Wednesday, June 15, 2016

Apa-Apa Yang Saya Konsumsi Akhir-Akhir Ini, Dan Bagaimana Itu Bisa Membuat Saya Sedikit Tersenyum Lega Sambil Bergumam Bahwa Hidup Tak Melulu Berisi Hal Buruk


Rolling Stone ‘40 Tahun Ramones + Lists 40 Album Punk Terbaik Sepanjang Masa’
Setelah edisi-edisi sebelumnya tidak cukup menarik untuk dibeli, Rolling Stone Indonesia akhirnya membuat saya membeli majalahnya lagi. Cover yang greget, lebih greget dari Isyana Sarasvati sebagai cover bulan lalu (walaupun saya akui foto Isyana paling cakep ada di cover RSI). Rolling Stone seperti menghormati Ramones dengan menampilkan ilustrasi cover Ramones karya John Varvatos tanpa diubah sedikitpun, berbeda dengan tradisi Rolling Stone yang selalu memproduksi cover ekslusif nan artistik. Tapi toh inilah semangat punk itu: orisinal dan tidak perlu banyak polesan. Cukup taruh logo Ramones berisi Joey, Johnny, Dee Dee, dan Tommy, dengan ornamen khas dan hanya nuansa hitam putih, jadilah cover ini membuat Rolling Stone berbahaya lagi. Isu yang diangkat adalah 40 tahun Ramones, berisi feature panjang tentang bagaimana Ramones, band yang akhirnya diakui Rolling Stone sebagai band punk pertama dan paling berpengaruh – dan bukannya Sex Pistols – menjalani hari-hari mereka sebagai band: di panggung dan di dunia nyata. Lists 40 album punk terbaik juga disabet Ramones dengan The Ramones sebagai urutan pertama, dan jika kalian menebak Nevermind The Bollock’s sebagai urutan dua, sama seperti saya, anda salah besar karena Sex Pistols berada di urutan ketiga. Urutan keduanya mungkin sudah tidak asing lagi tapi saya persilahkan kalian membaca sendiri. Satu album Green Day Dookie, muncul di urutan yang saya lupa, beberapa nomor setelah Nevermind dari Nirvana. Muncul di urutan hampir terakhir, Blink 182 dengan Enema Of The State. Menjadi punk memang sebegitu asyiknya.


National Geographic Indonesia ‘Ganja Apa Benar Bermanfaat?’
Uang lebih dan usil mengambilnya dari rak toko buku. Mencerahkan dan berhasil. Seperti yang kita duga, ganja ternyata punya banyak manfaat medis dan apabila dimanfaatkan secara benar, bukan hanya giting yang didapat tapi juga terapi kesehatan. Saya lupa di edisi berapa Natgeo berhasil membodohi saya untuk membeli isunya (kalau tidak salah tentang kebohongan pendaratan Neil Armstrong), saya pikir Natgeo menulis artikel tentang kebohongan itu, ternyata malah membantah. Saya pikir edisi ganja ini juga sama, bakalan membantah khasiat ganja, ternyata tidak. Saya jadi berkesimpulan bahwa Natgeo yang bagus adalah yang memancing rasa penasaran. Dengan cover yang bertanya-tanya: benar-atau-salah, iya-atau-tidak. Dan kita akan menerima mentah-mentah apa yang dikatakannya. Natgeo sudah tidak perlu diragukan lagi sebagai referensi ilmiah terpercaya.

Deafheaven – ‘Sunbather’ (Album)
Black metal lucu yang saya dengar bertahun silam adalah Hellgods dengan Kabut Keabadian (masuk kompilasi Metalik Klinik I tahun 1999), setelah itu tidak ada lagi. Nyaris saya tidak punya keterkaitan dengan genre ini, dibandingkan dengan hardcore, grindcore atau deathmetal dimana saya sudah cukup akrab semenjak jaman sekolah. Saya pikir black metal adalah musik yang cukup epik, berkecepatan satu hempasan cangkul ke kepala, lirik beraroma anyir darah kelelawar, filosofi main band penyembah syaithon, Anton Lavey, The Satanic Verse, dhemit, genderuwo, menjual jiwa pada iblis, Ghost Rider, dan bayangan-bayangan kelam lainnya. Tapi ini seperti didekonstruksi saat saya mendengarkan band super cult bernama Bvrtan dengan albumnya Pemuja Sawah Tebu. Kalian akan terpingkal sampai dasar sumur tatkala mendengar lagu dengan judul macam Ritual Menanam Singkong di Kebun Kegelapan, Cangkul Pusaka Dari Pak Kades, dan bukan karena iramanya yang seperti Teamlo, tapi ya memang lucu saja karena membahas sawah tebu dari perspektif yang ultra gelap, lebih gelap dari cerita-cerita pembantaian PKI di sawak tebu. Citra black metal yang ‘negatif’ tersebut nyatanya bisa berubah tatkala mendengarkan Deafheaven. Sebelumnya album metal yang terakhir saya dengar dengan intens adalah Profanatik dari Deadsquad, jujur saja, setelah itu vakum dan tidak intens mendengarkan metal lagi. Kadang memang masih berburu dan mendapat kiriman album dari band-band metal yang katanya bagus, tapi selalu saja, bosan. Begitu-begitu terus. Sampai akhirnya Deafheaven lewat Sunbather memberi saya harapan baru untuk mendengar metal. Perpaduan antara blackmetal, shoegaze dan post-rock, dimana saya kebetulan sedang mendalami dua musik terakhir, membuat blackmetal dari Deafheaven mudah diterima dan dicerna. Hebatnya lagi stigma miring tentang blackmetal hilang seketika. Blackmetal nyatanya cukup keren, apalagi vokalis Deafheaven begitu total dalam bersuara seperti iblis, dalam, menyayat dan mencekam. Gayanya juga tidak norak: pakai jubah hitam-hitam dan make up bak lucifer. Cukup biasa saja, kemeja, atau kaus dan fantofel. Dengan rambut yang tidak tipikal blackmetal yang gondrong menjuntai kuntilanak, tetapi biasa saja, pendek rapi. Apalagi dengan cover album yang berwarna pink, hhm. Saya pikir band ini akan terdengar seperti band so called hardcore yang sok-sok-an mengawinkan musiknya dengan pop, atau EDM, atau RnB dan jadinya malah lagu emo tai yang merusak telinga. Track pertama Dream House adalah kebrutalan yang bisa dibilang manis, saya menemukan kembali kenikmatan mendengar metal. Ada rasa-rasa beautiful chaos pada musiknya, membuat saya terpukau dan sanggup headbang dengan mata terpejam, sambil merasakan emosi kesedihan yang dipancarkan. Jika terlalu menghayati mungkin bisa saja sampai menitikkan air mata, walaupun ini blackmetal sekalipun. Track lainnya sila dengar sendiri. Rekomendasinya Irrestible, yang bisa dibilang warming up dan cukup kontemplatif, dan Sunbather (lagu) yang masih bagus sekali sebagai teman saat sendirian di kamar (saya merindukan variasi gitar semacam ini seperti di album BMTH saat masih diisi Jona Weinhofen). Rekomendasi lain yang penting dan fardhu ‘ain adalah Dream House yang direkam live di entah apa lupa namanya, dimana di video hitam putih tersebut terlihat seorang fans berat yang sepertinya seorang geek atau gamer, memakai kaca mata, dan bukan tipikal anak metal, tetapi bisa amat sangat menikmati Dream House seolah seperti kerasukan saat headbang sambil merapal lirik. Video lain yang dapat disaksikan di YouTube adalah Deafheaven yang bermain fullset di Pitchfork Musik Festival 2015 lalu. Versi live yang tak kalah hebat dengan album, termasuk suara vokal yang lebih kentara dan menggetarkan ulu hati.

Yusi Avianto Pareanom ‘Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi’
Fuck! Adakalanya kita muak terhadap novel-novel rekomendasi, yang justru setelah dibaca malah terlalu berat dan kita tidak paham cara untuk menikmatinya. Novel-novel bagus kebanyakan keluar dari jalur pemikiran orang-orang dengan patokan bahwa bagus itu harus begini-begitu. Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 dan Dia Adalah Dilanku Tahun 1991 (biasa disingkat Dilan 1 dan Dilan 2), adalah salah satu buku yang tidak memenuhi prasarat mahasiswa (atau dosen juga?) yang berkata bahwa karya sastra itu harus ‘sastra’, berat, feminis, antropologis, atau apalah itu, semuanya serba dikotak-kotakkan. Saya tidak memungkiri bahwa seluruh novel yang disuruh baca oleh dosen saya masih kalah jauh dibanding Dilan, entah karena masalah selera, saya yang bodoh, saya yang tidak nyastra, terserah. Intinya buku ini bagus luar dalam. Itu tahun lalu, dan tahun ini juga sama. Mungkin semuanya menggembor-gemborkan O karya Eka Kurniawan, yang jujur entah mengapa saya tidak tertarik membeli bukunya (atau belum tertarik), meski beberapa bukunya sudah go international. Pada saatnya saya akan baca, tapi untuk saat ini saya lebih suka membaca Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom. Novel nir pesan moral dan seperti mengobrak-abrik legenda yang sudah mapan ini tidak seberat yang kalian kira. Tapi juga tidak remeh-temeh. Intinya bisa dinikmati oleh kelas cupu macam saya. Banyak punch-line yang menyentil (seperti anjing menyantap tahi teman anjingnya atau hukuman mati yang unik dimana pesakitan dilempar telur sampai mampus), dan bahasanya yang tidak terlalu sopan seperti buku so called dongeng pada umumnya membuat buku ini amat sangat menarik. Bahwa mengumpat dalam novel ini adalah budaya juga (anjing, kutu busuk, tapir buntung, melegakan sekali untuk diucapkan). Novel yang sepertinya juga menggabungkan deskripsi ala penulisan food writer sehingga daging sapi, yang digambarkan dalam novel ini, bisa begitu membuat kalian tergiur dan ingin segera memesan tengkleng. Atau babi guling masakan keahlian si Loki Tua, yang dari awal hingga akhir cerita, selalu membuat penasaran seperti apa rasanya.

Seandainya Saya Wartawan Tempo
Mungkin saya tidak terlalu jago dalam menulis, hingga akhirnya butuh buku teknik menulis. Beberapa ebook dari AS Laksana kiriman Mas Faris JMC (jmcnation.blogspot.com) sudah saya baca seluruhnya (syuwun mas!). Dan sudah banyak bermanfaat mengubah mindset atau pandangan saya mengenai menulis, dalam hal ini karena AS Laksana sendiri sepertinya berkecimpung di dunia hypnotherapy. Juga teknik-teknik ringan yang bisa digunakan untuk pacu ide. Seandainya Saya Wartawan Tempo sendiri merupakan buku terbitan lama, dan tidak jauh beda dengan ebook AS Laksana, sama-sama teknis. Hanya saja AS Laksana untuk fiksi, sedangkan Tempo untuk nonfiksi. AS Laksana bicara mental dan mindset, Tempo lebih pada teknik menulis feature agar menarik. Cukup menarik membaca keduanya, dan kemudian menggabungkan ilmunya jika memungkinkan. Itu mungkin bisa diterapkan pada tulisan saya yang kebanyakan nonfiksi, sekaligus proyek buku fiksi saya.

#NARASI: Antologi Prosa Jurnalisme
#NARASI adalah proyek Pindai.org yang mengumpulkan karya-karya prosa jurnalisme dari beberapa penulis jempolan. Beberapa nama yang saya tahu seperti Yusi Avianto Pareanom, Raka Ibrahim, Nody Arizona dan Puthut EA juga turut menyumbang naskah prosa jurnalisme. Sebenarnya ini bukan genre baru dalam kepenulisan nonfiksi: karya jurnalistik dengan unsur sastra di dalamnya. Penjelasan simpelnya adalah kita membaca sebuah cerpen atau novellette, tetapi kisah di dalamnya benar-benar terjadi tanpa tambahan bumbu penyedap apapun, real, tidak dibuat-buat dan tidak ngarang. Antologi macam begini sebelumnya pernah dibuat oleh Pantau berjudul Jurnalisme Sastrawi, dimana jurnalis kenamaan seperti Andreas Harsono – yang juga berkontribusi dalam #NARASI – mengajak penulis-penulis nonfiksi untuk mengembangkan genre ini. Di kampus, gaya tulisan macam begini masih belum banyak orang yang tahu. Dua dosen yang saya tanyai tentang genre ini masih kebingungan: apakah ada? Memang jurnalistik dan sastra seperti saling bertolak belakang karena satu nonfiksi sementara satunya fiksi. Tetapi jika dipadukan akan menghasilkan tulisan bagus dengan panjang kira-kira sampai 15.000 kata. Tulisan terpanjang saya tidak pernah sampai puluhan ribu karakter; mentok 5000 itu juga sudah syukur-syukur. Bagi kalian yang tertarik dengan genre ini mungkin kita bisa berdiskusi.

No comments:

Post a Comment