Perjumpaan pertama saya dengan Tuan Tanah terjadi saat
mereka dengan cueknya memainkan musik mbliyut di gelap senja usai adzan Maghrib.
Suasana Kampus Unesa tempat mereka unjuk gigi saat itu memang minim penerangan:
remang-remang mesum, ada sedikit cahaya kuning-kuning entah dari lampu colokan
murah milik siapa. Dengan suasana spiritual seperti itu, Tuan Tanah memainkan
musik intrumental yang oleh kita yang awam ini mungkin bisa digambarkan sebagai
post-rock awang-awang, ambience rasa lokal, Eksplotions In The Sky amatir,
Sigur Ros tanpa bahasa aneh, GY!BE remeh temeh atau apapun itu yang kalian
ingin sebut. Hanya elektrik gitar, bas, drum, dan alat musik antah-berantah;
tanpa lirik atau nyanyian vokal. Mereka hening dan kontemplatif dalam permainan
yang rumit. Mereka rumit bukan dalam artian Dragonforce atau Michaelangelobatio
atau Yngwie; kerumitan mereka adalah masalah makna, pemahaman—agak sedikit
bersinggungan dengan psikologi umat manusia. Tuan Tanah dalam Thousand Pictures Can’t Describe This Feeling—rilisan
EP perdana mereka—menjadikan musik bukan hanya sarana pemaknaan tunggal. Kita
digiring pada judul-judul ambigu yang mungkin, antara satu orang dan lainnya
akan berbeda. Pemaknaan pada nuansalah yang kemudian mengarahkan, mengantarkan
kita pada bayang-bayang, horizon harapan; membuat kita merasa eksklusif karena bebas
menafsir.
The
author is dead; kredo dari Roland Barthes ini kembali menyeruak di
penampilan mereka selanjutnya. Masih di Kampus Unesa (entah mengapa saya selalu
melihat mereka perform di Parkiran T2), dengan panggung yang lebih besar Sgt.
Thomas Glaop sang gitaris agak sedikit sewot dengan tukang checksound yang
memang busuk, mengatainya goblok dan lalu terdengar sayup-sayup suara orang
pidato. Saya merasa ada yang aneh, apa si tukang cek sound itu salah memutar lagu,
apa memang disengaja, atau bagaimana. Dugaan saya memang benar: itu memang di
sengaja, permintaan dari Tuan Tanah sendiri, itu memang lagu mereka. Dan dugaan
saya yang kedua kembali benar: Itu pidato legendaris pengunduran diri Suharto
pada Mei 1998. Saat itu saya rasa Tuan Tanah
sudah ancang-ancang untuk menjadi Godspeed You! Black Emperor sebentar
lagi. Melepaskan lirik pada atmosfer, menyerahkan makna sesukanya pada
pendengar. Kebingungan saya tadi telah saya pasrahkan pada Tuan Tanah, dan
Pidato Suharto tersebut membuat saya ingin pipis. Memang inilah cara terbaik
menikmati post-rock: lemesin saja, jangan
dilawan.
Dan setelah ratusan purnama diperam, Pidato
Terakhir Suharto (ya judulnya memang ini) akhirnya dirilis. Saya benar-benar
tidak menyangka ini akan dirilis. Dari sudut pandang saya rilisan ini bisa
dibilang adalah cara lain untuk memperingati Mei 1998. Tidak ada aksi massa,
turun ke jalan, spanduk, pamflet: Tuan Tanah merayakannya sendiri dengan
mencomot mentah-mentah Pidato Pengunduran Diri Presiden Suharto pada Kamis, 21
Mei 1998 di Istana Negara itu dan menambalnya, melapisinya dengan
lumuran-lumuran dramatis. Petikan gitar yang dingin dan monoton, mengiringi
Bapak Tua Pembangunan yang terus menerus berpidato (Suharto dikenal sebagai
tukang pidato yang buruk), dengan dehem nyelip di tenggorokan dan ejaan lamanya
yang iconic. Bagi saya, ini adalah salah satu cara yang baik untuk menolak
tunduk pada lupa. Bila di televisi kita seringkali diingatkan bahwa sesudah
Suharto mengucapkan “Saya memutuskan berhenti...” sekumpulan orang yang
melihatnya dari televisi langsung berteriak heboh, lega, gegap gempita dan bergembira,
Tuan Tanah mendramatisirnya dengan ledakan ampli di mana petikan lembut maha
dingin tadi seketika menjadi gemuruh. Sayup-sayup suara Harto masih terdengar,
namun komposisi ini sudah menunjukkan apinya. Terserah kalian akan menganggap
lagu ini pro atau kontra terhadap rezim Orba, yang pasti lagu ini adalah salah
satu cara yang baik dan romantis untuk mengenang huru-hara ‘98. Mengingat Mei
1998 adalah mengingat tentang kemanusiaan. Tuan Tanah berhasil membuat kita
mengingatnya dalam 5 menit lebih sekian detik paling kontemplatif; membuat kita
berdiam, berpikir dan merenung.
Karena akui saja, tanpa momentum seperti ini, kita
jarang merenungkan Indonesia.
(Tulisan ini dibuat sebagai liner notes mini album Tuan Tanah "Pidato Terakhir Soeharto." Sila kunjungi tuantanah.co.vu/pts untuk preview lagunya, atau sila kontak Cempaka Music Store untuk mendapatkan CD-nya.)
No comments:
Post a Comment