Tidak sengaja menemukan draft sialan yang ditulis kisaran tahun 2014 ini saat bongkar-bongkar arsip. Isinya tentang kawan-kawan saya yang dulu sempat 'hilang'. Daripada nganggur mending saya posting pure tanpa editan—jadi maaf kalau isinya rada ngehe.
Kalian bukan aktivis kampus
yang kerjaanya demo melawan pemerintah dan kemudian hilang secara misterius.
Kalian cuman aktivis warung kopi yang hobi ngoceh berjam-jam disambi main skak.
Kalian bukan kader laskar fentung yang pas pemilu nyoblos PKS dan sekarang jadi
hilang ikutan ISIS. Kalian cuman simpatisan Raisa yang gemar nonton JAV
rame-rame di kamar kosan dan setelah itu ngantri kamar mandi untuk ehem-ehem
lalu keramas. Kalian juga bukan pemuda yang hilang ditelan keganasan putus
cinta, untuk kemudian mengasingkan diri di sesepi-sepinya tempat dan
mempertimbangkan obat nyamuk cair untuk meghilangkan nyawa. Kalan cuman
pengemis cinta yang baru lepas dari kejombloan tapi sudah sok belagu ngutip
syair-syair Bang Kahlil Gibran.
Kalian, teman-temanku.
Kawan-kawanku. Sobat-sobatku. Mas-masku. Dulur-dulurku. Jancok-jancokku. Yang
dulu sempat hidup bersama saya di kerasnya kota rantau, meratapi nasib bersama,
galau bersama, berbuat dosa bersama, dan segala hal yang membuat saya belajar
banyak akan arti sebuah kebersamaan. Kalian—yang beberapa diantaranya masih sering
kontak-kontakan, beberapa diantaranya sudah menghilang dan seolah pindah ke
bulan karena tak pernah ada kabar—adalah bagian dari hidup saya. Walaupun entah
kapan kita bisa bertemu dan merayakan reuni, tapi setidaknya lewat tulisan ini
kita sudah membuat memoar, tentang betapa hina dan nistanya persahabatan absurd
kita.
Karena sesungguhnya tiada
persahabatan tanpa umpatan. Jancok kon-kon kabeh!
M. Mansur Azizi
Mansur
adalah orang paling tolol yang pernah saya temui dalam hidup. Dia selalu
memperdebatkan hal kontol tak penting yang ujung-ujungnya berdampak pada
tingkat ketenangan penghuni kos. Bisa saja di suatu sore, saat kamu sedang
asyik tepar di kasur, sedikit celetukan dari Mansur bisa mengubah semuanya.
Mansur vs. Nyong adalah kiamat kecil di sore hari. Saat televisi jelek dengan
acara-acara yang jelek pula memicu perdebatan tolol nan bodoh, dan perdebatan
itu dilakukan secara terang-terangan, terbuka, diselingi pisuhan dan teriakkan yang
sama kuat, dan kemudian perdebatan itu melebar kemana-mana berujung pada
caci-maki dan semua orang akhirnya merasa dirinya paling pintar dan ber-IQ
setara Einstein—padahal orang jenius tidak mungkin betah disana. Jika
diingat-ingat, celetukan Mansur seperti Prabokir
nduwe ontong nggak yo, yang kemudian memicu salah satu debat paling sengit
dalam sejarah kost antara Mansur dan Nyong, dimana Mansur berkata bahwa Prab nggak
punya ontong, dan Nyong si bodoh 2.0 membantahnya dengan argumentasi tingkat
dewa bahwa tiap laki-laki pasti punya ontong. Mansur menjawab tak kalah sengit,
dengan sanggahan paling bernas yang pernah saya jumpai seumur hidup: kalo punya
ontong kenapa Pak Prab tak punya anak! Dan kemudian debat terus memanas saat
Nyong menjawab: nggak punya anak belum tentu nggak punya ontong, bisa saja
impoten! Dan saya sendiri begitu kasihan pada PAK PRABOKIR yang diperdebatkan
dengan begitu bodoh oleh warga kos Muin yang legend. Ujung-ujungnya adalah
Mansur yang berkata sok filsafat, kalo impoten berarti sama saja dengan tak
punya ontong, dan Nyong tak mau kalah: emang kon tau ndelok cok sampek muni
deke gak nduwe kont, eh maksud saya, ontong! Debat berlangsung sampai acara
berita yang menayangkan Pak Prabokir usai. Saya mengucek mata, dan mencoba
mencerna ini semua dengan istighfar. Mansur adalah spesies paling unik yang
pernah ada.
Itu
Nyong sodara. Sekali lagi itu Nyong! Musuh bebuyutan sekaligus yang paling
ditunggu-tunggu adalah debat abadi antara Mansur vs. Mugsan. Mugsan
sodara-sodara! Mugsan! Kalian perlu menyiapkan mental saat melihat ini, juga
menyisihkan waktu yang agak lama untuk bisa merasakan ketegangannya. Ini adalah
debat mahasiswa paling berpengaruh setelah tewasnya Soe Hok Gie. Ini jelas
menggambarkan ketokohan Mansur dan Mugsan sebagai mahasiswa jenius penerus
reformasi. Hebat benar. Debat bisa terjadi kapan saja, bahkan saat Mansur
sedang menuju kamar mandi, dengan handuk, dan dengan peralatan mandi di tangan,
mandi pun bisa ditunda hingga dua jam kemudian. Begitu tololnya saat mau masuk
kamar mandi si Mansur kebetulan melihat Mugsan membawa skripsi. Mansur
bertanya, Mugsan menjawab. Pertanyaan-pertanyaan teknis skripsi yang mungkin
antara tahunnya Mansur dan tahunnya Mugsan berbeda (tentu saja karena mereka
berbeda angkatan, Mansur lebih tua). Tapi saat jawaban Mugsan berbeda dengan
ekspestasi Mansur “ndek jamanku biyen nggak ngunu” maka perdebatan pun dimulai.
Berbagai argumentasi pun dilakukan keduanya. Tanpa peduli waktu. Mansur yang
hampir mandi pun urung, peralatan mandi entah digeletakkan dimana, tak peduli
hanya pakai handuk jamuran dia bersemangat sekali melawan Mugsan. Sementara Pak
Mugsan tak mau kalah, ia baru pulang dari kampus, membawa sego bungkusan yang
sudah dibuka staplessnya dan siap untuk dilahap. Tapi demi debat superpenting
ini, makan sudah jadi nomor sekian. Mugsan pantang menyerah. Persetan Mansur.
Dia bodoh. Gitu pikirnya. Tapi Mansur pun tak mau kalah. Mugsan itu manusia
sok. Harus diladeni. Akhirnya bla-bla-bla torerot-torerot, debat dimulai. Mulai
maghrib sampai pukul delapan malam. Penonton membludak dan makin ramai saat
Bang Joko (Kang Ojek Gg.7) dan Cak To (tukang giras Gg. 7) dan Kompros (penjaga
warung sederhana Gg. 7) datang dan menyaksikan duel seru ini. Tak ada kontak
fisik, tapi secara verbal, ini jelas mengacaukan mental. Keduanya mulai
merembet kemana mana, saling ejek. Saling hina. Saling melemahkan. Ibung
sebagai ketua kos mengomporinya dengan tekun menggebrak-gebrak pintu. Sambil
terus memanasi keduanya. Hurry si cecunguk hanya ketawa aneh, mungkin otaknya
sudah rusak karena kebanyakan nggimbrut. Nyong si bodoh 2.0 tertawa paling keras.
Reza Rahardian KW 15 juga tertawa bahkan sampai tak terdengar suaranya. Saya
ngintip dari lubang jendela, menahan perut yang mencret kebanyakan ngakak
karena sungguh, debat keduanya adalah hal paling tolol yang pernah tampak di
mata saya. Ending debat ini tidak diketahui. Tiba-tiba bubar begitu saja.
Tiba-tiba semuanya tampak biasa lagi. Mansur adalah manusia paling ajaib di
dunia.
Tibalah
pada besok dan besoknya lagi, debat Mansur vs. Mugsan yang paling krusial dan
berpengaruh. Jauh mengalahkan debat hari sebelumnya, atau sebelum-sebelumnya
lagi yang nggak berbobot blas. Perdebatan hari ini tercatat dalam rekor sebagai
debat Mansur vs. Mugsan terbaik selama berabad-abad berdirinya kos Muin. Bahkan
tercatat pula dalam sejarah sebagai debat paling berpengaruh sepanjang masa.
Luar biasa. Celetukan pertama Mansur adalah pemicu debat rakyat super gahar
ini: Kabeh wong lanang pasti gelem nduwe
bojo Dewi Perssik. Dan kalian tentu tahu Mugsan membalas ucapan Mansur
dengan tipe-tipe jawaban bagaimana: aku
emoh nduwe bojo Dewi Perssik soale dia nggak makai hijab. Dan tak ayal,
perdebatan gunung berapi pun dimulai. Seperti biasa, argumen tolol
setolol-tololnya diajukan keduanya. Dan bahkan debat ini tanpa penonton. Saya
yang kebetulan lewat awalnya tak minat bahkan berkata pada diri saya sendiri, plis tito, plis, jangan hirau, jangan hirau.
Tapi entah bagaimana bisa saya kemudian duduk di hadapan keduanya, melongo
menyaksikan mega-debat-abad-ini, dimana mereka sudah sampai pada pembahasan
tentang susumontoknya Mbak Depe. Aich! Setelah beberapa jam, dan diselingi ribuan
kali kata jancok, jutaan kali kata gateli, puluhan kali kata kontol, asu, fak,
dan sejenisnya, debat akhirnya berakhir dan hebatnya, para penghuni kos tanpa
saya sadari sudah menggeromboli mereka, menyimak dengan seksama
argumen-argumennya, dan untuk kemudian melihat mereka dengan tatapan nanar, dan
melihat diri mereka sendiri, dengan tatapan bodoh dan mengapa mereka kok bisa
kuliah di Unesa, kos di Muin, untuk kemudian menjadi bodoh karena tiap hari
menonton pertempuran Mansur dan Mugsan. Saya sebagai notulen pun—mencatat
kesimpulan hasil akhir debat—serasa ingin minum anggur cap Orang Tua dicampur
Jagermaester saat itu juga.
Kesimpulannya
sungguh, membuat orang ingin menempeleng mukanya sendiri. Bahwa yang terhormat
MANSUR dan yang mulia MUGSAN berdebat bukan dalam ranah pro-kontra: oke aku
pro, kamu kontra, mari kita debat aja. Tapi junjungan kita MANSUR alaihis salam
dan mahajara kudus MUGSAN almasih berdebat HANYA KARENA SALAH SATU PIHAK MERASA
LEBIH PRO DARI PIHAK LAINNYA, ATAU SALAH SATU PIHAK MERASA LEBIH KONTRA DARI
PIHAK LAINNYA: oke aku kontra, kamu juga kontra, tetapi aku lebih kontra
dibanding kamu, jadi mari KITA DEBAT! JANCOOOOOOOKKKKKKKKKKKKKK!!! HOLY....
FUCKKKKKKKK!!!!
Lepas
dari hal tersebut, sudilah kiranya saya mengakui bahwa Mansur adalah salah satu
sahabat terbaik saya. Sewaktu saya masih maba, dia sudah semester tua. Tapi
persetan penghormatan terhadap bocah lebih tua, abaikan sopan santun. Karena
anak ini begitu nggateli dan raw saya bebas memanggil dia sesukanya. Bajingan
Quraisy, upil Firaun, kontol Onta, ah, sesuka hati saja. Tapi Mansur adalah
juga pria yang superduper melankolis—menyadarkan saya bahwa kamar-kamar di kos
Muin adalah milik pria-pria yang patah hati. Dia sering menangis di kamar
setelah berantem dengan pacarnya. Dia juga rutin membelikan pacarnya kado,
minimal tiap bulan sekali. Saya masih tidak percaya ada pria macam begini,
sampai di suatu malam, saya diajak untuk berburu kado. Karena nganggur, saya
menuruti ajakannya dan sampailah kami pada tempat paling unyu di sudut kota:
Toko Boneka. Fak, saya serasa mati kutu saat Mansur bertindak alay,
memilah-memilih boneka, memegangnya, tanya cocok atau tidak. JANCOK! Tanpa
dikomando saya langsung menunjuk satu boneka, asal saja, yang berwarna pink,
dan rada besar. IKI LO APIK!—biar bisa secepatnya kabur dari toko tersebut.
Mansur pun nurut-nurut saja, dan jadilah, boneka tersebut dibungkus sekalian
dengan kadonya. Tidak hanya sekali, tapi ajakan selanjutnya dari Mansur pun
masih di tempat yang sama. Saya yang lagi-lagi tak kuasa menolaknya terpaksa
ikut serta. Hanya kali ini saya menunggu di luar. Tapi entah mengapa, cecunguk
ini lama sekali memilih boneka. Ternyata setelah saya masuk ke dalam, ia sedang
membandingkan dua boneka, diamati dengan serius satu sama lainnya, dirangkul,
dipeluk, ASU TENAN! Akhirnya saya sudah tidak pernah lagi menemani begajul ini
untuk berburu kado. Saya yang waktu itu sedang jomblo kadang merasa iri, merasa
ingin juga membelikan kado rutin buat pacar. Tapi setelah punya pacar malah
jarang membelikan kado hehe. Satu lagi dari Mansur adalah keberaniannya menjadi
diri sendiri. Dia tidak pernah shalat, jarang melakukan perintah agama, tetapi
juga tidak berbuat dosa, anti rokok, anti alkohol, anti nggimbrut bebas. Kombinasi
yang aneh. Ia juga sebagai pencetus utama gerakan tidak memakai celana dalam
sedunia. Memang adem dan lebih leluasa sih. Coba saja.
Mansur
kini entah bekerja apa. Dia masih sering dibully di grup BBM kos Muin. Foto
nudenya menyebar di grup BBM dan Facebook Muin—menjelaskan seperti apa posenya
dipastikan akan membuat kalian muntah. Dia juga masih sering menghubungi saya,
pisuh-pisuhan via BBM, berdebat tidak jelas dan kadang juga menelepon sambil
sok menasehati. Jikalau bulan puasa datang ia juga aktif mengajak reuni dan
buka bersama, meski tak pernah datang. Saat Mansur lulus, kos seperti
kehilangan sikapnya yang ramai, liar, brengsek dan tolol. Kos jadi baik-baik
saja, pendiam, alim, dan makin benar makin kesini. Kehilangan Mansur membawa
pengaruh besar bagi kos. Tapi upaya untuk meneruskan kebiadaban Mansur sudah
seharusnya dilakukan setelah ia mengupload foto untuk Profil BBM-nya: sebuah
photogrid antara dua foto: Mansur dan bekas kamar kostnya. Di sebelahnya
tertulis, kamu yang telah menghantarkan
aku sukses selama 4 tahun ini. Sulit untuk menahan ngakak sekaligus haru
karena bocah ini alay dan melankolis sekali. Kamar legend ini kini ditempati
oleh maba lain, tapi warisan Mansur seperti ranjang keparat dan coretan-coretan
di dindingnya tidak akan pernah mati.
Dan
saya yakin Mansur sudah berubah menjadi manusia yang jauh lebih baik setelah
mengalami berbagai proses ketololan hidup. Ia kini sedang menunggu hasil
pengumuman CPNS, untuk kemudian bekerja dan mengharumkan nama bangsa dan
negara—untuk paragraf terakhir ini mari berdoa bersama untuk kesuksesan tes
CPNS Mansur, berdoa mulai.
Mansur (depan) bersama saya dan bajingan tengik lain. Gerbang Unesa, akhir 2013 |
Bagus Riadi
Saya
mengenal Cak Bagus setelah beliau pulang dari Bandung setelah menjalani PKL. Ia
juga hidup di gubuk derita Muin. Asal Tulungagung, dan dialah yang mengajari
saya mengkonsumsi barang-barang halusinogen, atau kadang yang berbau setengik
bensin. Di kala itu saya memang sedang patah hati akibat putus sialan, dan
Bagus, yang sudah lebih dulu berevolusi dari lelaki pendiam baik-baik menjadi
bocah brengsek liar akibat patah hati karena mantan kekasih, membimbing saya
untuk hidup dengan lebih neriman—dengan bantuan zat-zat perusak kandung kemih.
Pengalaman mengonsumsi alkohol tradisional di kamar pojokan sampai tubuh saya
roboh dan muntah-muntah tidak akan pernah terlupakan. Ciu brengsek. Alkohol
murahan. Bagus sialan. Dia adalah kakak sekaligus guru, bajingan sekaligus
malaikat. Kemurahan hatinya membagi kretek murah tidak akan pernah terlupa. Pun
ketololannya saat bulan puasa—dimana di kost saat itu hanya ada saya dan
dia—yang sulit sekali bangun sahur. Alhasil ia baru terbangun tiga menitan
sebelum imsyak dan terburu-buru santap sahur. Perjuangannya, saya ingat betul,
untuk menyelesaikan skripsi tepat waktu. Berkorban ke Malang di bulan Ramadan
hanya untuk menemui dosen untuk tanda tangan, kemudian kembali lagi ke kosan
keparat dan berkutat kembali dengan skripsi—benar-benar mental pemuda tengik
yang menakjubkan. Saya akan selalu mengingat momen di mana hanya tinggal saya
dan Bagus di kos saat bulan puasa, dan dia mengajak saya berbuka bersama di
Warung Soto, untuk setelah itu cangkruk dengan kopi sampai hampir mati.
Bagus
adalah saksi saat kasur di kamar saya dilalap api. Entah siapa yang sebats di
situ tapi kejadian itu sungguh brengsek. Di saat semua orang sedang ribut
memadamkan api (termasuk Ibung yang baru bangun, bersiap meminum dari Aqua
botol, tidak jadi minum dan mengguyurkan airnya di kasur), Bagus malah sibuk
mencari Gatsby Wax Merah yang cukup kaku itu, kemudian sisiran, ya, sisiran di
cermin kamar saya. Sisiran saudara-saudara di tengah kebingungan khalayak
ramai. Bagus sialan juga setengik penipu ulung yang bila berkata A sebenarnya
adalah C, atau bila kita mengasumsikan bahwa yang dikatakan bagus adalah C,
sebenarnya itu adalah A. Bingung ‘kan? Pengalaman lain bersama Bagus Riadi
adalah saya yang waktu itu sempoyongan di jalan menuju kampus karena malamnya
usai menenggak ethanol cair yang dia bawa, tiba-tiba saja dicegat oleh sosok
berperawakan buduk anjing peking yang tidak lain tidak bukan adalah Bagus
sendiri. Dia langsung tertawa dan menyuruh saya menaiki motornya. Pengalaman
tai macam apakah itu?
Saya
dan Bagus sempat bersama-sama melawan dunia, meski ada beberapa pertanyaan
eksistensial yang belum sempat saya tanyakan seperti mengapa nama Facebook-nya
‘Bagas Riadi’ ataukah benarkah dia dulu sempat main sex di kamarnya sendiri
dengan pacarnya yang bahenol? Tuhan mah Maha Tahu, saya tidak.
Deva Ocktardo (Dolly)
Deva
adalah kawan seperjuangan saya saat memulai kuliah di tahun 2013. Walaupun kita
berbeda fakultas, saya FBS dan dia FIP, tapi kami bernaung di bawah atap yang
sama: Kos Mu’in In The Hoy Gg. 7A Lidah Wetan yang keterlaluan legendaris. Deva
berasal dari luar Jawa, Lampung tepatnya. Dan yang saya pikirkan ketika
mendengar Lampung hanyalah dua hal: gajah, dan Kangen Band. Dan mungkin
sekarang tambah satu lagi: Deva Dolly si anjing norak kampungan. Sejarah kenapa
dia sendiri sampai dipanggil Dolly sudah tercatat di Babad Kos Mu’in. Alkisah
banyak dari penghuni kos memang diberi julukan, tidak dipanggil dengan namanya
sendiri—kecuali saya karena saya terlalu keren untuk dipanggil aneh-aneh. Misal
Fahrur dipanggil ‘Inyong’ karena dia tolol dan orang Kebumen, dan Deva sendiri
ini menyandang nama asli yang keren banget, semacam menyalahi kodrat dengan
dandanan macam begitu tetapi dipanggil Deva. Norak pula karena suka bilang
‘lo-gue’ disaat percakapan (padahal dia Lampung bukan Jakarta). Begitulah Deva
Ocktardo survive di Surabaya dengan menyandang nama yang terlalu berat. Alhasil
setelah mencari-cari titik lemah si jelek ini, di sebuah percakapan dengan
bajingan-bajingan kos dia mengakui satu hal yang akan mengubah hidupnya
selamanya.
“Aku
kok kepengen ke Dolly, ya.”
Dan...
setelah ditertawakan dan dianggap tidak terhormat, Deva akhirnya dipanggil
Dolly untuk selama-lamanya. Buduk. Cocok sekali. Anak ini cekingnya minta
ampun, jikalau hewan mungkin bisa kalian bayangkan cacing atau walang ijo.
Jarang mandi, kumel tidak karu-karuan. Jikalau mandi pagi selalu saja membuat
separuh warga kos kuliah telat. Apa-apaan dia kenapa tidak coli dalam kamar
saja? Kemudian saat pergi berbelanja, ia akan jadi manusia Ferry Salim yang sok
metrokseksual, memilih brand-brand branded, atau perawatan grooming pria demi
memaksimalkan penampilan superduper noraknya. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala
saat dalam seminggu, lima belas kali ia bolak-balik ke mall, ke salon, demi
mendapatkan minyak rambut! Bayangkan! Ia datang dengan membawa Gatsby seharga
60 ribu, yang special untuk anak Britpop, tidak cocok, dijual dengan harga 20
ribu kepada teman-teman kos (tentu saja ada yang mau beli, menjual ketololan
macam begini ada untungnya buat konsumen). Kemudian beli Gatsby lagi, (lagi!),
yang Spike, 60 tibu lagi, tentu saja tidak cocok, dijual lagi—siklusnya
berulang seperti kalimat di atas. Alhasil ia mencoba comeback ke jaman dia SMP:
Gatsby Wax. Tentu saja mukanya yang sudah jelek dan sok imut akan jadi tambah
ancur karena Wax meleleh membuat jidatnya becek berminyak, secara Surabaya
sudah bersinonim dengan panas dan lepek keringat. Ia jual lagi, atau ia buang,
entah. Setelah itu beli Hairspray. Ini yang cukup awet ia pakai walaupun agak
aneh juga. Setelah empat-lima kali pemakaian, hairspray digeletakkan begitu
saja. ‘Pakai aja kalau mau,’ ujarnya. Cuih. Dengan rambut yang makin
ancur-ancuran dia konsultasi masalah hidupnya ke kamar saya.
“Enaknya
pakai minyak rambut apa ini, To?” tanyanya.
“Pakai
pomade aja Dol.” jawab saya.
“Apaan
itu?”
FYI
Pomade adalah sejenis minyak rambut yang dipakai para greaser seperti di film
Grease-nya John Travolta. Sudah dikenal sejak 60-an, dan hingga kini digunakan
oleh para punggawa rockabilly. Entah pomade akan merebak atau tidak, namun
pomade Uppercut yang dipakai JRX Superman Is Dead agaknya sudah menjangkiti
para outsider. Saya sendiri mengenal pomade kualitas jempolan bermerek Rita
dari Surabaya, juga Tanco yang dulu dipakai Papa. JRX di sebuah wawancara
dengan Soleh Solihun dari Rolling Stone Indonesia menyatakan bahwa pomade tidak
sama seperti wax yang mudah luntur. Mungkin pomade akan menjadi tren kembali
menggantikan wax. Dolly tentu saja penasaran setelah saya beri tahu, dan
langsung berburu Tanco di salon-salon. Setelah dia dapat itu barang di
Ketintang, barang itu mengubah hidupnya selamanya.
“Ini
nih yang gua cari! Basah, tapi enggak kaku!” ujarnya.
Saya
sepertinya akan memanggilnya Travolta Lampung. Mengkilap sekali. Dolly Dandy.
Anjing sialan saya kalah. Tapi walaupun begitu gaya tengik anak ini tidak
hilang. Kamarnya makin hari makin kacau berantakan. Ibung, pak bos kami, sempat
lewat kamarnya dan shock.
“Cok iki
kamar opo kandang pitek?” ujarnya. Legenda kamar busuk ini semakin paripurna
saat kaca jendela di dalamnya, entah bagaimana bisa, copot. Jadilah ia hidup di
hari-hari tanpa jendela. Di malam penuh gigitan nafsu birahi nyamuk betina. Dia
menutupinya dengan kain atau handuk. Memprihatinkan. Dengan gaya hidupnya yang
semakin kacau, hobi belanjanya yang tidak masuk akal, Dolly akhirnya bangkrut.
Ini ditandai dengan sekardus Indomie yang ia beli di Indomaret beserta sebotol
saos sambal.
“Aku
nggak punya uang, hemat. Sebulan makan ini terus aku.”
Tapi
belum sampai sebulan dia sudah ambruk dan dibopong ke Puskesmas—ini efek
kebanyakan indomie yang real dan benar-benar saya lihat sendiri. Saya hampir
mengelap air mata melihat keadaanya. Apalagi, Dolly punya seorang teman
perempuan yang pernah membuat saya seperti orang tolol dan hilang nalar semalaman
dalam vila... ah sudahlah. Selain hal itu, jasa-jasa Dolly tidak banyak, bahkan
hampir tidak ada. Saya mengenang kepergiannya yang dramatis itu dengan tanpa
pelukan. Bahkan sedikit rela karena berkurang lagi satu beban. Dolly memilih
pindah kos, dan beberapa bulan kemudian memilih untuk pulang kembali ke
Lampung. Sebulan sebelum pulang ia tidak pernah pulang ke kosannya. Ia kembali
mengunjungi kami, kawan-kawannya di kos Mu’in, tidur di lantai depan WC, mandi,
segalanya.
“Aku
pengen ngehabisin saat-saat terakhirku di Surabaya sama sahabat-sahabatku,”
ujarnya.
Tapi
itu bukan tanda-tanda bahwa Dolly akan usai dibully dan jadi anak emas. No
more. Kos Mu’in adalah persetan. Lubang buaya. Dolly diperas habis-habisan atas
dasar akan segera pulang ke asalnya. Ia disuruh membelikan martabak, dan lain
sebagainya atas nama perpisahan. Bahkan saat Dolly sudah kehabisan doku, kami
tega menyuruhnya menjual Beat merah bututnya (secara harfiah benar-benar motor
jancok, busuk, jeleknya amit-amit), demi membelikan kami sesuap nasi bebek.
Yang parah adalah kami tidak sungkan lagi meminta dia membawa peralatannya
seperti mangkok, sendok, bahkan kaus untuk disumbangkan pada kami. Istilahnya
warisan, daripada repot-repot bawa ke Lampung.
Dan di
malam yang agak gerimis itu, menjadi malam terakhir Dolly. Ia ingin mengajak
kami ngopi tapi sayangnya beberapa monyet sudah tertidur. Tinggal hanya saya
yang sedang malas, dan hanya Fatchan yang mau diajak ngopi. Kira-kira besoknya
saya bangun pukul tujuh pagi, telat kuliah tentu saja, dan didatangi oleh
Fatchan.
“Dolly
wis mbalik Lampung iku maeng jam 6,” ujarnya sambil menahan haru dan kebelet
pipis.
Saya
melihat lagi hairspray itu bergeletakkan di ruang tengah. Hairspray milik
Dolly. Saya rasa saya sudah merindukannya. Selamat jalan, Dol, sukses di sana.
Dan dia membalas chat ucapan indah saya tersebut dengan:
“OK
COK! EH LU JANGAN KESERINGAN MAKAI KONTOL YA PAS GUA TINGGAL!”
Wong
asu.
Deva Ocktardo alias Dolly (belakang, putih). Bersama singlet kebanggaan Akhir 2013 |
M. Ardan Miftahul Huda
Sahabat
paling sok mbetik (istilahnya Rojak):
perokok yang jarang sekali merokok, peminum yang mau muntah karena ia baru tahu
bir hitam rasanya pahit, basis yang tidak bisa memegang bas dan bahkan buta kunci,
dan sebanyak itulah paradoks dari seorang Ardan: ia mengaku-ngaku sebagai A
tapi semua sikapnya menujukkan bahwa dia B, C atau W. Konsep yang berkata bahwa
jika Ardan bilang bahwa dia suka The Strokes, berarti dia sebenarnya pemuja
K-Pop. Jika ia mulai sesumbar bahwa dia brengsek bajingan pemerkosa, berarti
dia rajin salat dan malu-malu sama wanita. Tapi persetan psikologi. Saya tidak
tahu dan tidak mau menebak-nebak sikap Ardan, yang patut dibagi adalah dia
sahabat saya sampai kapanpun, bahkan walaupun dia menghilang dengan alasan yang
paradoks juga.
Ardan
adalah tambun buncit yang tidak akan pernah menjadi kurus seperti Prince Disney
sejauh apapun usaha dan doanya. Badannya membengkak besar begitu, tambah lagi
nafsu makannya yang seperti babi (tapi tidak ia tampakkan saat sedang bersama saya).
Oke, ini akan panjang. Saya mengenal babi ini pertama kali saat KRS-an. Di situ
seorang bertampang seram duduk jongkok sambil tertawa sendiri—agak ngeri
melihatnya. Tapi isi hati saya berkata bahwa saya harus mendekati preman ini.
Alhasil sayapun berkenalan dan mencium aroma mulutnya yang seperti bak sampah
itu (giginya kuning lengket, ia tidak sikat gigi sialan). Ia sebenarnya cukup
tolol di perkenalan pertama, banyak cengangas cengenges sendiri dan tampak
sedikit hang syarafnya, membuyarkan stereotip preman yang saya stempelkan dari
awal. Selanjutnya kita tidak pernah bersua, dan bertemu lagi saat ospek
fakultas. Ya Tuhan, bau mulutnya sama saja. Saya bisa sedikit gila bila
bercakap dengannya. Orang macam apa juga yang berkata terus terang tentang
masalah ini (lebih baik menuliskannya di blog hehe). Setelah itu kami berjumpa
lagi di hari kedua kuliah, Ardan, is, back. Kali ini lebih necis walaupun masih
bertampang lendir babi.
Karena
kami sama-sama kos di gang yang berdekatan maka saya seringkali nebeng Ardan
kemanapun. Dia adalah sopir pribadi. Saya juga sering menginap di kosannya saat
saya malas pulang ke kos. Saya hafal tempat penyimpanan kuncinya. Saya juga
sudah mengenal akrab ibu kosnya. Mengapa saya tidak pindah kos dengan Ardan
saja karena saya betul-betul tidak yakin menghabiskan hari-hari dalam kamarnya
yang luar biasa gelap sekaligus pengap—dan Ardan selalu menghabiskan harinya di
situ. Juga koleksi bokepnya yang cupu. Juga baunya yang setengik babi. Saya
mempunyai ritual wajib tiap habis magrib selalu berkunjung ke kosan Ardan.
Entah melakukan apa. Kadang juga menendang bokongnya saja sampai dia
terbangun—babi guling ini sering sekali tertidur dengan wajah kotor usai kuliah
dan baru sadar saat malam. Bokongnya bertekstur empuk, banyak serat dan juga
tai-tai busuk yang belum kelar ia buang. Betapa gendutnya babi ini
sampai-sampai meremas susunya seperti melecehkan seorang gadis ABG saja
rasanya. Kamarnya, sekali lagi, saya gunakan sebagai tempat pelampiasan saat
nganggur. Saya biasa membongkar laptopnya saat dia tidur, melihat
koleksi-koleksi jelek itu tentu saja. Atau kadang Hentai yang lebay. Ardan
adalah maniak anime tetapi ia tidak pernah gembar-gembor, entah malu entah apa.
Terkadang saya juga mampir ke kosannya hanya untuk sekadar ngaca dan meminta
minyak wangi. Saat saya akan pergi dengan perempuan, kosan Ardan adalah tempat
make-up saya.
Saya
pernah berbuat dosa besar terhadap Ardan. Begitu besarnya sampai-sampai
melebihi besar lubang buhulnya yang busuk dan menyedihkan. Seorang perempuan
yang kos di depan kosannya (sebut saja Rina) sempat membuat saya iseng ingin
berkenalan. Karena waktu itu serba tidak memungkinkan dan memang saya terlalu
rumit saat berurusan dengan perempuan-perempuan entah siapapun itu yang mungkin
efek LDR sialan, saya menjadikan Ardan sebagai umpan. Kebetulan Ardan pernah
satu kelompok dengannya entah saat ospek busuk itu atau apalah. Jadi Ardan
punya kontak si Rina. Segera saja saya iseng menghubungi Rina via ponsel Ardan,
dan bajingannya si Rina tampak interest. Bangsat. Mengapa harus via Ardan dan
bukan saya. Ardan yang dungu dan tolol pasrah saja menyerahkan hapenya untuk
mendekati Rina. Setelah malam tiba, hape Ardan saya kembalikan. Ardan
kebingungan esok haRinaya, karena Rina menghubunginnya terus dan Ardan mau
tidak mau terus membalasnya, melanjutkan pembukaan yang telah saya lakukan.
Babi gudikan ini makin hari makin ceria saja, anjing. Sementara saya sudah lupa
kalau celeng ini masih intens berhubungan dengan Rina. Puncaknya adalah saat
dia mulai cuek saat saya ajak ngopi, atau kemanapun itu. Atau berangkat kuliah
bareng. Atau muter-muter Surabaya. Ada apa dengan susu besar ini? Gendut sok.
Ternyata oh ternyata tapir ini menjadi tukang ojek Rina, yang memang belum
membawa motor dan butuh mobilitas. Ardan gendut ini senang-senang saja. Dan
makin hari saya makin jijik dan ilfeel melihatnya. Ia potong rambut dengan gaya
mohawk norak bin terkutuk, juga selalu mewangi, entah padahal tubuhnya adalah
setengik-tengiknya ciptaan Tuhan. Saya pernah stay di kamarnya dan dia
menyemprotkan parfum itu, parfum paling murah di Indomaret, hampir menghabiskan
beberapa liter dan ratusan semprotan. Gila. Mereka semakin dekat dan saya pun
juga sudah lupa bahwa saya awalnya yang ingin berkenalan. Bajingan ini sudah
lupa bahwa tanpa saya yang memulai, dia tidak akan pernah sampai di posisi ini.
Saya pun hanya bisa geleng kepala saat kremi berlemak ini membelikan gift-gift
kecil untuk Rina, misal gelang-gelang lucu yang ia beli dengan saya saat menghadiri
Indie Clothing—saya yang beli duluan dan dia memang demen ikut-ikutan. Juga
saat Valentine, dia membeli Silver Queen dan membungkusnya dengan kado.
Membungkusnya! Fuck. Saya tidak habis pikir saat melihatnya mengendap-endap ke
parkiran, menyuruh saya dan Sony tidak mengikutinya, demi agar dia bisa
menyerahkan pemberian itu pada Rina. Saya yang sebenarnya juga tidak bisa
berkata-kata saat melihat Rina, akhirnya bertepuk tangan, ikut berbahagia atas
kesenangan sahabat saya. Rina sudah jadi milik Ardan, beruntung sekali dia.
Saya yang sial. Klimaksnya adalah saat kerbau ini mengajak kencan Rina di
Sastra Bulan Purnama—ajang kencan anak jurusan saya di kampus. Saya bersama
Sony si tikus jelek berangkat berdua seperti homo laknat, ngaplo dan merasa
tolol karena perempuan begitu masyhurnya di mata namun kami sendiri adalah
pecundang tengik yang berada di ambang kehancuran hubungan dengan pacar
masing-masing, atau sedang menjalani hubungan tanpa status berbahaya dengan
pacar orang, atau mengejar yang tak pasti seperti saya yang—ehm. Tapi ini
Ardan, babi lendir tengik ini hadir di tengah acara Sasbulpur kesayangan kita
ini, di saat timingnya sedang hujan deras. Sebelumnya memang hujan badai begitu
kencang, saya dan Sony Tikus hanya berdua menontoni panggung yang dipindah—kasian
sekali. penonton sudah mulai ramai tapi saya tidak melihat si tengik. Saya
sudah mengabarinya untuk nonton sedari sore dan dia menjawab bahwa saya dan
Sony Tikus disuruh berangkat dahulu. Hujan tetap deras namun tidak sederas
tadi. Si gemplo tadi tiba-tiba datang dengan badan agak kuyup, bau yang teramat
wangi, memakai kemeja hitam sialan berukuran XXXL, dan tersenyum sok cool
serta—ini yang bikin saya berteriak ‘kontol asu’ dalam hati—dia memakai jam
tangan dan kacamata saudara-saudara. Anjing. Ada apa dengan monyet ini sampai
saya tahu bahwa yang berjalan di belakangnya adalah Rina. Hati saya remuk
redam. Hati Sony kacau. Ternyata Ardan, gendut sipit bangsat ini menjemput Rina
terlebih dahulu—setelah berdandan sampai hampir mampus di sore hari. Setelah
menjemput, di jalan terjadilah hujan itu dan memang cukup tolol untuk
melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian berteduh—ini tentu ide Rina dan bukan
Ardan yang tidak akan mampu berpikir—dan Ardan, manusia becek ini langsung
pamer-pamer kepada khalayak bahwa dia tadi berteduh di depan sebuah rumah
random bersama Rina sampai kira-kira satu jam. Kurang romantis apa Dewa Cinta
Romawi Kuno. Sejak saat itulah Ardan semakin intens dengan Rina, semakin masuk
dalam kehidupannya, semakin melupakan teman, semakin melupakan saya—yang sudah
hafal tempatnya meletakkan kunci kosnya dan bisa saya terobos seenaknya untuk
penitipan sepeda.
Ardan
babi tengik ini memang makin hari makin intens dengan Rina dan menjadi bahan
sumpah serapah teman-teman yang ia lupakan. Tapi setelah insiden Silver Queen
yang diberikan Ardan di parkiran saat Valentine itulah, segalanya berubah.
Ardan kembali kepada haribaan, menjadi anak cupu kami lagi dan menyediakan
susunya untuk kami remas-remas sampai memerah. Bokongnya menjadi bola lagi yang
selalu siap kami tendangi sampai jebol lubang dubur. Saya sempat tak menyadari
akan hal ini sampai-sampai di suatu sore, dengan Dunhill Mild di tangan kanan
(rokok favorit kami dulu), saya dan Ardan ngobrol ngalor-ngidul di kursi tidak
layak pakai depan kosannya sampai menjelang maghrib. Kami makin betah ngobrol
di saat iqamah di masjid depan kosnya sudah berkumandang. Ardan adalah lulusan
pondok yang kafir sekafir-kafirnya; tidak menyembah apa-apa selain lemak
duburnya yang berlendir. Baiklah cukup seperti itu saja cerita Ardan dengan Rina.
Karena seperti yang saya yakini, semua romansa yang melibatkan sahabat saya
satu ini akan terdengar menjijikkan—dan memang seharusnya para pria tidak
terlalu membahas urusan bunga mawar dan cokelat seperti ini antar gerombolannya.
Yang
paling saya ingat dari Ardan adalah bagaimana dia mengerti segalanya yang ada
di dunia ini, dan yang mengejutkan adalah dia juga menggemari apa yang saya
gemari. Bahkan menggunakan apa yang saya kenakan. Semua tidak menjadi masalah
bila tidak ada kepura-puraan. Tetapi babi ini mendadak jadi tahu black metal,
death metal, grindcore bla-bla-bla setelah saya mengajaknya berbincang, atau
bertukar pikiran. Ada perbedaan yang jelas antara orang yang betul-betul tahu
dengan orang yang pura-pura tahu. Ardan selalu berada di nomor dua. Saya paham
betul mengapa ada orang yang seperti ini. Benar, eksistensi. Yang pure
menjengkelkan adalah saat Ardan gendut homo ini mendadak ikut band baru saya.
Saya seringkali bertanya dia bisa memegang instrumen apa, atau kalau tidak
bisa, kamu vokal saja. Tetapi dia memaksa dan meyakinkan saya bahwa dia
benar-benar bisa instrumen bas—dulu sempat main band memegang bas pas SMP namun
sekarang sudah agak lupa karena sudah lama sekali. Saya tidak percaya karena
Ardan gembul ini tidak pernah memegang gitar sama sekali walaupun di
sekelilingnya ada gitar. Alasan dulu bisa sekarang lupa apakah bisa berlaku
untuk main musik? Jika lupa mungkin sedikit saja, karena orang yang belajar
gitar itu tidak akan pernah bisa main-main jika ingin bisa: harus menyerahkan
jiwanya, sampai seperti itu. Belajar gitar juga butuh waktu, yang pasti akan
terekam di otak, prosesnya, detailnya. Dan Ardan gendut bangsat pembohong
bajingan ini lupa segala-galanya: cara memegang, memencet, menggenjreng—what
the fuckin’ fuck-fuck-fuck-fuck! Saya bersama rekan band dari Fakultas Ilmu
Pendidikan, Jeffry, yang memegang gitar, mengenalkan Ardan sebagai basis baru.
Saya sendiri memegang drum dan tidak peduli urusan lain-lain: hantam, hajar,
pukul, tendang, fuck them all. Saat masuk studio untuk latihan, mau tidak mau
saya harus percaya bahwa Ardan benar-benar bisa main bas: hanya sempat lupa dan
mungkin kini ia bisa mengingatnya lagi. Saya berpikir tengik ini tidak mungkin
masuk studio, sejauh ini, jika hanya bohong belaka semata. Apalagi ini tidaklah
murah, dan ada orang lain juga yang melihat, gitaris bertompel sexy di bibir
bernama Jeffry Legend penerus gitaris Drive yang tidak terkenal dan tidak
berpengaruh di blantika musik Indonesia itu. Tapi kontol, sungguh, saya sungguh
malu. Ardan kerepotan mengalungkan bas itu ke tubuh gemplonya. Bangsat. Feeling
saya tidak karu-karuan. Belepotan. Kepercayaan saya luntur sudah. Dia memang
senekat itu. Berani berbohong sampai sejauh ini. Sudah gila. Lalu Jeffry
bertanya mau main lagu apa, saya jawab J-Rocks. Meskipun menggelikan tapi ini
adalah standard band-band yang main di studio, terkadang untuk pemanasan saja
karena lagunya juga tak buruk-buruk amat walaupun gayanya norak abis. Pun juga
ada bass-line dan ketukan drum yang tidak monoton alias variasi. Lalu Fallin’
In Love dari J-Rocks berkumandang. Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai
delapan detik kemudian... ngentot! Anjing Ardan malah diam,
cengengas-cengenges. Babi. Udik. Guoblok. “Aku lali, he-he.” Ujarnya sambil
diam. Saya sudah mencium gelagat kebusukan bohongnya. Jeffry pun juga sudah.
Tapi semua pada sungkan bilang ke Ardan, kasihan harga dirinya yang sudah
rendah itu. Kami membiarkannya menaruh bas dan dia duduk, duduk saja! Sialan.
Yang terjadi selanjutnya adalah Jeffry yang sungkan dan tidak enak hati melihat
lipatan lemak itu diam. “Kamu nyanyi aja!” ujar Jeffry. Dan, tengik ini
langsung memulai dengan memegang microfon. Acakadul memang. Memainkan J-Rocks
lagi. Musik masuk. Cukup aduhai. Jeffry bermain gitar dengan pas, saya
mengimbanginya dengan ketukan (Hail, Anton!) maut ala-ala Japanese rock dengan
sedikit gaya flamboyan. Masuk lagu, masuk vokal dan... kontol
sekontol-kontolnya! Bangsaaaaaat! Suara yang sungguh, masuk angin, layak buang
dari muka bumi. Tuhan menciptakan suara bocah tengik ini bebarengan dengan Dewa
Kodok Ngorek yang lagi kencing di pita suaranya mungkin. Kacau, jelek, bedebah,
iblis, keparat, kucing ngewek, faaakkk! Lalu dia makin merusak lagu dengan
terkekeh-kekeh seperti dia orang paling lucu sedunia, lalu Jeffry merasa sudah
muak, terganggu dan berhenti. Sementara saya, melihat hal itu sebagai latihan
band terkacau dan tergoblok yang pernah saya lakukan selama hidup di dunia yang
sia-sia ini. Saya merasa selanjutnya tidak akan beres, kami tidak akan
menuntaskan satu lagu pun. Saya kemudian melampiaskan kekesalan itu pada drum:
memulai aksi technical brutal death metal: mumpung disediakan double pedal,
saya langsung menghantam set di depan saya secara membabi-buta, secepat dan
sekeras mungkin, menirukan triplets dari Tuhan sesembahan keringat dalam
bolot-bolot stik drum bernama John “Bonzo” Bonham alias Sang Maha Pencipta Rock
And Roll. Setelah dua orang kontol itu, Ardan dan Jeffry mengamati saya sedang
sedeng dan gila, selama beberapa menit, saya kelelahan dan berhenti. Stik
patah, saya tidak peduli. saya langsung duduk di samping Ardan dan saya sungkan
kepada Jeffry. Mengajak tikus gemuk ini kesalahan yang tidak dapat saya
maafkan, bahkan saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri akan kejadian
ini. Tapi saya sedikit lega karena Ardan, tanpa kata-katapun, sudah mengakui
bahwa dirinya memang lemot dan tidak bisa main musik. Saya tersenyum memaklumi,
sementara dia menahan malu yang sebusuk bau duburnya itu, kemudian malah
mengambil handphone. Jeffry yang sedang menggenjreng gitar asal, tiba-tiba
disuruh berhenti. Ardan mau mengangkat telfon. Sureal, peristiwa ini sungguh
sureal. Percakapan Ardan dalam telfon: iyo-iyo aku ngeband maneh-iyo tapi rodok
lali. Dan sebagainya. Jancok, setelah itu, tengik ini koar-koar: konco SMP-ku
takon kabar, tak jawab aku lagi ngeband, terus deke jawab lo ngeband maneh, wis
suwi awakmu gak band-band an. KONTOL! FUCK! Dia pura-pura ditelfon seseorang
dari masa SMP-nya yang tidak menyenangkan itu, kemudian seperti menguatkan
bahwa dia ADALAH ANAK BAND DI JAMAN SMP! PELER! Saya sudah kehabisan kata-kata
akan peristiwa ini.
Setelah
melewati fase-fase tengik itu: kebersamaan kami menonton gigs, minum alkohol
murah dan berbagi mild, dan saling menjemput untuk ngopi, Ardan kemudian
kembali jadi sosok yang misterius dan sok keren. Saat tugas Bu Ririe di mana ia
sekelompok dengan si bajing loncat Sony, ia kemudian tidak pernah terlihat
masuk. Sony kebingungan karena otaknya mampet dan ia mengerjakan tugasnya
sendiri. Di kelas Ardan tidak pernah kelihatan, dan tidak masuk tanpa ijin.
Saya mengira dia mungkin bolos, tapi setelah saya hampiri di kos-nya, Ibu
Kos-nya yang oleh Ardan dibilang maling duit receh ini, bilang bahwa doi belum
kembali ke kos. Ponselnya yang belum android dan masih jelek selalu merepotkan,
saya harus SMS. Tidak dibalas. Telfon, tidak diangkat. Saya khawatir dia mati.
Dia terpuruk dengan di dalam Tempat Pembuangan Sampah. Dua bulan lebih tidak
masuk tanpa kabar. Kelas Sastra belum menyerah, masih mencari-cari Ardan. Saya
pun begitu. Menjadi yang paling kehilangan. Jujur saya merasa sedih. Tapi
sekaligus muak karena tampaknya semua orang di kelas jadi merasa mengenal
Ardan, dekat dengan Ardan. Munafik bajingan. Penjilat sperma dosen. Anjing.
Saat dosen bertanya kemana Ardan, kita bisa tahu ada banyak yang cari muka, sok
tahu, sok kenal sok dekat, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya saya yang tahu,
tidak yang lain. Hanya saya yang diberi tahu, dan saya bungkam. Karena beberapa
hari sebelumnya, tengik sialan ini mengunjungi saya di kost, tanpa saya duga,
dengan mendadak.
Di
dalam kost dia menceritakan semua uneg-unegnya. Saya merasa prihatin sekaligus
iba sekaligus merasa bahwa babi ngepet ini pantas diberi sedikit es batu di
kepala. Saya tidak atau belum bisa menceritakan alasannya kabur di sini. Ardan
kemudian makin menghilang, dan tanpa kabar sama sekali. Saya menghormati
pilihannya, berhenti mencari, dan mencoba setidaknya tersenyum, mengenang,
bahwasanya saya pernah punya sahabat baik, yang kini memilih menghilang. Ia
punya alasan sendiri. Saya percaya dengannya kali ini.
Ardan Huda. Foto pasca UAS. 2014/2015 |
Entah.
Harus berkata apalagi tentang bocah kecil berambut mengembang bak Suneo versi
afro bernama Ardiansyah. Bahkan menulis namapun saya tidak terlalu yakin:
Ardiansyah, Andriansyah, Ardiansah, atau Andriansah. Tapi saya memanggilnya
Ardi—atau sebenarnya Andri?—fuck, whatever. Intinya dia kecil hitam dengan
ketek berbau kretek campur keringat, suka menyendiri dan gemar memegang jidat
bak pengidap vertigo akut. Kuliah tidak pernah masuk dan pas rekreasi berkedok
study tour, dia datang terlebih dahulu—anjing! Tapi toh ia apes juga karena
study tour Sastra 2013 ke Jogja batal karena bus tidak jadi datang dan kami
salah mempercayakan semua pada perempuan laknat penghuni kerak neraka bernama
Eka, tongos comber dari angkatan 2012 (hati-hatilah!) yang berprofesi sebagai
calo newbie paling tolol yang pernah ada, dan bahkan ia begitu bodoh untuk bisa
menipu kami. Jancok. Eh tapi ini sedang membahas Ardi, bukan Eka si jelek kencur.
Tapi sudahlah toh gara-gara bangsat itu kami jadi terlunta di musola kampus
dengan koper warga kelas yang alay dan membawa baju dan gaun sebanyaknya untuk
pamer dan selfie saat di Jogja dan ternyata tidak jadi: makan tuh koper. Dan
Ardi akhirnya menginap di kosan saya selama semalam, sebelum besok pulang di
rumahnya daerah Sepanjang.
Saya
tidak tahu mengapa tuhan menciptakan ketek anak ini begitu baunya, pun
kegemarannya garuk-garuk koreng dan mengisap kretek seperti kereta api—membuat
aroma tubuhnya makin tidak karu-karuan. Ardi selalu datang kuliah lima menit
sebelum jam pertama berakhir, nongkrong di kantin di jam kedua dan selanjutnya,
dan kemudian kembali ke kelas lima menit setelah jam terakhir berakhir. Luar
biasa thug life. Ardi saya tahu adalah tipe comel pendiam kritis meneng-meneng
ndlendem yang diam-diam ngerasani, dan dia adalah tipe-tipe penjilat, tukang
hasut kelas wahid dan sanggup mengeluarkan sisi brutal dari seseorang.
Tipe-tipe orang macam ini seperti lempar tangan terhadap sesuatu yang ia bertanggung
jawab akan hal itu. Tipe yang gemar memprovokasi secara halus, konspirasi yang
terukur dan kita tetap bisa melihat Ardi tidak melakukan apa-apa. Ardi pernah
digosipkan dengan Adelia—yang ternyata bersekolah di satu SMA—salah satu
perempuan paling bling-bling di kelas. Ardi—dan saya kalau saya ingat, juga
tentu saja Rojak si muka mesum—pernah menggoda Adelia, dan mungkin Ardi
bertendensi menjurus pada hal-hal kotor. Adelia yang digoda seperti tidak ngeh
dan malah menganggapnya bercanda. Tapi saya tahu isi otak kepala Ardi, dari
senyumnya yang merupakan senyum paling aneh yang pernah dihadiahkan zaman.
Setelah itu dia melakukan hobinya yang paling ikonik: memegangi rambut depan,
menutupi jidatnya seperti orang yang pualing berat menjunjung beban kehidupan.
Ardiansah.
Surya 16. Gigi kuning penuh gidal: kabar burung terakhir yang saya dapat dari
Sony Ferdianto Cecurut mengatakan bahwa Ardi berjualan obat kuat di Sepanjang
setelah hilang dari kuliah tanpa kabar dan tiada yang mempedulikan. Saya kemudian
menghubunginya secara pribadi dan menanyakan apakah ada barang yang saya
maksud, Ardi tengik ini malah bilang cari saja di apotek. Sialan. Setelah itu
kami jarang berkomunikasi hingga di suatu siang saat kuliah membosankan, saya
iseng membuka Facebook saat kuliah Teori Sastra gitu-gitu saja Pak Haris. Ada
chat masuk. Tumben sekali Ardiansyah.
“Bro,
njaluk chip poker. Onok gak?”
Bangsat.
Rasa-rasanya saya ingin menggaruk kepalanya saja.
Ardiansyah. Pojok kiri. Pasca batal ke Jogja. 2014/2015 |
Dimas Ruben Maranata Hutabarat
Raja
sakaw, ahli obat-obatan ilegal, tukang santai tingkat akut, maniak kopi, dan
badan akan terasa sakit bila mulut tidak tersumpal tembakau. Kita sambut,
Rubeeen! Si anjing buduk kecil dengan mata yang selalu sayu dan ngantuk, juga
gaya bicara yang menye, lamban dan pelan, teman saya yang paling rajin
menyembah Kristus—dia sepertinya pemeluk yang taat—dan gemar menggambar grafiti
di buku tulis walaupun gambaranya jelek—dan sumpah tai sekali alay menggambar
grafiti di buku seperti anak SMP yang baru belajar merancap dan berusaha keren
dengan memakai wax sampai kaku semua jembut-jembut di rambut. Anjing! Ruben
adalah si canggung sungkan yang dengan bodohnya mencari temannya disaat kami
pertama bertemu dalam kelas lugu yang lama-kelamaan jadi porno dan tengik.
Disitu ia begitu bingung—saya pikir dia mencari cintasejatinya. Ternyata yang
dicari adalah mahasiswa angkatan tua, mengaku-ngaku sebagai maba, dan endingnya
mereka bersahabat (by the way ternyata orang itu adalah Abu Wafa; siapapun
orang di jurusan pastilah mengenalnya). Ruben, tanpa kapasitas apapun langsung
ditunjuk sahabat petirnya tersebut untuk mengisi acara bedahfilm fakultas, membuat
saya tidak habis pikir apakah tim panitia tersebut kekurangan stok orang
sampai-sampai mengajak kampret ini untuk mengisi acara. Kalian lupa ada Ardan
sang maniak film, hah! Kalian lupa! Oh, tapi Ardan jauh lebih kampret lagi
mungkin jika disuruh mengisi acara karena jujur dia sangat goblok jika disuruh
nggacor—walau saya yakin ia 70% lebih paham film dibanding Ruben—Ruben lebih
bisa membohongi orang dan berbasa-basi. Mengarang manis, candaan tak lucu tapi
konyol, tawa garing menyebalkan, dan mata seorang pemabuk yang sedang teler:
Ruben, you got it!
Perjumpaan
dengan mata sayu ini amat aneh—seperti yang saya jelaskan di atas, dengan
pertemuan-pertemuan lain yang tidak kalah aneh dan absurd. Ruben adalah sahabat
Ardiansyah dan kita akan bisa menebak keduanya memiliki satu ikatan dan suatu
kesamaan hobi. Hanya saja Ruben lebih parah dan payah. Misal: ke kampus saat
kuliah libur, sementara saat kuliah masuk dia tidak pernah tampak. Ke kampus
saat sore hari saat jam kuliah usai, sementara di pagi hari tak pernah tampak.
Ke kampus saat pagi hari tapi tidak pernah tampak di kelas, melainkan di warung
kopi Bu Gono lalu setelah itu pulang. Ke kampus membawa kamera DSLR, foto-foto
kami, lalu pulang secara tidak jelas tanpa ikut kuliah. Masuk kuliah, langsung
tidur di menit pertama dosen memberi kuliah. Pernah kami—gerombolan basa-basi
anak-anak semester awal—kasihan kepada Ruben karena kami mau nonton bioskop
sementara tengik ini tidak punya duit. Alhasil ada yang membayarinya. Tapi
bangsat, meki ini malah tertidur dan harus dibangunkan sesaat setelah film
berakhir. Memang asu.
Jujur
saya tidak punya banyak memori dengan Ruben, kecuali saat saya, Rojak, Ardi dan
Ruben sepakat untuk membentuk kelompok Linguistik Umum. Saya berinisiatif
membentuk ini karena saya sedang gerah dengan munafik-munafik dalam kelas. Saat
membentuknya anggota pertama adalah Rojak disusul Ardi. Kemudian Ruben yang
sedang tidur saya masukkan juga. Beberapa anak tidak yakin melihat kelompok
kami yang beranggotakan cowok semua karena dosen Linguistik kami amat
menakutkan dan ketat. Apalagi keseluruhan anggota kami adalah bengal dan tidak
pintar dan amat sangat pemalas. Alhasil, bencana tiba saat hari presentasi
laporan. Saya sempat meminjam file dari Esa Wahyu Setyo Jancok Linggar, bocah
kurus dari kelas sebelah yang merupakan bajingan tengik di kos saya. Kebetulan
pembahasannya sama. Saya menyerahkan file itu ke Ardi dan Rojak untuk diedit.
Saya kira mereka sudah melakukannya sampai saat presentasi, si dosen keluar
ruangan dan mengambil file presentasi milik kelas sebelah. Identik, ujarnya.
Cocok. Kalian plagiat, kalian tidak lulus mata kuliah ini. Ujarnya. Gudik
sialan. Saya tentu saja membantah. Tapi setelah dosen memberikan argumen bahwa
yang diedit dari file ini adalah ‘adalah’ yang diganti ‘merupakan’ saya
langsung pucat pasi. Saya tidak lulus mata kuliah memek ini dan harus mengulang
semester depan bersama Rojak, Ardi dan Ruben. Ardi dan Ruben menghilang tanpa
pernah mengulang. Kini hanya tinggal Rojak. Kami serasa pecundang tulen.
Ruben (bawah). Sastra Bulan Purnama. 2013 |
Yudhi/Ihduy/Johnny Andrean
Yudhi
atau Ihduy atau Johnny Andrean (keparat yang memberi nama ini) adalah seseorang
yang bekerja di pabrik Siantar Top Rasanya Pasti Top. Saya ingat betul hari itu
puasa Ramadan, kos sepi benar, pecundang-pecundang seperti Nyong tentu saja
pulang kampung ke neraka. Saya hanya bersama Ibung seorang, pemuda Blitar yang
tidak pernah puasa dan selalu hilang saat mau berbuka demi nyolong takjil.
Alhasil saya sendirian sampai datang Mas-Mas memakai seragam, membawa jajan dan
kami pun berkenalan. Setelah basa-basi dan bertukar asap rokok dan minyak
gorengan, saya tahu bahwa orang ini bernama Mas Yudhi atau dipanggil Ihduy.
Asal Madiun dan pacarnya sedang kuliah di Malang. Ihduy kemudian menghantarkan
saya pada situasi pelik di mana pacarnya kini sudah hamil entah berapa bulan.
Ihduy bercerita bahwa sebelumnya ia khilaf saat sedang bersama pacarnya
menginap di Telaga Sarangan. Di Surabaya, sambil bekerja, ia mencari dukun yang
bisa melakukan aborsi. Saya rada merinding mendengar ceritanya. Tapi
ekspresinya selalu saja kalem dan kalem—lumayan tenang untuk calon bapak yang
bahkan belum menikah. Saya lalu tidak ikut-ikutan dan jadilah Ihduy ini selalu
berdiskusi tentang aborsi bersama pakarnya: Ibung Wibisana.
Setelah
itu, saya sering diajak Ihduy ngopi atau entah mengonsumsi apalah. Karena hanya
ada kami berdua di kos. Ihduy kadang juga membawa burung lovebird, untuk lomba.
Setelah itu beberapa hari setelah lebaran, Ihduy pindah ke Malang karena
khawatir kehamilan pacarnya. Kerjaan di sini ia lepas, pun juga
selingkuhan-selingkuhan di kantornya. Ihduy memang seorang bajingan yang
kelihatannya pendiam dan lugu. Setelah lama tidak kontakan, beberapa hari lalu
saya mendapatkan kabar bahwa burung-burungnya sering menang lomba di perlombaan
lovebird Malang Raya. Sungguh kisah hidup yang melankolis.
Special:
Chrisnanda Fitrah Persada
Krisna
sang Maha Pencipta. Krisna sang idola. Krisna yang Maha Kuasa. Krisna, the greatest
man in the world alive. Krisna, the most inspiring people in the damn world.
Krisna, a rockstar. A good looking guy. A shinny son. Krisna, kesempurnaan.
Krisna, jancok, tidak bisa dilukiskan dengan air ludah bercampur lendir sperma.
Saya menyerah. Lukiskan sendiri. saya hanya memberi gambaran deskripsi cerita
yang jujur sejujur-jujurnya.
Saya
merasa kehilangan karena setelah Krisna berhenti kuliah, saya kehilangan
sasaran amuk berikutnya yang akan saya habisi kepalanya sampai pecah—dan ini
tidak main-main. Kebohongan yang dilontar dari mulutnya, jutaan fitnah, bagi
saya cukup merugikan dan merusak nama baik. Tidak peduli itu kelainan, penyakit
atau memang konspirasi dari dia sendiri, kepalanya bisa terhantam bogem dan
ludah saya andai saja dia melempar fitnah lagi. Ya, untung saja dia pindah.
Jadi saya tak perlu lagi melihat bocah lelaki kurus hitam sok kaya dan sok baik
mondar-mandir kesana kemari, mencari empati dengan berpura-pura mendonorkan
retina mata atau tangan yang diperban, mencari topik dengan berpura-pura
mengendus dan bertanya siapa yang memakai AXE coklat, atau berusaha jadi keren
dengan kedok menonton indie clothing saat Seringai main sampai selesai tapi
tidak tahu apa-apa kejadian di TKP—dan sialnya ia sok kenal personil Seringai:
Arian13 mungkin akan meludahi matamu cok! Dan gobloknya banyak dosen yang
percaya. Ah, anjing! Empati mengalahkan logika dosen-dosen yang padahal mereka
adalah master di bidangnya. Oke berhenti membicarakan dosen karena bisa-bisa
ada yang... ah sudahlah. Saya yang jancok, saya yang keparat, saya yang tolol,
bukan dosen, bukan Krisna.
Daftar
anak yang pernah difitnah Krisna:
1)
Sony Ferdianjancok.
“Sony
iku kerjo tukang, ibuke akeh utange!” – dan saya membandingkannya dengan muka
Sony yang memang seperti tukang batu.
“Sony
iku ditolak cewek terus!” – fitnah yang cukup bisa dipercaya walaupun tidak
benar adanya.
Dan
banyak lagi yang saya tidak tega mengumbarnya di sini.
2)
Ardan Homo Huda
“Mase
Ardan mbukak lawang ngidek tanganku getihen!” – cukup sulit dan cukup psycho.
Krisna berkata ini sambil menunjukkan tangannya yang berdarah. Sementara Ardan
menyangkal bahwa Krisna tadi berada bersamanya.
“Ardan
seneng Ellysia.” – saya tidak peduli juga andaikata ini nyata. Ellysia sempat
menjadi primadona di mata Ardan dan saya saat kami sedang kebanyakan Guinness.
Namun Ardan menyangkal gairah terbesarnya ini.
3)
Saya
“Tito
kafir nggak seneng solat.”
“Tito
kafir nggak nduwe agama.”
“Tito
habis ke Bandung.”
“Tito
habis ke Jogja.”
Dan
taek-taek lain yang kadang bahkan sampai mengadu domba saya dengan Kidut,
selaku wakil saya sebagai ketua. Krisna bangsat tengik ini lebih baik tidak
usah dianggap apapun lagi; bagi Liyana atau Irma Kidut atau Sandra lugu polos
atau Mer super baik hatinya, jangan biarkan hati kalian dipermainkan oleh
sandiwara itil Krisna.
For
your information: kebohongan Krisna ini, tanpa saya bermaksud sombong, saya
yang pertama kali menyadari, dan selanjutnya bilang ke Ardan. Kami berdua
menawarkan argumen ini pada anak-anak tapi tidak ada yang percaya. Baru setelah
beberapa kejadian, semua ngeh bahwa Krisna memang betul-betul bangsat tengik
sakit jiwa. Jika ada yang tidak terima pengakuan saya ini, atau mungkin Krisna
sendiri yang berkeberatan, saya siap menerima segala risikonya. Ayo lek lanang
majuo cok!
No comments:
Post a Comment