Wednesday, May 16, 2018

Deathwords – Abandon The Truth: Jenuh dan Terasing Dalam Buram Hitam Putih


Kita sering merasa terasing tanpa tahu apa itu keterasingan; Marx menjelaskannya dengan agak bertele-tele dan mungkin bagi saya yang berotak di bawah rata-rata ini cukup membingungkan: manusia terasing dari dirinya sendiri, akibat dari sistem kapitalis yang membuat manusia bekerja agar tidak kelaparan. Bla-bla-bla selengkapnya bisa baca Manifesto--atau sekalian Das Kapital. Tapi kamu bisa sedikit-sedikit belajar soal keterasingan dalam video klip baru Deathwords; unit brutal stoner (begitu saya menyebutnya), berisi sobat-sobat SMA saya yang sejak dulu jadi begundal. Kita digiring di situasi hitam putih: buram dan agak sedikit menyeramkan. Kota Malang, tempat klip itu diambil, terasa seperti Norwegia, atau kota di negara Eropa yang jadi tempat kelahiran Black Metal. Padahal hanya menyorot sisi paling remeh dari Pasar Besar Malang, sampai daerah Kayu Tangan. Keterasingan dalam klip bisa dilihat dari kusamnya Converse punya Iqbal--si vokalis dengan geraman mematikan--lalu angan kita secara otomatis memasuki situasi nihil. Bocah bahagia bermain ayunan tampak kelabu; mendung dan melankoli. Jerit-jerit Iqbal yang ditampilkan berjalan di trotoar pertokoan menunjukkan sisi muram kota. Busuk dan tidak indah. Bagaimana Iqbal menyiksa pita suaranya diiringi berat knalpot distorsi Riki; membuat rasa tertohok dan meradang dalam satu paket. Malang kota hujan, tampak ortodoks dan ragu. Denging Tomi Iommi menekankan pengaruh Sabbath yang kuat. Klip mulai menggelinding menyorot aspal keras, dan jalan yang mulai penuh dengan hal-hal yang menggelisahkan. Meskipun sederhana, pikiranmu perlahan akan penuh deru. Seolah ada asap dalam hisap Marlboro yang tertelan dan masuk ke otak. Linu dan pegal, saya akui, tapi Deathwords sedang membangun nuansa. Split underground dengan Band Singapura tampak perlu digembar-gembor sebagai hal yang luar biasa; hanya saling berbagi keterasingan, kemuraman, kegelisahan--yang selalu ada di gang-gang kotor penuh kecoak, asbak yang selalu pekat terisi, got penuh kadal dan tikus coro: sudut suburb sebuah kota yang meskipun brengseknya minta ampun, tetap nyaman untuk ditinggali. Terbiasa dengan keterasingan, lalu sedikit-demi-sedikit mencicil kejenuhan dan lambat laun mencapai titik didih keputus-asaan. Mengutip Nietzsche: aku bukan manusia, aku dinamit. Lamat-lamat kita akan meledak sendiri. Meledek dan mengumpat pada hidup. Siaga pada kesedihan yang bisa datang dalam hitungan menit. Segaring Indomie yang kita makan mentah. Absurd, kosong, sekaligus renyah dan beracun. Mungkin keterasingan tiada peduli situasi apapun: ia bersemayam dalam pikir bawah sadar. Sistem pendingin dalam tubuh kita tidak berfungsi; seperti Malang yang semakin penuh, sesak, dan tidak bisa dinginkan panas kotanya sendiri. Deathwords menggambarkanya dalam klip berbudget rendah, tapi dengan kemasan yang mengena.

Tulisan sebelumnya dimuat di Wayward Online Magz.

1 comment: