Tuesday, May 10, 2016

Tentang Proses Awal Buku Fiksi Kami

Bukan fiksi yang mempertemukan kami. Saya dan Tri Nanang lebih dulu disatukan saat pentas drama musikal di acara penutupan ospek fakultas 2013 lalu. Kami tidak sekelompok dan hanya kenal beberapa hari untuk kemudian bisa menggarap drama musikal bertema sosial politik yang saya ingat betul, menggunakan lagu “Bongkar” sebagai backsound-nya. Tahun-tahun berlalu. Tri Nanang masih menekuni dunia drama dan aktif di unit teater kampus. Kabar terbaru adalah dia memenangi lomba penulisan naskah tingkat nasional. Sementara saya, masih begini-begini saja: menulis ceracau di blog, terobsesi pada musik, dan selalu ingin membuat zine sendiri. Kami sama-sama berasal dari dua dunia yang berbeda—mungkin kalimat barusan amat klise, sampah dan norak sekali, lebay dan sudah sepantasnya dihapuskan dari sistem perkalimatan di bumi ini. Tetapi memang seperti itulah kami.

Awalnya kami yang seringkali berdiskusi di warung kopi tentang teologi dan pertanyaan-pertanyaan apakah-tuhan-ada dan semacamnya hingga akhirnya menghasilkan ide juga untuk mendokumentasikan karya—yang saking sumpeknya di awal-awal bahkan sempat terbersit konsep kumpulan karya yang ‘mencaci tuhan’. Tak lama kemudian lahirlah zine fiksi perdana—dengan tambahan kontribusi dari penyair Twitter Habib Syafaat alias Bob. Tetapi kami masih belum merasa puas. Ada rasa yang belum tertuntaskan—rasanya seperti katakanlah mimpi basah yang terpaksa harus terhenti karena alarm sialan yang diletakkan di pinggir kasur buru-buru berbunyi. Atau untuk perumpaan yang lebih brengsek—saya lebih suka yang ini—adalah di detik-detik terakhir dimana kalian sudah merasa berdenyut dan akan semburat, tiba-tiba saja pacar gadis yang kalian tiduri membuka pintu dan langsung melampiaskan kekesalannya dengan mendorong kalian ke jendela hingga memecahkan kaca dan tahu-tahu kalian sudah berada di rumah sakit dikelilingi polisi dengan orgasme yang belum tuntas (sungguh sebuah perumpamaan yang bagus). Dan didasari ketidakpuasan itu, terbitlah ide—yang sesungguhnya saya ragu brilian atau tidak—untuk membikin buku. Ide ini tentu saja juga akibat pengaruh dari kakak-kakak tingkat, sebut saja Mas Hasan alias Simon yang sudah menerbitkan novel berjudul I’m Israel But I Love Falastine (sebuah epik perang Israel-Palestina yang mengharu-biru dan bisa didapatkan di penerbit indie NulisBuku atau bisa juga hubungi saya sebagai makelar kodok), dimana Mas Hasan mendorong saya untuk bikin buku juga demi mematahkan sarkasmenya bahwa ‘masak anak sastra tidak ada yang bikin buku,’ dan kemudian Mas Alan Maulana, yang saya ingat betul, di malam yang cerah itu menjemput dan kemudian mentraktir saya minum kopi dan sepiring nasi goreng untuk membahas rencana bikin buku.

Puji tuhan akhirnya ilham itu datang juga sekitar 52 jam setelah tahun baru, dimana saya merasa blog, zine dan webzine yang menampung karya saya sudah harus ditingkatkan lagi ke level yang lebih tinggi: level para penulis tentu saja, yakni mempunyai sebuah buku. Tapi saya yakin-seyakin-yakinnya bahwa penggelisah medioker macam saya belum punya kapasitas apapun untuk bikin buku—apalagi fiksi, dimana mungkin saya akan dicecar dan dicaci-maki banyak orang—dan untuk alasan itulah saya tanpa sengaja—dan ini mungkin murni dorongan impulsif—menghubungi Tri Nanang, berbicara tentang ide ini, dan akhirnya kami sepakat untuk membikin buku kumpulan cerpen.

Dan perjuangan kami—sebenarnya tidak berjuang-berjuang amat karena penulisan cerpen ini dilakukan di waktu luang saat kami sama-sama tidak sibuk dengan kegiatan di luar dan kuliah, juga oh ya jangan lupa, menunggu mood menulis saya yang sedikit manja dan tak bisa ditekan—ini menghasilkan kira-kira dua cerpen sampai saat ini. Dua cerpen! Luar biasa! Saya mengapresiasi diri saya sendiri meski cerpen yang saya bikin itu dicaci-maki Tri Nanang sebagai tai, sampah peradaban dan klise masa kini dimana adiknya saja juga bisa jika bikin yang murahan sendal jepit kayak begini. Sementara itu cerpen karya Tri Nanang sendiri juga membuat saya sebagai penikmat sekaligus pembaca awam harus berpikir panjang dan berpusing ria lagi karena filosofinya yang njelimet minta ampun dan kadang terlalu dalam sampai-sampai saya hampir meyakini bahwa patokannya dalam membuat cerpen adalah Zarathustra-nya Nietzsche, tetapi sudah kabur terlebih dulu karena ketidakmampuan pembaca menangkap etika dan estetikanya. Mungkin akan sedikit lebih bisa dicerna bila tidak terjebak pada gaya penulisan ala kitab suci.

Itu yang mungkin dinamakan proses. Sebuah proses awal dari pembuatan buku—yang membuat saya agak meragukan apa buku antologi cerpen kami bisa terbit—yang mungkin dengan proses ini bisa muncul karya yang tidak tai dan terlalu langit alias bagus dan berkesan bagi pembaca. Proses ini bisa saja panjang dan melelahkan. Tapi tidak mengapa. Pelan-pelan, dan sambil mengendapkan cerita atau konsep yang kita punya dengan Djarum Coklat, kopi pekat, dan pukul satu dini hari yang berujung curhat. Mungkin buku ini akan meluncur secepatnya, mungkin pula tidak. Mungkin akan menjadi buku seperti harapan kita semua—dalam konteks ini saya dan Tri dan bukan kalian karena saya ragu kalian punya harapan terhadap kami—ataukah tidak. Segalanya sudah tidak penting dan tidak terlalu kami pusingkan karena seperti yang saya rasakan, proses ini sungguh nikmat.

Mbah Nobeng dan amunisinya. Mencaci-maki cerpen sampai lubang dubur terdalam!
Dan pertanyaan yang sama akan saya ajukan lagi kepada kalian, mahasiswa sastra, penggemar fiksi, ataukah penulis partikelir Tumblr:

Sudikah kalian membikin buku sekarang?