Tuesday, June 20, 2017

14 Hari Untuk Selamanya (Bagian 7 - Habis)

VII.
Lewat Sudah...

145
Sebelum benar-benar berakhir izinkanlah saya untuk menyampaikan satu ini: semua yang ada dalam tulisan ini adalah hasil dari realita dan praduga. Semua adalah kejadian real, pun kutipan percakapan, gestur, penampakan, apapun itu, ditambah dengan praduga saya pribadi—yang sedikit agak ceroboh dan cenderung berpikiran buruk dan kotor akan segala sesuatu. Jadi saya akan merasa sangat berterimakasih jika pembaca yang merasa tersinggung atau menjadi bahan olokan mau menerima permohonan maaf saya. Meski sebenarnya saya tidak peduli juga jika ada yang tersinggung, atau merasa terhibur, atau apapun itu. Saya tidak peduli bahkan bila tidak ada yang peduli sekalipun.

Dan setelah melewati hari-hari panjang sialan yang busuk di lantai basecamp tengik yang jarang disapu dan di pel, penuh bolot gemuk dari bajingan-bajingan yang tidak mandi dengan bersih atau tidak mandi, setelah di lantai itu saya beserta tim ekonomi yaitu: 1) Nila, 2) Sylvia, 3) Tyo dan 4) Wisnu, menggarap mahakarya luar biasa agung yang menurut saya pribadi sudah melampaui batas etika dan estetika, esensi dan eksistensi: kerajinan dari ampas tebu. Karya seni kriya avant garde ini saya percaya akan membuat Andy Warholl berdecak kagum dalam kuburannya. Sebuah karya nan cult, dibuat dengan kejeniusan hipster kelas tinggi, dengan pengaruh dan warisan yang tiada terhingga terhadap generasi-generasi setelahnya. Potret sketsa Campbell Soup legendaris itu dibikin oleh Warholl, sementara untuk Kriya Ampas Tebu ini, kita punya Wisnu.

The Other Side: Wisnu Prasetya Bekti
Dalam framing kehidupan, kita mungkin pernah menjumpai perasaan bahwa dunia yang kita tinggali adalah fana. Mengerikan dan kita harusnya sudah bersiap mati setiap saat. Bila kalian mengamati Final Destination sedari awal dan makin menganggap franchise itu makin buruk dan mengada-ada, maka cobalah berkendara dengan kecepatan yang di luar nalar, dengan motor tua nan ringsek, bersama pengemudi ngantuk dan belum pernah sarapan: kalian akan mengalami Final Destination versi kalian sendiri dan untuk kemudian berhenti menonton sampah itu via donwnload gratisan. Saya pernah beberapa kali mengalami yang seperti itu. Dan sekarang seseorang bernama Wisnu yang baru saya kenal kemarin, membuat saya mengalami sensasi serupa.

Menuliskan tentang Wisnu akan sangat panjang. Tiada terkira dan saya takut nantinya akan membuang-buang waktu saya yang tidak terlalu berharga ini untuk mendeskripsikan orang lain yang saya pun tidak tahu apa feadahnya bagi saya pribadi dan keluarga. Tetapi, tiada artinya peristiwa KKN ini tanpa seorang Wisnu. Cerita tentang boncengan mautnya mungkin bisa saya bagikan sambil menonton streaming video roller coaster dengan iringan lagu jelek supercepat dari Dragonforce. Cerita tentang boncengan mautnya bersama motor hipsternya mungkin bisa saya bagikan sambil menonton streaming video roller coaster dengan iringan lagu jelek supercepat dari Dragonforce sambil menggerus bata dengan gigi geraham. Cerita tentang boncengan mautnya bersama motor hipsternya dan senyum meringisnya yang innocent yang tampak di spion saat hampir menghantam bahu jalan mungkin bisa saya bagikan sambil menonton streaming video roller coaster dengan iringan lagu jelek supercepat dari Dragonforce sambil menggerus bata dengan gigi geraham ditemani Anggur Merah Cap Orang Tua.

Intinya cerita itu akan terlalu melelahkan diceritakan di sini dan mungkin sebaiknya dilupakan saja. Bagian ini akan lebih menfokuskan perjalanan Wisnu di basecamp meramu formula ampas tebu. Perjalanan ini menjadi menarik karena saya—sebagai sebusuk-busuknya ketua yang mengepalai divisi Ekonomi—nekat untuk tidak melakukan survey akan kerajinan ini sebelum KKN, dan baru melakukan trial and error saat KKN tiba.

Perjalanan ampas tebu ini diawali dari saya dan Wisnu yang merampok sisa-sisa ampas tebu dari mamang-mamang yang berjualan es tebu di dekat Pasar Canggu. Akhirnya kami mengenal beliau dan rutin memasok ampasnya. Beliau pun sangat pengertian untuk tidak membuang ampas tebu itu dan menggeletakkanya di pinggir jalan agar kami bisa mengambilnya. Sungguh mulia hati bapak ini—yang membuat saya kepengen mokel es tebu siang bolong. Akhirnya di basecamp saya bersama anggota tim ekonomi bereksperimen setiap hari. Tapi yang paling total dan tidak tanggung-tanggung adalah Wisnu. Ada masanya saat saya asyik tidur siang, mokel, atau sebats di kamar, Wisnu di luar sedang mengupas ampas tebu dengan ditemani cerita pranikah dari Mama Esti, atau berandalan cilik Sidowangi yang masih kecil sudah kurangajar. Saya yang kadang tidak peka selalu disindir oleh dia, hingga di suatu pagi saya sadar bahwa saya yang terlalu malas. Untuk itulah saya akhirnya selalu menemani Wisnu, dan ekstremnya melakukan hal-hal yang dia perintahkan seperti survey kebun tebu walaupun itu agak tidak masuk akal, kemudian berbelanja barang-barang kebutuhan yang dibutuhkan Wisnu meskipun saya sudah membelinya banyak sekali tapi entah kenapa selalu habis. Sampai akhirnya saya melihat pola kerja Wisnu yang gemar mencoba-coba sana-sini, rela menghamburkan uang dari saku sendiri demi peralatan, dan selalu melakukan aktivitas dengan ampas tebu meskipun sudah mentok dan saya merasa semuanya sudah dilakukan. Saya akhirnya sadar bahwa bukan saya yang terlalu malas, tapi Wisnu yang terlalu rajin. Saya pun kembali normal seperti semula. Eksperimen tebu itu ternyata tidak sulit-sulit amat. Tinggal mencuci ampas, menjemurnya, lalu menempelkannya. Model tempelan disesuaikan: potongan kecil ataukah besar dan kasar. Tinggal membuat prakarya saja untuk tempelan. Sebagai ketua saya seharusnya yang mempresentasikan tapi saya kira Wisnu lebih berhak.

Kadang saya masih takjub akan potret yang saya ambil ini.
Begitu bercerita
Tim ekonomi kami mendapat giliran acara di hari-hari jelang berakhirnya KKN. Mungkin H-1 atau H-2. Saya menyerahkan urusan tutorial pada Wisnu, juga yang terhormat Hengki sebagai Master Of Ceremony. Saya respect pada Hengki karena ia alpa membacakan bagian acara di mana saya harus memberi sambutan jadi saya tidak perlu menata karangan buruk dan basa-basi lagi. Urusan forografi sudah ada sendiri entah itu Aminul atau siapa saya lupa. Saya hanya tinggal duduk diam sambil beramah-tamah kepada ibu-ibu sekitar. Acara ini tidak mungkin terjadi apabila saya dan Nila tidak rutin mengunjungi rumah Bu Lurah dan membicarakan kepastian. Bu Lurah yang amat baik adalah ketua PKK, dan sasaran paling baik dari acara kewirausahaan ini adalah ibu-ibu PKK. Maka dengan mendekati ketuanya, paling tidak kita bisa melewati satu proses yang melelahkan yaitu membagikan undangan ke warga. Saya yakin Bu Lurah hits itu pasti punya grup Whatsapp dan dengan satu dua kalimat saja, ia bisa mempromosikan acara kami. Tinggal mengatur teknisnya, dan sesuai permohonan Bu Lurah, acara diadakan pada hari Kamis, pukul sembilan pagi. Bu Lurah tidak mau banyak omong dan mempersetankan sambutan. Jadilah acara dimulai dengan Hengki, kemudian Wisnu, kemudian saya yang koar-koar sedikit sok-sok saja, kemudian Wisnu lagi untuk doa, Hengki lagi untuk penutup dan basa-basi cuci mulut. Dan usai. Rundown hanya seperti itu.

Seperti halnya tugas korlap, di sana saya hanya mengatur pembagian ampas, serta peralatan yang digunakan ibu-ibu untuk praktek membuat prakarya. Jujur saya tidak terlalu paham Wisnu menjelaskan apa, dengan bahasa Jawa tulen yang banyak menggunakan metafora atau apalah, atau kata ‘sepuntene’ atau apalah, Wisnu mengajari ibu-ibu berusia setengah abad, seolah-olah dia lahir delapan abad sebelum ibu-ibu itu dilahirkan. Sempurna. Rundown menjadi sedikit padat karena Sylvia mengusulkan agar acara ditambah dengan tutorial make up oleh Shella dari jurusan Tata Rias. Saya setuju asal modelnya adala Hengki dengan memakai kurudung pasmina; tapi tidak ada yang lebih pas lagi untuk dirias selain perempuan bernama Velly. Saya yakin dia akan menjadi salah satu biduan dangdut di masa depan menggantikan Ayu Ting-Ting dan ayahnya. Tugasnya sekarang hanya tinggal menjadi ratu angsa: duduk, di make up, berdecak kagum pada cermin. Velly dipoles Shella sedemikian rupa di depan ibu-ibu yang mencoba menirunya. Acara extras ini lebih menarik animo ibu-ibu ketimbang acara ampas tebu. Sialan. Apalagi Bu Lurah yang sedang melahirkan juga ingin dirias juga. Alhasil Shella pun memoles Bu Lurah di depan ibu-ibu yang sepertinya ingin menjadi Ibu Lurah juga. Polesan Shella adalah salah satu yang terbaik. Riasanya mengukuhkan tanpa kata-kata sedikitpun bahwa Bu Lurah—istri Pak Lurah Akemad—adalah perempuan tercantik di desa ini. Tercantik nomor tiga di Kabupaten Mojokerto (setelah tentu saja istri Bupati dan Wakilnya). Shella segera saja menjadi buah bibir di kalangan ibu-ibu hits. Menjadikannya make up artist handal yang segera bisa menggeser Ivan Gunawan dadar gulung itu sebagai pakar fashion nasional. Meskipun setiap melihat make up tebal saya hanya melihat kepalsuan. Tapi setidaknya kepalsuan itu membuatmu tampak cantik. Inilah kebingungannya; pilih cantik tapi fake atau standard tapi original. Saya kira itu tidak bisa dipilih. Keniscayaan perempuan adalah memang berdandan. Kita hanya perlu menyeimbangkannya saja.

Support ibu-ibu PKK jasmani dan rohani
Setelah acara ini usai, entah kenapa saya merasakan semuanya juga akan segera usai.

Semuanya.

***
Ada beberapa hari dalam dua minggu di mana suasana antarteman betul-betul mengerikan. Ada hawa-hawa perang dingin, tanpa ocehan ataupun sindiran kode-kode, nyinyiran. Diam. Betul-betul diam. Tetapi hawanya dingin betul. Dalam sains, segala akibat pasti mempunyai sebab. Buah apel tidak tiba-tiba jatuh sendiri, kemudian diamati oleh Newton yang sedang melamun. Ya, benar. Adanya gravitasi. Ada sebab. Kemudian akibat. Dalam sosial pun sama, cuman entah kenapa segalanya lebih kompleks. Saya bisa membahas ilmu-ilmu kemungkinan begini seharian penuh, sambil mengutip sedikit Einstein, atau quote film Interstellar (2014); mendedah dengan ilmu nalar, rumus-rumus super acakadul, tentang apa yang menyebabkan dua orang atau lebih saling berdiam diri dan merasa tidak nyaman satu sama lain. Seperti dalam Pulp Fiction (1994), di mana karakter Mia Wallace berkata pada teman kencannya, Vincent Vega bahwa dia hanya butuh melakukan diam yang tidak nyaman kepada pasangannya. Diam yang tidak nyaman dalam situasi kali ini memang bisa dijelaskan dengan aspek psikologi, sosial atau bahkan hubungan antar jaringan proton dan neutron. Tapi saya hanya ingin bercerita, sejauh pandang mata saya tentang apa yang terjadi, sebelum dan setelah diam yang tak nyaman tersebut.

Saya tidak paham sebelumnya dan ogah mencari paham juga akan apa yang terjadi. Semuanya serba sembunyi-sembunyi, dan memang saya terlalu bodoh untuk mengerti hal-hal yang penting. Fitra, ceking buduk kriwul ini sempat membahas tentang ‘pembagian takjil pada warga’, secara sembunyi-sembunyi. Seperti zaman perjuangan saja, pikir saya. Aksi gerilya ini adalah sebuah bentuk protes pada Anugrah, sang ketua—yang selain karena masalah pribadi entah apa—juga karena program Anu seperti berseberangan dengan program yang diingkan teman-teman. Saya masih menghormati Anu tentu saja, dan menjadikannya pegangan karena dia menurut saya sudah yang paling pas dan pantas menjadi ketua. Orang kedua yang saya jadikan pegangan adalah si tengik Hengki yang menjadi wakil ketua. Tapi apa daya bila kedua tokoh sentral tersebut diam, dan malah saling memiliki persepsi berbeda. Saya yakin benar, kedua kubu yang perang dingin ini adalah kubu Anugrah dan kubu Hengki—yang setelah perjalanan waktu lebih pantas dinamai kubu Fitra karena memang anjing peking ini yang mengomando dari belakang.

Setelah asyik membangun kubu sendiri-sendiri, yang saya tahu gerakan ini semakin meruncing setelah ada upaya pembangkangan terhadap Anu. Ketua kita dibicarakan di sana-sini. Saya sebenarnya merasa tidak nyaman terhadap kubu-kubu tidak berguna semacam ini. Kuliah Kerja Nyata hanpir berakhir, dan tidak penting-penting amat juga terlalu menganggap serius hal seperti ini. Akhirnya saya juga melakukan pembangkangan. Bersama Ikbal, saya selalu menghilang dan menghindar bila ada kubu-kubu datang dan melakukan pembicaraan—atas kedok diskusi membahas masalah sekalipun. Pernah di banyak waktu, saya dan Ikbal malah bepergian ke tempat lain saat ada rapat. Saat ada kumpul-kumpul saya dan Ikbal kabur menuju warung kopi langganan yang cukup sendu dan mulia—namun wifinya bedebah brengsek bajigur, lebih cepat dari Surabaya. Bahkan pernah, saya ingat betul, Ikbal sudah kabur duluan ke warung kopi sebelum rapat itu dimulai. Saya yang ditinggal hanya bisa berkeluh nestapa. Dan terkadang di saat seperti itu, saya lebih memilih kabur bersama Chandra.

Rapat heboh yang saya ingat itu terjadi kisaran pukul delapan atau sembilan malam. Saat itu saya sedang satu bantal dengan Amanda, membuka koleksi musiknya yang tidak bagus-bagus amat itu, dan searching di Joox. Saya memamerkan grup band indie pop yang sudah sepantasnya didengar seperti Mocca, menceramahinya sampai kering tentang betapa jeniusnya musik mereka. Saat itu Manda mengerjap-erjap, sepertinya mengantuk. Headset yang terpasang di kuping kami, satu di saya satu di Manda, mulai lepas dengan sendirinya seiring Manda yang kehilangan kesadaran. Saat Manda tiba-tiba melek di saat seperti itu, entah kenapa matanya mengingatkan saya pada Rocky Balboa yang dihajar KO oleh petinju Soviet sombong di Rocky IV. Manda saya lihat-lihat seperti Stallone versi cewek. Kalau saya sadar akan hal ini pada saat itu mungkin saya akan bilang pada dia.

Ateng
Sebelum itu saya, Fitra dan Hengki memang membahas tentang rencana membagikan takjil ke warga itu.

Malam itu semuanya memang berada di camp, berada di tengah, ada sebagian yang berada di kamar. Kecuali Ikbal yang sudah lenyap sedari jam tarawih tadi. Fitra memulai omongan.

“Ayo wes rek, ndang dibahas. Mumpung ngumpul kabeh iki.” Ujarnya.

Saya tahu anak-anak hanya ngaplo dan tidak bergairah lagi.

“Heng, ndang ngomongo!” Fitra bilang pada Hengki. Ceking yang ditunjuk itu malah gagu, celingak-celinguk.

“Wes Fit, ojok, sakno. Ngomong bareng-bareng ae.” Saya terpaksa ikut menanggapi. Saya pikir itu akan membahas tentang takjil tadi. Mengapa harus setegang itu. Setelah menanggapi hal yang tidak penting itu, saya rebah kembali bersama Manda, headset masih di telinga. Rocky Balboa cewek itu terbangun, langsung melek dan sadar. Saya kemudian lupa ada huru-hara apa, Anu kemudian memulai pembicaraan. Saya tahu ada Elsa di sebelahnya. Manda melihat langit-langit. Saya tahu dia tahu sesuatu. Saya tidak tahu apa-apa dan tidak mau tahu juga. Hengki celingukan. Fitra menatap Anugrah dengan tajam. Anugrah tidak bisa menatap siapapun karena dilahirkan sipit. Saya membesarkan volume Joox di Samsung Manda. Manda menyerahkan ponsel dan headsetnya ke saya. Ia bangun dari rebah, duduk. Saya masih tiduran, membesarkan volume. Yang saya tahu kemudian ada Velly muncul dari kamar. Kemudian bajingan-bajingan tengik juga terlihat menyemut, seperti Wiendo dan Tyo, atau Syakur, atau semua cowok kecuali Ikbal bangsat yang meninggalkan saya. Semua cewek juga hadir, baik yang sudah dari tadi berada di tengah dan ngaplo, atau juga yang baru dari kamar dan bau kasur seperti Nila, Devi, Esti dan lain sebagainya. Saya memegang kendali penuh atas Joox Manda. Saya mencari band-band seperti Pearl Jam, atau Soundgarden tapi jaringan sedang bangsat. Jadilah saya menyetel Mocca dengan volume maksimal, yang ternyata Joox streaming musik keparat ini punya limited, atau aturan yang membatasi pemutaran lagu. Babi. Streaming musik apapun bentuknya, Joox, Spotify, memang keparat. Tapi banyak yang menggunakannya. Malas menyimpan musik, hanya ingin dengar. Saya selalu ingin menangis saat mengingat fakta ini, di mana dulu saya yang hidup di zaman mp3 berusaha benar saat mencari musik baru. Tapi zaman telah berubah, di hape Manda-lah saya pertama kali dengan betul-betul intens mencoba fitur-fitur Joox tai anjing sialan.

Semua orang di camp sedang duduk bersila membentuk posisi lingkaran. Cowok-cowok yang berada di pusaran adalah Anugrah, Fitra dan Hengki yang makin lama makin menyingkir ke pinggir. Sementara itu para cewek ada Elsa dan Velly. Manda duduk di tepi bantal tadi. Sisanya menyingkir. Saya di samping Manda, masih rebahan untuk kemudian entah siapa yang menyuruh saya duduk juga, entah Fitra atau siapa. Saya masih belum paham mengapa masalah pembagian takjil ini serius sekali.

“Aku lek awakmu nggak gelem mbagi, tak bagi dewe!” ujar Fitra.

Tapi Anu menanggapinya dengan terserah, begitu saja. Mulai ada pembicaraan yang saya betul-betul lupa apa. Kemudian ada yang memulai bicara entah siapa dan apa isinya. Waktu itu saya berada di antara lupa dan tidak peduli. Saya baru sadar bahwasanya topik telah berganti saat Anu mengatakan sesuatu dengan amat pelan sambil menggaruk pahanya yang mulus dan besar.

“Aku, Elsa, Velly nggak usah melok acara penutupan. Kene nang kene ae nggarap laporan. Kalian ae seng melok.” Ujar beliau.

“Lho, yo nggak isok! Melok siji melok kabeh, bareng-bareng!” Fitra menjadi blingsatan dan memulai gaya menunjuk-nunjuk ala mamang topeng monyet. Saya tidak melihat Hengki, ia  menghangatkan diri di ketiak Wiendo dan sela-sela kandung kemih Syakur. Saat itu semuanya menjadi agak sedikit tidak terkendali. Saya lagi-lagi tidak sadar, lupa atau tidak peduli apa yang terjadi. Yang saya ingat adalah Elsa yang berada di samping Anu, bendahara mungil yang bermuka sedikit judes dengan gaya bicara pelan tapi nyinyir ini kemudian menangis. Sedikit-sedikit lama-lama menggigil juga.

“Ga onok seng ngewangi aku!” ujar Elsa.

Setelah itu huru-hara makin tidak terkontrol. Saya lupa ada apa lagi. Manda yang sedari tadi menahan sesuatu juga mulai mengusap bening air mata di pelupuk matanya. Semuanya jadi serba emosi. Saya tidak ingin mengganggu tangis siapapun, jadi saya putuskan untuk berpindah posisi dengan membawa ponsel dan handsfree Manda. Saya kemudian duduk di belakang Nila, yang entah bagaimana bisa kemudian bisa berhadap-hadapan. Nila memandang saya dengan pandangan iba dan terpuruk. Saya makin mengencangkan volume Joox keparat. Ada Mew dalam daftar playlist. Saya tidak mendengarkan apa-apa lagi selain itu. Saya memberi Nila satu kabel, berbagi sedikit kebahagiaan di situasi tidak berguna semacam ini. Sedikit senyum Nila membuat saya tidak peduli lagi akan segalanya yang terjadi. Sampai kemudian Candra menghubungi saya via pesan pendek.

“Mas, aku nang ngarep. Metuo.”

Segera saja saya menaruh ponsel Manda, mengendap-endap, dan menemui Candra.

“Onok opo Mas kok rame-rame, tukaran ta?” tanya dia.
“Onok seng nangis, Mas. Embuh opo’o.” Jawab saya.
“Lho, piye se samean iki mas.” Candra terbahak. “Ayo melok aku mas.”
“Budal wes mas.” Jawab saya.

Melaju pelan...

***

Saya ingat betul pagi itu mata saya berkunang-kunang. Ikbal berasa di sebelah saya, matanya masih tertutup dengan mulut terbuka, menyembur hawa-hawa keparat sisa semalam. Anjing, batin saya. Di hari-hari akhir seperti ini, saya menjadi semakin mengerti bahwa membicarakan moral adalah hal yang paling ambigu. Bagaimana pemuda Sidowangi merayakan dan menikmati hidup dengan apapun yang membuat mereka lupa hari esok mereka patut diacungi jempol. Setelah bekerja keras dan lelah seharian, tidak ada salahnya berpesta ria dan menertawakan dunia. Pun juga Candra, pun juga bocah hitam legam yang tinggal di sebelah camp, yang pada malam huru-hara keparat itu melakukan aksi paling dugal tiada dua: mengencingi jalan persis di tengah-tengahnya, dengan nafas bau solar tanpa campuran. Mengaduk kokang kesana-kemari, mungkin tegang atau efek tangan yang pedih perih hasil ketidaksaran limabelas menit lalu yang menggosok-gosokkan genggaman tangan—mengampelas buku-buku tangan—pada aspal kerikil Sidowangi. Sayup-sayup terdengar suara-suara bocah itu kembali terngiang di telinga. Sebuah bentuk perlawanan kepada dunia, dalam bungkusan penuh: tinggal dorong dan bebaslah.

“Jancok! Ancen arek gendeng!”

Sekarang muncul sekelebatan bayangan yang mungkin terjadi tadi malam. Candra memaki sambil sedikit tertawa busuk. Melihat-lihat garukan aspal pemuda hitam legam tadi. Berdarah-darah; kotor dan keruh campur pasir sisa aspal dan campuran semen yang perih di tangan.

“Arek iku ancene ngono, Mas! Liar!” ujar Candra.

Suara Candra perlahan menghilang, lalu sayup-sayup pikiran antara sadar dan tidak sadar kembali menerawang. Duduk melingkar dangan Ikbal di samping kiri dan bocah hitam legam di samping kanan. Sementara Candra mengutak-atik Goldlights saya tanpa menghidupkannya. Meja penuh puntung keparat: Ikbal sedang kebut-kebutan dengan Dota campur sisa-sisa ampas Clas Mild. Butuh sedikit penghangat atau penyeimbang; substansi yang keparat betul. Tapi Ikbal belum mulai, ia hanya hangat oleh kopi dan nikotin. Ia butuh dorongan lagi. Ikbal kemudian mengikuti tawaran Candra—keluar sebentar.

Setelah itu pikiran saya membuyar entah ke mana. Ada sosok di depan pintu. Berkacamata dan entah siapa. Saya merindukan sesuatu tapi tidak tahu apa yang harusnya pantas untuk saya rindukan. Sedikit celotehan busuk khas KKN 145. Lalu pikiran menggeliat lagi dalam dimensi yang lebih prosaik. Bocah hitam legam di samping saya, membusuk dengan Extra Jos Susu keparat di meja. Hanya disentuh beberapa teguk. Dia tertidur, atau pingsan dengan santainya. Mata memerah darah. Tangan perih. Sebuah penolakan penuh terhadap kesadaran.

“Jancok, turuo nang ngarepe toko ae lo, cok! Ojok nang kene!” Candra membentak dengan kasar. Campuran dari campuran yang dicampur-campur jadi satu kadang menghasilkan efek seperti itu. Terjadi pada anak hitam legam dan Candra harus sedikit punya sentakan untuk mengejutkan urat saraf yang mati. Lalu ada bayangan Ikbal sempoyongan. Kaki kerbau. Iblis berwajah dua. Awan kelabu. Cairan kuning urin. Bayangan sewarna kelam. Mata saya berkunang lagi. Lalu terbatuk-batuk untuk kemudian sadar dengan sendiri.

Bangsat. Seperti mimpi buruk saja barusan.

***
Saya yang selalu gagal memahami sesuatu mendadak harus paham bahwasanya Hengki dkk—dengan komando dari Fitra dkk—akan kembali mengobrak-abrik lantai balai desa dengan biduan hardcore kenalan baik Manda di desa Kemlagi. Biduan yang di hari-hari lampau telah membuat huru-hara tak berkesudahan, mengajari dengan baik dan busuk sekaligus bagaimana pesta seharusnya digelar. Biduan sekaligus pengiringnya, ditambah Roland—keyboard electon yang ditakdirkan sebagai teman baik dangdut dan semua subgenrenya—dan sedikit kesenangan urakan bahwa hidup masih muda dan panjang, have fun itu penting, dan lain sebagainya. Mereka semua akan diboyong dalam rangka penutupan KKN kami, dan sekaligus menyetujui bahwa cara paling baik untuk berpisah adalah dengan perayaan. Yang saya pahami kemudian dan mungkin masih gagal paham juga adalah Anu dkk yang tidak begitu setuju, dan saya juga kurang begitu paham atas alasan apa. Pro-kontra ini kemudian memicu sedikit tetesan air di pelupuk mata Manda, dipadukan sesenggukan tangis Elsa dan akhirnya disepakati jalan tengah nan mulus bahwa penutupan dilakukan di balai desa dengan berbuka dan berdoa bersama. Saya sih terserah saja yang penting anak-anak kartar juga diundang.

Tepat di malam hari sebelum besoknya kita beranjak kembali ke paraduan masing-masing, ini jadi malam penghabisan dan acara terakhir KKN. Para perempuan sibuk menyiapkan es buah dan serutan-serutan dan es batu-es batu dan sedikit keras kepala dalam pemberian gula sehingga terasa terlalu manis untuk memicu diabet. Tidak bagi Wiendo dan Syakur yang mirip tempat penampungan es tebu. Kami sudah bersiap semenjak siang, tapi saya tertidur. Ikbal juga. Jadi agak telat menuju balai desa tempat keributan kecil akan berlangsung. Di sana ternyata sudah dipersiapkan makanan bebek antah-berantah yang dipesan dari kota, saya lupa berlabel Bebek Madu atau apa, yang akan menjadi menu terakhir kami.

Jemaah
Selepas magrib sebagian anak sudah siap di tempat masing-masing. Sendok, dan wadah-wadah es, kretek, buah-buahan; tanpa solat terlebih dahulu langsung libas saja dengan libido. Ekstrem memang karena saya hanya mengingat sedikit sekali acara sebelum makan-memakan itu di mana ada sosok yang memimpin doa, dan sedikit pidato penutupan. Pak Lurah juga bersuara sedikit. Dan tamu paling penting yang tidak pernah disebut dalam cerita ini, Pak Wiryo dari Fakultas Ilmu Pendidikan, hadir dengan potongan rambut masih sama seperti yang sudah-sudah. Beliau adalah pembimbing KKN kami yang tidak hadir saat pengarahan, dan entah saya juga lupa bagaimana kami bisa mengenal beliau. Pak Wiryo menggunakan kacamata dan makin mengukuhkan eksistensinya sebagai seorang yang smart—sayangnya sudah punya istri, kawan. Tidak ada objek lain yang pantas untuk dipaparkan dalam konteks acara ini selain Pak Wiryo.

“Udah nggak usah berangkat penutupan ke kecamatan, saya yang tanggung jawab!”

Satu-satunya quote yang saya ingat dari beliau hanya itu. Selebihnya lupa dan tidak peduli-peduli amat. Acara berlangsung seperti tipikal acara basa-basi lain: hening, formal dan diakhiri dengan foto-foto. Dari sesi foto-foto ini kami mengambil banyak sekali gambar, baik di kamera atau di ponsel, berbagai pose, dengan raut muka bahagia-bahagia sedih. Raut muka lega sudah melalui dua minggu di paceklik. Raut muka puas besok sudah bisa pulang. Raut muka kekenyangan bebek berlemak berlendir dan kebelet buang air besar karena kebanyakan es buah. Beberapa pencandu rakus memilih untuk menggerogoti asap di samping balai desa. Menggunakan jas almamater dan tidak peduli juga tata aturan larangannya. Setelah salam-salaman dan ramah-tamah, berpamitan mewek terhadap Pak Lurah Akemad Rianto, Ibu Lurah—ehem—Akemad, dan para bawahannya yakni Pak Polo seluruh desa. Yang tidak saya lihat: 1) Anak-anak kartar Sidowangi; pada kemana dugal-dugal itu? 2) Ibu Sekdes. Saya sudah tidak memakai celana bolong-bolong lagi, Bu.

Ya, setelah itu kembali lagi ke basecamp, bersiap beristirahat, atau packing, bersih-bersih untuk kemudian pulang esok hari. Tapi oh tapi, anak-anak kartar Sidowangi ternyata sudah menanti. Bersiap untuk perpisahan jilid dua.

Haha anjing.

***
Kegoblokan berikutnya: Mas Juwono, ceking putih, anggota kartar yang tertua, membopong DVD dan beberapa keping kaset dangutan, atau campursarian, atau banyuwangian, atau atmospheric black metal—persetanlah—dan ditata di basecamp. Ini pukul dua belas lebih, hampir setengah satu. Mental pemuda Sidowangi selain pekerja keras di siang hari adalah begajul karaoke di malam hari. Jadi, Juwono tidak hanya membopong DVD; perkaranya adalah hal itu turut memicu massa; keseluruhan anak kartar, termasuk Chandra. Saya sebenarnya sudah cukup lelah. Nila, yang seharian tadi bersama saya, juga tampak kuyu dan kusut. Mungkin bisa tiduran lah sampai nanti biar besok bisa fresh saat pulang. Beberapa gerombolan ibu-ibu muda seperti: Mak Lay, Mak Manda, Mak Devi, Mak Sylvi, Mak Esti (mak yang sebenar-benarnya), dan mak-mak lain sudah bersiap cuci muka, pasang odol, siapkan bantal selimut dan amblas. Tapi ceking putih Juwono entah berpikiran apa saat memulai itu semua. Saya yang sedang membantu menata ampas tebu bersama Wisnu dan Eko—ehm maaf, Tio untuk dibawa pulang, atau dibuang saja toh tidak guna-guna amat sekarang, melihat Fitra dan Hengi tergopoh-gopoh.

“Arek kartar ngajak karaokean. Penutupan.” Ujar Fitra yang kemudian langsung memanjat televisi, mempertontonkan kemampuanya sebagai sesepuh teknik mesin, matanya berkilatan pun juga kulitnya, memasang colokan demi terselenggaranya sinergi antara DVD, televisi, ampli (ya, benar), dan microphone yang ditujukan sebagai pesta terakhir bersama para dedengkot desa. Karaoke yang saya tidak tahu persis memutar lagu-lagu apa, bergenre apa, bahkan saya tidak butuh informasi apapun tentang hal semacam itu jika yang terdengar dari ampli hanyalah birunya cinta, birunya langit, di dalam duka dll dsb. Di dalam otak lagu ini sudah sedemikian overrated sampai-sampai saya butuh headset demi mengimbangi agar nada brengseknya tidak menghantui kepala.

Apalagi, ini pentas dengan Juwono sebagai pelaku tunggal. Memamerkan skill-nya (mungkin di SMA-nya dulu, atau pabrik tempatnya bekerja dia adalah penyanyi solo). Terlalu sulit untuk menceritakan seperti apa suaranya di sini: ini perpaduan Obie Mesakh (semoga saya tidak salah tulis) dan suara deru Kijang Innova dalam genangan lumpur. Saya hanya memantau kondisi sembari kongkow bareng Chandra. Turut hadir pula Hengki. Chandra membawa suguhan kopi dan teh, juga buah-buahan potong. Sebelumnya ia memang mengajak saya menuju dapur rumahnya untuk membantu membuatkan konsumsi. Dengan suara serak-serak ciamik Juwono, saya cukup syahdu mengamini kopi pekat panas tanpa krim, dengan kretek entah milik siapa. Ari, putra Juwono satu-satunya yang masih berusia PAUD, hadir sambil senyam-senyum sendiri. Saya lumayan dekat dengan Ari, dibanding bajingan-bajingan cilik yang lain. Entah kenapa Ari ini lebih lucu dan menurut saya berbeda dengan temannya yang penjahat mercon semua itu. Apa mungkin Ari terlalu kecil, tapi sepertinya dari semangatnya saya yakin dia bakalan punya masa depan cerah. Sementara bapaknya masih asyik dengan cengkok maut dengan birunya cinta, birunya langit, di dalam duka, dll dsb.

Ari, calon menteri.
Saya mencowal-cowel pipi Ari sambil terus mengokop gelas-gelas kopi. Butuh robusta untuk membunuh kantuk dan lelah. Apalagi lantai kotor balai dusun ini dingin juga. Saya terus memasukkan apapun ke mulut; kafein, asap nikotin, serat blewah, bajingan tengik, ini yang terakhir, pikir saya. Kalau perlu tidak perlu tidurlah. Bangsat. Sementara Ari makin terlihat rewel, mungkin ngantuk. Saya yang sedari tadi mencowal-cowel dia, juga tidak yakin apa badan anak ini memang lagi hangat atau panas. Sedari tadi dia nyosrop umbelnya terus. Mungkin flu. Ari lalu lari ke bapaknya. Sampai pada hal ini saya tidak tahu menahu lagi karena Bu Lurah menelfon, meminta prakarya ampas tebu tadi untuk tugas kesenian anaknya yang masih SD. Saya yang sudah akan membuang bahkan membakar prakarya itu segera mengiyakan dan menawarkan diri untuk mengantar sekarang juga. Pukul satu lebih kalau tidak salah, saya langsung mengambil sebatang, dan jaket. Mengayunkan kunci motor ke muka Nila.

“Yuk, ikut!” Nila mengangguk lalu mengambil jaket juga. Pening juga di camp terus. Suara Juwono—masya Allah. Kami berkendara dengan kecepatan tidak ngebut-ngebut amat. Ada waktu untuk menghirup udara bebas dari kesumpekan birunya cinta, birunya langit, di dalam duka, oh my god motherfuck. Ada ocehan-ocehan Nila lagi. Ada kecurigaan dan ketakutan Nila lagi.

“Mau ke mana ini,Tong! Ojok macem-macem kon! Tak telfon Devi bah!”

Anak ini. Dikiranya saya sedang merencanakan sesuatu yang buruk dan kurang berfaedah di malam seperti ini. Saya memang sempat berlagak tolol dengan bertanya padanya arah dan tujuan perjalanan ini. Untungnya cungkring manja satu ini tidak meloncat dari motor ke kebun tebu.
                                                                                                 
“Wih, makasih ya, mas, mbak.” Bu Lurah saat kami mengantarkan prakaryanya. Menggunakan daster. Lalu obrolan basa-basi kecil-kecilan beberapa menit kemudian. Sedikit pamitan lagi karena besok KKN berakhir. Lalu pulang. Lalu Nila ngoceh lagi. lalu Nila curiga dan takut lagi. Ya Tuhan.

“Istrinya Juwono ngamuk, si Ari sakit malah diajak karaokean.” Saya lupa yang berkata itu siapa. Yang pasti setelah saya dan Nila sampai camp masih terdengar suara musik namun pelan. Dan anak-anak yang berebutan menyanyikan birunya cinta, birunya langit, di dalam duka, dll dsb yang tentu saja dimenangkan Laila. Saya garuk-garuk janggut saja. Juwono dan Ari lenyap disuruh pulang istrinya. Sekian menit kami berada dalam keabsurdan yang tidak penting-penting amat ini.

“Rek ke alun-alun, yuk! Ngajak anak kartar sekalian penutupan.”

Ini sudah pasti idenya Laila.

***
Jalanan Mojokerto pukul setengah dua pagi yang lengang tiba-tiba saja jadi beringas. Separuh warga camp, juga anak-anak kartar konvoi kecil-kecilan menuju alun-alun yang tidak jauh-jauh amat. Pemandangan malam terakhir yang indah saya kira: langit hitam pekat, ada bintang-bintang kuning hijau bahkan keunguan berpendar di angkasa, mengelilingi bulan yang tampak besar dan jumawa; membuat saya memacu gas—dengan Nila di kursi penumpang—tampak berusaha mempertahankan raut muka positif meskipun hari sudah sepekat ini. Dari spion, tampak wajah Nila sedikit mengembun: udara dingin dan lembab, tubuh saja sampai sedikit menggigil. Dengan dikawal anak kartar yang dikomandoi Chandra, perjalanan jadi sedikit lebih rumit. Melewati antah-berantah jalanan ilegal yang mempercepat kami menuju tujuan. Alun-alun seperti dugaan, masih ramai dan belum tampak tidur. Gerbang Majapahit menyambut di gerbang; sedikit pengingat bahwa pada masanya Mojokerto ini adalah puncak kekuasaan Nusantara I yang dipersatukan oleh Mahapatih Gajah Mada—herannya kenapa UGM tidak berdiri di sini. Ada kabut yang menggunung saat kami sampai. Anak-anak memilih berpencar dengan aktivitasnya masing-masing. Sudah sedari tadi berkumpul, mungkin ada kalanya perlu sedikit longgar dan bebas memilih mau jalan dengan siapa, mau ngapain, mau ke mana. Sementara anak kartar memilih duduk-duduk di tepian aspal.

“Monggo mas, tak enteni kene.” Ujar Chandra mempersilahkan saya masuk. Saya sedikit berbisik-bisik pada Chandra, ada sesuatu yang terlupa. Semacam herbal, jamu kuat, ramuan rempah tradisional yang baik untuk kesehatan. Setara jahe sebagai penghangat. Racikan yang membuat manusia bisa menemukan dirinya yang sejati dalam gumpalan beku dingin seperti malam ini.

“Habiskan!” Chandra tergelak.

Lalu anak-anak sudah tidak tampak batang hidungnya. Beberapa orang yang mungkin dilahirkan dengan nafsu makan kudanil, memilih untuk pergi ke rombong nasi goreng, dengan kedok sahur dan semacamnya dan makan masing-masing sepiring berdua. Salah satu yang makan dengan syahdunya adalah Ikbal si anjing buduk. Sementara lainnya entah ke mana: Hengki dan Aminul terlihat mondar-mandir sendiri seperti ingin menunjukkan bahwa mereka gay, disorientasi atau semacamnya. Saya dan Nila memilih mengikuti Fitra dan Manda yang leha-leha di sekitaran gerobak tahu tek. Mereka berdua—Ya Tuhan—juga masih bernafsu makan di perut yang sepertinya sudah terisi penuh itu.

“Tong enggak makan ta? Ayuk.” Nila menawari tahu tek. Saya menggeleng dan memilih mengeluarkan bungkus kretek milik Ikbal yang saya bawa. Perut sudah hampir meledak begini. Lagian tidak begitu nafsu makan juga. Kunyah tembakau saja, menguarkannya dalam kabut gelap: mempertemukan bagian-bagian diri yang kosong dengan semesta raya lewat perantara asap-asap mewangi nan kudus—kalimat yang barusan sangat spiritual. Sementara Nila makan, saya mengamati sekitar dan ada rasa sedih, rasa yang jancuk sekali, bahwa kesenangan-kesenangan seperti ini besok akan segera berakhir. Membusuk kembali di jalanan kota. Macet. Sumpek. Tapi sekaligus juga rindu pada asap-asap knalpot dan suara-suara kaleng rombeng di jalanan. Ada perasaan tertahan dan ada perasaan ingin pulang. Jika kalian sadari, atau mungkin pernah mengalami gejolak perasaan semacam itu: maka setidaknya yang tertahan dan yang kalian rindukan itu sudah menjadi bagian dari hidup kalian.

Langit bertambah pekat. Pukul dua malam. Saya dan Nila duduk-duduk—setidaknya pada bangku taman yang tersedia. Saya belum pernah merasakan esensi dari lagu Pure Saturday “Di Bangku Taman,” di Surabaya. Bangku yang benar-benar bangku secara harfiah adalah yang sekarang saya duduki. Bulan menggantung tak jemu-jemu. Lalu saya mulai cerewet dan ngalor- ngidul. Saya tidak bisa mengingat—atau mungkin terlalu malas—untuk mengingat apa-apa yang saya ceritakan pada Nila. Yang pasti muntahan-muntahan itu; kecamuk, rekaman waktu, ketidakpastian, seluruhnya. Nila menahan diri untuk kemudian membuat saya larut. Sambil membetulkan kacamatanya, dia bercerita apapun yang membuat mulut pahit. Malam ini kami benar-benar tanpa sekat. Saya tidak bisa berkata apapun lagi selain meraih sesuatu dalam saku untuk dibakar. Tidak banyak yang bisa saya katakan tentang percakapan ini. Yang saya benar-benar tahu selanjutnya adalah, ada bagian dari diri saya yang ikut berubah. Nila yang saya kenal dekat karena sama-sama berada dalam satu tim ekonomi, membuat saya hanya berani melamun saat dia mulai mendongeng kisah-kisahnya.

Perjalanan pulang kemudian terasa begitu panjang. Tampak senyum itu, senyum lega, di mata teman-teman semua.

Sudah berakhir.


***
Ampli masih menyiarkan musik seiring anak-anak yang mempersiapkan koper dan mulai berpamitan. Saya yang pulang bersama Hengki menunggu semuanya benar-benar pulang. Saya berdiri di luar camp, tepat di depan rumah Mas Juwono, tempat di mana motor-motor diletakkan dengan serampangan. Wisnu ceking, kawan sefakultas pamit duluan.

“Sampai jumpa di FBS” ujar saya.

“Ngeband, yo!” timpal Wisnu.

Sementara satu-persatu berpamitan dan pulang. Tampak Anugrah dengan matanya yang sipit memprihatinkan, tersenyum.

“Bro aku mbalik sek yo.” Ujarnya.

Saya melihat ada hal yang hebat dalam diri Anugrah. Sesuatu yang membuatnya bisa bertahan sampai sejauh ini. Saya lupa, sadar atau tidak, saya memberi pelukan perpisahan. Sebusuk apapun suasana hari-hari kemarin, sepanas dan semenyebalkan apapun, saya masih menghormati Anugrah sebagai ketua. Saya tidak berhak untuk memihak dan menyalahkan, tapi ketegarannya; saya tahu ini sikap yang hebat bagi seorang pemimpin. Anu tidak mundur, hanya minggir sejenak.

Semua sepakat bahwa hidup akan lebih bisa dikenang saat diisi sekumpulan soundtrack. Semua sepakat bahwa salah satu adegan paling berkesan dalam frachise Fast And Furious menampilkan Dominic dan Bryan saling bersimpangan jalan satu sama lain di ending film—lalu muncul tulisan For Paul diiringi lagu yang membuat perasaan sedikit empatik. Saya tidak tahu lagu judul tersebut, siapa penyanyinya, dan tidak ingin tahu. Namun, saya tidak bisa untuk tidak peduli saat lagu tersebut berkumandang, seiring anak-anak yang mulai pulang ke haribaan. Perpisahan tidak pernah sedrama ini.

“Tong, maafin ya selama ini. Aku pulang dulu.” Nila berkata dengan senyumnya yang paling lebar sambil sok-sok mengucek mata mewek. Mobil jemputannya sudah menunggu.

Saya tidak menjumpai Mas Juwono, hanya ada Ari yang sembunyi-sembunyi di depan pintu. Saya melambaikan tangan.

“Mas arep balik sek ya. Ini buat Ari. pakai en.” Saya melepaskan salah satu gelang, dan memakaikannya di tangan Ari. Ari kemudian berlari ke arah ibunya yang berada di dalam. Saya pun berpamitan pada Juwono sekeluarga.

Setelah itu, saya berjalan ke sebuah tempat di mana saya menemukan saudara. Tempat pertama kali kami diterima di Sidowangi. Tempat di mana Pak Polo, kepala dusun bertempat tinggal, serta putranya, bajingan tengik bernama Chandra, yang seperti sudah menanti di ruang tamunya.

“Mas aku arep mbalik sek, pamit.” Ujar saya. Hampir saja menitikkan air mata saat merangkulnya. Tidak ada orang lain, hanya saya dan keparat satu ini.
“Enggeh, mas. Ati-ati...” Chandra terdiam beberapa milisekon. Bangsat, mengapa jadi semelankolis ini. “Sampean wis tak anggep dulur mas, dulur lanang. Sampean lek gelem tak gawekno KK nang omah iki.” Ujar Chandra. Saya terbahak. Entah harus mengatakan apalagi. “Yawes mas. Mariki sepi iki ga onok sampean.” Chandra tersenyum untuk yang terakhir kalinya. Seberat apapun, saya harus tetap berpisah. Hengki dan teman-teman yang tersisa sudah menunggu.

Saya melambai untuk terakhir kali.


***
Pasca pulang, ada hal-hal tertentu yang kadang membuat perasaan campuraduk. Kembali ke rutinitas lama, kos-kosan lama, bertemu orang-orang lama: saya merasa pulang. Mungkin saya sudah berada di Surabaya, tapi entah kenapa rasanya saya masih berada di sekitar rumah Chandra. Lalu, untuk membunuh kebuntuan, saya menghubungi teman-teman lama yang tercecer. Sekadar kopi mungkin bisa membunuh perasaan.

“Wes moleh KKN ta?” tanya saya pada salah satu kribo gimbal keparat, Tri Nanang Budi Santoso.

“Dorong, mene penutupan. Ayo melu aku!” jawabnya.
“Ayok!”

Alhasil saya kembali berangkat KKN menuju daerah Cerme, Gresik, di mana sawah dan tambak khas pedesaan terhampar luas. Berkenalan lagi dengan anggota-anggota KKN, seperti anggota kelompok baru. Ricky Kobot, ketua kelompok ini membriefing saya.

“Temene Tri ‘kan yo? Pasti kerjoe koyok Tri! Njaluk bantuan mas, yo. Ngewangi arek-arek.”

Dan setelahnya, malam penutupan di balai desa kelompok KKN Tri Nanang sudah dilaksanakan. Saya mendapat kenalan-kenalan baru—termasuk juga Mama dan Papa Ricky yang sempat berjam-jam mengobrol dan menunggu anaknya bersama saya.

“Nang, ayo ndelok hardcore-an saiki.” Waktu masih menunjukkan pukul delapan. Saya ingat ada acara berisik di DBL Arena Surabaya. Daripada nganggur pikir saya. Perjalanan Cerme-Surabaya sekitar satu jam. Bisa lah. Nanang mengiyakan. Tetapi sesampainya di jalan arah Ketintang, saya melihat rundown acara di pamflet yang ditempel di jalan. Keparat. Ternyata acara berakhir sebelum berbuka puasa. Alhasil kami kebingungan dan akhirnya Nanang memutuskan ide bagus yang keparat.

“Anggur merah. Camel grape. Mabuk premium,” ujarnya. Keparat ini kemudian juga mengeluh lapar. Kami yang saat itu sudah menikmatinya di kos terpaksa harus keluar lagi. Nanang menyomot semua recehan saya, dimasukkan dalam tas busuknya. Kami menuju tempat mie ayam di depan gang tanpa uang sepeserpun kecuali recehan. Nanang membayarnya dengan pede—di awal. Lalu saat kami makan, uang recehan kami yang seplastik dikembalikan oleh si penjual.

“Ini mas, tadi udah dibayarin ibu-ibu yang di depan.”

Bajingan. Saya tidak bisa berhenti tertawa. Sedikit lepas kendali dan mengobati kebuntuan pasca KKN. Di kos tidak ada lagi hal yang ingin kami ceritakan selain KKN. Selain Ikbal, Anugrah, Chandra, Nila... dengan terus mengisi gelas-gelas kosong—Tebs sebagai campuran. Nanang melukis sebuah objek di kamar kos saat saya bercerita tentang objek itu sambil menerawang jauh. Membuat saya meraih sebatang Camel, membakarnya pelan.

“Emang bener, 14 hari untuk selamanya...” ujar saya, diikuti Nanang yang mengangguk-angguk setuju. Mabuk.


(SELESAI)

No comments:

Post a Comment