Tak ada teori yang mampu menjelaskan musik Deadsquad; kecuali teori
kebrutalan, berdesak-desakan, rapat dan kereta api yang melaju amat kencang
dengan rel penuh kerikil. Bising. Horror
Vision, mahakarya mereka di tahun 2008 adalah pembuktianya. Menjurumuskan
pendengar ke arah kualitas death metal tingkat internasional dengan lirik
berlapis sarkastis-filosofis, mengujam tanpa ampun ke dasar lubang pendengaran
dan eksplorasi mati-matian hingga ada sedikit instrumentalia jazzy di belantara kelamnya musik mereka
(“Dominasi Belati,” “Manufaktur Replika Baptis”). Kini, sangkakala kembali
berbunyi, para awak pasukan mati kembali menggali lubang pusara hingga ke dasar
neraka; Profanatik. Tak kalah seru
dibanding Horror Vision yang dapat
menghancurkan sound sytem radio mobil, Profanatik
sungguh lebih dari mampu untuk menghancurkan mobilnya seketika. Pameran skill
klasik dari duo gitaris Deadsquad, yang hebatnya juga gitaris mainstream
Indonesia: Stevie Morley Item (Andra & The Backbone) dan Coki Bollemeyer
(Netral), mengalun lembut saat album mulai berputar. Mengiring pemakaman yang
suram diiringi orchestra yang menyayat, “Ode Kekekalan Pusara,” membuka album
dengan kesedihan pelepasan jenazah di pusara yang berujung pada adanya siksa
kubur diiringi gerauan maut sang pencabut nyawa bernama Daniel Madhany. Sistem
rekaman analog yang dipakai di album ini–walaupun sulit dan harus mengulang
take jika salah; tak seperti digital–terasa
memuaskan telinga hingga beberapa kali terjadi eargasm bahkan walau masih track pertama. Percikan api-api liang
kubur yang sadis dimuntahkan oleh Andyan Gorust yang mengunyah ketukan-ketukan hyperblast, grinding dan juga siksaan terhadap double pedal yang amat rapat, bersama dengan Bonny Sidharta yang
mencabik bass seperti menggali kubur dengan tangan. Liar. Adanya orchestra di
lagu ini, seperti menjadi pembuktian bahwa death
metal bisa juga terdengar megah, gagah sekaligus gelap. Tensi musik tak
sedikitpun diturunkan, “Anatomi Dosa,” track selanjutnya, seperti membedah
atom, neutron dan proton dari “dosa” dengan gerinda musik yang maksimal,
berlanjut dengan makian gerauan tanpa ampun di “Natural Born Nocturnal,” lagu
menarik dengan eksplorasi yang sungguh epik dan dramatis. Melody gitar dan
ketukan drum di tengah lagu tiba-tiba saja berubah menjadi amat jazzy. Membius. Sungguh momen yang
menyegarkan. Perubahan progresi yang sempurna terjadi di “Merakit Sakit” yang
meracau dengan kecepatan roller coaster menuruni rel-rel berlumuran oli.
Terlampau cepat namun menyenangkan; pertunjukan akrobatik Stevie dan Coki
adalah hiburanya. “Patriot Moral Prematur,” single yang tak asing lagi karena
beredar sebelum album ini meluncur dan menjadi video klip kedua Deadsquad
setelah “Manufaktur Replika Baptis.” Kaum fasis sayap kanan; ormas-ormas sok
patriot yang sesungguhnya hanyalah kempulan barbar seperti ditampar dengan
telak saat Daniel menyenandungkan “Lawan!
Kita adalah lawan!” Lagu ini menambah daftar playlist anti fasis dari
beberapa band yang sudah muak akan kicau ormas sok suci. Ganas. “Altar
Eksistensi Profan” sepertinya adalah lanjutan dari “Patriot Moral Prematur,”
yang mungkin mengindikasikan pemilihan judul Profanatik; bahwa para fanatik, para fasis, atas nama apapun tak
jauh beda dengan profan. Selanjutnya, “Misantropis” dan “Jurnal Gagak,” yang
masih kental ciri khas Deadsquad: brutal, cepat, rapat, menghantam. Ciri yang
membuat Jimi Hendrix bangkit lagi dari pusaranya lewat salah satu lagu klasik legendarisnya
“Fire,” lagu terakhir di album ini, yang tak disangka dapat menjadi kejam dan
berhawa jahat saat di cover dengan cabikan-gerauan maut ala Deadsquad. Secara
keseluruhan, Profanatik membuktikan
bahwa Deadsquad masih yang terdepan di kancah peradaban death metal nusantara,
walaupun cover albumnya terasa kurang sesuai dengan lagu-lagunya yang mewah dan
berkelas; mirip design sablon kaos-kaos metal ketat murah yang dipajang di
depan pasar-pasar buah.
*Pernah dimuat di Ronascent dengan penyuntingan seperlunya.
No comments:
Post a Comment