ketidakadilan. Proyek-proyek Hima yang absurd. Maaf. Tapi sekali lagi nyinyiran
tersebut membuat saya malas. Jadilah yang nyinyir yang berkuasa. Saya salah
karena menyerah. Meskipun si nyinyir juga tidak melakukan apa-apa dan bahkan,
jauh lebih menyedihkan dibanding saya. Tapi sudahlah. Saya akhirnya memilih
untuk menjalankannya lepas; biarkan saja, sudah lelah berjuang sendiri. Tinggal
menanti-nanti saat yang tepat untuk mengundurkan diri. Persetan dengan pamor.
Persetan dengan nyinyiran kalian. Saya tidak peduli. Membanggakan bisa berjuang
demi kalian. Bisa turut menyumbang peran untuk kalian – dan kau si nyinyir –
bisa merasakan turunnya uang kuliah. Membanggakan bisa membuat denda absurd 50
ribu untuk kelas yang tidak mengikuti drama-dramaan jurusan bisa dihilangkan –
meski sekarang ada lagi. Membanggakan bisa menjemput Mas Ilham untuk pertama
kali– sebagai pelatih drama kalian hingga kalian memboyong piala berkali-kali –
meskipun saya sendiri tidak ikut tampil karena saya penyakitan gagap. Silakan
remeh temehkan saya sudah tidak peduli lagi. Ikutlah arus, jangan dilawan.
Jangan ikut saya – pecundang kelas berat, plagiator ulung yang membuat kelas
jadi jelek di mata Pak Budi, dosen linguistik. Tukang nongkrong gaduh yang
membuat kelas kalian jadi sarang marah-marah dosen. Sekali saya diusir dari
kelas dan seketika itu pula saya mundur teratur. Saya tidak tertarik menjadi
pemimpin kalian yang maunya main aman, ikut arus, dan secara teratur-periodik
nyinyir terhadap sikap orang macam saya yang cenderung kiri. Ikutlah arus saja,
patuhi nasihat dosen, dengarkan kata Hima. Saya memang tak punya peran bagi
kalian. Nyinyiri saja. Menanglah. Banggalah. Dan persetan dengan semua: ketua
kelas cemen, omong besar doang, pecundang, penakut, tidak berbuat apa-apa,
labil, pemarah, kafir, pemabuk—terserah congor kalian. Lebih baik apatis dan
tidak turut campur, memelihara persepsi dan idealisme sendiri, menghindari yang
banal, untuk selanjutnya cepat-cepat lulus kabur dari kampus hutan. Seperti
itu.
Hal
diatas sejujurnya tidak akan saya bagikan—biarkan saya dan segelintir anak yang
tahu: termasuk Tri Nanang, sahabat yang sepemikiran dengan saya, meski dia
selalu mengkritik sikap saya saat menjadi ketua yang bebal keras kepala dan
seenaknya sendiri. Tapi karena rasa-rasanya sudah terlampau terbawa emosi,
izinkan saya membaginya. Saya kini lebih banyak diam di kelas. Dinyinyiri dan
disudutkan sudah cukup membuat saya malas untuk bergerak. Memang saya salah
karena menyerah, tapi saya juga tidak mau buang-buang waktu untuk mereka yang
tidak sepersepsi—sekeras apapun saya membicarakan opini saya. Toh kepala orang
memang berbeda-beda. Lagipula ketua kelas macam apa yang jadi biang keladi
plagiasi, dibenci dosen, dimusuhi banyak anak, dianggap sok padahal bodoh,
dinyinyiri anggota Hima, tidak lulus mata kuliah, dan diusir dari kelas. Saya
tahu diri. Dan persetan dengan apapun pendapat kalian – terutama yang bilang
bahwa saya tidak pernah bekerja untuk kelas – saya sudah tidak peduli lagi.
Sama sekali. Lagipula perjuangan tampaknya akan sia-sia: tidak ada yang namanya
mengembangkan diri di kampus hutan; menjadi apapun adalah kehendak kalian
sendiri, jangan terlalu bergantung pada kegiatan jurusan dan kelas. Mencari
aktivitas di luar kampus jauh lebih bermakna: saya sudah melakoninya sejak
semester pertama, dan tampaknya berhasil. Selamat wahai kau tukang nyinyir; apa
kabarmu?
Dan
inilah. Apa-apa yang saya jawab saat ditanya sewaktu jerit malam ospek jurusan
benar-benar saya terapkan. Kemungkinan besar yang bertanya adalah – saya tidak sebut nama – mantan kamtib super
judes yang kini sibuk mengurus bisnis. Karena malam sangat pekat tanpa
penerangan hingga saya tak mampu lihat sebatang hidungpun. Jadi saya juga agak
ragu, apakah benar dia yang bertanya.
“Tito!
Menurut kamu, kamu sendiri termasuk orang yang peduli atau apatis?”
Saya
tak mempedulikan pertanyaannya. Buat apa. Bahkan saat pertanyaan ditanyakan saya
sudah mulai apatis. Bodoh besar bila menganggap pertanyaan macam begini bisa
menginspirasi atau menyadarkan kami – sesuai dengan tujuan ospek jurusan. Apalagi
yang perlu diketahui. Sudah jelas kami disini: menggerutu dengan kantuk, dengan
jaket tebal, dini hari, dikerubuti hewan-hewan malam, dehidrasi, bangsat,
karena kami peduli dengan acara jurusan. Basa-basi. Sudah sejak lama jika misal
kami apatis, kami akan memilih menjadi, katakanlah sahabat-sahabat saya, Ruben
dan Ardi, yang tidak pernah menampakkan kepala seharipun di acara-acara miskin
manfaat tersebut. Tapi kami – ya sudahlah.
Dan
kembali ke kelas sendiri, di penghujung 2014 silam. Bayangkanlah bila segala
kenyinyiran sudah disiapkan sedari awal bahkan sebelum saya memulai berbuat
sesuatu. Segala cap sudah distempel di jidat: kamu sampah, tidak bisa berbuat
apa-apa. Dan kelas sendiri di dominasi oleh mahasiswa-mahasiswa yang entah
kenapa, lebih mudah termakan hasutan bohong dari si Krisna – teman sekaligus pengkhianat
paling mutakhir abad ini – dibanding dengan pemikiran yang rasional. Krisna
sendiri sudah membusuk di awal semester tiga. Tiba-tiba sok pindah kuliah ke
Jogja dengan alasan tahi kucing. Ibu meninggal, mata bengkak karena donor
retina, kerja di Jepang. Tengik. Saya tidak percaya apapun yang keluar dari
mulutnya. Babi. Dan lagipula saya tahu dia mengadu domba saya dengan berbagai
macam pihak. Mungkin itu salah satu sebabnya saya jadi dinyinyiri. Hanya saja
saya cukup tahu diri dan menganggap bahwa mengurus itu semua hanyalah kind of
wasting time. Lebih baik mundur teratur, berdiam diri, dan mulai tidak peduli.
Menjadi apatis terkadang menyelamatkanmu.
Lain
cerita bahwa setelah Sony – sahabat saya – menjadi ketua semuanya serba
aman-aman saja dan terkendali. Tanpa huru-hara. Tanpa keributan. Tapi lihat,
perbandingan cekcok antara saya atau Sony dengan penghuni kelas. Sony adalah
orang baik, tidak pernah ada masalah dengan teman atau cekcok apapun. Sementara
saya, kurang lebih beberapa anak sempat tidak bertegur sapa dengan saya, menyinyiri
saya diam-diam, karena saya dianggap terkutuk. Terserah. Tapi yang jelas, saya
melawan. Sony tidak. Meskipun dia juga ingin melawan, tapi apa daya, lebih baik
ikut arus. Karena sekali lagi, berenang melawan arus lebih berat dibanding ikut
arus. Pun apakah Sony benar-benar menjalankan peran sebagai ketua. Saya kira
tidak. Segalanya ditentukan oleh dominasi perempuan-perempuan dalam lingkaran
yang tentu saja itu-itu melulu. Lelaki hanya tiga orang, sedangkan perempuan
dua pulahan orang. Tentu saja sudah jadi bulan-bulanan. Mereka menuntut lelaki
berada di garda depan sekaligus berteriak soal feminisme bahwa perempuan juga
bisa berada di depan. Mereka masih patriarki tapi sekaligus sok feminis.
Menyuruh bergerak sekaligus menjajah. Entah siapa – saya tak mau sebut nama –
tapi siapapun itu saya sudah tidak terlalu memusingkannya. Juga tidak perlu
terlalu diperpanjang lagi karena itu usang dan lama. Silakan nyinyiri tulisan
ini sepuasnya, bencilah dengan saya, persetan. Saya menuliskan uneg-uneg lama
saya yang sudah lama saya simpan sendiri. Kalau-kalau saya mati muda setidaknya
saya tidak membawa cerita ini dalam liang lahat sendirian. Sekali lagi, ini
uneg-uneg lama. Saya sudah berdamai dengan itu semua, menjadi apatis tulen yang
berusaha tak terpengaruh kebusukan orang. Lebih baik jadi orang brengsek
daripada pura-pura baik. Kepura-puraan itu kehinaan. Atau kalian akan jadi
manusia macam Krisna, si penyeleweng pemfitnah fakta sejarah yang matanya pura-pura buta,
untuk kemudian sembuh di waktu kurang dari dua minggu, dan kalian hey para
dosen yang percaya dengan itu semua, ternyata daya fungsi nalar kalian mudah
tertipu oleh rasa iba.
Baik.
Setelah Devi sudah mengumumkan sesuatu, kini giliran Neva. Perempuan baik-baik
yang cocok jadi remaja masjid. Dia tekun salat lima waktu – posturnya yang
kecil mungil dengan bicaranya yang santun membuat kita yakin bahwasanya masih
ada perempuan berakhlak mulia. Tapi sepertinya ia sudah terlalu sering, dalam
artian, sudah mulai terobsesi dengan talkshow politik Najwa Shihab. Sering adu
genderang argumen dengan Sony – yang kita juga tahu siapa yang masih hijau
siapa yang sudah matang. Dalam hal ini Sony, pengagum berat BJ Habibie (dia
menganggap Habibie sebagai Presiden Terbaik Indonesia, apa engkau lupa
Soekarno, Bung?), penyimak channel berita politik, pendukung Risma, pembenci
Bakrie dan Harry Tanoe. Apalagi Prabowo Subianto. Pengamat Lumpur Lapindo sejak
kecil – dia berumah di Tanggulangin, beberapa kilometer dari pusat semburan
lumpur. Argumen terbarunya: KompasTV dimasuki antek Koalisi Merah Putih; karena
TV ini menyudutkan Jokowi dari segala sisi. Sialnya Sony adalah pendukung
Jokowi pula. Sementara Neva. Mohon maaf. Negara tak seringan pertanyaan talkshow.
Meski saya tak memihak Neva, bukan berarti saya juga memihak Sony. Saya juga
punya pandangan sendiri soal politik – dan kalian tidak harus tahu. Adu argumen
yang berujung pada penyampaian Personal Message BBM dari Neva ini dimulai saat
dia mengajukan usul: ngamen untuk menggalang dana korban asap Riau.
“Ini
sebagai bentuk kepedulian kita sebagai anak bangsa, kepada Saudara-Saudara
kita. Dengan ngamen ini nantinya kita akan meminta sumbangan seikhlasnya, untuk
nantinya diberikan pada korban asap Riau.” Ujar Neva. Ngamen disini adalah
istilah. Disini kalian bebas ingin melakukan apa saja: baca puisi, gitaran
jrang-jreng-jrang-jreng, nyanyi keras, debus, pamer jurus karate, drama mini,
segalanya bisa kalian lakukan – kecuali debus, kalian mungkin harus puasa
dahulu. Harusnya dia sudah mendapat dukungan dari seluruh kelas: bantu orang,
okelah, berangkat. Apalagi untuk kaum gila eksistensialis dan suka cari
perhatian manusia sekitar, segera berangkatlah tanpa berpikir. Tapi dua orang
manusia bodoh di kelas, Saya dan Sony, tidak terlalu setuju. Sebelumnya kami
sempat membahas ini via WhatsApp – ya, kegiatan saya selain rutin cangkruk
adalah WhatsApp Sony, diskusi masalah pelik yang terjadi sampai masalah yang
cemen misal berantem dengan pacar.
Sony,
bocah berambut Pomade Gatsby 25 ribuan belah pinggir sebulan sekali cukuran ini
mendekati Neva. Mencoba menyanggah pelan-pelan usulan dia.
“Sekarang
gini Nev. Korban kabut asap itu sudah tidak butuh apa-apa lagi selain asap
ilang. Mereka cuman butuh udara segar. Mereka nggak keilangan harta benda. Jadi
sebenarnya kita mau nyumbang apa ke mereka. Indomie? Mereka nggak ngungsi.
Butuhnya mereka cuman obat sama masker. Itu udah diurusin pemerintah. Beres. Tinggal
asapnya aja yang belum ilang. Saranku Nev, kalo kita emang niat ngebantu, ya
kita terjun disana sebagai relawan, madamin api, bukan dengan ngamen terus
nyumbang.”
Pendapat
Sony cukup masuk akal. Neva manggut-manggut. Tapi dia juga punya pendapat lain.
“Yaudah
Son yang penting kita niat ngebantu. Perkara bantuannya nyampek atau enggak itu
urusan belakangan, yang penting kita udah ada usaha buat bantu. Udah mau
bergerak demi bangsa.”
Tipikal
penonton setia Najwa Shihab. Soundtrack Creed ‘One Last Breath’—parodi grunge
sampah favorit Najwa—berputar dalam hati saya saat menyaksikan Neva bicara.
Tapi
saya punya pemikiran sendiri. Dalam artian, oke kamu boleh ngamen, nyari dana,
toh itu juga bisa buat nambahin dana pemerintah buat beli obat, masker sama
oksigen. Kamu boleh kayak gitu, asal uang sumbangan kasih ke pemerintah –
perkara korupsi tai anjing semoga saja tidak terjadi – atau bisa juga kamu
kasih ke badan-badan yang kredibel. Untuk Neva sendiri, kita tidak tahu uang
akan dikasih ke siapa dan dalam bentuk apa bantuannya. Juga siapa yang akan
menyalurkan. Terasa tidak jelas. Bukannya kita tidak peduli, tapi bukan seperti
itu caranya. Karena ini hanyalah asap: bukan tsunami atau longsor. Menurut
saya, nyari dana nyumbang boleh aja, asal jelas, enggak juga nggak apa-apa, kan
udah dihandle pemerintah, dan beres. Problemanya sekarang hanya tinggal kabut
asap yang belum ilang. Titik api yang belum padam. Itu saja. Bantuan yang lebih
pas untuk diberikan adalah bantuan berupa tenaga untuk membantu pemadaman dan
mengisi pos-pos kesehatan. Lagipula, Najwa Shihab pun tidak melakukan agenda
meminta sumbangan – tidak seperti saat bencana-bencana lain dimana
televisi-televisi sibuk menampilkan rekening mereka di layar kaca, dengan
tujuan pemirsa akan iba dan menyumbang untuk kemudian didonasikan ke korban.
Tapi nyatanya tidak ada. Jelaslah ini bukan bencana besar seperti yang kalian
bayangkan.
Dan
menjadi apatis bukan berarti tidak peduli dengan apapun yang terjadi di dunia
ini: menjadi apatis adalah tidak mempedulikan apapun yang membuang-buang waktu
dan tenaga tapi tidak menghasilkan apa-apa. Apatis justru sangat peduli pada
hal-hal yang dirasa bermanfaat bagi dirinya ataupun masyarakat. Dan untuk
perkara asap Riau yang dihadapi dengan ngamen ala sastra atau gerakan apapun
itulah namanya, saya – dan Sony – memilih menjadi apatis. Tapi bila diterjunkan
langsung ke Riau untuk membantu bencana, kami sudah siap menali tali sepatu
erat. Berangkat.
Sebenarnya
yang lebih membutuhkan bantuan berupa dana adalah kasus Salim Kancil di
Lumajang kemarin. Temannya – yang sialnya saya lupa namanya – masih dirawat
intensif di rumah sakit dan butuh biaya. Mungkin dengan ngamen kita bisa
memberinya sedikit bantuan. Tapi – apa mungkin saya yang tidak dengar – tidak
ada gerakan macam itu di lingkup jurusan, bahkan fakultas. Atau bila ada,
kurang terdengar gemanya. Saya sendiri – sebagai orang yang notabene bekerja di
lingkup media – sudah menemui Mas Bayu (vokalis Fraud, aktivis) untuk
ngobrol-ngobrol panjang. Obrolan itu terjadi beberapa hari sebelum diadakannya
acara Mas Bayu dkk yakni penggalangan
dana untuk Salim Kancil di Museum Kanker Surabaya. Sebagai perwakilan media
saya diminta mendukung, dan it’s okay. Media tempat saya bernaung
meworo-worokan acaranya. Lewat website. Tweet. Dan walaupun saya yang waktu itu
sempat mau datang tapi karena urusan keluarga sehingga tak jadi datang,
diwakili oleh teman wartawan lain di media yang sama untuk memberitakan
reportasenya. Pun juga obrolan bersama Mas Bayu yang rencananya akan saya
publikasikan di majalah. Jelas ini merupakan dukungan. Silakan nyinyiri saya
sebagai tukang kibul omong besar, terserah. Intinya saya sudah berbuat sesuatu.
Dan tidak hanya diam. Dan tidak hanya diam sambil nyinyir. Dan tidak hanya diam
sambil nyinyir sambil merasa sok paling benar.
Dan
setelah Neva melepas argumennya, pun juga Sony, yang keduanya bahkan belum
menyepakati apapun, kelas mendadak langsung sepi. Penghuninya lari – ya seperti
itulah. Saya yang sudah ancang-ancang pulang bahkan sebelum mereka berpikir
untuk pulang, nyatanya malah terperangkap di kelas didahului oleh mereka. Menyaksikan
adu argumen Neva-Sony. Tentu tidak ada menang kalah. Berani berpendapat lebih
baik daripada, hai nyinyir... dimana kamu?
Sebenarnya
ada satu orang lagi dari gerombolan siberat ini: Saya, Sony serta yang
terakhir, Rojak. Maniak burung dari Madura. Sudahlah, mendeskripsikan dirinya
memang serumit pertanyaan bagaimana sebuah apel bisa membuat Newton mencipta
rumus gravitasi. Tapi sepatu bootsnya – kami menebak ia menemukannya di salah
satu pusat pakaian bekas di Surabaya. Tapi dia baik. Oh, hampir baik.
Pengertian. Ah, hampir juga. Sedikit pemarah dan emosinya tinggi. Itu sudah
jelas. Jiwa Madura. Siap tempur tanpa golok sekalipun. Dari kami bertiga: Rojak
yang paling apatis. Panutan setia saya saat mulai jengah dengan congor-congor
kelas yang berisik. Dari kami saat sempat bertujuh – plus Ruben, Ardi, Ardan,
Krisna: dia termasuk yang paling apatis juga – urutan ketiga setelah Ardi dan
Ruben. Urutan keempatnya saya. Kelima Ardan. Keenam Sony. Krisna? Entah dia peduli
atau pura-pura peduli, tapi – ah sudahlah, biarkan dia tenang di pulau
pribadnya.
Di
kelas dia super cool. Atau mungkin cold. Hanya diam. Hanya mengangguk. Meski
jiwanya pembangkang seperti saya. Sudah berkali-kali saya bolos dari kegiatan
kurang bermanfaat bersama dia. Dan jangan lupa, dia partner in crime saya dalam
plagiasi Linguistik Umum. Hingga mengulang empat SKS yang entah kapan akan
terjadi. Dia rajin shalat, ngaji – sekaligus maksiat. Ah apalah ini, anggap
saja bercanda. Lagipula tak lucu kalau sampai dibaca kekasihnya. Hentikan.
Setelah
debat argumen politik Neva-Sony, dengan tentu saja tanpa menghasilkan apapun:
Neva tetap melanjutkan aksinya, sementara Sony dan saya lebih baik
menyingkir—karena punya persepsi masing-masing. Tapi yang saya salut adalah
Rojak. Parlente. Kalian tahu nama lengkapnya Abdur Rozzak. Entah karena tidak
mengerti masalah gituan, atau terlalu banyak beban pikiran, Rozzak tidak pernah
turut runding. Cukup keren: mengurusi urusan diri sendiri dulu, baru setelah
itu orang lain. Logikanya, kalian bisa ngamen sampai mampus demi gerakan sosial
dan lain sebagainya, tapi jika kalian sendiri—atau daerah kalian
sendiri—sebenarnya punya masalah yang belum tuntas, kenapa harus mati-matian
ikut gerakan daerah lain: urus dirimu sendiri dulu, baru orang lain. Seperti
saat pertemuan dengan Mas Bayu kemarin. Sambil menenggak Chocolate Ice, dia
seperti memendam uneg-uneg.
“Lhaiyo,
sekarang ini lho, kok banyak anak-anak Surabaya ikut-ikutan gerakan tolak
reklamasi Bali kek dan sebagainya. Ya boleh-boleh aja, tapi seenggaknya masalah
kotamu dulu itu lho urusen. Baru masalah kota lain. Surabaya begini masalah
sosialnya udah banyak. Nah kalau itu udah selesai, baru kamu bisa urus masalah
lain. Intinya kita nggak bersikap cuek sama kota sendiri, tapi peduli sama kota
lain!”
Tapi
lain Bayu, lain Rojak. Kegemarannya berwisata berburu baju bekas membuat dia
sampai di Tugu Pahlawan. Di hari Minggu pagi, setidaknya ada tiga titik
konsentrasi muda-mudi. Pertama tentu saja Car Free Day Darmo (Taman Bungkul),
kedua Tugu Pahlawan, dan ketiga, sudah bisa ditebak: kasur empuk sambil memeluk
bantal guling. Untuk Tugu Pahlawan sendiri memang bisa dikatakan ramai di
Minggu pagi. Pedagang barang bekas segala jenis: kaus, jaket, topi, sepatu
bahkan sampai tas pun dijual dengan harga miring—istilahnya rombengan. Saya
baru sekali kesana dan memang, untung-untungan. Jangan terlalu ngoyo mencari
barang. Santai saja. Nanti juga nemu. Kalau tidak nemu-nemu pulang saja. Jangan
memaksa membeli barang jelek. Percuma. Kalian akan menyesal nantinya. Tapi
biasanya setelah berkeliling kalian akan nemu pakaian bekas yang masih bagus,
bermerek mahal dan dijual dengan harga super miring. Jika kalian bukan tipe
orang yang norak, kalian tentu tidak akan pilih barang aneh-aneh atau yang
terlihat sekali bekasnya. Memilih tidak perlu terlalu serius. Cukup lihat merek
saja, dan ukuran setelah itu kondisi. Dan di suatu Minggu, Rojak—entah bersama
siapa—sedang berburu di seputaran Tugu Pahlawan itu. Pukul 6 pagi. Cuaca sudah
panas. Berjalan terburu-buru, memegangi tas agar tak kena copet,
berdesak-desakan, bertubrukan, sudah biasa. Jalan saja. Sampai menemukan
pedagang lumpia panjang. Tandaskan sebentar. Tambah seledri, cabe dan saus. Kunyah
itu remahan. Telan itu minyak. Berburu lagi. Sampai di sebuah lapak yang ramai
dikunjungi orang: tua-muda, pria-wanita, berjilbab-terbuka; semua ada. Hari itu
adalah hari yang aneh. Rojak memandang seorang pria. Dia botak. Tinggi. Besar.
Memakai masker. Tiba-tiba membuka celananya sambil ditutupi tas—tapi Rojak
melihatnya detil. Sampai kemudian mengeluarkan penisnya dan menggesek-geseknya
di pantat seorang perempuan seksi berbaju ketat dengan rambut sebahu “seperti
pramugari” kata Rojak, dan seolah menikmati gesekan tersebut. Rojak hanya
terpaku. Dia tidak tahu harus bagaimana. Jangan bayangkan seperti apa ekspresi
dia melihat eksibionis tulen tersebut beraksi. Yang pasti si perempuan sadar
ada yang aneh di pantatnya, dan dia langsung kabur. Pria ini—tentu saja
menggesekkan ke pantat lain. Yang mungkin lebih empuk atau lebih kenyal, saya
tidak tahu. Rojak hanya terdiam. Dan kemudian pergi.
“Ga
ngurusi jak! Lek aku menyingkir ae! Nyari masalah ntar!” Ujar Sony saat
mendengar ceritanya. Masuk akal. Saya membayangkan bagaimana bila saya membawa
pacar kesana, dan melihat seperti itu. Tentu saja berusaha tidak peduli dan
menyingkir dari situ bisa dilakukan. Ataukah langsung menghakimi si eksibionis,
membogemnya mentah-mentah, dan kalian akan jadi pusat perhatian, pacar kalian
menganggapnya jago. Tapi itu bila si pelaku tersebut roboh. Bila ternyata dia
kuat, nekat, maka kalian yang jadi korbannya. Bukannya takut, tapi buat apa.
Toh dia tidak menganggu kita. Hanya saja kasihan yang jadi korban. Kalau saya,
sebisa mungkin mencoba memberi tahu si gadis korban itu, atau menariknya, atau
bisa juga menghalanginya melakukan hal tersebut—lain masalah kalau dia
eksibionis homoseks, maka saya juga bisa kena. Dan cara terakhir adalah
menyingkir, tidak perlu dipedulikan. Buang-buang waktu. Orang yang sudah
seperti itu terkadang bisa nekat. Ya itu tadi, tarik si korban, ajak dia
menyingkir. Atau kasih tahu orang-orang sekitar. Itu lebih ampuh.
Dan
konklusinya adalah, terkadang kita memang perlu apatis, tidak mau tahu, mencoba
tidak peduli, karena itu bisa menyelamatkan diri kita sendiri. Tapi menjadi
apatis bukan berarti harus pada segalanya. Intinya: ada hal-hal yang perlu kita
pedulikan (fokuskan), ada pula hal-hal dimana kita perlu menjadi apatis. Fleksibel
saja. Toh hidup adalah pilihan. Tapi tentu saja saya terheran; kalian sudah
membaca sampai tulisan penutup ini, berarti kalian tidak apatis-apatis amat
terhadap pendapat orang begajulan macam saya. Tapi, apa saya peduli?
No comments:
Post a Comment