Friday, June 2, 2017

Cara Tuan Tanah Memperingati Kejatuhan Orba

Perjumpaan pertama saya dengan Tuan Tanah terjadi saat mereka dengan cueknya memainkan musik mbliyut di gelap senja usai adzan Maghrib. Suasana Kampus Unesa tempat mereka unjuk gigi saat itu memang minim penerangan: remang-remang mesum, ada sedikit cahaya kuning-kuning entah dari lampu colokan murah milik siapa. Dengan suasana spiritual seperti itu, Tuan Tanah memainkan musik intrumental yang oleh kita yang awam ini mungkin bisa digambarkan sebagai post-rock awang-awang, ambience rasa lokal, Eksplotions In The Sky amatir, Sigur Ros tanpa bahasa aneh, GY!BE remeh temeh atau apapun itu yang kalian ingin sebut. Hanya elektrik gitar, bas, drum, dan alat musik antah-berantah; tanpa lirik atau nyanyian vokal. Mereka hening dan kontemplatif dalam permainan yang rumit. Mereka rumit bukan dalam artian Dragonforce atau Michaelangelobatio atau Yngwie; kerumitan mereka adalah masalah makna, pemahaman—agak sedikit bersinggungan dengan psikologi umat manusia. Tuan Tanah dalam Thousand Pictures Can’t Describe This Feeling—rilisan EP perdana mereka—menjadikan musik bukan hanya sarana pemaknaan tunggal. Kita digiring pada judul-judul ambigu yang mungkin, antara satu orang dan lainnya akan berbeda. Pemaknaan pada nuansalah yang kemudian mengarahkan, mengantarkan kita pada bayang-bayang, horizon harapan; membuat kita merasa eksklusif karena bebas menafsir.

The author is dead; kredo dari Roland Barthes ini kembali menyeruak di penampilan mereka selanjutnya. Masih di Kampus Unesa (entah mengapa saya selalu melihat mereka perform di Parkiran T2), dengan panggung yang lebih besar Sgt. Thomas Glaop sang gitaris agak sedikit sewot dengan tukang checksound yang memang busuk, mengatainya goblok dan lalu terdengar sayup-sayup suara orang pidato. Saya merasa ada yang aneh, apa si tukang cek sound itu salah memutar lagu, apa memang disengaja, atau bagaimana. Dugaan saya memang benar: itu memang di sengaja, permintaan dari Tuan Tanah sendiri, itu memang lagu mereka. Dan dugaan saya yang kedua kembali benar: Itu pidato legendaris pengunduran diri Suharto pada Mei 1998. Saat itu saya rasa Tuan Tanah  sudah ancang-ancang untuk menjadi Godspeed You! Black Emperor sebentar lagi. Melepaskan lirik pada atmosfer, menyerahkan makna sesukanya pada pendengar. Kebingungan saya tadi telah saya pasrahkan pada Tuan Tanah, dan Pidato Suharto tersebut membuat saya ingin pipis. Memang inilah cara terbaik menikmati post-rock: lemesin saja, jangan dilawan.

Dan setelah ratusan purnama diperam, Pidato Terakhir Suharto (ya judulnya memang ini) akhirnya dirilis. Saya benar-benar tidak menyangka ini akan dirilis. Dari sudut pandang saya rilisan ini bisa dibilang adalah cara lain untuk memperingati Mei 1998. Tidak ada aksi massa, turun ke jalan, spanduk, pamflet: Tuan Tanah merayakannya sendiri dengan mencomot mentah-mentah Pidato Pengunduran Diri Presiden Suharto pada Kamis, 21 Mei 1998 di Istana Negara itu dan menambalnya, melapisinya dengan lumuran-lumuran dramatis. Petikan gitar yang dingin dan monoton, mengiringi Bapak Tua Pembangunan yang terus menerus berpidato (Suharto dikenal sebagai tukang pidato yang buruk), dengan dehem nyelip di tenggorokan dan ejaan lamanya yang iconic. Bagi saya, ini adalah salah satu cara yang baik untuk menolak tunduk pada lupa. Bila di televisi kita seringkali diingatkan bahwa sesudah Suharto mengucapkan “Saya memutuskan berhenti...” sekumpulan orang yang melihatnya dari televisi langsung berteriak heboh, lega, gegap gempita dan bergembira, Tuan Tanah mendramatisirnya dengan ledakan ampli di mana petikan lembut maha dingin tadi seketika menjadi gemuruh. Sayup-sayup suara Harto masih terdengar, namun komposisi ini sudah menunjukkan apinya. Terserah kalian akan menganggap lagu ini pro atau kontra terhadap rezim Orba, yang pasti lagu ini adalah salah satu cara yang baik dan romantis untuk mengenang huru-hara ‘98. Mengingat Mei 1998 adalah mengingat tentang kemanusiaan. Tuan Tanah berhasil membuat kita mengingatnya dalam 5 menit lebih sekian detik paling kontemplatif; membuat kita berdiam, berpikir dan merenung.

Karena akui saja, tanpa momentum seperti ini, kita jarang merenungkan Indonesia.

(Tulisan ini dibuat sebagai liner notes mini album Tuan Tanah "Pidato Terakhir Soeharto." Sila kunjungi tuantanah.co.vu/pts untuk preview lagunya, atau sila kontak Cempaka Music Store untuk mendapatkan CD-nya.)

No comments:

Post a Comment