Yang aku tahu, only good die young, hanya yang terbaik
yang mati muda. Kamu Rex—atau entah, tiada cara lain lagi untuk memanggil
namamu walau ‘x’ di akhir sungguh melelahkan—sudah berada di dunia yang benar-benar
berbeda. Entah di mana, ada ataupun tidak kehidupan sesudah kamu pergi, aku
tidak jadikannya masalah. Satu yang aku yakini, kamu bahagia: lepas, bebas, damai
dan tenang.
Kamu adalah
butir peluru—aku hampir haru saat menuliskan ini—yang menunjukkan pada semua
orang, termasuk sekeras batu seperti aku, bahwa sejatinya kelemahlembutan
adalah kekuatan. ‘Ayok!’ katamu. Aku ingat. Saat kamu kuajak setengah bercanda
setengah kurangajar dan setengah gila, untuk menemui seseorang di kelas paling
ujung sana. Sering seperti itu, hanya saja jarang berhasil dan kita hanya
berputar-putar, atau kamu mengawasi dari jauh, atau kamu yang akhirnya bertemu,
atau aku sendiri—seringkali dan pada akhirnya—lalu aku harus mengakui: sejujurnya
nyaliku ada saat kamu bersedia mengantarkannya.
Tidak ada
memori yang lazim, Rex. Kita sudah bersama sejak suaramu sepelan pus meong pada
pagi yang dingin dan mendung; nyaris tidak terdengar dan aku seperti tidak
mendengar ada diafragma dalam tenggorokanmu. Tapi, kamu akan ingat, jelaslah.
Bu Nik—ibu negara, begawan dan mahaguru kita—yang membimbing kita semua, pun
aku saat dikutuk menjadi pesajak tolol, dan kamu—pendiam yang kemudian menjadi orator
paling brillian dari kita semua, dua puluh sembilan cecunguk bahasa—berhasil
mengubah kodrat, menyaringkan suara yang nyaris tak terpekikkan itu, membuat
kita semua berpikir bahwasanya kebiasaan adalah jalan paling mudah untuk berubah.
Kamu peluru, Rex. Diam dan senyap. Tapi saat revolver itu terisi, pelatuk
ditarik; kamu melesat jauh. Ganas. Tanpa peredam dan terus memekik. Bunyi
tembakan itu masih terdengar Rex, kamu tahu. Dan aku—kita semua, bahkan Bu Nik
pun—masih akan terus bertepuk tangan dan memperingatinya.
Tidak ada
memori yang lazim, Rex. Hanya desing-desing peluru suaramu yang luruh. Waktu seperti
menonton pentas drama; tepuk tangan lalu usai, dan kita berdiri kemudian kembali
pada tempat masing-masing. Aku yang bertepuk tangan paling lama. Pada renyahmu
saat kepalaku terkantuk dalam kelas dingin dan beku, atau aku tahu kita pernah
jadi teman sebangku dalam sistem acak seminggu. Pada musim di mana kawan dan
lawan hanya dipisah napas yang tak tampak. Pada aroma-aroma fitnah masa lampau
yang hadir menghardik kursi-kursi tempat bercumbu di ujung-ujung kelas. Pada
anyir darah lelah dari kumpulan dalam sarafku yang tidak terkontrol dan
menghantam neraka aspal. Pada Matematika, Bahasa Prancis, atau batu-batu Candi,
atau batik Hari Kartini, atau memori mungil—semungil tubuhmu—yang kupercaya
telah melesap dalam denyut nadi teman-teman kita; kujuluki serigala tanpa bulu
domba; wolfpack yang seiring meski kadang hampir bunuh; kamu ada di situ Rex,
sampai petang hari. Sampai detik ini.
Aku tidak bisa
menuliskan ini lama-lama. Lampau seringkali menyakitkan, dan kini tidak kalah
sesaknya. Adakah waktu yang tepat untuk mengenang yang telah hilang? Cukup
sebutir peluru, kau tembakkan erat. Dan aku masih mendengar letupan itu;
semangat itu, suara-suara kerasmu yang sebelumnya lirih bersahutan dalam
telinga.
Kamu menang,
Rex. Pelantang suara ini untukmu.
No comments:
Post a Comment