Bukan fiksi yang mempertemukan kami. Saya dan Tri Nanang
lebih dulu disatukan saat pentas drama musikal di acara penutupan ospek
fakultas 2013 lalu. Kami tidak sekelompok dan hanya kenal beberapa hari untuk
kemudian bisa menggarap drama musikal bertema sosial politik yang saya ingat
betul, menggunakan lagu “Bongkar” sebagai backsound-nya. Tahun-tahun berlalu.
Tri Nanang masih menekuni dunia drama dan aktif di unit teater kampus. Kabar
terbaru adalah dia memenangi lomba penulisan naskah tingkat nasional. Sementara
saya, masih begini-begini saja: menulis ceracau di blog, terobsesi pada musik,
dan selalu ingin membuat zine sendiri. Kami sama-sama berasal dari dua dunia
yang berbeda—mungkin kalimat barusan amat klise, sampah dan norak sekali, lebay
dan sudah sepantasnya dihapuskan dari sistem perkalimatan di bumi ini. Tetapi
memang seperti itulah kami.
Awalnya kami yang seringkali berdiskusi di warung kopi tentang
teologi dan pertanyaan-pertanyaan apakah-tuhan-ada dan semacamnya hingga
akhirnya menghasilkan ide juga untuk mendokumentasikan karya—yang saking
sumpeknya di awal-awal bahkan sempat terbersit konsep kumpulan karya yang
‘mencaci tuhan’. Tak lama kemudian lahirlah zine fiksi perdana—dengan tambahan kontribusi
dari penyair Twitter Habib Syafaat alias Bob. Tetapi kami masih belum merasa
puas. Ada rasa yang belum tertuntaskan—rasanya seperti katakanlah mimpi basah
yang terpaksa harus terhenti karena alarm sialan yang diletakkan di pinggir
kasur buru-buru berbunyi. Atau untuk perumpaan yang lebih brengsek—saya lebih
suka yang ini—adalah di detik-detik terakhir dimana kalian sudah merasa
berdenyut dan akan semburat, tiba-tiba saja pacar gadis yang kalian tiduri
membuka pintu dan langsung melampiaskan kekesalannya dengan mendorong kalian ke
jendela hingga memecahkan kaca dan tahu-tahu kalian sudah berada di rumah sakit
dikelilingi polisi dengan orgasme yang belum tuntas (sungguh sebuah perumpamaan
yang bagus). Dan didasari ketidakpuasan itu, terbitlah ide—yang sesungguhnya
saya ragu brilian atau tidak—untuk membikin buku. Ide ini tentu saja juga akibat
pengaruh dari kakak-kakak tingkat, sebut saja Mas Hasan alias Simon yang sudah
menerbitkan novel berjudul I’m Israel But I Love Falastine (sebuah epik perang
Israel-Palestina yang mengharu-biru dan bisa didapatkan di penerbit indie
NulisBuku atau bisa juga hubungi saya sebagai makelar kodok), dimana Mas Hasan
mendorong saya untuk bikin buku juga demi mematahkan sarkasmenya bahwa ‘masak
anak sastra tidak ada yang bikin buku,’ dan kemudian Mas Alan Maulana, yang
saya ingat betul, di malam yang cerah itu menjemput dan kemudian mentraktir
saya minum kopi dan sepiring nasi goreng untuk membahas rencana bikin buku.
Puji tuhan akhirnya ilham itu datang juga sekitar 52 jam
setelah tahun baru, dimana saya merasa blog, zine dan webzine yang menampung
karya saya sudah harus ditingkatkan lagi ke level yang lebih tinggi: level para
penulis tentu saja, yakni mempunyai sebuah buku. Tapi saya yakin-seyakin-yakinnya
bahwa penggelisah medioker macam saya belum punya kapasitas apapun untuk bikin
buku—apalagi fiksi, dimana mungkin saya akan dicecar dan dicaci-maki banyak
orang—dan untuk alasan itulah saya tanpa sengaja—dan ini mungkin murni dorongan
impulsif—menghubungi Tri Nanang, berbicara tentang ide ini, dan akhirnya kami
sepakat untuk membikin buku kumpulan cerpen.
Dan perjuangan kami—sebenarnya tidak berjuang-berjuang
amat karena penulisan cerpen ini dilakukan di waktu luang saat kami sama-sama
tidak sibuk dengan kegiatan di luar dan kuliah, juga oh ya jangan lupa,
menunggu mood menulis saya yang sedikit manja dan tak bisa ditekan—ini
menghasilkan kira-kira dua cerpen sampai saat ini. Dua cerpen! Luar biasa! Saya
mengapresiasi diri saya sendiri meski cerpen yang saya bikin itu dicaci-maki
Tri Nanang sebagai tai, sampah peradaban dan klise masa kini dimana adiknya
saja juga bisa jika bikin yang murahan sendal jepit kayak begini. Sementara itu
cerpen karya Tri Nanang sendiri juga membuat saya sebagai penikmat sekaligus
pembaca awam harus berpikir panjang dan berpusing ria lagi karena filosofinya
yang njelimet minta ampun dan kadang terlalu dalam sampai-sampai saya hampir
meyakini bahwa patokannya dalam membuat cerpen adalah Zarathustra-nya
Nietzsche, tetapi sudah kabur terlebih dulu karena ketidakmampuan pembaca
menangkap etika dan estetikanya. Mungkin akan sedikit lebih bisa dicerna bila
tidak terjebak pada gaya penulisan ala kitab suci.
Itu yang mungkin dinamakan proses. Sebuah proses awal
dari pembuatan buku—yang membuat saya agak meragukan apa buku antologi cerpen
kami bisa terbit—yang mungkin dengan proses ini bisa muncul karya yang tidak
tai dan terlalu langit alias bagus dan berkesan bagi pembaca. Proses ini bisa
saja panjang dan melelahkan. Tapi tidak mengapa. Pelan-pelan, dan sambil
mengendapkan cerita atau konsep yang kita punya dengan Djarum Coklat, kopi
pekat, dan pukul satu dini hari yang berujung curhat. Mungkin buku ini akan
meluncur secepatnya, mungkin pula tidak. Mungkin akan menjadi buku seperti
harapan kita semua—dalam konteks ini saya dan Tri dan bukan kalian karena saya
ragu kalian punya harapan terhadap kami—ataukah tidak. Segalanya sudah tidak
penting dan tidak terlalu kami pusingkan karena seperti yang saya rasakan,
proses ini sungguh nikmat.
Mbah Nobeng dan amunisinya. Mencaci-maki cerpen sampai lubang dubur terdalam! |
Dan pertanyaan yang sama akan saya ajukan lagi kepada
kalian, mahasiswa sastra, penggemar fiksi, ataukah penulis partikelir Tumblr:
Sudikah kalian membikin buku sekarang?