Monday, June 19, 2017

So Long, My Friends


Tidak sengaja menemukan draft sialan yang ditulis kisaran tahun 2014 ini saat bongkar-bongkar arsip. Isinya tentang kawan-kawan saya yang dulu sempat 'hilang'. Daripada nganggur mending saya posting pure tanpa editan—jadi maaf kalau isinya rada ngehe.

Kalian bukan aktivis kampus yang kerjaanya demo melawan pemerintah dan kemudian hilang secara misterius. Kalian cuman aktivis warung kopi yang hobi ngoceh berjam-jam disambi main skak. Kalian bukan kader laskar fentung yang pas pemilu nyoblos PKS dan sekarang jadi hilang ikutan ISIS. Kalian cuman simpatisan Raisa yang gemar nonton JAV rame-rame di kamar kosan dan setelah itu ngantri kamar mandi untuk ehem-ehem lalu keramas. Kalian juga bukan pemuda yang hilang ditelan keganasan putus cinta, untuk kemudian mengasingkan diri di sesepi-sepinya tempat dan mempertimbangkan obat nyamuk cair untuk meghilangkan nyawa. Kalan cuman pengemis cinta yang baru lepas dari kejombloan tapi sudah sok belagu ngutip syair-syair Bang Kahlil Gibran.

Kalian, teman-temanku. Kawan-kawanku. Sobat-sobatku. Mas-masku. Dulur-dulurku. Jancok-jancokku. Yang dulu sempat hidup bersama saya di kerasnya kota rantau, meratapi nasib bersama, galau bersama, berbuat dosa bersama, dan segala hal yang membuat saya belajar banyak akan arti sebuah kebersamaan. Kalian—yang beberapa diantaranya masih sering kontak-kontakan, beberapa diantaranya sudah menghilang dan seolah pindah ke bulan karena tak pernah ada kabar—adalah bagian dari hidup saya. Walaupun entah kapan kita bisa bertemu dan merayakan reuni, tapi setidaknya lewat tulisan ini kita sudah membuat memoar, tentang betapa hina dan nistanya persahabatan absurd kita.

Karena sesungguhnya tiada persahabatan tanpa umpatan. Jancok kon-kon kabeh!

M. Mansur Azizi
Mansur adalah orang paling tolol yang pernah saya temui dalam hidup. Dia selalu memperdebatkan hal kontol tak penting yang ujung-ujungnya berdampak pada tingkat ketenangan penghuni kos. Bisa saja di suatu sore, saat kamu sedang asyik tepar di kasur, sedikit celetukan dari Mansur bisa mengubah semuanya. Mansur vs. Nyong adalah kiamat kecil di sore hari. Saat televisi jelek dengan acara-acara yang jelek pula memicu perdebatan tolol nan bodoh, dan perdebatan itu dilakukan secara terang-terangan, terbuka, diselingi pisuhan dan teriakkan yang sama kuat, dan kemudian perdebatan itu melebar kemana-mana berujung pada caci-maki dan semua orang akhirnya merasa dirinya paling pintar dan ber-IQ setara Einstein—padahal orang jenius tidak mungkin betah disana. Jika diingat-ingat, celetukan Mansur seperti Prabokir nduwe ontong nggak yo, yang kemudian memicu salah satu debat paling sengit dalam sejarah kost antara Mansur dan Nyong, dimana Mansur berkata bahwa Prab nggak punya ontong, dan Nyong si bodoh 2.0 membantahnya dengan argumentasi tingkat dewa bahwa tiap laki-laki pasti punya ontong. Mansur menjawab tak kalah sengit, dengan sanggahan paling bernas yang pernah saya jumpai seumur hidup: kalo punya ontong kenapa Pak Prab tak punya anak! Dan kemudian debat terus memanas saat Nyong menjawab: nggak punya anak belum tentu nggak punya ontong, bisa saja impoten! Dan saya sendiri begitu kasihan pada PAK PRABOKIR yang diperdebatkan dengan begitu bodoh oleh warga kos Muin yang legend. Ujung-ujungnya adalah Mansur yang berkata sok filsafat, kalo impoten berarti sama saja dengan tak punya ontong, dan Nyong tak mau kalah: emang kon tau ndelok cok sampek muni deke gak nduwe kont, eh maksud saya, ontong! Debat berlangsung sampai acara berita yang menayangkan Pak Prabokir usai. Saya mengucek mata, dan mencoba mencerna ini semua dengan istighfar. Mansur adalah spesies paling unik yang pernah ada.

Itu Nyong sodara. Sekali lagi itu Nyong! Musuh bebuyutan sekaligus yang paling ditunggu-tunggu adalah debat abadi antara Mansur vs. Mugsan. Mugsan sodara-sodara! Mugsan! Kalian perlu menyiapkan mental saat melihat ini, juga menyisihkan waktu yang agak lama untuk bisa merasakan ketegangannya. Ini adalah debat mahasiswa paling berpengaruh setelah tewasnya Soe Hok Gie. Ini jelas menggambarkan ketokohan Mansur dan Mugsan sebagai mahasiswa jenius penerus reformasi. Hebat benar. Debat bisa terjadi kapan saja, bahkan saat Mansur sedang menuju kamar mandi, dengan handuk, dan dengan peralatan mandi di tangan, mandi pun bisa ditunda hingga dua jam kemudian. Begitu tololnya saat mau masuk kamar mandi si Mansur kebetulan melihat Mugsan membawa skripsi. Mansur bertanya, Mugsan menjawab. Pertanyaan-pertanyaan teknis skripsi yang mungkin antara tahunnya Mansur dan tahunnya Mugsan berbeda (tentu saja karena mereka berbeda angkatan, Mansur lebih tua). Tapi saat jawaban Mugsan berbeda dengan ekspestasi Mansur “ndek jamanku biyen nggak ngunu” maka perdebatan pun dimulai. Berbagai argumentasi pun dilakukan keduanya. Tanpa peduli waktu. Mansur yang hampir mandi pun urung, peralatan mandi entah digeletakkan dimana, tak peduli hanya pakai handuk jamuran dia bersemangat sekali melawan Mugsan. Sementara Pak Mugsan tak mau kalah, ia baru pulang dari kampus, membawa sego bungkusan yang sudah dibuka staplessnya dan siap untuk dilahap. Tapi demi debat superpenting ini, makan sudah jadi nomor sekian. Mugsan pantang menyerah. Persetan Mansur. Dia bodoh. Gitu pikirnya. Tapi Mansur pun tak mau kalah. Mugsan itu manusia sok. Harus diladeni. Akhirnya bla-bla-bla torerot-torerot, debat dimulai. Mulai maghrib sampai pukul delapan malam. Penonton membludak dan makin ramai saat Bang Joko (Kang Ojek Gg.7) dan Cak To (tukang giras Gg. 7) dan Kompros (penjaga warung sederhana Gg. 7) datang dan menyaksikan duel seru ini. Tak ada kontak fisik, tapi secara verbal, ini jelas mengacaukan mental. Keduanya mulai merembet kemana mana, saling ejek. Saling hina. Saling melemahkan. Ibung sebagai ketua kos mengomporinya dengan tekun menggebrak-gebrak pintu. Sambil terus memanasi keduanya. Hurry si cecunguk hanya ketawa aneh, mungkin otaknya sudah rusak karena kebanyakan nggimbrut. Nyong si bodoh 2.0 tertawa paling keras. Reza Rahardian KW 15 juga tertawa bahkan sampai tak terdengar suaranya. Saya ngintip dari lubang jendela, menahan perut yang mencret kebanyakan ngakak karena sungguh, debat keduanya adalah hal paling tolol yang pernah tampak di mata saya. Ending debat ini tidak diketahui. Tiba-tiba bubar begitu saja. Tiba-tiba semuanya tampak biasa lagi. Mansur adalah manusia paling ajaib di dunia.

Tibalah pada besok dan besoknya lagi, debat Mansur vs. Mugsan yang paling krusial dan berpengaruh. Jauh mengalahkan debat hari sebelumnya, atau sebelum-sebelumnya lagi yang nggak berbobot blas. Perdebatan hari ini tercatat dalam rekor sebagai debat Mansur vs. Mugsan terbaik selama berabad-abad berdirinya kos Muin. Bahkan tercatat pula dalam sejarah sebagai debat paling berpengaruh sepanjang masa. Luar biasa. Celetukan pertama Mansur adalah pemicu debat rakyat super gahar ini: Kabeh wong lanang pasti gelem nduwe bojo Dewi Perssik. Dan kalian tentu tahu Mugsan membalas ucapan Mansur dengan tipe-tipe jawaban bagaimana: aku emoh nduwe bojo Dewi Perssik soale dia nggak makai hijab. Dan tak ayal, perdebatan gunung berapi pun dimulai. Seperti biasa, argumen tolol setolol-tololnya diajukan keduanya. Dan bahkan debat ini tanpa penonton. Saya yang kebetulan lewat awalnya tak minat bahkan berkata pada diri saya sendiri, plis tito, plis, jangan hirau, jangan hirau. Tapi entah bagaimana bisa saya kemudian duduk di hadapan keduanya, melongo menyaksikan mega-debat-abad-ini, dimana mereka sudah sampai pada pembahasan tentang susumontoknya Mbak Depe. Aich! Setelah beberapa jam, dan diselingi ribuan kali kata jancok, jutaan kali kata gateli, puluhan kali kata kontol, asu, fak, dan sejenisnya, debat akhirnya berakhir dan hebatnya, para penghuni kos tanpa saya sadari sudah menggeromboli mereka, menyimak dengan seksama argumen-argumennya, dan untuk kemudian melihat mereka dengan tatapan nanar, dan melihat diri mereka sendiri, dengan tatapan bodoh dan mengapa mereka kok bisa kuliah di Unesa, kos di Muin, untuk kemudian menjadi bodoh karena tiap hari menonton pertempuran Mansur dan Mugsan. Saya sebagai notulen pun—mencatat kesimpulan hasil akhir debat—serasa ingin minum anggur cap Orang Tua dicampur Jagermaester saat itu juga.

Kesimpulannya sungguh, membuat orang ingin menempeleng mukanya sendiri. Bahwa yang terhormat MANSUR dan yang mulia MUGSAN berdebat bukan dalam ranah pro-kontra: oke aku pro, kamu kontra, mari kita debat aja. Tapi junjungan kita MANSUR alaihis salam dan mahajara kudus MUGSAN almasih berdebat HANYA KARENA SALAH SATU PIHAK MERASA LEBIH PRO DARI PIHAK LAINNYA, ATAU SALAH SATU PIHAK MERASA LEBIH KONTRA DARI PIHAK LAINNYA: oke aku kontra, kamu juga kontra, tetapi aku lebih kontra dibanding kamu, jadi mari KITA DEBAT! JANCOOOOOOOKKKKKKKKKKKKKK!!! HOLY.... FUCKKKKKKKK!!!!

Lepas dari hal tersebut, sudilah kiranya saya mengakui bahwa Mansur adalah salah satu sahabat terbaik saya. Sewaktu saya masih maba, dia sudah semester tua. Tapi persetan penghormatan terhadap bocah lebih tua, abaikan sopan santun. Karena anak ini begitu nggateli dan raw saya bebas memanggil dia sesukanya. Bajingan Quraisy, upil Firaun, kontol Onta, ah, sesuka hati saja. Tapi Mansur adalah juga pria yang superduper melankolis—menyadarkan saya bahwa kamar-kamar di kos Muin adalah milik pria-pria yang patah hati. Dia sering menangis di kamar setelah berantem dengan pacarnya. Dia juga rutin membelikan pacarnya kado, minimal tiap bulan sekali. Saya masih tidak percaya ada pria macam begini, sampai di suatu malam, saya diajak untuk berburu kado. Karena nganggur, saya menuruti ajakannya dan sampailah kami pada tempat paling unyu di sudut kota: Toko Boneka. Fak, saya serasa mati kutu saat Mansur bertindak alay, memilah-memilih boneka, memegangnya, tanya cocok atau tidak. JANCOK! Tanpa dikomando saya langsung menunjuk satu boneka, asal saja, yang berwarna pink, dan rada besar. IKI LO APIK!—biar bisa secepatnya kabur dari toko tersebut. Mansur pun nurut-nurut saja, dan jadilah, boneka tersebut dibungkus sekalian dengan kadonya. Tidak hanya sekali, tapi ajakan selanjutnya dari Mansur pun masih di tempat yang sama. Saya yang lagi-lagi tak kuasa menolaknya terpaksa ikut serta. Hanya kali ini saya menunggu di luar. Tapi entah mengapa, cecunguk ini lama sekali memilih boneka. Ternyata setelah saya masuk ke dalam, ia sedang membandingkan dua boneka, diamati dengan serius satu sama lainnya, dirangkul, dipeluk, ASU TENAN! Akhirnya saya sudah tidak pernah lagi menemani begajul ini untuk berburu kado. Saya yang waktu itu sedang jomblo kadang merasa iri, merasa ingin juga membelikan kado rutin buat pacar. Tapi setelah punya pacar malah jarang membelikan kado hehe. Satu lagi dari Mansur adalah keberaniannya menjadi diri sendiri. Dia tidak pernah shalat, jarang melakukan perintah agama, tetapi juga tidak berbuat dosa, anti rokok, anti alkohol, anti nggimbrut bebas. Kombinasi yang aneh. Ia juga sebagai pencetus utama gerakan tidak memakai celana dalam sedunia. Memang adem dan lebih leluasa sih. Coba saja.

Mansur kini entah bekerja apa. Dia masih sering dibully di grup BBM kos Muin. Foto nudenya menyebar di grup BBM dan Facebook Muin—menjelaskan seperti apa posenya dipastikan akan membuat kalian muntah. Dia juga masih sering menghubungi saya, pisuh-pisuhan via BBM, berdebat tidak jelas dan kadang juga menelepon sambil sok menasehati. Jikalau bulan puasa datang ia juga aktif mengajak reuni dan buka bersama, meski tak pernah datang. Saat Mansur lulus, kos seperti kehilangan sikapnya yang ramai, liar, brengsek dan tolol. Kos jadi baik-baik saja, pendiam, alim, dan makin benar makin kesini. Kehilangan Mansur membawa pengaruh besar bagi kos. Tapi upaya untuk meneruskan kebiadaban Mansur sudah seharusnya dilakukan setelah ia mengupload foto untuk Profil BBM-nya: sebuah photogrid antara dua foto: Mansur dan bekas kamar kostnya. Di sebelahnya tertulis, kamu yang telah menghantarkan aku sukses selama 4 tahun ini. Sulit untuk menahan ngakak sekaligus haru karena bocah ini alay dan melankolis sekali. Kamar legend ini kini ditempati oleh maba lain, tapi warisan Mansur seperti ranjang keparat dan coretan-coretan di dindingnya tidak akan pernah mati.

Dan saya yakin Mansur sudah berubah menjadi manusia yang jauh lebih baik setelah mengalami berbagai proses ketololan hidup. Ia kini sedang menunggu hasil pengumuman CPNS, untuk kemudian bekerja dan mengharumkan nama bangsa dan negara—untuk paragraf terakhir ini mari berdoa bersama untuk kesuksesan tes CPNS Mansur, berdoa mulai.
Mansur (depan) bersama saya dan bajingan tengik lain.
Gerbang Unesa, akhir 2013

Bagus Riadi
Saya mengenal Cak Bagus setelah beliau pulang dari Bandung setelah menjalani PKL. Ia juga hidup di gubuk derita Muin. Asal Tulungagung, dan dialah yang mengajari saya mengkonsumsi barang-barang halusinogen, atau kadang yang berbau setengik bensin. Di kala itu saya memang sedang patah hati akibat putus sialan, dan Bagus, yang sudah lebih dulu berevolusi dari lelaki pendiam baik-baik menjadi bocah brengsek liar akibat patah hati karena mantan kekasih, membimbing saya untuk hidup dengan lebih neriman—dengan bantuan zat-zat perusak kandung kemih. Pengalaman mengonsumsi alkohol tradisional di kamar pojokan sampai tubuh saya roboh dan muntah-muntah tidak akan pernah terlupakan. Ciu brengsek. Alkohol murahan. Bagus sialan. Dia adalah kakak sekaligus guru, bajingan sekaligus malaikat. Kemurahan hatinya membagi kretek murah tidak akan pernah terlupa. Pun ketololannya saat bulan puasa—dimana di kost saat itu hanya ada saya dan dia—yang sulit sekali bangun sahur. Alhasil ia baru terbangun tiga menitan sebelum imsyak dan terburu-buru santap sahur. Perjuangannya, saya ingat betul, untuk menyelesaikan skripsi tepat waktu. Berkorban ke Malang di bulan Ramadan hanya untuk menemui dosen untuk tanda tangan, kemudian kembali lagi ke kosan keparat dan berkutat kembali dengan skripsi—benar-benar mental pemuda tengik yang menakjubkan. Saya akan selalu mengingat momen di mana hanya tinggal saya dan Bagus di kos saat bulan puasa, dan dia mengajak saya berbuka bersama di Warung Soto, untuk setelah itu cangkruk dengan kopi sampai hampir mati.

Bagus adalah saksi saat kasur di kamar saya dilalap api. Entah siapa yang sebats di situ tapi kejadian itu sungguh brengsek. Di saat semua orang sedang ribut memadamkan api (termasuk Ibung yang baru bangun, bersiap meminum dari Aqua botol, tidak jadi minum dan mengguyurkan airnya di kasur), Bagus malah sibuk mencari Gatsby Wax Merah yang cukup kaku itu, kemudian sisiran, ya, sisiran di cermin kamar saya. Sisiran saudara-saudara di tengah kebingungan khalayak ramai. Bagus sialan juga setengik penipu ulung yang bila berkata A sebenarnya adalah C, atau bila kita mengasumsikan bahwa yang dikatakan bagus adalah C, sebenarnya itu adalah A. Bingung ‘kan? Pengalaman lain bersama Bagus Riadi adalah saya yang waktu itu sempoyongan di jalan menuju kampus karena malamnya usai menenggak ethanol cair yang dia bawa, tiba-tiba saja dicegat oleh sosok berperawakan buduk anjing peking yang tidak lain tidak bukan adalah Bagus sendiri. Dia langsung tertawa dan menyuruh saya menaiki motornya. Pengalaman tai macam apakah itu?

Saya dan Bagus sempat bersama-sama melawan dunia, meski ada beberapa pertanyaan eksistensial yang belum sempat saya tanyakan seperti mengapa nama Facebook-nya ‘Bagas Riadi’ ataukah benarkah dia dulu sempat main sex di kamarnya sendiri dengan pacarnya yang bahenol? Tuhan mah Maha Tahu, saya tidak.

Bagus (kiri). Kos Bangsat. 2013
Deva Ocktardo (Dolly)
Deva adalah kawan seperjuangan saya saat memulai kuliah di tahun 2013. Walaupun kita berbeda fakultas, saya FBS dan dia FIP, tapi kami bernaung di bawah atap yang sama: Kos Mu’in In The Hoy Gg. 7A Lidah Wetan yang keterlaluan legendaris. Deva berasal dari luar Jawa, Lampung tepatnya. Dan yang saya pikirkan ketika mendengar Lampung hanyalah dua hal: gajah, dan Kangen Band. Dan mungkin sekarang tambah satu lagi: Deva Dolly si anjing norak kampungan. Sejarah kenapa dia sendiri sampai dipanggil Dolly sudah tercatat di Babad Kos Mu’in. Alkisah banyak dari penghuni kos memang diberi julukan, tidak dipanggil dengan namanya sendiri—kecuali saya karena saya terlalu keren untuk dipanggil aneh-aneh. Misal Fahrur dipanggil ‘Inyong’ karena dia tolol dan orang Kebumen, dan Deva sendiri ini menyandang nama asli yang keren banget, semacam menyalahi kodrat dengan dandanan macam begitu tetapi dipanggil Deva. Norak pula karena suka bilang ‘lo-gue’ disaat percakapan (padahal dia Lampung bukan Jakarta). Begitulah Deva Ocktardo survive di Surabaya dengan menyandang nama yang terlalu berat. Alhasil setelah mencari-cari titik lemah si jelek ini, di sebuah percakapan dengan bajingan-bajingan kos dia mengakui satu hal yang akan mengubah hidupnya selamanya.
“Aku kok kepengen ke Dolly, ya.”
Dan... setelah ditertawakan dan dianggap tidak terhormat, Deva akhirnya dipanggil Dolly untuk selama-lamanya. Buduk. Cocok sekali. Anak ini cekingnya minta ampun, jikalau hewan mungkin bisa kalian bayangkan cacing atau walang ijo. Jarang mandi, kumel tidak karu-karuan. Jikalau mandi pagi selalu saja membuat separuh warga kos kuliah telat. Apa-apaan dia kenapa tidak coli dalam kamar saja? Kemudian saat pergi berbelanja, ia akan jadi manusia Ferry Salim yang sok metrokseksual, memilih brand-brand branded, atau perawatan grooming pria demi memaksimalkan penampilan superduper noraknya. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala saat dalam seminggu, lima belas kali ia bolak-balik ke mall, ke salon, demi mendapatkan minyak rambut! Bayangkan! Ia datang dengan membawa Gatsby seharga 60 ribu, yang special untuk anak Britpop, tidak cocok, dijual dengan harga 20 ribu kepada teman-teman kos (tentu saja ada yang mau beli, menjual ketololan macam begini ada untungnya buat konsumen). Kemudian beli Gatsby lagi, (lagi!), yang Spike, 60 tibu lagi, tentu saja tidak cocok, dijual lagi—siklusnya berulang seperti kalimat di atas. Alhasil ia mencoba comeback ke jaman dia SMP: Gatsby Wax. Tentu saja mukanya yang sudah jelek dan sok imut akan jadi tambah ancur karena Wax meleleh membuat jidatnya becek berminyak, secara Surabaya sudah bersinonim dengan panas dan lepek keringat. Ia jual lagi, atau ia buang, entah. Setelah itu beli Hairspray. Ini yang cukup awet ia pakai walaupun agak aneh juga. Setelah empat-lima kali pemakaian, hairspray digeletakkan begitu saja. ‘Pakai aja kalau mau,’ ujarnya. Cuih. Dengan rambut yang makin ancur-ancuran dia konsultasi masalah hidupnya ke kamar saya.
“Enaknya pakai minyak rambut apa ini, To?” tanyanya.
“Pakai pomade aja Dol.” jawab saya.
“Apaan itu?”
FYI Pomade adalah sejenis minyak rambut yang dipakai para greaser seperti di film Grease-nya John Travolta. Sudah dikenal sejak 60-an, dan hingga kini digunakan oleh para punggawa rockabilly. Entah pomade akan merebak atau tidak, namun pomade Uppercut yang dipakai JRX Superman Is Dead agaknya sudah menjangkiti para outsider. Saya sendiri mengenal pomade kualitas jempolan bermerek Rita dari Surabaya, juga Tanco yang dulu dipakai Papa. JRX di sebuah wawancara dengan Soleh Solihun dari Rolling Stone Indonesia menyatakan bahwa pomade tidak sama seperti wax yang mudah luntur. Mungkin pomade akan menjadi tren kembali menggantikan wax. Dolly tentu saja penasaran setelah saya beri tahu, dan langsung berburu Tanco di salon-salon. Setelah dia dapat itu barang di Ketintang, barang itu mengubah hidupnya selamanya.
“Ini nih yang gua cari! Basah, tapi enggak kaku!” ujarnya.
Saya sepertinya akan memanggilnya Travolta Lampung. Mengkilap sekali. Dolly Dandy. Anjing sialan saya kalah. Tapi walaupun begitu gaya tengik anak ini tidak hilang. Kamarnya makin hari makin kacau berantakan. Ibung, pak bos kami, sempat lewat kamarnya dan shock.
“Cok iki kamar opo kandang pitek?” ujarnya. Legenda kamar busuk ini semakin paripurna saat kaca jendela di dalamnya, entah bagaimana bisa, copot. Jadilah ia hidup di hari-hari tanpa jendela. Di malam penuh gigitan nafsu birahi nyamuk betina. Dia menutupinya dengan kain atau handuk. Memprihatinkan. Dengan gaya hidupnya yang semakin kacau, hobi belanjanya yang tidak masuk akal, Dolly akhirnya bangkrut. Ini ditandai dengan sekardus Indomie yang ia beli di Indomaret beserta sebotol saos sambal.
“Aku nggak punya uang, hemat. Sebulan makan ini terus aku.”
Tapi belum sampai sebulan dia sudah ambruk dan dibopong ke Puskesmas—ini efek kebanyakan indomie yang real dan benar-benar saya lihat sendiri. Saya hampir mengelap air mata melihat keadaanya. Apalagi, Dolly punya seorang teman perempuan yang pernah membuat saya seperti orang tolol dan hilang nalar semalaman dalam vila... ah sudahlah. Selain hal itu, jasa-jasa Dolly tidak banyak, bahkan hampir tidak ada. Saya mengenang kepergiannya yang dramatis itu dengan tanpa pelukan. Bahkan sedikit rela karena berkurang lagi satu beban. Dolly memilih pindah kos, dan beberapa bulan kemudian memilih untuk pulang kembali ke Lampung. Sebulan sebelum pulang ia tidak pernah pulang ke kosannya. Ia kembali mengunjungi kami, kawan-kawannya di kos Mu’in, tidur di lantai depan WC, mandi, segalanya.
“Aku pengen ngehabisin saat-saat terakhirku di Surabaya sama sahabat-sahabatku,” ujarnya.
Tapi itu bukan tanda-tanda bahwa Dolly akan usai dibully dan jadi anak emas. No more. Kos Mu’in adalah persetan. Lubang buaya. Dolly diperas habis-habisan atas dasar akan segera pulang ke asalnya. Ia disuruh membelikan martabak, dan lain sebagainya atas nama perpisahan. Bahkan saat Dolly sudah kehabisan doku, kami tega menyuruhnya menjual Beat merah bututnya (secara harfiah benar-benar motor jancok, busuk, jeleknya amit-amit), demi membelikan kami sesuap nasi bebek. Yang parah adalah kami tidak sungkan lagi meminta dia membawa peralatannya seperti mangkok, sendok, bahkan kaus untuk disumbangkan pada kami. Istilahnya warisan, daripada repot-repot bawa ke Lampung.
Dan di malam yang agak gerimis itu, menjadi malam terakhir Dolly. Ia ingin mengajak kami ngopi tapi sayangnya beberapa monyet sudah tertidur. Tinggal hanya saya yang sedang malas, dan hanya Fatchan yang mau diajak ngopi. Kira-kira besoknya saya bangun pukul tujuh pagi, telat kuliah tentu saja, dan didatangi oleh Fatchan.
“Dolly wis mbalik Lampung iku maeng jam 6,” ujarnya sambil menahan haru dan kebelet pipis.
Saya melihat lagi hairspray itu bergeletakkan di ruang tengah. Hairspray milik Dolly. Saya rasa saya sudah merindukannya. Selamat jalan, Dol, sukses di sana. Dan dia membalas chat ucapan indah saya tersebut dengan:
“OK COK! EH LU JANGAN KESERINGAN MAKAI KONTOL YA PAS GUA TINGGAL!”
Wong asu.
Deva Ocktardo alias Dolly (belakang, putih). Bersama singlet kebanggaan
Akhir 2013

M. Ardan Miftahul Huda
Sahabat paling sok mbetik (istilahnya Rojak): perokok yang jarang sekali merokok, peminum yang mau muntah karena ia baru tahu bir hitam rasanya pahit, basis yang tidak bisa memegang bas dan bahkan buta kunci, dan sebanyak itulah paradoks dari seorang Ardan: ia mengaku-ngaku sebagai A tapi semua sikapnya menujukkan bahwa dia B, C atau W. Konsep yang berkata bahwa jika Ardan bilang bahwa dia suka The Strokes, berarti dia sebenarnya pemuja K-Pop. Jika ia mulai sesumbar bahwa dia brengsek bajingan pemerkosa, berarti dia rajin salat dan malu-malu sama wanita. Tapi persetan psikologi. Saya tidak tahu dan tidak mau menebak-nebak sikap Ardan, yang patut dibagi adalah dia sahabat saya sampai kapanpun, bahkan walaupun dia menghilang dengan alasan yang paradoks juga.

Ardan adalah tambun buncit yang tidak akan pernah menjadi kurus seperti Prince Disney sejauh apapun usaha dan doanya. Badannya membengkak besar begitu, tambah lagi nafsu makannya yang seperti babi (tapi tidak ia tampakkan saat sedang bersama saya). Oke, ini akan panjang. Saya mengenal babi ini pertama kali saat KRS-an. Di situ seorang bertampang seram duduk jongkok sambil tertawa sendiri—agak ngeri melihatnya. Tapi isi hati saya berkata bahwa saya harus mendekati preman ini. Alhasil sayapun berkenalan dan mencium aroma mulutnya yang seperti bak sampah itu (giginya kuning lengket, ia tidak sikat gigi sialan). Ia sebenarnya cukup tolol di perkenalan pertama, banyak cengangas cengenges sendiri dan tampak sedikit hang syarafnya, membuyarkan stereotip preman yang saya stempelkan dari awal. Selanjutnya kita tidak pernah bersua, dan bertemu lagi saat ospek fakultas. Ya Tuhan, bau mulutnya sama saja. Saya bisa sedikit gila bila bercakap dengannya. Orang macam apa juga yang berkata terus terang tentang masalah ini (lebih baik menuliskannya di blog hehe). Setelah itu kami berjumpa lagi di hari kedua kuliah, Ardan, is, back. Kali ini lebih necis walaupun masih bertampang lendir babi.

Karena kami sama-sama kos di gang yang berdekatan maka saya seringkali nebeng Ardan kemanapun. Dia adalah sopir pribadi. Saya juga sering menginap di kosannya saat saya malas pulang ke kos. Saya hafal tempat penyimpanan kuncinya. Saya juga sudah mengenal akrab ibu kosnya. Mengapa saya tidak pindah kos dengan Ardan saja karena saya betul-betul tidak yakin menghabiskan hari-hari dalam kamarnya yang luar biasa gelap sekaligus pengap—dan Ardan selalu menghabiskan harinya di situ. Juga koleksi bokepnya yang cupu. Juga baunya yang setengik babi. Saya mempunyai ritual wajib tiap habis magrib selalu berkunjung ke kosan Ardan. Entah melakukan apa. Kadang juga menendang bokongnya saja sampai dia terbangun—babi guling ini sering sekali tertidur dengan wajah kotor usai kuliah dan baru sadar saat malam. Bokongnya bertekstur empuk, banyak serat dan juga tai-tai busuk yang belum kelar ia buang. Betapa gendutnya babi ini sampai-sampai meremas susunya seperti melecehkan seorang gadis ABG saja rasanya. Kamarnya, sekali lagi, saya gunakan sebagai tempat pelampiasan saat nganggur. Saya biasa membongkar laptopnya saat dia tidur, melihat koleksi-koleksi jelek itu tentu saja. Atau kadang Hentai yang lebay. Ardan adalah maniak anime tetapi ia tidak pernah gembar-gembor, entah malu entah apa. Terkadang saya juga mampir ke kosannya hanya untuk sekadar ngaca dan meminta minyak wangi. Saat saya akan pergi dengan perempuan, kosan Ardan adalah tempat make-up saya.

Saya pernah berbuat dosa besar terhadap Ardan. Begitu besarnya sampai-sampai melebihi besar lubang buhulnya yang busuk dan menyedihkan. Seorang perempuan yang kos di depan kosannya (sebut saja Rina) sempat membuat saya iseng ingin berkenalan. Karena waktu itu serba tidak memungkinkan dan memang saya terlalu rumit saat berurusan dengan perempuan-perempuan entah siapapun itu yang mungkin efek LDR sialan, saya menjadikan Ardan sebagai umpan. Kebetulan Ardan pernah satu kelompok dengannya entah saat ospek busuk itu atau apalah. Jadi Ardan punya kontak si Rina. Segera saja saya iseng menghubungi Rina via ponsel Ardan, dan bajingannya si Rina tampak interest. Bangsat. Mengapa harus via Ardan dan bukan saya. Ardan yang dungu dan tolol pasrah saja menyerahkan hapenya untuk mendekati Rina. Setelah malam tiba, hape Ardan saya kembalikan. Ardan kebingungan esok haRinaya, karena Rina menghubunginnya terus dan Ardan mau tidak mau terus membalasnya, melanjutkan pembukaan yang telah saya lakukan. Babi gudikan ini makin hari makin ceria saja, anjing. Sementara saya sudah lupa kalau celeng ini masih intens berhubungan dengan Rina. Puncaknya adalah saat dia mulai cuek saat saya ajak ngopi, atau kemanapun itu. Atau berangkat kuliah bareng. Atau muter-muter Surabaya. Ada apa dengan susu besar ini? Gendut sok. Ternyata oh ternyata tapir ini menjadi tukang ojek Rina, yang memang belum membawa motor dan butuh mobilitas. Ardan gendut ini senang-senang saja. Dan makin hari saya makin jijik dan ilfeel melihatnya. Ia potong rambut dengan gaya mohawk norak bin terkutuk, juga selalu mewangi, entah padahal tubuhnya adalah setengik-tengiknya ciptaan Tuhan. Saya pernah stay di kamarnya dan dia menyemprotkan parfum itu, parfum paling murah di Indomaret, hampir menghabiskan beberapa liter dan ratusan semprotan. Gila. Mereka semakin dekat dan saya pun juga sudah lupa bahwa saya awalnya yang ingin berkenalan. Bajingan ini sudah lupa bahwa tanpa saya yang memulai, dia tidak akan pernah sampai di posisi ini. Saya pun hanya bisa geleng kepala saat kremi berlemak ini membelikan gift-gift kecil untuk Rina, misal gelang-gelang lucu yang ia beli dengan saya saat menghadiri Indie Clothing—saya yang beli duluan dan dia memang demen ikut-ikutan. Juga saat Valentine, dia membeli Silver Queen dan membungkusnya dengan kado. Membungkusnya! Fuck. Saya tidak habis pikir saat melihatnya mengendap-endap ke parkiran, menyuruh saya dan Sony tidak mengikutinya, demi agar dia bisa menyerahkan pemberian itu pada Rina. Saya yang sebenarnya juga tidak bisa berkata-kata saat melihat Rina, akhirnya bertepuk tangan, ikut berbahagia atas kesenangan sahabat saya. Rina sudah jadi milik Ardan, beruntung sekali dia. Saya yang sial. Klimaksnya adalah saat kerbau ini mengajak kencan Rina di Sastra Bulan Purnama—ajang kencan anak jurusan saya di kampus. Saya bersama Sony si tikus jelek berangkat berdua seperti homo laknat, ngaplo dan merasa tolol karena perempuan begitu masyhurnya di mata namun kami sendiri adalah pecundang tengik yang berada di ambang kehancuran hubungan dengan pacar masing-masing, atau sedang menjalani hubungan tanpa status berbahaya dengan pacar orang, atau mengejar yang tak pasti seperti saya yang—ehm. Tapi ini Ardan, babi lendir tengik ini hadir di tengah acara Sasbulpur kesayangan kita ini, di saat timingnya sedang hujan deras. Sebelumnya memang hujan badai begitu kencang, saya dan Sony Tikus hanya berdua menontoni panggung yang dipindah—kasian sekali. penonton sudah mulai ramai tapi saya tidak melihat si tengik. Saya sudah mengabarinya untuk nonton sedari sore dan dia menjawab bahwa saya dan Sony Tikus disuruh berangkat dahulu. Hujan tetap deras namun tidak sederas tadi. Si gemplo tadi tiba-tiba datang dengan badan agak kuyup, bau yang teramat wangi, memakai kemeja hitam sialan berukuran XXXL, dan tersenyum sok cool serta—ini yang bikin saya berteriak ‘kontol asu’ dalam hati—dia memakai jam tangan dan kacamata saudara-saudara. Anjing. Ada apa dengan monyet ini sampai saya tahu bahwa yang berjalan di belakangnya adalah Rina. Hati saya remuk redam. Hati Sony kacau. Ternyata Ardan, gendut sipit bangsat ini menjemput Rina terlebih dahulu—setelah berdandan sampai hampir mampus di sore hari. Setelah menjemput, di jalan terjadilah hujan itu dan memang cukup tolol untuk melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian berteduh—ini tentu ide Rina dan bukan Ardan yang tidak akan mampu berpikir—dan Ardan, manusia becek ini langsung pamer-pamer kepada khalayak bahwa dia tadi berteduh di depan sebuah rumah random bersama Rina sampai kira-kira satu jam. Kurang romantis apa Dewa Cinta Romawi Kuno. Sejak saat itulah Ardan semakin intens dengan Rina, semakin masuk dalam kehidupannya, semakin melupakan teman, semakin melupakan saya—yang sudah hafal tempatnya meletakkan kunci kosnya dan bisa saya terobos seenaknya untuk penitipan sepeda.

Ardan babi tengik ini memang makin hari makin intens dengan Rina dan menjadi bahan sumpah serapah teman-teman yang ia lupakan. Tapi setelah insiden Silver Queen yang diberikan Ardan di parkiran saat Valentine itulah, segalanya berubah. Ardan kembali kepada haribaan, menjadi anak cupu kami lagi dan menyediakan susunya untuk kami remas-remas sampai memerah. Bokongnya menjadi bola lagi yang selalu siap kami tendangi sampai jebol lubang dubur. Saya sempat tak menyadari akan hal ini sampai-sampai di suatu sore, dengan Dunhill Mild di tangan kanan (rokok favorit kami dulu), saya dan Ardan ngobrol ngalor-ngidul di kursi tidak layak pakai depan kosannya sampai menjelang maghrib. Kami makin betah ngobrol di saat iqamah di masjid depan kosnya sudah berkumandang. Ardan adalah lulusan pondok yang kafir sekafir-kafirnya; tidak menyembah apa-apa selain lemak duburnya yang berlendir. Baiklah cukup seperti itu saja cerita Ardan dengan Rina. Karena seperti yang saya yakini, semua romansa yang melibatkan sahabat saya satu ini akan terdengar menjijikkan—dan memang seharusnya para pria tidak terlalu membahas urusan bunga mawar dan cokelat seperti ini antar gerombolannya.

Yang paling saya ingat dari Ardan adalah bagaimana dia mengerti segalanya yang ada di dunia ini, dan yang mengejutkan adalah dia juga menggemari apa yang saya gemari. Bahkan menggunakan apa yang saya kenakan. Semua tidak menjadi masalah bila tidak ada kepura-puraan. Tetapi babi ini mendadak jadi tahu black metal, death metal, grindcore bla-bla-bla setelah saya mengajaknya berbincang, atau bertukar pikiran. Ada perbedaan yang jelas antara orang yang betul-betul tahu dengan orang yang pura-pura tahu. Ardan selalu berada di nomor dua. Saya paham betul mengapa ada orang yang seperti ini. Benar, eksistensi. Yang pure menjengkelkan adalah saat Ardan gendut homo ini mendadak ikut band baru saya. Saya seringkali bertanya dia bisa memegang instrumen apa, atau kalau tidak bisa, kamu vokal saja. Tetapi dia memaksa dan meyakinkan saya bahwa dia benar-benar bisa instrumen bas—dulu sempat main band memegang bas pas SMP namun sekarang sudah agak lupa karena sudah lama sekali. Saya tidak percaya karena Ardan gembul ini tidak pernah memegang gitar sama sekali walaupun di sekelilingnya ada gitar. Alasan dulu bisa sekarang lupa apakah bisa berlaku untuk main musik? Jika lupa mungkin sedikit saja, karena orang yang belajar gitar itu tidak akan pernah bisa main-main jika ingin bisa: harus menyerahkan jiwanya, sampai seperti itu. Belajar gitar juga butuh waktu, yang pasti akan terekam di otak, prosesnya, detailnya. Dan Ardan gendut bangsat pembohong bajingan ini lupa segala-galanya: cara memegang, memencet, menggenjreng—what the fuckin’ fuck-fuck-fuck-fuck! Saya bersama rekan band dari Fakultas Ilmu Pendidikan, Jeffry, yang memegang gitar, mengenalkan Ardan sebagai basis baru. Saya sendiri memegang drum dan tidak peduli urusan lain-lain: hantam, hajar, pukul, tendang, fuck them all. Saat masuk studio untuk latihan, mau tidak mau saya harus percaya bahwa Ardan benar-benar bisa main bas: hanya sempat lupa dan mungkin kini ia bisa mengingatnya lagi. Saya berpikir tengik ini tidak mungkin masuk studio, sejauh ini, jika hanya bohong belaka semata. Apalagi ini tidaklah murah, dan ada orang lain juga yang melihat, gitaris bertompel sexy di bibir bernama Jeffry Legend penerus gitaris Drive yang tidak terkenal dan tidak berpengaruh di blantika musik Indonesia itu. Tapi kontol, sungguh, saya sungguh malu. Ardan kerepotan mengalungkan bas itu ke tubuh gemplonya. Bangsat. Feeling saya tidak karu-karuan. Belepotan. Kepercayaan saya luntur sudah. Dia memang senekat itu. Berani berbohong sampai sejauh ini. Sudah gila. Lalu Jeffry bertanya mau main lagu apa, saya jawab J-Rocks. Meskipun menggelikan tapi ini adalah standard band-band yang main di studio, terkadang untuk pemanasan saja karena lagunya juga tak buruk-buruk amat walaupun gayanya norak abis. Pun juga ada bass-line dan ketukan drum yang tidak monoton alias variasi. Lalu Fallin’ In Love dari J-Rocks berkumandang. Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai delapan detik kemudian... ngentot! Anjing Ardan malah diam, cengengas-cengenges. Babi. Udik. Guoblok. “Aku lali, he-he.” Ujarnya sambil diam. Saya sudah mencium gelagat kebusukan bohongnya. Jeffry pun juga sudah. Tapi semua pada sungkan bilang ke Ardan, kasihan harga dirinya yang sudah rendah itu. Kami membiarkannya menaruh bas dan dia duduk, duduk saja! Sialan. Yang terjadi selanjutnya adalah Jeffry yang sungkan dan tidak enak hati melihat lipatan lemak itu diam. “Kamu nyanyi aja!” ujar Jeffry. Dan, tengik ini langsung memulai dengan memegang microfon. Acakadul memang. Memainkan J-Rocks lagi. Musik masuk. Cukup aduhai. Jeffry bermain gitar dengan pas, saya mengimbanginya dengan ketukan (Hail, Anton!) maut ala-ala Japanese rock dengan sedikit gaya flamboyan. Masuk lagu, masuk vokal dan... kontol sekontol-kontolnya! Bangsaaaaaat! Suara yang sungguh, masuk angin, layak buang dari muka bumi. Tuhan menciptakan suara bocah tengik ini bebarengan dengan Dewa Kodok Ngorek yang lagi kencing di pita suaranya mungkin. Kacau, jelek, bedebah, iblis, keparat, kucing ngewek, faaakkk! Lalu dia makin merusak lagu dengan terkekeh-kekeh seperti dia orang paling lucu sedunia, lalu Jeffry merasa sudah muak, terganggu dan berhenti. Sementara saya, melihat hal itu sebagai latihan band terkacau dan tergoblok yang pernah saya lakukan selama hidup di dunia yang sia-sia ini. Saya merasa selanjutnya tidak akan beres, kami tidak akan menuntaskan satu lagu pun. Saya kemudian melampiaskan kekesalan itu pada drum: memulai aksi technical brutal death metal: mumpung disediakan double pedal, saya langsung menghantam set di depan saya secara membabi-buta, secepat dan sekeras mungkin, menirukan triplets dari Tuhan sesembahan keringat dalam bolot-bolot stik drum bernama John “Bonzo” Bonham alias Sang Maha Pencipta Rock And Roll. Setelah dua orang kontol itu, Ardan dan Jeffry mengamati saya sedang sedeng dan gila, selama beberapa menit, saya kelelahan dan berhenti. Stik patah, saya tidak peduli. saya langsung duduk di samping Ardan dan saya sungkan kepada Jeffry. Mengajak tikus gemuk ini kesalahan yang tidak dapat saya maafkan, bahkan saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri akan kejadian ini. Tapi saya sedikit lega karena Ardan, tanpa kata-katapun, sudah mengakui bahwa dirinya memang lemot dan tidak bisa main musik. Saya tersenyum memaklumi, sementara dia menahan malu yang sebusuk bau duburnya itu, kemudian malah mengambil handphone. Jeffry yang sedang menggenjreng gitar asal, tiba-tiba disuruh berhenti. Ardan mau mengangkat telfon. Sureal, peristiwa ini sungguh sureal. Percakapan Ardan dalam telfon: iyo-iyo aku ngeband maneh-iyo tapi rodok lali. Dan sebagainya. Jancok, setelah itu, tengik ini koar-koar: konco SMP-ku takon kabar, tak jawab aku lagi ngeband, terus deke jawab lo ngeband maneh, wis suwi awakmu gak band-band an. KONTOL! FUCK! Dia pura-pura ditelfon seseorang dari masa SMP-nya yang tidak menyenangkan itu, kemudian seperti menguatkan bahwa dia ADALAH ANAK BAND DI JAMAN SMP! PELER! Saya sudah kehabisan kata-kata akan peristiwa ini.

Setelah melewati fase-fase tengik itu: kebersamaan kami menonton gigs, minum alkohol murah dan berbagi mild, dan saling menjemput untuk ngopi, Ardan kemudian kembali jadi sosok yang misterius dan sok keren. Saat tugas Bu Ririe di mana ia sekelompok dengan si bajing loncat Sony, ia kemudian tidak pernah terlihat masuk. Sony kebingungan karena otaknya mampet dan ia mengerjakan tugasnya sendiri. Di kelas Ardan tidak pernah kelihatan, dan tidak masuk tanpa ijin. Saya mengira dia mungkin bolos, tapi setelah saya hampiri di kos-nya, Ibu Kos-nya yang oleh Ardan dibilang maling duit receh ini, bilang bahwa doi belum kembali ke kos. Ponselnya yang belum android dan masih jelek selalu merepotkan, saya harus SMS. Tidak dibalas. Telfon, tidak diangkat. Saya khawatir dia mati. Dia terpuruk dengan di dalam Tempat Pembuangan Sampah. Dua bulan lebih tidak masuk tanpa kabar. Kelas Sastra belum menyerah, masih mencari-cari Ardan. Saya pun begitu. Menjadi yang paling kehilangan. Jujur saya merasa sedih. Tapi sekaligus muak karena tampaknya semua orang di kelas jadi merasa mengenal Ardan, dekat dengan Ardan. Munafik bajingan. Penjilat sperma dosen. Anjing. Saat dosen bertanya kemana Ardan, kita bisa tahu ada banyak yang cari muka, sok tahu, sok kenal sok dekat, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya saya yang tahu, tidak yang lain. Hanya saya yang diberi tahu, dan saya bungkam. Karena beberapa hari sebelumnya, tengik sialan ini mengunjungi saya di kost, tanpa saya duga, dengan mendadak.

Di dalam kost dia menceritakan semua uneg-unegnya. Saya merasa prihatin sekaligus iba sekaligus merasa bahwa babi ngepet ini pantas diberi sedikit es batu di kepala. Saya tidak atau belum bisa menceritakan alasannya kabur di sini. Ardan kemudian makin menghilang, dan tanpa kabar sama sekali. Saya menghormati pilihannya, berhenti mencari, dan mencoba setidaknya tersenyum, mengenang, bahwasanya saya pernah punya sahabat baik, yang kini memilih menghilang. Ia punya alasan sendiri. Saya percaya dengannya kali ini.

Ardan Huda. Foto pasca UAS. 2014/2015
Ardan (kanan). Pasca tawuran. 2014

Ardiansyah
Entah. Harus berkata apalagi tentang bocah kecil berambut mengembang bak Suneo versi afro bernama Ardiansyah. Bahkan menulis namapun saya tidak terlalu yakin: Ardiansyah, Andriansyah, Ardiansah, atau Andriansah. Tapi saya memanggilnya Ardi—atau sebenarnya Andri?—fuck, whatever. Intinya dia kecil hitam dengan ketek berbau kretek campur keringat, suka menyendiri dan gemar memegang jidat bak pengidap vertigo akut. Kuliah tidak pernah masuk dan pas rekreasi berkedok study tour, dia datang terlebih dahulu—anjing! Tapi toh ia apes juga karena study tour Sastra 2013 ke Jogja batal karena bus tidak jadi datang dan kami salah mempercayakan semua pada perempuan laknat penghuni kerak neraka bernama Eka, tongos comber dari angkatan 2012 (hati-hatilah!) yang berprofesi sebagai calo newbie paling tolol yang pernah ada, dan bahkan ia begitu bodoh untuk bisa menipu kami. Jancok. Eh tapi ini sedang membahas Ardi, bukan Eka si jelek kencur. Tapi sudahlah toh gara-gara bangsat itu kami jadi terlunta di musola kampus dengan koper warga kelas yang alay dan membawa baju dan gaun sebanyaknya untuk pamer dan selfie saat di Jogja dan ternyata tidak jadi: makan tuh koper. Dan Ardi akhirnya menginap di kosan saya selama semalam, sebelum besok pulang di rumahnya daerah Sepanjang.

Saya tidak tahu mengapa tuhan menciptakan ketek anak ini begitu baunya, pun kegemarannya garuk-garuk koreng dan mengisap kretek seperti kereta api—membuat aroma tubuhnya makin tidak karu-karuan. Ardi selalu datang kuliah lima menit sebelum jam pertama berakhir, nongkrong di kantin di jam kedua dan selanjutnya, dan kemudian kembali ke kelas lima menit setelah jam terakhir berakhir. Luar biasa thug life. Ardi saya tahu adalah tipe comel pendiam kritis meneng-meneng ndlendem yang diam-diam ngerasani, dan dia adalah tipe-tipe penjilat, tukang hasut kelas wahid dan sanggup mengeluarkan sisi brutal dari seseorang. Tipe-tipe orang macam ini seperti lempar tangan terhadap sesuatu yang ia bertanggung jawab akan hal itu. Tipe yang gemar memprovokasi secara halus, konspirasi yang terukur dan kita tetap bisa melihat Ardi tidak melakukan apa-apa. Ardi pernah digosipkan dengan Adelia—yang ternyata bersekolah di satu SMA—salah satu perempuan paling bling-bling di kelas. Ardi—dan saya kalau saya ingat, juga tentu saja Rojak si muka mesum—pernah menggoda Adelia, dan mungkin Ardi bertendensi menjurus pada hal-hal kotor. Adelia yang digoda seperti tidak ngeh dan malah menganggapnya bercanda. Tapi saya tahu isi otak kepala Ardi, dari senyumnya yang merupakan senyum paling aneh yang pernah dihadiahkan zaman. Setelah itu dia melakukan hobinya yang paling ikonik: memegangi rambut depan, menutupi jidatnya seperti orang yang pualing berat menjunjung beban kehidupan.

Ardiansah. Surya 16. Gigi kuning penuh gidal: kabar burung terakhir yang saya dapat dari Sony Ferdianto Cecurut mengatakan bahwa Ardi berjualan obat kuat di Sepanjang setelah hilang dari kuliah tanpa kabar dan tiada yang mempedulikan. Saya kemudian menghubunginya secara pribadi dan menanyakan apakah ada barang yang saya maksud, Ardi tengik ini malah bilang cari saja di apotek. Sialan. Setelah itu kami jarang berkomunikasi hingga di suatu siang saat kuliah membosankan, saya iseng membuka Facebook saat kuliah Teori Sastra gitu-gitu saja Pak Haris. Ada chat masuk. Tumben sekali Ardiansyah.

“Bro, njaluk chip poker. Onok gak?”

Bangsat. Rasa-rasanya saya ingin menggaruk kepalanya saja.

Ardiansyah. Pojok kiri. Pasca batal ke Jogja. 2014/2015

Dimas Ruben Maranata Hutabarat
Raja sakaw, ahli obat-obatan ilegal, tukang santai tingkat akut, maniak kopi, dan badan akan terasa sakit bila mulut tidak tersumpal tembakau. Kita sambut, Rubeeen! Si anjing buduk kecil dengan mata yang selalu sayu dan ngantuk, juga gaya bicara yang menye, lamban dan pelan, teman saya yang paling rajin menyembah Kristus—dia sepertinya pemeluk yang taat—dan gemar menggambar grafiti di buku tulis walaupun gambaranya jelek—dan sumpah tai sekali alay menggambar grafiti di buku seperti anak SMP yang baru belajar merancap dan berusaha keren dengan memakai wax sampai kaku semua jembut-jembut di rambut. Anjing! Ruben adalah si canggung sungkan yang dengan bodohnya mencari temannya disaat kami pertama bertemu dalam kelas lugu yang lama-kelamaan jadi porno dan tengik. Disitu ia begitu bingung—saya pikir dia mencari cintasejatinya. Ternyata yang dicari adalah mahasiswa angkatan tua, mengaku-ngaku sebagai maba, dan endingnya mereka bersahabat (by the way ternyata orang itu adalah Abu Wafa; siapapun orang di jurusan pastilah mengenalnya). Ruben, tanpa kapasitas apapun langsung ditunjuk sahabat petirnya tersebut untuk mengisi acara bedahfilm fakultas, membuat saya tidak habis pikir apakah tim panitia tersebut kekurangan stok orang sampai-sampai mengajak kampret ini untuk mengisi acara. Kalian lupa ada Ardan sang maniak film, hah! Kalian lupa! Oh, tapi Ardan jauh lebih kampret lagi mungkin jika disuruh mengisi acara karena jujur dia sangat goblok jika disuruh nggacor—walau saya yakin ia 70% lebih paham film dibanding Ruben—Ruben lebih bisa membohongi orang dan berbasa-basi. Mengarang manis, candaan tak lucu tapi konyol, tawa garing menyebalkan, dan mata seorang pemabuk yang sedang teler: Ruben, you got it!

Perjumpaan dengan mata sayu ini amat aneh—seperti yang saya jelaskan di atas, dengan pertemuan-pertemuan lain yang tidak kalah aneh dan absurd. Ruben adalah sahabat Ardiansyah dan kita akan bisa menebak keduanya memiliki satu ikatan dan suatu kesamaan hobi. Hanya saja Ruben lebih parah dan payah. Misal: ke kampus saat kuliah libur, sementara saat kuliah masuk dia tidak pernah tampak. Ke kampus saat sore hari saat jam kuliah usai, sementara di pagi hari tak pernah tampak. Ke kampus saat pagi hari tapi tidak pernah tampak di kelas, melainkan di warung kopi Bu Gono lalu setelah itu pulang. Ke kampus membawa kamera DSLR, foto-foto kami, lalu pulang secara tidak jelas tanpa ikut kuliah. Masuk kuliah, langsung tidur di menit pertama dosen memberi kuliah. Pernah kami—gerombolan basa-basi anak-anak semester awal—kasihan kepada Ruben karena kami mau nonton bioskop sementara tengik ini tidak punya duit. Alhasil ada yang membayarinya. Tapi bangsat, meki ini malah tertidur dan harus dibangunkan sesaat setelah film berakhir. Memang asu.

Jujur saya tidak punya banyak memori dengan Ruben, kecuali saat saya, Rojak, Ardi dan Ruben sepakat untuk membentuk kelompok Linguistik Umum. Saya berinisiatif membentuk ini karena saya sedang gerah dengan munafik-munafik dalam kelas. Saat membentuknya anggota pertama adalah Rojak disusul Ardi. Kemudian Ruben yang sedang tidur saya masukkan juga. Beberapa anak tidak yakin melihat kelompok kami yang beranggotakan cowok semua karena dosen Linguistik kami amat menakutkan dan ketat. Apalagi keseluruhan anggota kami adalah bengal dan tidak pintar dan amat sangat pemalas. Alhasil, bencana tiba saat hari presentasi laporan. Saya sempat meminjam file dari Esa Wahyu Setyo Jancok Linggar, bocah kurus dari kelas sebelah yang merupakan bajingan tengik di kos saya. Kebetulan pembahasannya sama. Saya menyerahkan file itu ke Ardi dan Rojak untuk diedit. Saya kira mereka sudah melakukannya sampai saat presentasi, si dosen keluar ruangan dan mengambil file presentasi milik kelas sebelah. Identik, ujarnya. Cocok. Kalian plagiat, kalian tidak lulus mata kuliah ini. Ujarnya. Gudik sialan. Saya tentu saja membantah. Tapi setelah dosen memberikan argumen bahwa yang diedit dari file ini adalah ‘adalah’ yang diganti ‘merupakan’ saya langsung pucat pasi. Saya tidak lulus mata kuliah memek ini dan harus mengulang semester depan bersama Rojak, Ardi dan Ruben. Ardi dan Ruben menghilang tanpa pernah mengulang. Kini hanya tinggal Rojak. Kami serasa pecundang tulen.

Ruben (bawah). Sastra Bulan Purnama. 2013

Yudhi/Ihduy/Johnny Andrean
Yudhi atau Ihduy atau Johnny Andrean (keparat yang memberi nama ini) adalah seseorang yang bekerja di pabrik Siantar Top Rasanya Pasti Top. Saya ingat betul hari itu puasa Ramadan, kos sepi benar, pecundang-pecundang seperti Nyong tentu saja pulang kampung ke neraka. Saya hanya bersama Ibung seorang, pemuda Blitar yang tidak pernah puasa dan selalu hilang saat mau berbuka demi nyolong takjil. Alhasil saya sendirian sampai datang Mas-Mas memakai seragam, membawa jajan dan kami pun berkenalan. Setelah basa-basi dan bertukar asap rokok dan minyak gorengan, saya tahu bahwa orang ini bernama Mas Yudhi atau dipanggil Ihduy. Asal Madiun dan pacarnya sedang kuliah di Malang. Ihduy kemudian menghantarkan saya pada situasi pelik di mana pacarnya kini sudah hamil entah berapa bulan. Ihduy bercerita bahwa sebelumnya ia khilaf saat sedang bersama pacarnya menginap di Telaga Sarangan. Di Surabaya, sambil bekerja, ia mencari dukun yang bisa melakukan aborsi. Saya rada merinding mendengar ceritanya. Tapi ekspresinya selalu saja kalem dan kalem—lumayan tenang untuk calon bapak yang bahkan belum menikah. Saya lalu tidak ikut-ikutan dan jadilah Ihduy ini selalu berdiskusi tentang aborsi bersama pakarnya: Ibung Wibisana.

Setelah itu, saya sering diajak Ihduy ngopi atau entah mengonsumsi apalah. Karena hanya ada kami berdua di kos. Ihduy kadang juga membawa burung lovebird, untuk lomba. Setelah itu beberapa hari setelah lebaran, Ihduy pindah ke Malang karena khawatir kehamilan pacarnya. Kerjaan di sini ia lepas, pun juga selingkuhan-selingkuhan di kantornya. Ihduy memang seorang bajingan yang kelihatannya pendiam dan lugu. Setelah lama tidak kontakan, beberapa hari lalu saya mendapatkan kabar bahwa burung-burungnya sering menang lomba di perlombaan lovebird Malang Raya. Sungguh kisah hidup yang melankolis.

Special:
Chrisnanda Fitrah Persada
Krisna sang Maha Pencipta. Krisna sang idola. Krisna yang Maha Kuasa. Krisna, the greatest man in the world alive. Krisna, the most inspiring people in the damn world. Krisna, a rockstar. A good looking guy. A shinny son. Krisna, kesempurnaan. Krisna, jancok, tidak bisa dilukiskan dengan air ludah bercampur lendir sperma. Saya menyerah. Lukiskan sendiri. saya hanya memberi gambaran deskripsi cerita yang jujur sejujur-jujurnya.

Saya merasa kehilangan karena setelah Krisna berhenti kuliah, saya kehilangan sasaran amuk berikutnya yang akan saya habisi kepalanya sampai pecah—dan ini tidak main-main. Kebohongan yang dilontar dari mulutnya, jutaan fitnah, bagi saya cukup merugikan dan merusak nama baik. Tidak peduli itu kelainan, penyakit atau memang konspirasi dari dia sendiri, kepalanya bisa terhantam bogem dan ludah saya andai saja dia melempar fitnah lagi. Ya, untung saja dia pindah. Jadi saya tak perlu lagi melihat bocah lelaki kurus hitam sok kaya dan sok baik mondar-mandir kesana kemari, mencari empati dengan berpura-pura mendonorkan retina mata atau tangan yang diperban, mencari topik dengan berpura-pura mengendus dan bertanya siapa yang memakai AXE coklat, atau berusaha jadi keren dengan kedok menonton indie clothing saat Seringai main sampai selesai tapi tidak tahu apa-apa kejadian di TKP—dan sialnya ia sok kenal personil Seringai: Arian13 mungkin akan meludahi matamu cok! Dan gobloknya banyak dosen yang percaya. Ah, anjing! Empati mengalahkan logika dosen-dosen yang padahal mereka adalah master di bidangnya. Oke berhenti membicarakan dosen karena bisa-bisa ada yang... ah sudahlah. Saya yang jancok, saya yang keparat, saya yang tolol, bukan dosen, bukan Krisna.

Daftar anak yang pernah difitnah Krisna:
1) Sony Ferdianjancok.
“Sony iku kerjo tukang, ibuke akeh utange!” – dan saya membandingkannya dengan muka Sony yang memang seperti tukang batu.
“Sony iku ditolak cewek terus!” – fitnah yang cukup bisa dipercaya walaupun tidak benar adanya.
Dan banyak lagi yang saya tidak tega mengumbarnya di sini.
2) Ardan Homo Huda
“Mase Ardan mbukak lawang ngidek tanganku getihen!” – cukup sulit dan cukup psycho. Krisna berkata ini sambil menunjukkan tangannya yang berdarah. Sementara Ardan menyangkal bahwa Krisna tadi berada bersamanya.
“Ardan seneng Ellysia.” – saya tidak peduli juga andaikata ini nyata. Ellysia sempat menjadi primadona di mata Ardan dan saya saat kami sedang kebanyakan Guinness. Namun Ardan menyangkal gairah terbesarnya ini.
3) Saya
“Tito kafir nggak seneng solat.”
“Tito kafir nggak nduwe agama.”
“Tito habis ke Bandung.”
“Tito habis ke Jogja.”
Dan taek-taek lain yang kadang bahkan sampai mengadu domba saya dengan Kidut, selaku wakil saya sebagai ketua. Krisna bangsat tengik ini lebih baik tidak usah dianggap apapun lagi; bagi Liyana atau Irma Kidut atau Sandra lugu polos atau Mer super baik hatinya, jangan biarkan hati kalian dipermainkan oleh sandiwara itil Krisna.

For your information: kebohongan Krisna ini, tanpa saya bermaksud sombong, saya yang pertama kali menyadari, dan selanjutnya bilang ke Ardan. Kami berdua menawarkan argumen ini pada anak-anak tapi tidak ada yang percaya. Baru setelah beberapa kejadian, semua ngeh bahwa Krisna memang betul-betul bangsat tengik sakit jiwa. Jika ada yang tidak terima pengakuan saya ini, atau mungkin Krisna sendiri yang berkeberatan, saya siap menerima segala risikonya. Ayo lek lanang majuo cok!

Krisna (kanan depan). Selamatan Rujak Sastra. 2014

No comments:

Post a Comment