Kita sering merasa
terasing tanpa tahu apa itu keterasingan; Marx menjelaskannya dengan agak
bertele-tele dan mungkin bagi saya yang berotak di bawah rata-rata ini cukup
membingungkan: manusia terasing dari dirinya sendiri, akibat dari sistem
kapitalis yang membuat manusia bekerja agar tidak kelaparan. Bla-bla-bla
selengkapnya bisa baca Manifesto--atau sekalian Das Kapital. Tapi kamu bisa
sedikit-sedikit belajar soal keterasingan dalam video klip baru Deathwords;
unit brutal stoner (begitu saya menyebutnya), berisi sobat-sobat SMA saya yang
sejak dulu jadi begundal. Kita digiring di situasi hitam putih: buram dan agak
sedikit menyeramkan. Kota Malang, tempat klip itu diambil, terasa seperti
Norwegia, atau kota di negara Eropa yang jadi tempat kelahiran Black Metal.
Padahal hanya menyorot sisi paling remeh dari Pasar Besar Malang, sampai daerah
Kayu Tangan. Keterasingan dalam klip bisa dilihat dari kusamnya Converse punya
Iqbal--si vokalis dengan geraman mematikan--lalu angan kita secara otomatis
memasuki situasi nihil. Bocah bahagia bermain ayunan tampak kelabu; mendung dan
melankoli. Jerit-jerit Iqbal yang ditampilkan berjalan di trotoar pertokoan
menunjukkan sisi muram kota. Busuk dan tidak indah. Bagaimana Iqbal menyiksa
pita suaranya diiringi berat knalpot distorsi Riki; membuat rasa tertohok dan
meradang dalam satu paket. Malang kota hujan, tampak ortodoks dan ragu. Denging
Tomi Iommi menekankan pengaruh Sabbath yang kuat. Klip mulai menggelinding
menyorot aspal keras, dan jalan yang mulai penuh dengan hal-hal yang
menggelisahkan. Meskipun sederhana, pikiranmu perlahan akan penuh deru. Seolah
ada asap dalam hisap Marlboro yang tertelan dan masuk ke otak. Linu dan pegal,
saya akui, tapi Deathwords sedang membangun nuansa. Split underground dengan
Band Singapura tampak perlu digembar-gembor sebagai hal yang luar biasa; hanya
saling berbagi keterasingan, kemuraman, kegelisahan--yang selalu ada di
gang-gang kotor penuh kecoak, asbak yang selalu pekat terisi, got penuh kadal
dan tikus coro: sudut suburb sebuah kota yang meskipun brengseknya minta ampun,
tetap nyaman untuk ditinggali. Terbiasa dengan keterasingan, lalu
sedikit-demi-sedikit mencicil kejenuhan dan lambat laun mencapai titik didih
keputus-asaan. Mengutip Nietzsche: aku bukan manusia, aku dinamit. Lamat-lamat
kita akan meledak sendiri. Meledek dan mengumpat pada hidup. Siaga pada
kesedihan yang bisa datang dalam hitungan menit. Segaring Indomie yang kita
makan mentah. Absurd, kosong, sekaligus renyah dan beracun. Mungkin
keterasingan tiada peduli situasi apapun: ia bersemayam dalam pikir bawah
sadar. Sistem pendingin dalam tubuh kita tidak berfungsi; seperti Malang yang
semakin penuh, sesak, dan tidak bisa dinginkan panas kotanya sendiri.
Deathwords menggambarkanya dalam klip berbudget rendah, tapi dengan kemasan
yang mengena.
Tulisan sebelumnya dimuat di Wayward Online Magz.
G4M3 = Onl1n3 = Fan5bett1nG = J01nt = y4 ^_^
ReplyDelete