Saturday, January 25, 2014

UKT: Untuk Kalangan Tertentu atau Untuk Kepentingan Tertentu


Untung membakar rokok lagi. Penat. Di hadapannya, berkumpul puluhan mahasiswa dengan raut muka yang sama: kombinasi lelah, marah dan gelisah. Hari ini memang hari yang berat. Pengumuman kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terjadi serentak di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Surabaya. Menyulut emosi. Korban berjatuhan. Ada mahasiswa yang menangis, mengancam akan bunuh diri, sampai ada yang mau jual diri. Semua karena UKT. Untung, sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FBS bertanggung jawab akan hal ini. Ia mengumpulkan hampir seluruh mahasiswa angkatan 2013 yang ada di kontaknya untuk berdialog bersama membahas UKT. Tapi nyatanya, dari sekian banyak yang diundang oleh Untung, tak sampai separuh yang hadir. Yang datang itupun hanya kurang lebih, curhat, marah-marah dan menyampaikan keluh kesah tanpa ada kejelasan aksi apa yang akan dilakukan menyikapi UKT yang menurut beberapa pihak tidak wajar ini. Solusi menggantung. Malamnya, Untung mengajak beberapa perwakilan per jurusan yang hadir tadi untuk membahas solusi di warung kopi. Seperti stiker yang menempel di notebook-nya yang bertulis “SOLUSIMU,” Untung menawarkan solusi untuk segera beraksi: demonstrasi. Segera saja tagar #UKTUNESA menyebar dengan cepat menanggapi UKT dan aksi ini. Twitter ramai, Facebook menggila. Halaman BEM FBS Unesa sesak oleh komentar curhatan para mahasiswa yang gerah akan kenaikan UKT. Sesekali ada yang marah, tak sedikit pula yang provokatif. Semuanya tampak bagus. Kritis. Inilah salah satu modal penting, tak hanya bagi aksi demonstrasi yang akan dilaksanakan lusa, tapi juga bagi mahasiswa. Solusi tercapai, Untung membakar bara rokoknya lagi. Lega.

Kamis yang suram. Setelah menjalani perkuliahan kurang lebih enam bulan dan melepas predikat Mahasiswa Baru, babak baru mulai terbuka. Beranjak ke semester dua, dan menerima pengumuman UKT untuk semester dua dan seterusnya. Ada yang tetap, ada yang turun tapi banyak juga yang naik. Kecuali mahasiswa Bidik Misi yang benar-benar kuliah gratis karena kurang mampu, seluruh mahasiswa panik dan deg-degan. Penentuan UKT ini akan mengubah segalanya. Masalah biaya memang selalu menjadi masalah klasik bagi perkuliahan. Dikhawatirkan, jika UKT mereka naik, mereka makin merepotkan orang tua, memberatkan keluarga dan akhirnya terancam cuti kuliah. Dan, yang dikhawatirkan pun terjadi. Beberapa mahasiswa merasa terjebak ketika membuka amplop coklat berisi surat penentuan yang datangnya langsung dari pusat (rektorat). “SUPERTRAP” dan “JEBAKAN BETMEN” istilah mereka. UKT mereka naik. Tak main-main, kenaikan UKT bagi beberapa mahasiswa ini di luar nalar. Penghasilan orang tua dan jumlah tanggungan keluarga dikesampingkan. Pun juga pekerjaan orang tua. Mahasiswa merasakan adanya ketidakadilan. Rasa-rasanya, UKT ini sangat rancu. Kenaikan UKT melebihi ambang batas pundak orang tua mereka terasa amat memberatkan. Banyak mahasiswa yang tak terima. Bom pun meledak. Berbagai aksi di FBS pun bermunculan. Segala upaya dan aksi ini akhirnya bermuara pada Senin pagi, di kampus Unesa Ketintang, Surabaya. Demonstrasi menolak hegemoni pihak kampus yang memerah UKT di luar kewajaran pun terjadi. #AKSIUKTUNESA2013 menjadi tagar baru di tengah aksi ini.

Menjadi sebuah polemik ketika ide secemerlang UKT ternoda oleh ketidaktepatan verifikasi pihak Rektorat yang menaikkan UKT seenak udelnya tanpa memperhatikan banyak faktor. UKT, yang awalnya bertujuan sebagai subsidi silang, dimana mahasiswa yang mampu membayar mahal, dan mahasiswa kurang mampu boleh membayar murah untuk kemudian ditutup oleh sumbangsih dari sekelompok mahasiswa mampu ini kemudian menjadi tidak adil. Banyak kejadian salah sasaran yang terjadi seperti mahasiswa yang kurang mampu membayar mahal, sebaliknya mahasiswa yang mampu malah membayar murah. Rencana di beberapa rapat perwakilan jurusan yang mengusulkan adanya tim khusus dari kalangan mahasiswa sendiri untuk bersama-sama tim dari pusat dalam melakukan verifikasi ulang UKT pun muncul. Ide ini menyeruak karena perwakilan jurusan merasa pihak kampus melakukan kesalahan yang amat fatal, entah disengaja atau tidak, dengan menaikkan UKT fantastis di luar batas kewajaran. Di samping itu, kuota Bidik Misi juga dirasa terlalu banyak dan ada yang salah sasaran–“Salah Bidik” istilahnya–Perkuliahan pun menjadi tak nyaman. Muncul wacana miring dari mahasiswa yang merasa keberatan karena UKT mereka mahal kepada mahasiswa Bidik Misi yang memang digratiskan. Mulai muncul pertanyaan: apakah UKT, hanya “Untuk Kalangan Tertentu,” atau bahkan “Untuk Kepentingan Tertentu?”

Agaknya kita perlu bertanya tentang kenaikan UKT ini secara lebih mendalam. Penentuan kenaikan UKT yang hanya “Untuk Kalangan Tertentu,” ini menjadi pertanyaan selanjutnya. Atas dasar apa kenaikan UKT itu? Apakah faktor penghasilan dan jumlah tanggungan menjadi penentu? Jika begitu, mengapa UKT terasa begitu berat dan di luar nalar? Mengapa pula muncul perbedaan UKT antara mahasiswa satu dengan lainnya yang bahkan orang tua dan tanggunganya berpenghasilan sama? Ada apa? Apakah ada faktor “Untuk Kepentingan Tertentu,” dalam penentuan UKT itu? Dimana transparansi dana yang seharusnya dicantumkan saat penentuan UKT? Apakah hanya mereka-reka? Apakah pertimbangan telak dalam penentuanya? Atau, hanya setinggi-tingginya menumpuk dana yang entah untuk apa tujuanya? Semua tak tahu. Semuanya mungkin akan terjawab oleh waktu. Tapi, mahasiswa berhak bertanya, mahasiswa berhak mengkritisi, mahasiswa pula yang berhak MENGUBAH.
Dampak kenaikan UKT ini juga patut untuk dibahas. Ini bukan saja karena faktor uang yang mungkin membuat beberapa mahasiswa terancam putus kuliah, tapi juga faktor dinamika kampus yang mungkin pada akhirnya, didominasi mahasiswa yang kurang kritis karena mereka seperti disokong, seperti disetir oleh pihak kampus dengan agenda Bidik Misi dan Beasiswa. Selain itu, para mahasiswa yang benar-benar kritis bisa saja terpaksa putus kuliah hanya karena tak mampu membayar karena UKT terlalu tinggi. Akibatnya, mahasiswa yang tersisa menjadi takut untuk bersikap vokal karena khawatir bidikmisi ataupun beasiswanya dicabut. Mahasiswa menjadi apatis, enggan menyuarakan suara hati dan kebenaran karena sungkan biaya kuliah mereka ditanggung pihak kampus. Mahasiswa tak lagi kritis karena menurut mereka tugas mahasiswa hanyalah duduk di bangku kuliah dan menjadi sarjana. Mereka sepertinya lupa, bahwa dari dulu pun, tugas mahasiswa adalah sebagai pendobrak, sebagai penggerak, yang bahkan sejarah Indonesia pun sudah meletakkan mahasiswa sebagai faktor kunci akan berbagai pergerakan. Robohnya rezim Orde Lama dengan Soekarno yang berkuasa dan juga hancurnya Orde Baru dengan Soeharto yang mendikte dengan tangan besinya adalah beberapa hal yang terjadi akibat pergerakan mahasiswa.

Fakta bahwa masih ada ketakutan atau mungkin keapatisan mahasiswa untuk bersikap kritis ini memang ada dan benar-benar terjadi. Tak banyak memang, tapi bila tak segera diluruskan, hal ini bisa menjadi benalu yang merongrong kekuatan utama mahasiswa FBS itu sendiri. Sekedar pengalaman pribadi penulis, bahwa dari sekian banyak mahasiswa yang dimohon bantuannya untuk ikut serta dalam aksi penurunan UKT, hanya mahasiswa berkepentingan-lah yang langsung bersiap siaga di barisan. Sedangkan, dari golongan lain merasa takut, merasa sungkan, merasa tidak perlu mengadakan aksi karena khawatir sokongan biaya dari kampus menjadi macet.

Pernyataan senada juga pernah dinyatakan oleh Untung saat rapat awal pembahasan aksi UKT ini: “Saya ini mahasiswa Bidikmisi, dapat Beasiswa juga, tapi buktinya saya tetap ikut aksi kalian. Saya tak takut kan.” Ujar Untung sambil sedikit tertawa. Tindak tanduk Untung selama ini mungkin juga bisa menjadi refleksi. Pria ini tak pernah sedikitpun takut untuk bersuara, takut untuk melawan, takut untuk kritis, takut untuk mengaspirasikan kebenaran. Untung tetap teguh pada pendirian meskipun ia juga mahasiswa Bidikmisi, penerima beasiswa. “Kita ini mahasiswa. Asalkan kita benar, jangan takut pada apapun. Pihak kampus takkan semudah itu mencoreng kita dari daftar Bidikmisi hanya karena kita kritis. Semuanya tentu harus melalui prosedur terlebih dahulu.” Kata Untung. Ini juga berlaku bagi mahasiswa yang takut dikeluarkan karena bersikap frontal dan kritis: “Kita nggak akan dikeluarkan dari kampus hanya karena hal-hal itu, nggak akan. Pihak kampus tak semudah itu mengeluarkan mahasiswa, ada hal-hal tertentu yang mesti diperhatikan.” Tambah Untung.

Akhirnya, sekitar Senin siang, #AKSIUKTUNESA2013 yang sedari tadi memadati Kampus Ketintang untuk berteriak menyuarakan aspirasi kembali ke kampus Lidah Wetan. Iring-iringan ini sedikit lega karena telah menyuarakan aspirasinya. Tapi sepertinya, aksi UKT ini masih belum bisa menjawab misteri yang kebetulan cocok menjadi kepanjangan UKT ini: UKT? “Untuk Kalangan Tertentu?” atau “Untuk Kepentingan Tertentu?”

*Ditulis untuk SESASI FBS Unesa.

1 comment: