Wednesday, July 19, 2017

Rexa Delfi Asmaradini (1995-2017)

Yang aku tahu, only good die young, hanya yang terbaik yang mati muda. Kamu Rex—atau entah, tiada cara lain lagi untuk memanggil namamu walau ‘x’ di akhir sungguh melelahkan—sudah berada di dunia yang benar-benar berbeda. Entah di mana, ada ataupun tidak kehidupan sesudah kamu pergi, aku tidak jadikannya masalah. Satu yang aku yakini, kamu bahagia: lepas, bebas, damai dan tenang.

Kamu adalah butir peluru—aku hampir haru saat menuliskan ini—yang menunjukkan pada semua orang, termasuk sekeras batu seperti aku, bahwa sejatinya kelemahlembutan adalah kekuatan. ‘Ayok!’ katamu. Aku ingat. Saat kamu kuajak setengah bercanda setengah kurangajar dan setengah gila, untuk menemui seseorang di kelas paling ujung sana. Sering seperti itu, hanya saja jarang berhasil dan kita hanya berputar-putar, atau kamu mengawasi dari jauh, atau kamu yang akhirnya bertemu, atau aku sendiri—seringkali dan pada akhirnya—lalu aku harus mengakui: sejujurnya nyaliku ada saat kamu bersedia mengantarkannya.

Tidak ada memori yang lazim, Rex. Kita sudah bersama sejak suaramu sepelan pus meong pada pagi yang dingin dan mendung; nyaris tidak terdengar dan aku seperti tidak mendengar ada diafragma dalam tenggorokanmu. Tapi, kamu akan ingat, jelaslah. Bu Nik—ibu negara, begawan dan mahaguru kita—yang membimbing kita semua, pun aku saat dikutuk menjadi pesajak tolol, dan kamu—pendiam yang kemudian menjadi orator paling brillian dari kita semua, dua puluh sembilan cecunguk bahasa—berhasil mengubah kodrat, menyaringkan suara yang nyaris tak terpekikkan itu, membuat kita semua berpikir bahwasanya kebiasaan adalah jalan paling mudah untuk berubah. Kamu peluru, Rex. Diam dan senyap. Tapi saat revolver itu terisi, pelatuk ditarik; kamu melesat jauh. Ganas. Tanpa peredam dan terus memekik. Bunyi tembakan itu masih terdengar Rex, kamu tahu. Dan aku—kita semua, bahkan Bu Nik pun—masih akan terus bertepuk tangan dan memperingatinya.

Tidak ada memori yang lazim, Rex. Hanya desing-desing peluru suaramu yang luruh. Waktu seperti menonton pentas drama; tepuk tangan lalu usai, dan kita berdiri kemudian kembali pada tempat masing-masing. Aku yang bertepuk tangan paling lama. Pada renyahmu saat kepalaku terkantuk dalam kelas dingin dan beku, atau aku tahu kita pernah jadi teman sebangku dalam sistem acak seminggu. Pada musim di mana kawan dan lawan hanya dipisah napas yang tak tampak. Pada aroma-aroma fitnah masa lampau yang hadir menghardik kursi-kursi tempat bercumbu di ujung-ujung kelas. Pada anyir darah lelah dari kumpulan dalam sarafku yang tidak terkontrol dan menghantam neraka aspal. Pada Matematika, Bahasa Prancis, atau batu-batu Candi, atau batik Hari Kartini, atau memori mungil—semungil tubuhmu—yang kupercaya telah melesap dalam denyut nadi teman-teman kita; kujuluki serigala tanpa bulu domba; wolfpack yang seiring meski kadang hampir bunuh; kamu ada di situ Rex, sampai petang hari. Sampai detik ini.

Aku tidak bisa menuliskan ini lama-lama. Lampau seringkali menyakitkan, dan kini tidak kalah sesaknya. Adakah waktu yang tepat untuk mengenang yang telah hilang? Cukup sebutir peluru, kau tembakkan erat. Dan aku masih mendengar letupan itu; semangat itu, suara-suara kerasmu yang sebelumnya lirih bersahutan dalam telinga.

Kamu menang, Rex. Pelantang suara ini untukmu.


No comments:

Post a Comment