Hidup di Surabaya dengan ritme
kejamnya membuat saya terkadang rentan emosi. Panik berkepanjangan, gugup,
gelisah, paranoid dan gejala jiwa lainnya. Apalagi kerjaan yang menumpuk,
deadline yang memuakkan dan tugas kuliah yang seperti tak pernah berhenti. Ini
adalah tahun yang mengesalkan. Kuliah sudah sampai puncaknya dan itu berarti
beban tugas juga makin di luar nalar. Begitu pula pekerjaan yang
sesantai-santainya tetap menyisakan banyak kebuntuan dan ceceran deadline.
Amit-amit bisa vakansi, selonjoran dengan tenang saja susahnya minta ampun.
Tapi saya tidak pernah terlalu khawatir. Pemutar musik selalu menjadi
jawabannya. Membuat saya bisa lupa ocehan dosen, tekanan editor, dan hal-hal
lain yang melelahkan. Di kondisi malam hari saat suntuk sudah di ambang batas,
tidak ada salahnya meninggikan volume sound system, menyalakan album-album
terbaik yang rilis di 2015 ini, sembari makin mempercayai satu hal: bahwa
ternyata musiklah yang membuat semua orang bisa bertahan di dunia yang semakin
riuh—sekaligus menikmati perihnya.
Sigmun – Crimson Eyes
Orange Cliff Record, 2015
Mengenal band ini sejak pertama kemunculannya di 2011. Kuartet asal
Bandung ini telah merilis sebuah Demo berisi empat lagu—sebagai teman malam
kelam saya yang penuh kegalauan. Tak lama mereka merilis Cerebro, batu meteorit
dari cincin Saturnus dalam wujud piringan hitam. Kental pengaruh stoner yang
berat: merokok dengan asapnya yang ditelan semua. Nyegrak. Seperti Marlboro
merah. Tapi yang terbaik mereka luncurkan tahun ini. Debut Crimson Eyes adalah
Led Zeppelin dengan hawa Black Sabbath, ataukah kegelapan Ozzy Ousborne
dipadukan kegilaan Pink Floyd. Surealisme era Syd Barret, Jimmy Page, atau
apapun itu patokan mereka. Sigmun tetaplah Sigmun yang dingin, mencekam,
sekaligus transenden. Persetan dengan metal, inilah blues, tapi blues yang
stoner, stoner yang heavy, ah apalah itu. Tapi memang ini adalah musik yang
berhubungan langsung dengan kejiwaan, seperti halnya asal-usul nama mereka:
Sigmund Freud.
Stars & Rabbit –
Constellation
Green Island Music, 2015
Berhentilah mendengar Ungu. Sudahlah. Band norak. Atau kalian merasa
selera musik kalian bagus hanya karena hapal lirik Isyana Sarasvati. Ataukah
lagu-lagu noir lawas milik Nike Ardila. Berhentilah jadi kurator musik kampung
yang gemar nyetel lagu keras-keras via gawai. Ataukah hanya berharap pujian
dari suara berisik yang kalian banggakan. Cuih. Jika kalian tidak kenal band
ini maka itu berarti dua atau tiga tahun lagi selera musik kalian masih sama
buruknya. Stars and Rabbit adalah keajaiban yang benar-benar nyata di alam
raya. Bagaimana bagusnya vokal Elda, menghubungkan kalian langsung ke pusat
alam semesta (“You Were The Universe”), ataukah ternyata musik pop folk tidak
melulu palsu dan generik (“Man Upon The Hill”) yang membuat kebiasaan menuang
teh panas di sore hari menjadi sebuah perjalanan dengan bintang dan bulan dalam
genggaman. Constellation adalah salah satu yang terbaik tahun ini. Saya tidak
suka Raisa.
Silampukau – Dosa, Kota, & Kenangan
Moso’iki Records, 2015
Berkuliah di Surabaya bisa berarti menjalani ritme kotanya yang cepat.
Lalu-lalang. Bus kota. Angkot seenaknya. Suara-suara mesin dan umpatan. Tetapi
bagaimana bila semuanya tersebut dinyanyikan dengan jujur, hanya dengan gitar
bolong dan sedikit bebunyian ekletik? Tanyakan pada Silampukau dan kalian
seharusnya sudah mendengarkan album penuhnya. Bahkan Felix Dass-pun
terus-terusan memuji mereka: Kharis Junandharu dan Eki Trisnowening, sebagai
penggerak baru skena Surabaya yang telah lama pingsan. Kita akan diajak menuju
Dolly, menenggak bergelas-gelas bir dalam kafir, ataukah menuju kemacetan Ahmad
Yani yang beringas di 17.15. Atau bagaimana kegilsahan arek-arek indie yang
takut norak seperti Ahmad Dhani. Mereka seperti melucu, tapi humor tidak
segetir ini. Dan lagipula bila hidup memang keras, apa salahnya menjual
miras?—sekali lagi hanya Silampukau-lah yang dapat menyanyikan semua itu dalam
sebentuk Dosa, Kota, dan Kenangan.
*Dimuat juga di IMAJI MAGZ first issues (ever)
tentang IMAJI MAGZ:
sebenarya ini majalah yang disuruh bikin buat tugas jurnalistik. ribet, anak-anak dari awal sudah sepakat untuk menyewa jasa layouter dari anak design grafis, tiba-tiba saja dibatalkan karena harga jasa yang rada mahal. saya sih setuju-setuju saja, memang jasa layouter itu sulit, jadinya wajar sih rada mahal. tapi anak-anak sudah sepakat akan bikin layout sendiri--saya sih oke-oke saja. ternyata malamnya saya dihubungi bahwa mereka tidak bisa bikin layoutnya, sulit katanya. saya jadi bingung. sudah membatalkan menyewa jasa anak design pula. akhirnya dengan tekad dan nekat, saya bilang ke anak-anak akan menghandle seluruh layout majalah sendirian. dua malam tidak tidur, dan butuh bergelas-gelas minuman berenergi, jadilah majalah IMAJI dan mendapat nilai A-. Cover dan beberapa bagian ditambahi oleh anak-anak, dan ini adalah proyek kedua saya sebagai pemimpin redaksi--setelah proyek surabaya footnote magazine diundur perilisannya (yang entah saya masih dicantumkan sebagai pemred atau tidak karena sibuk sekali dan tidak sempat kongkow bersama tim subfootnote). Mungkin IMAJI akan saya jadikan file pdf. dan bisa kalian unduhbebas disini.
No comments:
Post a Comment