Monday, June 19, 2017

14 Hari Untuk selamanya (Bagian 6)

VI.
Karangan Untuk Karang Taruna

Saudara karib: Chandra (kanan). Kodam Brawijaya. Tes Masuk Polri
Akhir 2016
Ide Hengki hari ini: tadarus es buah. Penjabaran ide tersebut: melipir ke masjid dusun, ngaji sebentar sampai serak mikrofon, comot es buah dan goreng-gorengan apapun yang dihidangkan warga, lalu cabut. Segampang itu. Karena dekat, kami tidak memakai motor, jalan kaki saja sudah cukup toh nanti bakal ada asupan energi lagi. Di sini agak ironis karena warga begitu baiknya menyediakan semua kebutuhan pangan saat tadarus usai tarawih, sementara jarang muda-mudi yang ke masjid menghabiskan makanannya—atau mungkin mereka belum tahu saja. Saat pulang-pergi itu, kami biasa melewati warga dan segala aktivitasnya. Mungkin karena sama-sama orang desa dan tinggal di kampung, saya dan Hengki selalu otomatis menyapa. Kadang juga tersenyum, atau yang penting bergelegat baik lah. Termasuk juga saat sekumpulan muda-muda dengan motor pretelan (seperti mau membuka cabang geng motor legendaris Moonraker area Mojokerto), sedang berkumpul, nyangkruk, dengan kepul rokok di tangan masing-masing. Ada yang telanjang, ada yang bertato, ada yang mohawk, ada yang memakai piercing, ada yang rambutnya diwarnai. Benar-benar California. Kurang beberapa langkah sebelum kami melewati kumpulan yang sedang nyangkruk itu, Hengki menggumamkan sesuatu.

“Damput, preman. Piye iki.”

Sementara saya tidak tahu harus berbuat apa, hanya lewat saja toh tidak cari gara-gara. Saya tidak ada ide untuk basa-basi apapun, untuk melakukan pendekatan sosial apalah saya tidak ngeh akan ide-ide how to win friends seperti itu. Bersikap biasa sajalah, natural. Tapi kemudian, kejadiannya tidak seperti yang kami bayangkan. Setelah gerombolan punk rock jalanan dan kami saling bertatapan tajam, suasana langsung lumer dan cair. Mas Tim Armstrong (saya comot asal dari nama vokalis Rancid) yang berambut mohawk disemir merah, yang sepertinya pemimpin geng itu, tersenyum ramah, diikuti cecunguk-cecunguk bawahannya yang bahkan menunduk. Mas Tim Armstrong kemudian salaman dengan kami diikuti bawahannya.

“Ngaji ta, Mas?” tanya Mas Tim.
“Enggeh, Mas. Tadarusan—Monggo...” Ujar Hengki.

Saya bersyukur Hengki tidak banyak basa-basi merusak suasana. Ada kontras yang jelas antara kostum Mas Tim yang hanya memakai kutang kaos dan rambut berandalan kakap, dengan kami, pendatang KKN yang memakai sarung, necis dan walaupun tidak mandi-mandi amat tetap wangi sedikitlah. Plus tambahan peci dan batik dan untuk Hengki.

“Lek macem-macem sikat sisan ae!” ujar Hengki saat kami melanjutkan perjalanan menuju masjid. Saya diam saja tidak mau menghancurkan obsesi radiator itu untuk menjadi hero. Kami memang beberapa kali—hanya berdua, saya dan Hengki—lewat di depan geng itu. Walaupun tidak setiap hari juga salaman, tapi setidaknya mereka ramah. Saya jadi agak bingung dengan desas-desus di camp bahwa anak kartar itu menakutkan, seram, mengancam jiwa, bla-bla-bla. Ya tapi wajar juga begitu itu, toh ini desa-desa mereka sendiri.

***

Malam itu saya dan Hengki, seperti biasa, baru pulang dari masjid mencari gratisan es buah. Camp sudah ramai saat kami datang. Tidak seperti biasanya. Saat itu anak-anak mengumpul semua, duduk bersila. Menggerombol. Ada dua kubu. Kubu pertama adalah segerombolan anak-anak, termasuk mas-mas dan anak buahnya yang kemarin. Kubu kedua, tikus-tikus 145.

“Ini, ada anak-anak kartar. Mau main sama kenalan” ujar Anugrah. Dia ini sepertinya kewalahan karena saya lihat, dia sendiri yang menemui dan berbasa-basi dengan perwakilan kartar. Sementara tikus-tikus lainnya memilih bergerombol sendiri. Breng yang Maha Brengos malah menjajal LCD yang kemarin kami pasang, dengan proyektor entah nyolong milik siapa, memutar film bioskop yang baru rilis. Waktu itu sedang ngehip Now You See Me 2 dengan pemeran tambahan Daniel Radclife-nya Harry Potter. Saya tidak yakin separuh populasi camp sudah melihat Now You See Me yang pertama. Saya pikir itu kualitas Blu-Ray atau 1080mp atau DVD-R yang dibawa Breng, ternyata CAM yang benar-benar busuk, dan mayoritas warga KKN dengan enjoynya menikmati hal seperti itu. Menonton film bagus dengan kualitas CAM adalah serendah-rendahnya apresiasi meski hanya bajakan. Dan menonton film tidak bagus-bagus amat dengan kualitas CAM—saya tidak tahu lagi apa yang mesti dinikmati.

Anugrah tetap sendirian—kemudian akhirnya ditemani Hengki—dan anak-anak KKN masih menonton film. Saya juga tidak melihat batang hidung Fitra, kecil kriwul yang sepertinya biasa aktif dalam basa-basi penyambutan tamu (setelah itu diketahui bahwa rupanya dia membangun affair dengan Mama Esti; mengajaknya berburu bakso campur curcol campur itulah-itulah). Geng Blangkon Jawa Wiendo dan Wisnu malah asyik menyepi dan kemudian ketularan selfie bersama komunitas gincuers dan daster-ers. Sementara anak laki-laki lain entah ke mana, yang pasti Breng dan Aminul masih punya daya tahan menonton bareng film CAM dikelilingi gincuers dan daster-ers dan ngebo-ers. Ikbal mungkin masih tepar. Syakur mungkin masih dalam perjalanan PP Mojokerto-Jombang (biasa komunitas angkat-angkat box). Sudah, tiada lagi. Saya tidak paham kok bisa-bisanya ciwi-ciwi yang biasanya cerewet di camp, malah tidak terdengar suaranya saat ada kunjungan anak kartar. Apalagi kartarnya tidak hanya beranggotakan laki-laki, banyak juga yang perempuan. Atau, ya mungkin anak-anak masih malu-malu, atau takut-takut tahi kucing. Tapi saya tidak setuju kalau anak kartar itu menakutkan. Walaupun beberapa tampang sepertinya bengis dan bisa makan kecoak. Saya menyusul Hengki yang sudah lebih dulu duduk di samping Anugrah, mencoba membuka percakapan dengan anak kartar. Saya yang kadang suka punya kecanggungan sosial memilih membuka bungkus rokok putih dan membakarnya saja. Sambil sesekali menawarkan barangkali ada anak kartar yang minat (hasil: rokok putih ditolak mentah-mentah). Saya kemudian bersalaman dengan anak-anak kartar, satu-persatu. Tanpa ada niat basa-basi sama sekali.

“Ini lho, ketua kartar. Guantenge ngene.” Ujar Hengki memperkenalkan seseorang.

Yang diperkenalkan hanya tersenyum. Kami saling berjabat tangan.

“Chandra.” Ujarnya memperkenalkan diri.

Anak ini mirip Soeharto saat usianya 19 tahun. Sungguh.

***
Pertemuan dengan kartar sebenarnya adalah pertemuan antara Anugrah, Hengki dan saya dengan kartar. Anak-anak lain lebih memilih selonjoran sambil menonton Now You See Me 2 CAM, menunggu malam, menunggu ngantuk. Mungkin ada sedikit suguhan, semacam pisang atau buah-buahan pedesaan. Ternyata itu anak kartar yang membawa. Saya hanya diam, mengasap sendirian menemani Hengki yang mengobrol ngalor-ngidul dengan anak kartar. Anugrah ikut cekikikan. Sampai saya tahu suasana bisa jadi segaring itu. Hengki mulai mengeluarkan Diplomat kretek andalannya, sementara Anu sudah berancang-ancang untuk menata kartu: regu kartar menantang anak KKN untuk membunuh malam. Bukan judi karena siapa juga yang mau bertaruh tanpa meja. Karena saya memang pada dasarnya malas dengan permainan kartu bentuk apapun, jadilah tinggal saya yang ngaplo bersama anak kartar yang tersisa dan malas ikutan main: Chandra—si ketua, Tony Hawk (saya tidak tahu namanya), dan Will Smith (saya lupa namanya).

“Disini yang tradisional apa mas?” ujar saya berbasa-basi. Iseng saja. Setiap daerah pasti punya hal-hal yang tradisional. Setiap anak muda di daerah juga punya hal tradisional yang diwariskan oleh anak-anak muda pendahulu mereka. Mungkin di era konservatif, hal-hal tradisional semacam itu sudah dilenyapkan, dipaksa hilang oleh tekanan agama. Hal-hal yang sempat ditulis dengan sangat apik oleh Feature Editor Playboy Indonesia Alfred Pasifico Ginting, beberapa tahun lalu saat majalah ini belum buyar oleh tingkah polisi moral, dalam feature panjang berjudul “Bangsa Penenggak Arak.” Feature ini menjelaskan bahwasanya arak—atau minuman beralkohol apapun itu namanya yang diproduksi secara lokal dan tradisional—adalah hasil dari kebudayaan dan dimiliki oleh tiap daerah. Awalnya ini legal, seperti lepen di Jogjakarta, atau tuak dari Tuban. Tetapi karena adanya tekanan moral dan beberapa oknum yang mengaku paling benar, suci dan lurus, hal-hal tradisional semacam ini terpaksa menjadi ilegal, dan dijual secara sembunyi-sembunyi. Perusak moral generasi, minuman setan, pemabuk, dan anggapan horor lainnya. Perlu pemikiran yang lebih luas dan terbuka agar kita tidak selamanya memandang alkohol tradisional secara negatif. Akan panjang bila dijelaskan di sini, tetapi salah satu fungsinya yang menyenangkan adalah sarana rekreasional, pelepas penat. Minuman tradisonal bila dikonsumsi secara tepat dan tidak berlebihan, akan membuat tidur lebih nyenyak dan badan akan segar setelah bangun. Wiji Thukul, salah seorang penyair pejuang yang dihilangkan paksa dalam Tragedi 1998, punya kebiasaan minum ciu di persembunyiannya. Ciu membuat Wiji lebih tenang, tidak gelisah dan bisa tidur dengan lelap.

“Ada, mas. Ini bener-bener alus.” Ujar Chandra. Saya melihat hal itu dari matanya; sorot itu. Seperti ada api yang tiba-tiba menyala. Chandra yang tidak berbicara sedari tadi pun tiba-tiba nyerocos. Sebagai ketua, dia sudah menampakkan dirinya. Sementara yang lain bermain kartu, saya, Chandra ditemani Tony dan Will bercerita banyak mengenai kampungnya. Saya tidak menyangka tapi juga tidak terlalu kaget: segalanya tampak cair dan tidak ditutup-tutupi. Saya menyadari satu lagu dari Begundal Lowokwaru; “Saudara Sebotol”. Bahwa hanya karena kegemaran akan minuman tradisonal, kita bisa mengenal lebih dekat, orang-orang yang sebelumnya tertutup, menjadi terbuka. Seperti ada selubung penghubung antara seluruh anak muda di dunia ini. Kami berempat saling berbagi tentang hal ini, sampai-sampai Chandra seperti membuka tabir kegelapan: sesuatu yang lebih, sesuatu yang berbahaya. Saya kadang terbahak, memang kadang konsumsi kita suka berlebihan. Will Smith si hitam yang merasa tersindir dan merasa Chandra bisa membuka rahasia-rahasia berbahaya desa pada orang asing, sedikit memperingatkan.

“Gapopo, mas iki aman.” Ujar Chandra merujuk pada saya. Tidak ada hal-hal yang bisa saya bagi lagi di sini. Kalian mungkin sudah paham, atau mungkin tidak akan pernah paham. Saya hanya bisa tersenyum lagi mendengar cerita Chandra. Setelah pertemuan sampai larut malam, Chandra membisiki saya sesuatu sebelum pamitan.

“Nanti mungkin bisa cerita-cerita lagi, mas.” Ujar Chandra. “Sama sampean tok ae yo, mas.” Tambahnya. Saya mengangguk sambil menyeringai.

“Nanti aku bawakan pasokan.”

***

Saya dan Fitra sempat kembali ke Surabaya beberapa waktu sebelumnya. Fitra stay di kosan saya—sementara saya menemui seseorang. Di hari saya pulang ke Surabaya itu beberapa begajul seperti Sony tanpa diduga sedang mokel di Masakan Padang dekat kos. Lalu ia melipir sebentar dan saling berbagai minuman tengik sialan di siang hari bulan puasa. Fitra yang takut terpengaruh buruk dan ikutan mokel memilih pun pergi menemui pacarnya sampai dini hari. Saya pun juga sama di malam harinya.

Setelah kembali ke camp, disitu saya dan Chandra intens berhubungan. Saat saya dan Fitra mencari barang yang bisa disesap di kota, Chandra menghubungi saya. Itu sudah lewat tengah malam sementara bulir-bulir yang kami cari tidak ada. Fitra yang memegang kemudi kebingungan karena Mojokerto jadi rumit begini di malam hari. Kami pun jadi kelaparan dan akhirnya memilih kembali, mencari sesuap sate sebagai pengganti kehangatan di malam pekat ini. Sementara saya masih nyasar dan berencana akan mencari kemungkinan penghangat lain, Fitra membahas sesuatu.

“Kon lek kepengen, nang daerah endi iku onok banci.”

Bangsat. Bajingan. Saya tidak semurah itu. Ponsel saya kemudian terus berdering. Chandra.

“Nang ndi, mas?”
“Aku nyari bulir-bulit mas. Nggak nemu tapi. Ngerti tempate ta?”
“Ngerti mas, sek sek tak samperin. Sampean di mana?”
“Ehm..” Fitra menyahut. “Pinggir kali...”

Setelah itu senyap. Kalian tahu betapa bedebahnya informasi itu. Saya pun berbicara dengannya lagi.

“Wis mas, aku nggak ngerti iki nangndi. Tak mbalik ae yo, mas. Ojok diparani wis.” Ujar saya.

Sementara saya kembali dan menemukan jalan terang, Fitra mengajak melipir di warung sate antah berantah yang penuh debu. Bangsat, apa saking tidak larisnya. Di situ Fitra yang awalnya agak sedikit sewot dan sensitif dengan saya—dan siapapun juga, menjadi melunak. Dia jadi kawan KKN saya yang paling dekat—setelah Hengki—setelah berburu bulir-bulir dan santapan sate malam itu.

“Aku bingung. Dia itu...” Cerita Fitra, merujuk pada satu nama. Saya mau tidak mau juga merujuk pada satu nama. Kami saling bercerita di sisi paling kelam di Mojokerto. Warung sate antah-berantah. Kabut tebal. Truk kencang. Jalanan lengang. Chandra menghubungi lagi.

“Mas aku wis nang kali iki. Samean sebelah endi?”

Kali endi cuuuk...

***

Segalanya mulai menjadi anjing disaat siang-siang itu kami—saya, Fitra, Hengki—turut serta mengantarkan jenazah orang Sidowangi yang kebetulan meninggal menuju perabuan terakhir. Bekas anak-anak KKN tahun 2015 terlihat pada plang bertulis ‘MAKAM’ dengan arah kanan; masuk ke dalam gang sempit yang saya pikir, makam hanya berjarak seperlemparan batu dari situ. Tapi ternyata Burhan dkk sialan—dia ‘ketua’ KKN 2015—yang membuatnya tampak dekat. Karena setelah saya berjalan di sawah-sawah sialan, makam itu tidak pernah tampak. Sebenarnya dimana makam ini. Hari masih puasa, saya masih terjaga dalam kondisi lapar dan dahaga. Bersama serombongan anak kartar—termasuk Candra—perjalanan menuju makam jadi dosa juga karena ia memunguti mentimun di sawah orang, kemudian langsung memasukkannya dalam tenggorokan. Bajingan. Pun juga Fanta Merah yang dibawa Mas Agung, bergantian kami tenggak meski—sialan—itu Fanta terburuk yang pernah saya minum karena hangat sekali. Cecunguk seperti Fitra masih betah menahan dahaga, sementara saya dan Hengki tidak peduli, terus terjang, terjang terus. Hingga sampai makam paling industrial yang pernah ada: sebelahnya persis adalah pabrik-pabrik yang mengeluarkan suara mesin berisik—sementara orang-orang berdoa untuk jenazah. Bahwa makam dan pabrik yang hanya dibatasi oleh pagar beton tak seberapa tinggi mungkin membuat suara-suara itu bercampur-aduk bak kehidupan yang sudah tidak ada bedanya lagi dengan kematian.

Sekembalinya dari makam, saya yang akan melanjutkan puasa agaknya akan memilih tidur saja. Lelah. Makam tersebut melewati bawah tol yang jaraknya membuat kaki gempor. Apalagi lumpurnya brengsek benar. Tapi seseorang di seberang sana masih saja anjing. Candra memanggil saya dengan lambaian. Ia berada di rumah Mas Agung yang terletak di depan camp. Mau tidak mau, saya terhipnotis juga.

“Iki, mas! Fanta!” Candra menawarkan pada saya sisa Fanta tadi. Mas Agung hanya tertawa
“Wah, dikei es enak iki!” ujar saya, asal.

Entah siapa harus menghormati siapa, entah apakah Candra berkuasa seenak udel atas orang yang lebih tua sekalipun, entah bajigur ini memang bos sejak lahir, Mas Agung langsung menurut saat Candra memerintah.

“Jupukno es batu, ndang!” ujarnya pada Mas Agung. Yang disuruh pun seperti budak Afrika yang belum dimerdekakan, mangut-mangut sambil ngeloyor ke dapur. Saya jadi merasa tidak enak sendiri. Agak lama, Mas Agung kemudian membawa bongkahan es batu, ditaruh dalam gelas. Sepertinya dia habis memecahnya hingga jadi bongkah kecil.

“Monggo, Mas!”

Fanta merah dingin, siang bolong bulan puasa, kerongkongan kering, panas sialan: ah, sikat saja! Bodoh namanya bila menolak, apalagi ini hasil jerih payah Mas Agung.

Cekgluk, cekgluk! Bangsat, melegakan sekali. Saya berbisik pada diri sendiri, mengapa anak-anak ini begitu betah meminum Fanta hangat di cuaca sebajingan ini padahal ada bongkah es yang siap sebagai campuran? Ah sudahlah. Berbicara campuran akan mengingatkan pada bualan Candra tentang bahan-bahan yang biasa dicampur dengan Fanta merah—ah sudahlah.

Sejurus kemudian, entah ritual panggilan apalagi yang dilakukan Candra untuk memanggil kalangan-kalangan jin tomang, Hengki pun datang: dengan membawa Diplomat kretek kesayangan. Langsung sebats bersama Gold Lights saya—dan memang Candra dan Mas Agung tidak suka mengasap. Kedatangan Hengki menambah semakin menambah dosa karena setelah itu Candra mulai bertanya tentang hal krusial yang dilakukan di siang bolong dimana badan dan pikiran sudah membutuhkan asupan gizi.

“Ayo, nggak luweh ta?”

Anjing. Tentu saja, yang ditanya pasti mengangguk-angguk.

“Ayo, mangan nang emak!” ujar Hengki.
“Emak endi, mas?” tanya Candra. Tentu saja dia tidak tahu karena ‘emak’ adalah nama buatan kami sendiri yang merujuk pada ibu-ibu baik hati penuh senyum yang rela melayani kami berbuka—sebelum adzan tiba.
“Kiri jalan, sebelah gang. Wonge njual mie ayam sisan” ujar Hengki.
“Oh, sampean pengen mie ayam ta? Ayo wis budal melu aku!” ajak Candra.

Bajingan keparat malah makin ngelunjak.

“Mie ayam bakso mas!”

Segera saja kita—saya, Hengki, Candra dan Mas Agung—meluncur ke kota. Di daerah sekitar alun-alun dimana keramaian jelang berbuka dipenuhi oleh orang-orang yang berjualan makanan dan takjil. Ini masih pukul tiga sore, seharusnya membatalkan puasa jam segini lumayan nanggung, tapi apa boleh buat, sudah kepalang tanggung untuk mundur. Apalagi mie pangsit yang tersaji disini sebegitu brengseknya: piring bergambar ayam jago—tipikal—dengan kuah yang seperti mengambangkan minyak sayur diatasnya. Mie yang tidak terlalu besar dan liat, potongan daging ayam yang lembut dan—ya tuhan—banyak bagian kulitnya: mungkin ini salah satu mie ayam jagoan di Mojokerto. Candra saja sampai jauh-jauh kemari.

“Sepurane, mas. Ga onok baksone.” Ujar Candra.
“Walah, santai.” jawab saya.

Sepertinya ini kompensasi atas mie ayam super abal-abal yang dibuatkan di warung emak: meski dengan tambahan bakso tapi tetap saja itu mie paling KW yang pernah saya makan.

Kerupuk dipetik dari tembok. Jamuan makan dimulai. Penjualnya seperti mengenal siapa itu Candra—di jalan tadi beberapa orang juga meneriaki Candra, entah karena dia famous atau pernah jadi rekan menjamu bersama. Saya tidak pernah merasa bahwa si pedagang berpikiran bahwa kami adalah kaum komunis liberal bangsat yang tidak berpuasa dan pengikut illuminati, toh dia juga tetap dagang tanpa penutup di bulan ramadan. Sama-sama anjingnya bukan?

Mie ayam kami santap secara normatif dan tak terburu-buru. Pukul setengah empat sore.

“SMA-ku di situ, mas.” Ujar Chandra. Saya hanya melongo, mie ayam ini terlalu berharga hanya untuk sekadar mendengar itu. Hengki malah tidak peduli sama sekali. Setelah menambah sendok sambal, saya kembali sadar karena kepedesan.

Salah satu yang terbaik di Kota Mojokerto. Jelang buka puasa, 2016 
“Di sini tempat anak-anak muda Sidowangi nongkrong ya, mas?” tanya saya.

Chandra terbahak. Apanya yang lucu.

“Yo kadang, mas. Tapi biasanya seringnya ke pemandian Pacet.” Kemudian Chandra menyebutkan satu nama tempat lain. Giliran saya yang terbahak. Ternyata ‘tempat anak-anak muda Sidowangi nongkrong tadi’ membuatnya berpikiran sesuatu dan terbahak.

“Kapan-kapan tak ajak ke sana, mas.” Ujarnya.
“Wush sip. Tapi pas habisnya KKN ya, mas. Hehe.”

Bajingan tengik: Chandra (kiri) dan Agung (kanan)
Di sore hari yg cukup gerah. 2016
***
Hari berikutnya, tim futsal KKN ditantang oleh anak kartar. Tapi baru separuh babak pertama, saya benar-benar tidak kuat. Bangsat. Perut rasanya. Kepala nyut-nyutan. Padahal masih sembilan malam. Sebelumnya saya memang sempat ada agenda berdua saja dengan Chandra. Sepertinya saya makin sering keluar dengan bajingan tengik ini. 

“Wis, nggak kuat aku. Mandek sek.” Saya langsung menuju kamar mandi dan muntah-muntah. Chandra tertawa puas. Bajingan satu ini.

“Mari iki ayo ngopi, mas. Ben netral.” Ujarnya terkekeh.


Bangsaaat...

No comments:

Post a Comment