Berpuasa di rumah adalah
seperti kutukan: mata baru bisa merem, lalu suara-suara berisik dari
bocah-bocah TPQ membuat saya melek lagi. Kadang di pukul tiga sore, puasa
menjadi neraka. Menyiksa dan saya pun tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang
bisa diperbuat jika jarak Musola dan kamar saya hanya dibatasi tembok? Bahkan
letak bantal saya persis di samping microfon yang digunakan untuk adzan dan
aktivitas koar-koar lain termasuk pengajian Malam Jumat dan tadarus saat puasa.
Bukan saya menghina agama atau apapunlah—saya tidak ada sedikitpun tendensi
itu, dan bila ada kalian yang tersinggung dan masih terbawa-bawa urusan Ahok,
go to hell, membusuklah di neraka, saya tidak peduli dan hanya menyampai
uneg-uneg yang ngeganjel ini saja. Sebenarnya saya tidak pernah ada masalah
dengan aktivitas apapun di Musola itu, selama itu digunakan pure untuk ibadah
dan tidak menganggu orang lain. Pure untuk ibadah berarti tidak bertujuan untuk
pamer ataupun menunjukkan identitas sebagai umat yang taat. Tidak mengganggu
orang lain itu cukuplah bila ada aktivitas ibadah menggunakan sound system,
seyogyanya volume speaker diatur agar tidak terlalu keras—atau mungkin tidak
usah memakai speaker toa langgar yang amat keras itu. Atau bila memang keras,
saya berharap para pemburu surga dan keutamaan di balik bau mulut orang
puasa—anak-anak TPQ itu—bisa sedikit lebih santailah jika ngaji. Saya tahu
semua orang berhak membaca kitab suci, baik sudah kelas kakap ataupun medioker
sekalipun. Tapi ya tuhan, Ya Allah, Ya Allah, Tuhan YME, selama beberapa hari
puasa ini entah mengapa yang mengaji di sebelah rumah sungguh sangat tidak bisa
menentramkan hati. Mereka mengaji dengan asal-asalan, kadang ada
cekikik-cekikik busuk, lalu bercanda internal yang sungguh, seperti semua orang
sekampung harus tahu saja. Mengaji pun seperti orang teriak-teriak, keras
sekali, seperti orang lain yang mendengarnya tidak punya aktivitas lain saja
selain mendengarkan mereka. Bagaimana bila Mbah saya sedang mendengarkan
tauziah di televisi, yang karena suara ampun-ampunan mereka, jadi tidak bisa
dengar. Bagaimana bila Ibuk menyuruh saya membeli terang bulan dan sop buah
untuk berbuka, sampai harus teriak-teriak dan saya masih tidak mendengarkan
karena gaduhnya suara ngaji di sebelah. Saya berharap mereka bisa lebih sopan
saat mengaji, lebih memelankan suara (kalau bisa volume dikecilkan, kalau tidak
bisa ya minimal lebih kalemlah). Saya pernah sekali waktu mendengar suara orang
mengaji di sebelah, suaranya lembut dan sopan, menghayati setiap bacaan, tidak
tergopoh-gopoh segera usai. Ini nyaman, tidak berisik dan saya masih bisa
mendengarkan sekitar. Lah bocah-bocah TPQ yang kebanyakan tetangga saya yang
berusia puber ini, malah menjerit-jerit tidak karuan membawakan ayat-ayat
Allah. Sebagai seseorang yang kamarnya berada persis sebelah mikrofon, kadang
saya ingin mengingatkan, tapi siapalah saya, saya kadang merasa serba salah
sendiri. Padahal tetangga Musola lain yang juga berada persis adalah orang
Nasrani. Saya tidak tahu apa hukumnya orang yang mengaji dengan toa sedemikian
berisik dan mengganggunya. Mungkin MUI atau FPI bisa bantu menjawab, atau bisa
juga menuduh saya komunis bangsat liberal kafir pendukung Ahok karena saya
seperti anti dengan ngaji. Terserah. Saya tidak peduli. bila kalian cerdas
mungkin kalian bisa melihat bahwa saya tidak anti ritual ibadah, yang saya
tekankan adalah apakah proses ibadah itu menganggu orang lain atau tidak. Benar
kata antah-berantah yang banyak dikutip orang yang sudah muak akan cap-cap
kafir dangkal dari sekitar: agama itu seperti kontol, kamu punya sembunyikan
saja, nggak perlu dipamerkan ke orang lain, siapa pula yang tidak terganggu
kalau kamu pamer jembutmu ke muka orang.
Baiklah, lepas dari
uneg-uneg Ramadhan tersebut, dan saya yang masih mengumpulkan cara menegur yang
baik agar tidak ada yang salah sangka, lebih baik saya menghibur diri kembali
sambil ngabuburit menunggu datangnya adzan Maghrib. Puasa akhir-akhir ini
memang lumayan cepat. Saya jarang tidur malam hari sampai sahur, dan baru tidur
pagi sampai agak siang, kemudian bangun, menunggu berbuka sambil memasrahkan
diri pada layar tua, menonton serial, film atau apapun. Setelah itu terkadang
saya memasrahkan pada speaker rumah; mencolokkan pemutar musik dan menghibur
diri sendiri dari lapar dan dahaga, untuk kemudian kembali ngaplo di pukul tiga
sore sampai dua jam kemudian karena gangguan dari akhwat-akhwat TPQ yang tidak
tahu aturan tersebut. Di sela ngaplo saya kembali membuka-baca koleksi baru,
atau juga lama. Berupa buku-buku baru yang menurut saya bagus, buku-buku lama
yang tidak bosan diulang, juga koleksi majalah-majalah rare dan langka yang
baru saya dapatkan akhir-akhir ini, tak lupa suntikan kebengalan dari zine-zine
baik baru maupun lama. Berikut beberapa yang saya konsumsi: tadarus, takjil dan
buka puasa saya selama bulan puasa tahun ini.
Breaking
Bad Season 1-5
Serial TV yang katanya
terbaik sepanjang masa. Rolling Stone sempat membahasnya di Editor Playlist dan
itu langsung mengganggu rasa penasaran saya selama bertahun-tahun. Premisnya
seperti ini: seorang guru kimia yang didiagnosa mempunyai kanker dan akhirnya
memutuskan terjun dalam bisnis narkoba demi mengumpulkan uang untuk keluarganya
saat dia meninggal nanti. Serial ini sudah tayang di AMC sejak 2008, hanya saja
saya baru benar-benar punya waktu untuk melihatnya kali ini. Hati-hati,
Breaking Bad tiap episodenya selalu membawa hal-hal yang tidak terduga, dan
kita akan kecanduan untuk terus menontonnya sampai akhir. Daya tahan saya masih
bisa sampai Season 3, dan kadang harus menyerah karena satu Season punya
kira-kira 13 episode dengan durasi hampir 50 menitan. Serial yang membuat
dag-dig-dug tidak karuan ini tiap seasonnya semakin memuncak dan membawa pada
masalah yang semakin kompleks—dan kalian harus tahu bahwa ipar Mr. Walter
White, si guru yang bisnis narkoba, adalah anggota DEA alias polisi yang
mengurusi masalah narkoba. Betapa repot menyembunyikan semuanya. Salah satu
yang sangat memorable adalah saat White dan partner bodoh yang juga merupakan
bekas muridnya, Jesse Pinkman, memproduksi meth berjumlah besar-besaran di
gurun pasir. Banyak adegan tolol di situ (Season 2 Eps. 9) yang saya rasa
seperti komedi getir Tarantino di mana kita akan merasa miris dan tertawa di
saat bersamaan. Sebelum Breaking Bad saya sempat menonton Game Of Thrones namun
hanya kuat sampai Season 1. Entah kenapa serial ini walaupun bagus dan membuat
penasaran, tidak membuat saya cukup sreg untuk melanjutkannya ke Season 2
(sekarang di HBO akan segera premiere Season 7). Terlalu memusingkan dan banyak
intrik. Atau latar jaman kerajaan mungkin saya tidak terlalu suka, mengingat
selera saya cenderung tontonan yang punya muatan latar American Lifestyle era
90’s atau 20’s. Selain GoT saya juga sempat menonton The Walking Dead, namun
hanya kuat sampai Season 1 juga dan tidak ada niatan lanjut. Serial ini tidak
seram-seram amat, namun saya rasa ketegangan yang ditampilkan di Walking Dead
amat sangat gelap dan suram sampai-sampai saya merinding-merinding sendiri.
Selain itu, True Detective juga sempat saya tonton, ini cuma hanya sampai pada
Episode 1 Season 1 saja. Entahlah, terlalu memusingkan dan saya kurang
tertarik. Yang terakhir adalah serial Netflix yang tersohor dan sedang hits
akhir-akhir ini Thirteen Reasons Why. Saya sempat menonton dan lumayan menarik.
Tapi di Episode 2, saya kok mulai bosan, dan arah cerita tidak bisa saya
mengerti—kadang terlalu bertele-tele. Saya juga tidak tahu mengapa serial
seperti ini bisa jadi sangat hits: semacam serial remaja yang berkisah tentang
perempuan bunuh diri dan salah seorang teman (juga teman main seks-nya),
berusaha mencari tahu alasannya lewat mixtape. Mungkin selain Breaking Bad,
serial yang saya ikuti dan masih betah menonton adalah Silicon Valley, yang
Season 4-nya sudah tayang di HBO musim ini. Breaking Bad sendiri juga
memunculkan satu tokoh pengacara yang akhirnya dibuatkan spin-off serial
sendiri yakni Saul Goodman. Saya berencana menonton serial bertajuk Better Call
Saul tersebut setelah menuntaskan Breaking Bad ini. Kurang 2 Season lagi, saya
harap kelar sebelum Lebaran.
Barefood
– Sullen (EP 2013), Barefood (EP 2014), Milkbox (LP 2017)
Menyimak duo collage rock
asal Jakarta ini membuat kuping saya digempur distorsi 90-an setiap hari. Dua
EP, Sullen dan Barefood, juga satu debut full length album Milkbox yang baru
saja rilis tahun ini, adalah jawaban yang tepat jika ada yang bertanya seperti
apakah musik rock yang easy listening tapi tetap gagah dan tidak banci itu. Rio
Tantomo sempat menuliskan romantika menonton konser Barefood yang dilarang
untuk menyulut rokok; menampilkan Barefood sebagai band rock lurus nan pendiam
di mana anak-anak cupu dan culun, berkacamata dan kutubuku di kampus atau
sekolah akhirnya punya penyaluran yang satu visi dan bisa moshing. Dari ketiga
album itu, saya memfavoritkan Sullen yang dirilis tahun 2013. Dibuka oleh
“Perfect Colour” yang renyah dan manis, serta punya sisi getir tersendiri yang
sukar dijelaskan. Bagi yang belum pernah mendengar Barefood, “Perfect Colour”
adalah pintu gerbang yang tepat. Semua orang akan menyukai lagu ini, termasuk
yang masih awam alternative rock sekalipun. Seperti kata Devi Ardian, kritikus
musik spesialis Chainsmoker dan Nia Daniati ini, saat saya memberi dengar lagu
ini. “Lagu kaya gini enak didengerin makai headset!” Sayangnya, dia tidak punya
headset dan saya ogah meminjami. Tidak hanya “Perfect Colour,” Sullen juga
punya track lain yang tidak kalah legit. Sebut saja “Grey Skies” yang sangat
melodius, “Teenage Daydream” yang bersemangat, dan “Sullen” yang menampilkan
vokal perempuan malu-malu tapi cukup renyah dan catchy, cukup nyaman dan
enteng. Untuk album Milkbox sendiri, deretan-dereran track matang siap
menggempur telinga. Milkbox menjadi album Barefood yang mendewasa. Saya
memfavoritkan track nomor 7, “Sugar” dengan sound gitar ala Kevin Shields,
semacam eksplorasi ke arah shoegaze yang soft dan muram pekat. Tipikal My
Bloody Valentine. Selebihnya semuanya bagus, walaupun sebaik-baik Barefood
tetaplah Sullen.
Rumahsakit
– 1+2
Mencintai Rumahsakit
dengan segala kuranglebihnya—di album ini kekurangannya (atau justru daya
tariknya?) ada pada vokal Andri Lemes yang masih tetap... lemes. Siapapun
menyukai Rumahsakit dengan Arief (kalau tidak salah) sebagai vokalis baru yang
barusan meluncurkan album Timeless. Saya juga suka sih. Suaranya bagus. Cuman
lebih suka corak vokal monoton dan malas dari Andri. Bila menyimak album
Rumahsakit rilisan lampau, era 90-an, suaranya malah makin kacau meski musiknya
tetap indah (hanya saja saya download mp3-nya dengan kualitas lo-fi nan
mengecewakan). Ada sebuah pendapat bahwa hanya segelintir orang yang kenal
Rumahsakit, dan mereka betul-betul fanatik. Saya mungkin salah satunya. Jika
tidak kenal Rumahsakit, sebaiknya ya begitu saja tidak perlu memaksa. Tapi jika
ingin kenal, mungkin akan ada dua tipe manusia setelah mendengarkan Rumahsakit
era Lemes, khususnya di album 1+2 ini: merasa aneh dan tergila-gila sekali, dan
yang kedua mengatakannya sebagai musik lempeng, aneh dan tidak punya daya
seni—mengutip pendapat Tri Nanang Budi Santoso, sobat kepompong saya saat saya
pamerkan lagu “Hilang.” Sambil mengata-ngatai dengan sembrono bahwa selera saya
nggak mbois, tidak punya sense of music atau apalah—enak saja. Saya mencintai
Rumahsakit secara tidak sengaja saat memutar lagu “Hilang” di YouTube, yang itu
juga secara tidak sengaja pula. Nama band ini adalah nama yang mungkin paling
unik dalam jagad musik tanah air; lebih menegaskan keabsurdan ketimbang
katakanlah GiGi, atau Padi. Rumahsakit, saya ingin sekali terbahak saat
mendengar namanya. Nyatanya lagu “Hilang” yang saya dengarkan membuat saya
terus-terusan meratap di depan speaker: indah sekali, tuhan. Intro yang
menyayat, dan terkesan sok keren, membius dengan gaya vokal paling ngehek;
perpaduan yang memukau dan menghasilkan musik yang begitu bagus dan jujur.
Gila. Rumahsakit bagi sebagian orang dianggap nabi (simak SFTC band ini di
YouTube). Bahkan meskipun sudah berganti dengan vokalis yang sangat merdu dan
bisa bernyanyi, tetat saja orang-orang merindukan Rumahsakit dengan Lemes
sebagai vokalis. “Kuning”, membuat kita seolah merasakan hamparan mentari di
kening, “Bernyanyi Menunggu”, mengusik naluri kejantanan dengan musik adem
ayem, “Pop Kinetik”, yang absurd dan bernada jenaka, “Mati Suri” yang gurih,
“Anomali” yang mungkin merupakan suguhan terbaik pada musik pop Indonesia, dan
“Sakit Sendiri” yang menyayat dan kosong. FYI, saya sering mengentikan guyuran
gayung, atau aktivitas menggosok gigi di pagi hari, saat intro lagu “Hilang”
berkumandang dari sound murahan`di kamar. Bukan apa-apa, keindahan itu sayang
sekali untuk diacuhkan.
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie – Semua Ikan Di Langit (2017)
Ziggy meramu sebuah
keabsurdan tingkat dewa menjadi fiksi yang manis, tanpa adanya konflik
bertele-tele atau ending yang menendang kepala. Novel pemenang juara 1
sayembara Dewan Kesenian Jakarta, sekaligus mungkin juara 2 dan 3 karena pihak
juri sengaja tidak memberikan juara untuk urutan 2 dan 3 dengan alasan
perbedaan kualitas yang jauh. Semua Ikan Di Langit memang bagus, dari segi
gagasan juga tokoh-tokoh yang dimainkan. Mungkin jika ini film bisa dapat nilai
9,8 dari Rotten Tomatoes. Bayangkan tokoh utama novel ini adalah bus. Benar,
bus Damri jelek yang biasa kalian jumpai di Bungurasih ataupun—dalam latar
novel ini entah saya lupa tepatnya terminal apa. Bus ini secara ajaib
berkendara di langit, dengan ikan julung-julung ajaib yang dikendalikan oleh
sosok bernama Beliau. Sulit menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya
karena alurnya benar-benar tidak tertebak, keluar dari batas kewarasan dan imajinasi.
Ada pemikiran bahwa ini merujuk pada kisah Tuhan dan malaikat, dan proses penciptaan
dunia. Tapi Ziggy—benar-benar—mengisahkannya secara ajaib dan absurd, tidak
sakral dan sama seperti gaya penceritaan anak kecil lugu yang tidak tahu
apa-apa di Di Tanah Lada (2013). Ada balutan ilustrasi epik karya Ziggy sendiri
yang juga menambah nilai lebih di sekujur tubuh buku ini. Ada kutipan-kutipan
haru yang jujur cukup absurd karena diucapkan oleh bus. Bila perasaan kita
sudah terasah, atau sudah mempelajari teori semiotika, kita akan segera tahu
pesan halus yang disampaikan Ziggy dalam adegan-adegan yang meloncat-loncat,
dari situasi perang sampai toko roti di belahan dunia lainnya. Ziggy
melemparkan kritik dan pesan tidak dengan gaya keras, tidak pula lembut
romantis. Ia menyampaikannya dengan gaya ketidakjelasan yang sebenarnya cukup
jelas bila kita mengerti maksudnya. Saya penasaran akan naskah-naskah yang
tersodor di meja juri DKJ: seburuk itukah sampai hanya Ziggy yang memperoleh juara
1—dengan juara 2 dan 3 yang kosong, selebihnya diisi juara harapan? Mungkin
dari semua puja-puji di atas, saya belum menemukan satu titik cela lagi: ini
sastra ringan yang sebenarnya cukup berat. Ini sastra dengan pembahasan paling
liar dan fantastis yang pernah saya baca. Cukup berbobot dan tinggi. Mungkin
Semua Ikan Di Langit bisa dibayangkan sebagai cerita-cerita Disney; sama
seperti itu dan hanya saja ini jauh lebih berbobot dan melampaui imajinasi
manusia manapun. Karya Ziggy yang sepertinya sedang main-main tapi ia sangat
serius melakukan main-main itu. Mungkin Wening Gitomartoyo dari Rolling Stone
Indonesia berpikiran serupa saat mengulas Ziggy—yang oleh majalah ini menerima
Editor Choice Awards tahun ini kategori The Phenomenal
Sabda
Armandio – 24 Jam Bersama Gaspar (2017)
Dio adalah juara harapan
3 dari Sayembara Novel DKJ. Jujur, saya lebih menikmati membaca ini dibanding
Semua Ikan Di Langit—meski memang tidak bisa membandingkannya karena Semua Ikan
memang punya gagasan yang cukup fantastis. Novel Dio yang kedua seteleh Kamu
(yang sudah lama saya ingin membacanya tetapi tidak pernah ada di toko buku
ini) membawa cerita detektif yang mengejek detektif itu sendiri, menurut
keterangannya. Tapi saya akan bilang bahwa novel ini lebih ke arah kriminal.
Detektif tidak dikenal itu hanya melakukan dialog penyelidikan yang selalu ada
di bagian tiap bab. Tokoh sentral dalam novel ini adalah Gaspar, yang sejak
awal digambarkan sebagai bajingan yang akan merampok kotak hitam di sebuah toko
emas. Upaya Gaspar ini secara kebetulan membuatnya mendapatkan partner
merampok: saya lupa tokohnya satu-persatu. Kalian pernah membaca novel 5cm
sebelum ia jadi ngehip karena dibuat filmnya? Novel terbaik versi Goodreads itu
membawa banyak sekali tokoh dalam novelnya. Apakah kalian kebingungan
membedakan dan menghafal tokoh ini dan itu, Arial dan Zafran misalnya. Meski
Donijantoro meramunya pelan-pelan, tapi entah kenapa saya sulit sekali untuk
melakukan pendekatan dengan imajinasi. Untung saja tertolong filmnya—yang juga
masih jelek pula. Tapi Dio berhasil membuat pembaca hanya perlu membaca tanpa
perlu membolak-balik halaman awal demi mengingat sang tokoh. Karakternya kuat,
ada pembeda dan seolah kita mengenalnya. Yang hebat lagi adalah, kita bisa tahu
karakter tersebut dan hafal walaupun mereka menggunakan nama samaran. Begitulah
Dio. Saya tidak tahu dan tidak penting untuk tahu apakah isi kotak hitam
tersebut. Memang bukan itu tujuan penulis. Saya mungkin akan membacanya lagi
untuk menemukan hal itu. Tapi yang menarik dan saya fokuskan adalah,
kecerewetan Gaspar sebagai tokoh aku, yang cukup komunikatif dan memakai banyak
pendekatan budaya pop dalam novelnya. Ada ciri seorang geek-nerd yang tidak
memaksakan memakai pendekatan ini. Cerpenis dan novelis Hami Badjingan (nama
samaran) sempat berkata bahwa ia juga seperti itu dalam sebuah percakapan tapi
saya hampir muntah mendengarnya. Hanya Dio yang bisa seperti itu. Saya ulangi,
hanya orang tengil yang benar-benar tengil yang bisa seperti itu. Bukan yang
sok tengil.
Taufiq
Rahman - Pop Kosong Berbunyi Nyaring (2017)
Dalam buku ini akan
dijumpai 19 hal yang tidak perlu diketahui tentang musik. Taufiq sebagai
hipster sejati menuliskan grup musik, album, dan lagu-lagu underrated alias di bawah
radar yang tidak banyak diketahui dan disukai orang. Menarik membaca esai-esai
di buku ini, menghubungkan pengalaman pribadi penulis atau fenomena sosial,
dengan musik. Secara mengejutkan, Chris Cornell vokalis Soundgarden ditemukan
meninggal beberap bulan setelah buku yang memuat esai tentangnya di halaman
depan ini dirilis. Membuat saya yang buta grunge selain Nirvana dan Pearl Jam
(serta Ello Tahitoe jika dia layak disebut grunge), langsung mengonsumsi
Soundgarden saat itu juga. Juga banyak artis yang saya tidak pernah tahu
seperti Brian Eno atau Minutemen atau bahkan Bandempo (!) Ada banyak informasi
yang tidak perlu diketahui namun amat menarik bila kita tahu. UKM penerbitan
buku Elevation Books milik Taufiq Sepertinya akan konstan mengisi rak buku saya
dengan buku-buku musik yang jarang ada di Indonesia. Saya menunggu
rilisan-rilisan selanjutnya. Rock and Roll tidak hanya menyenangkan untuk
didengarkan, tapi juga untuk dibaca.
Playboy
Indonesia Edisi Januari 2007
Singkat cerita di suatu
siang yang terik di bulan puasa, saya memutuskan mampir ke Jl. Semarang untuk
berburu harta karun: majalah dan buku bekas. Tapi kenyataannya saya seringkali
kesini dengan tangan kosong. Saya tidak tahu lagi harus ke mana saat tiba-tiba
terpikir bahwa jarak Blauran dengan Jl. Semarang tidaklah terlalu jauh. Saya
iseng mampir meski parkir bangsat 3000 rupiah. Ternyata benar adanya: satu
Playboy Indonesia saya memang didapat dari Jl. Semarang, juga Rolling Stone
Indonesia edisi pertama yang oleh penjualnya ditaruh sembarangan sebagai tadah
hujan—sialan—tetapi di Blauran saya selalu menemukan harta karun: dua Playboy
Indonesia saya dapat di sini, juga beberapa Rolling Stone, juga selusin
National Geographic Indonesia. Lokasi perburuan saya pun berpindah ke Pasar
Blauran. Saya sempat bertemu dengan Rafika, jurnalis senior Zetizen di tempat
ini. “Aku nemu harta karun,” pamer saya padanya. Rafika yang waktu itu sedang
bersama ibundanya penasaran. “Mana lihat?” saya langsung menyeretnya ke tempat
agak jauh, membuka tas, dan “astaghfirullahalaziim, mas....” ujar Rafika. Saya
terkekeh dan tidak peduli stereotip orang akan Playboy. Ini bagi saya adalah
majalah terbaik dan paling memuaskan yang pernah saya baca, lepas dari foto
nude-nya. Playboy membuat saya klimaks berulang kali tanpa bosan membacanya;
feature yang jempolan, gaya bahasa yang sok songong dan sengak tapi saya suka
(khususnya di Playboy Advice). Satu lagi, Playboy punya sikap yang jarang
dipunyai media lain. Saya berharap Playboy Indonesia hadir kembali, dengan Pemred
Erwin Arnada, penulis Alfred Pasifico, Soleh Solihun dan Arian Arifin Wardiman.
Cerpen-cerpen yang dilempar juga sarat akan mutu. Cukup kenyang dan puas,
setidaknya sudah mendapat tiga edisi. Kurang tujuh lagi dan saya mungkin akan
bahagia. Khususnya edisi perdana dengan cover Andhara Early dan Playmate
Kartika. Saya penasaran, sungguh.
No comments:
Post a Comment