VI.
Karangan
Untuk Karang Taruna
Saudara karib: Chandra (kanan). Kodam Brawijaya. Tes Masuk Polri Akhir 2016 |
Ide Hengki hari ini:
tadarus es buah. Penjabaran ide tersebut: melipir ke masjid dusun, ngaji
sebentar sampai serak mikrofon, comot es buah dan goreng-gorengan apapun yang
dihidangkan warga, lalu cabut. Segampang itu. Karena dekat, kami tidak memakai
motor, jalan kaki saja sudah cukup toh nanti bakal ada asupan energi lagi. Di
sini agak ironis karena warga begitu baiknya menyediakan semua kebutuhan pangan
saat tadarus usai tarawih, sementara jarang muda-mudi yang ke masjid
menghabiskan makanannya—atau mungkin mereka belum tahu saja. Saat pulang-pergi
itu, kami biasa melewati warga dan segala aktivitasnya. Mungkin karena
sama-sama orang desa dan tinggal di kampung, saya dan Hengki selalu otomatis
menyapa. Kadang juga tersenyum, atau yang penting bergelegat baik lah. Termasuk
juga saat sekumpulan muda-muda dengan motor pretelan (seperti mau membuka
cabang geng motor legendaris Moonraker area Mojokerto), sedang berkumpul,
nyangkruk, dengan kepul rokok di tangan masing-masing. Ada yang telanjang, ada
yang bertato, ada yang mohawk, ada yang memakai piercing, ada yang rambutnya
diwarnai. Benar-benar California. Kurang beberapa langkah sebelum kami melewati
kumpulan yang sedang nyangkruk itu, Hengki menggumamkan sesuatu.
“Damput, preman. Piye
iki.”
Sementara saya tidak
tahu harus berbuat apa, hanya lewat saja toh tidak cari gara-gara. Saya tidak
ada ide untuk basa-basi apapun, untuk melakukan pendekatan sosial apalah saya
tidak ngeh akan ide-ide how to win
friends seperti itu. Bersikap biasa sajalah, natural. Tapi kemudian,
kejadiannya tidak seperti yang kami bayangkan. Setelah gerombolan punk rock
jalanan dan kami saling bertatapan tajam, suasana langsung lumer dan cair. Mas
Tim Armstrong (saya comot asal dari nama vokalis Rancid) yang berambut mohawk
disemir merah, yang sepertinya pemimpin geng itu, tersenyum ramah, diikuti
cecunguk-cecunguk bawahannya yang bahkan menunduk. Mas Tim Armstrong kemudian
salaman dengan kami diikuti bawahannya.
“Ngaji ta, Mas?” tanya
Mas Tim.
“Enggeh, Mas.
Tadarusan—Monggo...” Ujar Hengki.
Saya bersyukur Hengki
tidak banyak basa-basi merusak suasana. Ada kontras yang jelas antara kostum
Mas Tim yang hanya memakai kutang kaos dan rambut berandalan kakap, dengan
kami, pendatang KKN yang memakai sarung, necis dan walaupun tidak mandi-mandi
amat tetap wangi sedikitlah. Plus tambahan peci dan batik dan untuk Hengki.
“Lek macem-macem sikat
sisan ae!” ujar Hengki saat kami melanjutkan perjalanan menuju masjid. Saya
diam saja tidak mau menghancurkan obsesi radiator itu untuk menjadi hero. Kami
memang beberapa kali—hanya berdua, saya dan Hengki—lewat di depan geng itu.
Walaupun tidak setiap hari juga salaman, tapi setidaknya mereka ramah. Saya
jadi agak bingung dengan desas-desus di camp bahwa anak kartar itu menakutkan,
seram, mengancam jiwa, bla-bla-bla. Ya tapi wajar juga begitu itu, toh ini
desa-desa mereka sendiri.
***
Malam itu saya dan
Hengki, seperti biasa, baru pulang dari masjid mencari gratisan es buah. Camp
sudah ramai saat kami datang. Tidak seperti biasanya. Saat itu anak-anak
mengumpul semua, duduk bersila. Menggerombol. Ada dua kubu. Kubu pertama adalah
segerombolan anak-anak, termasuk mas-mas dan anak buahnya yang kemarin. Kubu
kedua, tikus-tikus 145.
“Ini, ada anak-anak
kartar. Mau main sama kenalan” ujar Anugrah. Dia ini sepertinya kewalahan
karena saya lihat, dia sendiri yang menemui dan berbasa-basi dengan perwakilan
kartar. Sementara tikus-tikus lainnya memilih bergerombol sendiri. Breng yang
Maha Brengos malah menjajal LCD yang kemarin kami pasang, dengan proyektor
entah nyolong milik siapa, memutar film bioskop yang baru rilis. Waktu itu
sedang ngehip Now You See Me 2 dengan
pemeran tambahan Daniel Radclife-nya Harry Potter. Saya tidak yakin separuh
populasi camp sudah melihat Now You See
Me yang pertama. Saya pikir itu kualitas Blu-Ray atau 1080mp atau DVD-R
yang dibawa Breng, ternyata CAM yang benar-benar busuk, dan mayoritas warga KKN
dengan enjoynya menikmati hal seperti itu. Menonton film bagus dengan kualitas
CAM adalah serendah-rendahnya apresiasi meski hanya bajakan. Dan menonton film
tidak bagus-bagus amat dengan kualitas CAM—saya tidak tahu lagi apa yang mesti
dinikmati.
Anugrah tetap sendirian—kemudian
akhirnya ditemani Hengki—dan anak-anak KKN masih menonton film. Saya juga tidak
melihat batang hidung Fitra, kecil kriwul yang sepertinya biasa aktif dalam
basa-basi penyambutan tamu (setelah itu diketahui bahwa rupanya dia membangun
affair dengan Mama Esti; mengajaknya berburu bakso campur curcol campur
itulah-itulah). Geng Blangkon Jawa Wiendo dan Wisnu malah asyik menyepi dan
kemudian ketularan selfie bersama komunitas gincuers dan daster-ers. Sementara
anak laki-laki lain entah ke mana, yang pasti Breng dan Aminul masih punya daya
tahan menonton bareng film CAM dikelilingi gincuers dan daster-ers dan ngebo-ers.
Ikbal mungkin masih tepar. Syakur mungkin masih dalam perjalanan PP
Mojokerto-Jombang (biasa komunitas angkat-angkat box). Sudah, tiada lagi. Saya
tidak paham kok bisa-bisanya ciwi-ciwi yang biasanya cerewet di camp, malah
tidak terdengar suaranya saat ada kunjungan anak kartar. Apalagi kartarnya
tidak hanya beranggotakan laki-laki, banyak juga yang perempuan. Atau, ya
mungkin anak-anak masih malu-malu, atau takut-takut tahi kucing. Tapi saya
tidak setuju kalau anak kartar itu menakutkan. Walaupun beberapa tampang sepertinya
bengis dan bisa makan kecoak. Saya menyusul Hengki yang sudah lebih dulu duduk
di samping Anugrah, mencoba membuka percakapan dengan anak kartar. Saya yang
kadang suka punya kecanggungan sosial memilih membuka bungkus rokok putih dan
membakarnya saja. Sambil sesekali menawarkan barangkali ada anak kartar yang
minat (hasil: rokok putih ditolak mentah-mentah). Saya kemudian bersalaman
dengan anak-anak kartar, satu-persatu. Tanpa ada niat basa-basi sama sekali.
“Ini lho, ketua kartar.
Guantenge ngene.” Ujar Hengki memperkenalkan seseorang.
Yang diperkenalkan hanya
tersenyum. Kami saling berjabat tangan.
“Chandra.” Ujarnya
memperkenalkan diri.
Anak ini mirip Soeharto
saat usianya 19 tahun. Sungguh.
***
Pertemuan dengan kartar
sebenarnya adalah pertemuan antara Anugrah, Hengki dan saya dengan kartar.
Anak-anak lain lebih memilih selonjoran sambil menonton Now You See Me 2 CAM, menunggu malam, menunggu ngantuk. Mungkin ada
sedikit suguhan, semacam pisang atau buah-buahan pedesaan. Ternyata itu anak
kartar yang membawa. Saya hanya diam, mengasap sendirian menemani Hengki yang
mengobrol ngalor-ngidul dengan anak kartar. Anugrah ikut cekikikan. Sampai saya
tahu suasana bisa jadi segaring itu. Hengki mulai mengeluarkan Diplomat kretek
andalannya, sementara Anu sudah berancang-ancang untuk menata kartu: regu
kartar menantang anak KKN untuk membunuh malam. Bukan judi karena siapa juga
yang mau bertaruh tanpa meja. Karena saya memang pada dasarnya malas dengan
permainan kartu bentuk apapun, jadilah tinggal saya yang ngaplo bersama anak
kartar yang tersisa dan malas ikutan main: Chandra—si ketua, Tony Hawk (saya
tidak tahu namanya), dan Will Smith (saya lupa namanya).
“Disini yang tradisional
apa mas?” ujar saya berbasa-basi. Iseng saja. Setiap daerah pasti punya hal-hal
yang tradisional. Setiap anak muda di daerah juga punya hal tradisional yang
diwariskan oleh anak-anak muda pendahulu mereka. Mungkin di era konservatif,
hal-hal tradisional semacam itu sudah dilenyapkan, dipaksa hilang oleh tekanan
agama. Hal-hal yang sempat ditulis dengan sangat apik oleh Feature Editor
Playboy Indonesia Alfred Pasifico Ginting, beberapa tahun lalu saat majalah ini
belum buyar oleh tingkah polisi moral, dalam feature panjang berjudul “Bangsa
Penenggak Arak.” Feature ini menjelaskan bahwasanya arak—atau minuman
beralkohol apapun itu namanya yang diproduksi secara lokal dan tradisional—adalah
hasil dari kebudayaan dan dimiliki oleh tiap daerah. Awalnya ini legal, seperti
lepen di Jogjakarta, atau tuak dari Tuban. Tetapi karena adanya tekanan moral
dan beberapa oknum yang mengaku paling benar, suci dan lurus, hal-hal
tradisional semacam ini terpaksa menjadi ilegal, dan dijual secara sembunyi-sembunyi.
Perusak moral generasi, minuman setan, pemabuk, dan anggapan horor lainnya.
Perlu pemikiran yang lebih luas dan terbuka agar kita tidak selamanya memandang
alkohol tradisional secara negatif. Akan panjang bila dijelaskan di sini,
tetapi salah satu fungsinya yang menyenangkan adalah sarana rekreasional,
pelepas penat. Minuman tradisonal bila dikonsumsi secara tepat dan tidak
berlebihan, akan membuat tidur lebih nyenyak dan badan akan segar setelah
bangun. Wiji Thukul, salah seorang penyair pejuang yang dihilangkan paksa dalam
Tragedi 1998, punya kebiasaan minum ciu di persembunyiannya. Ciu membuat Wiji
lebih tenang, tidak gelisah dan bisa tidur dengan lelap.
“Ada, mas. Ini
bener-bener alus.” Ujar Chandra. Saya melihat hal itu dari matanya; sorot itu.
Seperti ada api yang tiba-tiba menyala. Chandra yang tidak berbicara sedari
tadi pun tiba-tiba nyerocos. Sebagai ketua, dia sudah menampakkan dirinya.
Sementara yang lain bermain kartu, saya, Chandra ditemani Tony dan Will
bercerita banyak mengenai kampungnya. Saya tidak menyangka tapi juga tidak
terlalu kaget: segalanya tampak cair dan tidak ditutup-tutupi. Saya menyadari
satu lagu dari Begundal Lowokwaru; “Saudara Sebotol”. Bahwa hanya karena
kegemaran akan minuman tradisonal, kita bisa mengenal lebih dekat, orang-orang
yang sebelumnya tertutup, menjadi terbuka. Seperti ada selubung penghubung
antara seluruh anak muda di dunia ini. Kami berempat saling berbagi tentang hal
ini, sampai-sampai Chandra seperti membuka tabir kegelapan: sesuatu yang lebih,
sesuatu yang berbahaya. Saya kadang terbahak, memang kadang konsumsi kita suka
berlebihan. Will Smith si hitam yang merasa tersindir dan merasa Chandra bisa
membuka rahasia-rahasia berbahaya desa pada orang asing, sedikit
memperingatkan.
“Gapopo, mas iki aman.” Ujar
Chandra merujuk pada saya. Tidak ada hal-hal yang bisa saya bagi lagi di sini.
Kalian mungkin sudah paham, atau mungkin tidak akan pernah paham. Saya hanya
bisa tersenyum lagi mendengar cerita Chandra. Setelah pertemuan sampai larut
malam, Chandra membisiki saya sesuatu sebelum pamitan.
“Nanti mungkin bisa
cerita-cerita lagi, mas.” Ujar Chandra. “Sama sampean tok ae yo, mas.”
Tambahnya. Saya mengangguk sambil menyeringai.
“Nanti aku bawakan
pasokan.”
***
Saya dan Fitra sempat
kembali ke Surabaya beberapa waktu sebelumnya. Fitra stay di kosan
saya—sementara saya menemui seseorang. Di hari saya pulang ke Surabaya itu
beberapa begajul seperti Sony tanpa diduga sedang mokel di Masakan Padang dekat
kos. Lalu ia melipir sebentar dan saling berbagai minuman tengik sialan di
siang hari bulan puasa. Fitra yang takut terpengaruh buruk dan ikutan mokel
memilih pun pergi menemui pacarnya sampai dini hari. Saya pun juga sama di
malam harinya.
Setelah kembali ke camp,
disitu saya dan Chandra intens berhubungan. Saat saya dan Fitra mencari barang
yang bisa disesap di kota, Chandra menghubungi saya. Itu sudah lewat tengah
malam sementara bulir-bulir yang kami cari tidak ada. Fitra yang memegang
kemudi kebingungan karena Mojokerto jadi rumit begini di malam hari. Kami pun
jadi kelaparan dan akhirnya memilih kembali, mencari sesuap sate sebagai
pengganti kehangatan di malam pekat ini. Sementara saya masih nyasar dan
berencana akan mencari kemungkinan penghangat lain, Fitra membahas sesuatu.
“Kon lek kepengen, nang
daerah endi iku onok banci.”
Bangsat. Bajingan. Saya
tidak semurah itu. Ponsel saya kemudian terus berdering. Chandra.
“Nang ndi, mas?”
“Aku nyari bulir-bulit
mas. Nggak nemu tapi. Ngerti tempate ta?”
“Ngerti mas, sek sek tak
samperin. Sampean di mana?”
“Ehm..” Fitra menyahut.
“Pinggir kali...”
Setelah itu senyap. Kalian
tahu betapa bedebahnya informasi itu. Saya pun berbicara dengannya lagi.
“Wis mas, aku nggak
ngerti iki nangndi. Tak mbalik ae yo, mas. Ojok diparani wis.” Ujar saya.
Sementara saya kembali
dan menemukan jalan terang, Fitra mengajak melipir di warung sate antah
berantah yang penuh debu. Bangsat, apa saking tidak larisnya. Di situ Fitra
yang awalnya agak sedikit sewot dan sensitif dengan saya—dan siapapun juga,
menjadi melunak. Dia jadi kawan KKN saya yang paling dekat—setelah
Hengki—setelah berburu bulir-bulir dan santapan sate malam itu.
“Aku bingung. Dia
itu...” Cerita Fitra, merujuk pada satu nama. Saya mau tidak mau juga merujuk
pada satu nama. Kami saling bercerita di sisi paling kelam di Mojokerto. Warung
sate antah-berantah. Kabut tebal. Truk kencang. Jalanan lengang. Chandra
menghubungi lagi.
“Mas aku wis nang kali
iki. Samean sebelah endi?”
Kali endi cuuuk...
***
Segalanya mulai menjadi
anjing disaat siang-siang itu kami—saya, Fitra, Hengki—turut serta mengantarkan
jenazah orang Sidowangi yang kebetulan meninggal menuju perabuan terakhir.
Bekas anak-anak KKN tahun 2015 terlihat pada plang bertulis ‘MAKAM’ dengan arah
kanan; masuk ke dalam gang sempit yang saya pikir, makam hanya berjarak
seperlemparan batu dari situ. Tapi ternyata Burhan dkk sialan—dia ‘ketua’ KKN
2015—yang membuatnya tampak dekat. Karena setelah saya berjalan di sawah-sawah
sialan, makam itu tidak pernah tampak. Sebenarnya dimana makam ini. Hari masih puasa,
saya masih terjaga dalam kondisi lapar dan dahaga. Bersama serombongan anak
kartar—termasuk Candra—perjalanan menuju makam jadi dosa juga karena ia
memunguti mentimun di sawah orang, kemudian langsung memasukkannya dalam
tenggorokan. Bajingan. Pun juga Fanta Merah yang dibawa Mas Agung, bergantian
kami tenggak meski—sialan—itu Fanta terburuk yang pernah saya minum karena
hangat sekali. Cecunguk seperti Fitra masih betah menahan dahaga, sementara
saya dan Hengki tidak peduli, terus terjang, terjang terus. Hingga sampai makam
paling industrial yang pernah ada: sebelahnya persis adalah pabrik-pabrik yang
mengeluarkan suara mesin berisik—sementara orang-orang berdoa untuk jenazah.
Bahwa makam dan pabrik yang hanya dibatasi oleh pagar beton tak seberapa tinggi
mungkin membuat suara-suara itu bercampur-aduk bak kehidupan yang sudah tidak
ada bedanya lagi dengan kematian.
Sekembalinya dari makam,
saya yang akan melanjutkan puasa agaknya akan memilih tidur saja. Lelah. Makam
tersebut melewati bawah tol yang jaraknya membuat kaki gempor. Apalagi
lumpurnya brengsek benar. Tapi seseorang di seberang sana masih saja anjing.
Candra memanggil saya dengan lambaian. Ia berada di rumah Mas Agung yang
terletak di depan camp. Mau tidak mau, saya terhipnotis juga.
“Iki, mas! Fanta!”
Candra menawarkan pada saya sisa Fanta tadi. Mas Agung hanya tertawa
“Wah, dikei es enak
iki!” ujar saya, asal.
Entah siapa harus
menghormati siapa, entah apakah Candra berkuasa seenak udel atas orang yang
lebih tua sekalipun, entah bajigur ini memang bos sejak lahir, Mas Agung
langsung menurut saat Candra memerintah.
“Jupukno es batu,
ndang!” ujarnya pada Mas Agung. Yang disuruh pun seperti budak Afrika yang
belum dimerdekakan, mangut-mangut sambil ngeloyor ke dapur. Saya jadi merasa
tidak enak sendiri. Agak lama, Mas Agung kemudian membawa bongkahan es batu,
ditaruh dalam gelas. Sepertinya dia habis memecahnya hingga jadi bongkah kecil.
“Monggo, Mas!”
Fanta merah dingin,
siang bolong bulan puasa, kerongkongan kering, panas sialan: ah, sikat saja!
Bodoh namanya bila menolak, apalagi ini hasil jerih payah Mas Agung.
Cekgluk, cekgluk!
Bangsat, melegakan sekali. Saya berbisik pada diri sendiri, mengapa anak-anak
ini begitu betah meminum Fanta hangat di cuaca sebajingan ini padahal ada
bongkah es yang siap sebagai campuran? Ah sudahlah. Berbicara campuran akan
mengingatkan pada bualan Candra tentang bahan-bahan yang biasa dicampur dengan
Fanta merah—ah sudahlah.
Sejurus kemudian, entah
ritual panggilan apalagi yang dilakukan Candra untuk memanggil
kalangan-kalangan jin tomang, Hengki pun datang: dengan membawa Diplomat kretek
kesayangan. Langsung sebats bersama Gold Lights saya—dan memang Candra dan Mas
Agung tidak suka mengasap. Kedatangan Hengki menambah semakin menambah dosa
karena setelah itu Candra mulai bertanya tentang hal krusial yang dilakukan di
siang bolong dimana badan dan pikiran sudah membutuhkan asupan gizi.
“Ayo, nggak luweh ta?”
Anjing. Tentu saja, yang
ditanya pasti mengangguk-angguk.
“Ayo, mangan nang emak!”
ujar Hengki.
“Emak endi, mas?” tanya
Candra. Tentu saja dia tidak tahu karena ‘emak’ adalah nama buatan kami sendiri
yang merujuk pada ibu-ibu baik hati penuh senyum yang rela melayani kami
berbuka—sebelum adzan tiba.
“Kiri jalan, sebelah
gang. Wonge njual mie ayam sisan” ujar Hengki.
“Oh, sampean pengen mie
ayam ta? Ayo wis budal melu aku!” ajak Candra.
Bajingan keparat malah
makin ngelunjak.
“Mie ayam bakso mas!”
Segera saja kita—saya,
Hengki, Candra dan Mas Agung—meluncur ke kota. Di daerah sekitar alun-alun
dimana keramaian jelang berbuka dipenuhi oleh orang-orang yang berjualan makanan
dan takjil. Ini masih pukul tiga sore, seharusnya membatalkan puasa jam segini lumayan
nanggung, tapi apa boleh buat, sudah kepalang tanggung untuk mundur. Apalagi
mie pangsit yang tersaji disini sebegitu brengseknya: piring bergambar ayam
jago—tipikal—dengan kuah yang seperti mengambangkan minyak sayur diatasnya. Mie
yang tidak terlalu besar dan liat, potongan daging ayam yang lembut dan—ya
tuhan—banyak bagian kulitnya: mungkin ini salah satu mie ayam jagoan di
Mojokerto. Candra saja sampai jauh-jauh kemari.
“Sepurane, mas. Ga onok
baksone.” Ujar Candra.
“Walah, santai.” jawab
saya.
Sepertinya ini
kompensasi atas mie ayam super abal-abal yang dibuatkan di warung emak: meski
dengan tambahan bakso tapi tetap saja itu mie paling KW yang pernah saya makan.
Kerupuk dipetik dari
tembok. Jamuan makan dimulai. Penjualnya seperti mengenal siapa itu Candra—di
jalan tadi beberapa orang juga meneriaki Candra, entah karena dia famous atau
pernah jadi rekan menjamu bersama. Saya tidak pernah merasa bahwa si pedagang
berpikiran bahwa kami adalah kaum komunis liberal bangsat yang tidak berpuasa
dan pengikut illuminati, toh dia juga tetap dagang tanpa penutup di bulan
ramadan. Sama-sama anjingnya bukan?
Mie ayam kami santap
secara normatif dan tak terburu-buru. Pukul setengah empat sore.
“SMA-ku di situ, mas.”
Ujar Chandra. Saya hanya melongo, mie ayam ini terlalu berharga hanya untuk
sekadar mendengar itu. Hengki malah tidak peduli sama sekali. Setelah menambah
sendok sambal, saya kembali sadar karena kepedesan.
Salah satu yang terbaik di Kota Mojokerto. Jelang buka puasa, 2016 |
“Di sini tempat
anak-anak muda Sidowangi nongkrong ya, mas?” tanya saya.
Chandra terbahak. Apanya
yang lucu.
“Yo kadang, mas. Tapi
biasanya seringnya ke pemandian Pacet.” Kemudian Chandra menyebutkan satu nama
tempat lain. Giliran saya yang terbahak. Ternyata ‘tempat anak-anak muda
Sidowangi nongkrong tadi’ membuatnya berpikiran sesuatu dan terbahak.
“Kapan-kapan tak ajak ke
sana, mas.” Ujarnya.
“Wush sip. Tapi pas
habisnya KKN ya, mas. Hehe.”
Bajingan tengik: Chandra (kiri) dan Agung (kanan) Di sore hari yg cukup gerah. 2016 |
***
Hari berikutnya, tim
futsal KKN ditantang oleh anak kartar. Tapi baru separuh babak pertama, saya
benar-benar tidak kuat. Bangsat. Perut rasanya. Kepala nyut-nyutan. Padahal
masih sembilan malam. Sebelumnya saya memang sempat ada agenda berdua saja
dengan Chandra. Sepertinya saya makin sering keluar dengan bajingan tengik
ini.
“Wis, nggak kuat aku.
Mandek sek.” Saya langsung menuju kamar mandi dan muntah-muntah. Chandra
tertawa puas. Bajingan satu ini.
“Mari iki ayo ngopi,
mas. Ben netral.” Ujarnya terkekeh.
Bangsaaat...
No comments:
Post a Comment