Tuesday, June 20, 2017

Tadarus Breaking Bad, Takjil Barefood dan Menu Buka Puasa Menyenangkan Lainnya


Berpuasa di rumah adalah seperti kutukan: mata baru bisa merem, lalu suara-suara berisik dari bocah-bocah TPQ membuat saya melek lagi. Kadang di pukul tiga sore, puasa menjadi neraka. Menyiksa dan saya pun tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang bisa diperbuat jika jarak Musola dan kamar saya hanya dibatasi tembok? Bahkan letak bantal saya persis di samping microfon yang digunakan untuk adzan dan aktivitas koar-koar lain termasuk pengajian Malam Jumat dan tadarus saat puasa. Bukan saya menghina agama atau apapunlah—saya tidak ada sedikitpun tendensi itu, dan bila ada kalian yang tersinggung dan masih terbawa-bawa urusan Ahok, go to hell, membusuklah di neraka, saya tidak peduli dan hanya menyampai uneg-uneg yang ngeganjel ini saja. Sebenarnya saya tidak pernah ada masalah dengan aktivitas apapun di Musola itu, selama itu digunakan pure untuk ibadah dan tidak menganggu orang lain. Pure untuk ibadah berarti tidak bertujuan untuk pamer ataupun menunjukkan identitas sebagai umat yang taat. Tidak mengganggu orang lain itu cukuplah bila ada aktivitas ibadah menggunakan sound system, seyogyanya volume speaker diatur agar tidak terlalu keras—atau mungkin tidak usah memakai speaker toa langgar yang amat keras itu. Atau bila memang keras, saya berharap para pemburu surga dan keutamaan di balik bau mulut orang puasa—anak-anak TPQ itu—bisa sedikit lebih santailah jika ngaji. Saya tahu semua orang berhak membaca kitab suci, baik sudah kelas kakap ataupun medioker sekalipun. Tapi ya tuhan, Ya Allah, Ya Allah, Tuhan YME, selama beberapa hari puasa ini entah mengapa yang mengaji di sebelah rumah sungguh sangat tidak bisa menentramkan hati. Mereka mengaji dengan asal-asalan, kadang ada cekikik-cekikik busuk, lalu bercanda internal yang sungguh, seperti semua orang sekampung harus tahu saja. Mengaji pun seperti orang teriak-teriak, keras sekali, seperti orang lain yang mendengarnya tidak punya aktivitas lain saja selain mendengarkan mereka. Bagaimana bila Mbah saya sedang mendengarkan tauziah di televisi, yang karena suara ampun-ampunan mereka, jadi tidak bisa dengar. Bagaimana bila Ibuk menyuruh saya membeli terang bulan dan sop buah untuk berbuka, sampai harus teriak-teriak dan saya masih tidak mendengarkan karena gaduhnya suara ngaji di sebelah. Saya berharap mereka bisa lebih sopan saat mengaji, lebih memelankan suara (kalau bisa volume dikecilkan, kalau tidak bisa ya minimal lebih kalemlah). Saya pernah sekali waktu mendengar suara orang mengaji di sebelah, suaranya lembut dan sopan, menghayati setiap bacaan, tidak tergopoh-gopoh segera usai. Ini nyaman, tidak berisik dan saya masih bisa mendengarkan sekitar. Lah bocah-bocah TPQ yang kebanyakan tetangga saya yang berusia puber ini, malah menjerit-jerit tidak karuan membawakan ayat-ayat Allah. Sebagai seseorang yang kamarnya berada persis sebelah mikrofon, kadang saya ingin mengingatkan, tapi siapalah saya, saya kadang merasa serba salah sendiri. Padahal tetangga Musola lain yang juga berada persis adalah orang Nasrani. Saya tidak tahu apa hukumnya orang yang mengaji dengan toa sedemikian berisik dan mengganggunya. Mungkin MUI atau FPI bisa bantu menjawab, atau bisa juga menuduh saya komunis bangsat liberal kafir pendukung Ahok karena saya seperti anti dengan ngaji. Terserah. Saya tidak peduli. bila kalian cerdas mungkin kalian bisa melihat bahwa saya tidak anti ritual ibadah, yang saya tekankan adalah apakah proses ibadah itu menganggu orang lain atau tidak. Benar kata antah-berantah yang banyak dikutip orang yang sudah muak akan cap-cap kafir dangkal dari sekitar: agama itu seperti kontol, kamu punya sembunyikan saja, nggak perlu dipamerkan ke orang lain, siapa pula yang tidak terganggu kalau kamu pamer jembutmu ke muka orang.

Baiklah, lepas dari uneg-uneg Ramadhan tersebut, dan saya yang masih mengumpulkan cara menegur yang baik agar tidak ada yang salah sangka, lebih baik saya menghibur diri kembali sambil ngabuburit menunggu datangnya adzan Maghrib. Puasa akhir-akhir ini memang lumayan cepat. Saya jarang tidur malam hari sampai sahur, dan baru tidur pagi sampai agak siang, kemudian bangun, menunggu berbuka sambil memasrahkan diri pada layar tua, menonton serial, film atau apapun. Setelah itu terkadang saya memasrahkan pada speaker rumah; mencolokkan pemutar musik dan menghibur diri sendiri dari lapar dan dahaga, untuk kemudian kembali ngaplo di pukul tiga sore sampai dua jam kemudian karena gangguan dari akhwat-akhwat TPQ yang tidak tahu aturan tersebut. Di sela ngaplo saya kembali membuka-baca koleksi baru, atau juga lama. Berupa buku-buku baru yang menurut saya bagus, buku-buku lama yang tidak bosan diulang, juga koleksi majalah-majalah rare dan langka yang baru saya dapatkan akhir-akhir ini, tak lupa suntikan kebengalan dari zine-zine baik baru maupun lama. Berikut beberapa yang saya konsumsi: tadarus, takjil dan buka puasa saya selama bulan puasa tahun ini.

Breaking Bad Season 1-5
Serial TV yang katanya terbaik sepanjang masa. Rolling Stone sempat membahasnya di Editor Playlist dan itu langsung mengganggu rasa penasaran saya selama bertahun-tahun. Premisnya seperti ini: seorang guru kimia yang didiagnosa mempunyai kanker dan akhirnya memutuskan terjun dalam bisnis narkoba demi mengumpulkan uang untuk keluarganya saat dia meninggal nanti. Serial ini sudah tayang di AMC sejak 2008, hanya saja saya baru benar-benar punya waktu untuk melihatnya kali ini. Hati-hati, Breaking Bad tiap episodenya selalu membawa hal-hal yang tidak terduga, dan kita akan kecanduan untuk terus menontonnya sampai akhir. Daya tahan saya masih bisa sampai Season 3, dan kadang harus menyerah karena satu Season punya kira-kira 13 episode dengan durasi hampir 50 menitan. Serial yang membuat dag-dig-dug tidak karuan ini tiap seasonnya semakin memuncak dan membawa pada masalah yang semakin kompleks—dan kalian harus tahu bahwa ipar Mr. Walter White, si guru yang bisnis narkoba, adalah anggota DEA alias polisi yang mengurusi masalah narkoba. Betapa repot menyembunyikan semuanya. Salah satu yang sangat memorable adalah saat White dan partner bodoh yang juga merupakan bekas muridnya, Jesse Pinkman, memproduksi meth berjumlah besar-besaran di gurun pasir. Banyak adegan tolol di situ (Season 2 Eps. 9) yang saya rasa seperti komedi getir Tarantino di mana kita akan merasa miris dan tertawa di saat bersamaan. Sebelum Breaking Bad saya sempat menonton Game Of Thrones namun hanya kuat sampai Season 1. Entah kenapa serial ini walaupun bagus dan membuat penasaran, tidak membuat saya cukup sreg untuk melanjutkannya ke Season 2 (sekarang di HBO akan segera premiere Season 7). Terlalu memusingkan dan banyak intrik. Atau latar jaman kerajaan mungkin saya tidak terlalu suka, mengingat selera saya cenderung tontonan yang punya muatan latar American Lifestyle era 90’s atau 20’s. Selain GoT saya juga sempat menonton The Walking Dead, namun hanya kuat sampai Season 1 juga dan tidak ada niatan lanjut. Serial ini tidak seram-seram amat, namun saya rasa ketegangan yang ditampilkan di Walking Dead amat sangat gelap dan suram sampai-sampai saya merinding-merinding sendiri. Selain itu, True Detective juga sempat saya tonton, ini cuma hanya sampai pada Episode 1 Season 1 saja. Entahlah, terlalu memusingkan dan saya kurang tertarik. Yang terakhir adalah serial Netflix yang tersohor dan sedang hits akhir-akhir ini Thirteen Reasons Why. Saya sempat menonton dan lumayan menarik. Tapi di Episode 2, saya kok mulai bosan, dan arah cerita tidak bisa saya mengerti—kadang terlalu bertele-tele. Saya juga tidak tahu mengapa serial seperti ini bisa jadi sangat hits: semacam serial remaja yang berkisah tentang perempuan bunuh diri dan salah seorang teman (juga teman main seks-nya), berusaha mencari tahu alasannya lewat mixtape. Mungkin selain Breaking Bad, serial yang saya ikuti dan masih betah menonton adalah Silicon Valley, yang Season 4-nya sudah tayang di HBO musim ini. Breaking Bad sendiri juga memunculkan satu tokoh pengacara yang akhirnya dibuatkan spin-off serial sendiri yakni Saul Goodman. Saya berencana menonton serial bertajuk Better Call Saul tersebut setelah menuntaskan Breaking Bad ini. Kurang 2 Season lagi, saya harap kelar sebelum Lebaran.


Barefood – Sullen (EP 2013), Barefood (EP 2014), Milkbox (LP 2017)
Menyimak duo collage rock asal Jakarta ini membuat kuping saya digempur distorsi 90-an setiap hari. Dua EP, Sullen dan Barefood, juga satu debut full length album Milkbox yang baru saja rilis tahun ini, adalah jawaban yang tepat jika ada yang bertanya seperti apakah musik rock yang easy listening tapi tetap gagah dan tidak banci itu. Rio Tantomo sempat menuliskan romantika menonton konser Barefood yang dilarang untuk menyulut rokok; menampilkan Barefood sebagai band rock lurus nan pendiam di mana anak-anak cupu dan culun, berkacamata dan kutubuku di kampus atau sekolah akhirnya punya penyaluran yang satu visi dan bisa moshing. Dari ketiga album itu, saya memfavoritkan Sullen yang dirilis tahun 2013. Dibuka oleh “Perfect Colour” yang renyah dan manis, serta punya sisi getir tersendiri yang sukar dijelaskan. Bagi yang belum pernah mendengar Barefood, “Perfect Colour” adalah pintu gerbang yang tepat. Semua orang akan menyukai lagu ini, termasuk yang masih awam alternative rock sekalipun. Seperti kata Devi Ardian, kritikus musik spesialis Chainsmoker dan Nia Daniati ini, saat saya memberi dengar lagu ini. “Lagu kaya gini enak didengerin makai headset!” Sayangnya, dia tidak punya headset dan saya ogah meminjami. Tidak hanya “Perfect Colour,” Sullen juga punya track lain yang tidak kalah legit. Sebut saja “Grey Skies” yang sangat melodius, “Teenage Daydream” yang bersemangat, dan “Sullen” yang menampilkan vokal perempuan malu-malu tapi cukup renyah dan catchy, cukup nyaman dan enteng. Untuk album Milkbox sendiri, deretan-dereran track matang siap menggempur telinga. Milkbox menjadi album Barefood yang mendewasa. Saya memfavoritkan track nomor 7, “Sugar” dengan sound gitar ala Kevin Shields, semacam eksplorasi ke arah shoegaze yang soft dan muram pekat. Tipikal My Bloody Valentine. Selebihnya semuanya bagus, walaupun sebaik-baik Barefood tetaplah Sullen.


Rumahsakit – 1+2
Mencintai Rumahsakit dengan segala kuranglebihnya—di album ini kekurangannya (atau justru daya tariknya?) ada pada vokal Andri Lemes yang masih tetap... lemes. Siapapun menyukai Rumahsakit dengan Arief (kalau tidak salah) sebagai vokalis baru yang barusan meluncurkan album Timeless. Saya juga suka sih. Suaranya bagus. Cuman lebih suka corak vokal monoton dan malas dari Andri. Bila menyimak album Rumahsakit rilisan lampau, era 90-an, suaranya malah makin kacau meski musiknya tetap indah (hanya saja saya download mp3-nya dengan kualitas lo-fi nan mengecewakan). Ada sebuah pendapat bahwa hanya segelintir orang yang kenal Rumahsakit, dan mereka betul-betul fanatik. Saya mungkin salah satunya. Jika tidak kenal Rumahsakit, sebaiknya ya begitu saja tidak perlu memaksa. Tapi jika ingin kenal, mungkin akan ada dua tipe manusia setelah mendengarkan Rumahsakit era Lemes, khususnya di album 1+2 ini: merasa aneh dan tergila-gila sekali, dan yang kedua mengatakannya sebagai musik lempeng, aneh dan tidak punya daya seni—mengutip pendapat Tri Nanang Budi Santoso, sobat kepompong saya saat saya pamerkan lagu “Hilang.” Sambil mengata-ngatai dengan sembrono bahwa selera saya nggak mbois, tidak punya sense of music atau apalah—enak saja. Saya mencintai Rumahsakit secara tidak sengaja saat memutar lagu “Hilang” di YouTube, yang itu juga secara tidak sengaja pula. Nama band ini adalah nama yang mungkin paling unik dalam jagad musik tanah air; lebih menegaskan keabsurdan ketimbang katakanlah GiGi, atau Padi. Rumahsakit, saya ingin sekali terbahak saat mendengar namanya. Nyatanya lagu “Hilang” yang saya dengarkan membuat saya terus-terusan meratap di depan speaker: indah sekali, tuhan. Intro yang menyayat, dan terkesan sok keren, membius dengan gaya vokal paling ngehek; perpaduan yang memukau dan menghasilkan musik yang begitu bagus dan jujur. Gila. Rumahsakit bagi sebagian orang dianggap nabi (simak SFTC band ini di YouTube). Bahkan meskipun sudah berganti dengan vokalis yang sangat merdu dan bisa bernyanyi, tetat saja orang-orang merindukan Rumahsakit dengan Lemes sebagai vokalis. “Kuning”, membuat kita seolah merasakan hamparan mentari di kening, “Bernyanyi Menunggu”, mengusik naluri kejantanan dengan musik adem ayem, “Pop Kinetik”, yang absurd dan bernada jenaka, “Mati Suri” yang gurih, “Anomali” yang mungkin merupakan suguhan terbaik pada musik pop Indonesia, dan “Sakit Sendiri” yang menyayat dan kosong. FYI, saya sering mengentikan guyuran gayung, atau aktivitas menggosok gigi di pagi hari, saat intro lagu “Hilang” berkumandang dari sound murahan`di kamar. Bukan apa-apa, keindahan itu sayang sekali untuk diacuhkan.


Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie – Semua Ikan Di Langit (2017)
Ziggy meramu sebuah keabsurdan tingkat dewa menjadi fiksi yang manis, tanpa adanya konflik bertele-tele atau ending yang menendang kepala. Novel pemenang juara 1 sayembara Dewan Kesenian Jakarta, sekaligus mungkin juara 2 dan 3 karena pihak juri sengaja tidak memberikan juara untuk urutan 2 dan 3 dengan alasan perbedaan kualitas yang jauh. Semua Ikan Di Langit memang bagus, dari segi gagasan juga tokoh-tokoh yang dimainkan. Mungkin jika ini film bisa dapat nilai 9,8 dari Rotten Tomatoes. Bayangkan tokoh utama novel ini adalah bus. Benar, bus Damri jelek yang biasa kalian jumpai di Bungurasih ataupun—dalam latar novel ini entah saya lupa tepatnya terminal apa. Bus ini secara ajaib berkendara di langit, dengan ikan julung-julung ajaib yang dikendalikan oleh sosok bernama Beliau. Sulit menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya karena alurnya benar-benar tidak tertebak, keluar dari batas kewarasan dan imajinasi. Ada pemikiran bahwa ini merujuk pada kisah Tuhan dan malaikat, dan proses penciptaan dunia. Tapi Ziggy—benar-benar—mengisahkannya secara ajaib dan absurd, tidak sakral dan sama seperti gaya penceritaan anak kecil lugu yang tidak tahu apa-apa di Di Tanah Lada (2013). Ada balutan ilustrasi epik karya Ziggy sendiri yang juga menambah nilai lebih di sekujur tubuh buku ini. Ada kutipan-kutipan haru yang jujur cukup absurd karena diucapkan oleh bus. Bila perasaan kita sudah terasah, atau sudah mempelajari teori semiotika, kita akan segera tahu pesan halus yang disampaikan Ziggy dalam adegan-adegan yang meloncat-loncat, dari situasi perang sampai toko roti di belahan dunia lainnya. Ziggy melemparkan kritik dan pesan tidak dengan gaya keras, tidak pula lembut romantis. Ia menyampaikannya dengan gaya ketidakjelasan yang sebenarnya cukup jelas bila kita mengerti maksudnya. Saya penasaran akan naskah-naskah yang tersodor di meja juri DKJ: seburuk itukah sampai hanya Ziggy yang memperoleh juara 1—dengan juara 2 dan 3 yang kosong, selebihnya diisi juara harapan? Mungkin dari semua puja-puji di atas, saya belum menemukan satu titik cela lagi: ini sastra ringan yang sebenarnya cukup berat. Ini sastra dengan pembahasan paling liar dan fantastis yang pernah saya baca. Cukup berbobot dan tinggi. Mungkin Semua Ikan Di Langit bisa dibayangkan sebagai cerita-cerita Disney; sama seperti itu dan hanya saja ini jauh lebih berbobot dan melampaui imajinasi manusia manapun. Karya Ziggy yang sepertinya sedang main-main tapi ia sangat serius melakukan main-main itu. Mungkin Wening Gitomartoyo dari Rolling Stone Indonesia berpikiran serupa saat mengulas Ziggy—yang oleh majalah ini menerima Editor Choice Awards tahun ini kategori The Phenomenal


Sabda Armandio – 24 Jam Bersama Gaspar (2017)
Dio adalah juara harapan 3 dari Sayembara Novel DKJ. Jujur, saya lebih menikmati membaca ini dibanding Semua Ikan Di Langit—meski memang tidak bisa membandingkannya karena Semua Ikan memang punya gagasan yang cukup fantastis. Novel Dio yang kedua seteleh Kamu (yang sudah lama saya ingin membacanya tetapi tidak pernah ada di toko buku ini) membawa cerita detektif yang mengejek detektif itu sendiri, menurut keterangannya. Tapi saya akan bilang bahwa novel ini lebih ke arah kriminal. Detektif tidak dikenal itu hanya melakukan dialog penyelidikan yang selalu ada di bagian tiap bab. Tokoh sentral dalam novel ini adalah Gaspar, yang sejak awal digambarkan sebagai bajingan yang akan merampok kotak hitam di sebuah toko emas. Upaya Gaspar ini secara kebetulan membuatnya mendapatkan partner merampok: saya lupa tokohnya satu-persatu. Kalian pernah membaca novel 5cm sebelum ia jadi ngehip karena dibuat filmnya? Novel terbaik versi Goodreads itu membawa banyak sekali tokoh dalam novelnya. Apakah kalian kebingungan membedakan dan menghafal tokoh ini dan itu, Arial dan Zafran misalnya. Meski Donijantoro meramunya pelan-pelan, tapi entah kenapa saya sulit sekali untuk melakukan pendekatan dengan imajinasi. Untung saja tertolong filmnya—yang juga masih jelek pula. Tapi Dio berhasil membuat pembaca hanya perlu membaca tanpa perlu membolak-balik halaman awal demi mengingat sang tokoh. Karakternya kuat, ada pembeda dan seolah kita mengenalnya. Yang hebat lagi adalah, kita bisa tahu karakter tersebut dan hafal walaupun mereka menggunakan nama samaran. Begitulah Dio. Saya tidak tahu dan tidak penting untuk tahu apakah isi kotak hitam tersebut. Memang bukan itu tujuan penulis. Saya mungkin akan membacanya lagi untuk menemukan hal itu. Tapi yang menarik dan saya fokuskan adalah, kecerewetan Gaspar sebagai tokoh aku, yang cukup komunikatif dan memakai banyak pendekatan budaya pop dalam novelnya. Ada ciri seorang geek-nerd yang tidak memaksakan memakai pendekatan ini. Cerpenis dan novelis Hami Badjingan (nama samaran) sempat berkata bahwa ia juga seperti itu dalam sebuah percakapan tapi saya hampir muntah mendengarnya. Hanya Dio yang bisa seperti itu. Saya ulangi, hanya orang tengil yang benar-benar tengil yang bisa seperti itu. Bukan yang sok tengil.

Taufiq Rahman - Pop Kosong Berbunyi Nyaring (2017)
Dalam buku ini akan dijumpai 19 hal yang tidak perlu diketahui tentang musik. Taufiq sebagai hipster sejati menuliskan grup musik, album, dan lagu-lagu underrated alias di bawah radar yang tidak banyak diketahui dan disukai orang. Menarik membaca esai-esai di buku ini, menghubungkan pengalaman pribadi penulis atau fenomena sosial, dengan musik. Secara mengejutkan, Chris Cornell vokalis Soundgarden ditemukan meninggal beberap bulan setelah buku yang memuat esai tentangnya di halaman depan ini dirilis. Membuat saya yang buta grunge selain Nirvana dan Pearl Jam (serta Ello Tahitoe jika dia layak disebut grunge), langsung mengonsumsi Soundgarden saat itu juga. Juga banyak artis yang saya tidak pernah tahu seperti Brian Eno atau Minutemen atau bahkan Bandempo (!) Ada banyak informasi yang tidak perlu diketahui namun amat menarik bila kita tahu. UKM penerbitan buku Elevation Books milik Taufiq Sepertinya akan konstan mengisi rak buku saya dengan buku-buku musik yang jarang ada di Indonesia. Saya menunggu rilisan-rilisan selanjutnya. Rock and Roll tidak hanya menyenangkan untuk didengarkan, tapi juga untuk dibaca.

Playboy Indonesia Edisi Januari 2007
Singkat cerita di suatu siang yang terik di bulan puasa, saya memutuskan mampir ke Jl. Semarang untuk berburu harta karun: majalah dan buku bekas. Tapi kenyataannya saya seringkali kesini dengan tangan kosong. Saya tidak tahu lagi harus ke mana saat tiba-tiba terpikir bahwa jarak Blauran dengan Jl. Semarang tidaklah terlalu jauh. Saya iseng mampir meski parkir bangsat 3000 rupiah. Ternyata benar adanya: satu Playboy Indonesia saya memang didapat dari Jl. Semarang, juga Rolling Stone Indonesia edisi pertama yang oleh penjualnya ditaruh sembarangan sebagai tadah hujan—sialan—tetapi di Blauran saya selalu menemukan harta karun: dua Playboy Indonesia saya dapat di sini, juga beberapa Rolling Stone, juga selusin National Geographic Indonesia. Lokasi perburuan saya pun berpindah ke Pasar Blauran. Saya sempat bertemu dengan Rafika, jurnalis senior Zetizen di tempat ini. “Aku nemu harta karun,” pamer saya padanya. Rafika yang waktu itu sedang bersama ibundanya penasaran. “Mana lihat?” saya langsung menyeretnya ke tempat agak jauh, membuka tas, dan “astaghfirullahalaziim, mas....” ujar Rafika. Saya terkekeh dan tidak peduli stereotip orang akan Playboy. Ini bagi saya adalah majalah terbaik dan paling memuaskan yang pernah saya baca, lepas dari foto nude-nya. Playboy membuat saya klimaks berulang kali tanpa bosan membacanya; feature yang jempolan, gaya bahasa yang sok songong dan sengak tapi saya suka (khususnya di Playboy Advice). Satu lagi, Playboy punya sikap yang jarang dipunyai media lain. Saya berharap Playboy Indonesia hadir kembali, dengan Pemred Erwin Arnada, penulis Alfred Pasifico, Soleh Solihun dan Arian Arifin Wardiman. Cerpen-cerpen yang dilempar juga sarat akan mutu. Cukup kenyang dan puas, setidaknya sudah mendapat tiga edisi. Kurang tujuh lagi dan saya mungkin akan bahagia. Khususnya edisi perdana dengan cover Andhara Early dan Playmate Kartika. Saya penasaran, sungguh.

No comments:

Post a Comment