VII.
Lewat
Sudah...
145 |
Sebelum benar-benar
berakhir izinkanlah saya untuk menyampaikan satu ini: semua yang ada dalam
tulisan ini adalah hasil dari realita dan praduga. Semua adalah kejadian real,
pun kutipan percakapan, gestur, penampakan, apapun itu, ditambah dengan praduga
saya pribadi—yang sedikit agak ceroboh dan cenderung berpikiran buruk dan kotor
akan segala sesuatu. Jadi saya akan merasa sangat berterimakasih jika pembaca
yang merasa tersinggung atau menjadi bahan olokan mau menerima permohonan maaf
saya. Meski sebenarnya saya tidak peduli juga jika ada yang tersinggung, atau
merasa terhibur, atau apapun itu. Saya tidak peduli bahkan bila tidak ada yang
peduli sekalipun.
Dan setelah melewati
hari-hari panjang sialan yang busuk di lantai basecamp tengik yang jarang
disapu dan di pel, penuh bolot gemuk dari bajingan-bajingan yang tidak mandi
dengan bersih atau tidak mandi, setelah di lantai itu saya beserta tim ekonomi
yaitu: 1) Nila, 2) Sylvia, 3) Tyo dan 4) Wisnu, menggarap mahakarya luar biasa
agung yang menurut saya pribadi sudah melampaui batas etika dan estetika,
esensi dan eksistensi: kerajinan dari ampas tebu. Karya seni kriya avant garde
ini saya percaya akan membuat Andy Warholl berdecak kagum dalam kuburannya.
Sebuah karya nan cult, dibuat dengan kejeniusan hipster kelas tinggi, dengan
pengaruh dan warisan yang tiada terhingga terhadap generasi-generasi
setelahnya. Potret sketsa Campbell Soup legendaris itu dibikin oleh Warholl,
sementara untuk Kriya Ampas Tebu ini, kita punya Wisnu.
The Other Side: Wisnu Prasetya Bekti |
Dalam framing kehidupan,
kita mungkin pernah menjumpai perasaan bahwa dunia yang kita tinggali adalah
fana. Mengerikan dan kita harusnya sudah bersiap mati setiap saat. Bila kalian
mengamati Final Destination sedari awal dan makin menganggap franchise itu makin
buruk dan mengada-ada, maka cobalah berkendara dengan kecepatan yang di luar
nalar, dengan motor tua nan ringsek, bersama pengemudi ngantuk dan belum pernah
sarapan: kalian akan mengalami Final Destination versi kalian sendiri dan untuk
kemudian berhenti menonton sampah itu via donwnload gratisan. Saya pernah
beberapa kali mengalami yang seperti itu. Dan sekarang seseorang bernama Wisnu
yang baru saya kenal kemarin, membuat saya mengalami sensasi serupa.
Menuliskan tentang Wisnu
akan sangat panjang. Tiada terkira dan saya takut nantinya akan membuang-buang
waktu saya yang tidak terlalu berharga ini untuk mendeskripsikan orang lain
yang saya pun tidak tahu apa feadahnya bagi saya pribadi dan keluarga. Tetapi,
tiada artinya peristiwa KKN ini tanpa seorang Wisnu. Cerita tentang boncengan
mautnya mungkin bisa saya bagikan sambil menonton streaming video roller
coaster dengan iringan lagu jelek supercepat dari Dragonforce. Cerita tentang
boncengan mautnya bersama motor hipsternya mungkin bisa saya bagikan sambil
menonton streaming video roller coaster dengan iringan lagu jelek supercepat
dari Dragonforce sambil menggerus bata dengan gigi geraham. Cerita tentang
boncengan mautnya bersama motor hipsternya dan senyum meringisnya yang innocent
yang tampak di spion saat hampir menghantam bahu jalan mungkin bisa saya
bagikan sambil menonton streaming video roller coaster dengan iringan lagu
jelek supercepat dari Dragonforce sambil menggerus bata dengan gigi geraham
ditemani Anggur Merah Cap Orang Tua.
Intinya cerita itu akan
terlalu melelahkan diceritakan di sini dan mungkin sebaiknya dilupakan saja.
Bagian ini akan lebih menfokuskan perjalanan Wisnu di basecamp meramu formula
ampas tebu. Perjalanan ini menjadi menarik karena saya—sebagai sebusuk-busuknya
ketua yang mengepalai divisi Ekonomi—nekat untuk tidak melakukan survey akan
kerajinan ini sebelum KKN, dan baru melakukan trial and error saat KKN tiba.
Perjalanan ampas tebu
ini diawali dari saya dan Wisnu yang merampok sisa-sisa ampas tebu dari
mamang-mamang yang berjualan es tebu di dekat Pasar Canggu. Akhirnya kami
mengenal beliau dan rutin memasok ampasnya. Beliau pun sangat pengertian untuk
tidak membuang ampas tebu itu dan menggeletakkanya di pinggir jalan agar kami
bisa mengambilnya. Sungguh mulia hati bapak ini—yang membuat saya kepengen
mokel es tebu siang bolong. Akhirnya di basecamp saya bersama anggota tim
ekonomi bereksperimen setiap hari. Tapi yang paling total dan tidak
tanggung-tanggung adalah Wisnu. Ada masanya saat saya asyik tidur siang, mokel,
atau sebats di kamar, Wisnu di luar sedang mengupas ampas tebu dengan ditemani
cerita pranikah dari Mama Esti, atau berandalan cilik Sidowangi yang masih
kecil sudah kurangajar. Saya yang kadang tidak peka selalu disindir oleh dia,
hingga di suatu pagi saya sadar bahwa saya yang terlalu malas. Untuk itulah
saya akhirnya selalu menemani Wisnu, dan ekstremnya melakukan hal-hal yang dia
perintahkan seperti survey kebun tebu walaupun itu agak tidak masuk akal,
kemudian berbelanja barang-barang kebutuhan yang dibutuhkan Wisnu meskipun saya
sudah membelinya banyak sekali tapi entah kenapa selalu habis. Sampai akhirnya
saya melihat pola kerja Wisnu yang gemar mencoba-coba sana-sini, rela
menghamburkan uang dari saku sendiri demi peralatan, dan selalu melakukan aktivitas
dengan ampas tebu meskipun sudah mentok dan saya merasa semuanya sudah
dilakukan. Saya akhirnya sadar bahwa bukan saya yang terlalu malas, tapi Wisnu
yang terlalu rajin. Saya pun kembali normal seperti semula. Eksperimen tebu itu
ternyata tidak sulit-sulit amat. Tinggal mencuci ampas, menjemurnya, lalu
menempelkannya. Model tempelan disesuaikan: potongan kecil ataukah besar dan
kasar. Tinggal membuat prakarya saja untuk tempelan. Sebagai ketua saya
seharusnya yang mempresentasikan tapi saya kira Wisnu lebih berhak.
Kadang saya masih takjub akan potret yang saya ambil ini. Begitu bercerita |
Tim ekonomi kami
mendapat giliran acara di hari-hari jelang berakhirnya KKN. Mungkin H-1 atau
H-2. Saya menyerahkan urusan tutorial pada Wisnu, juga yang terhormat Hengki
sebagai Master Of Ceremony. Saya respect pada Hengki karena ia alpa membacakan
bagian acara di mana saya harus memberi sambutan jadi saya tidak perlu menata
karangan buruk dan basa-basi lagi. Urusan forografi sudah ada sendiri entah itu
Aminul atau siapa saya lupa. Saya hanya tinggal duduk diam sambil beramah-tamah
kepada ibu-ibu sekitar. Acara ini tidak mungkin terjadi apabila saya dan Nila
tidak rutin mengunjungi rumah Bu Lurah dan membicarakan kepastian. Bu Lurah
yang amat baik adalah ketua PKK, dan sasaran paling baik dari acara
kewirausahaan ini adalah ibu-ibu PKK. Maka dengan mendekati ketuanya, paling
tidak kita bisa melewati satu proses yang melelahkan yaitu membagikan undangan
ke warga. Saya yakin Bu Lurah hits itu pasti punya grup Whatsapp dan dengan
satu dua kalimat saja, ia bisa mempromosikan acara kami. Tinggal mengatur
teknisnya, dan sesuai permohonan Bu Lurah, acara diadakan pada hari Kamis,
pukul sembilan pagi. Bu Lurah tidak mau banyak omong dan mempersetankan
sambutan. Jadilah acara dimulai dengan Hengki, kemudian Wisnu, kemudian saya
yang koar-koar sedikit sok-sok saja, kemudian Wisnu lagi untuk doa, Hengki lagi
untuk penutup dan basa-basi cuci mulut. Dan usai. Rundown hanya seperti itu.
Seperti halnya tugas
korlap, di sana saya hanya mengatur pembagian ampas, serta peralatan yang
digunakan ibu-ibu untuk praktek membuat prakarya. Jujur saya tidak terlalu
paham Wisnu menjelaskan apa, dengan bahasa Jawa tulen yang banyak menggunakan
metafora atau apalah, atau kata ‘sepuntene’ atau apalah, Wisnu mengajari
ibu-ibu berusia setengah abad, seolah-olah dia lahir delapan abad sebelum
ibu-ibu itu dilahirkan. Sempurna. Rundown menjadi sedikit padat karena Sylvia
mengusulkan agar acara ditambah dengan tutorial make up oleh Shella dari
jurusan Tata Rias. Saya setuju asal modelnya adala Hengki dengan memakai
kurudung pasmina; tapi tidak ada yang lebih pas lagi untuk dirias selain
perempuan bernama Velly. Saya yakin dia akan menjadi salah satu biduan dangdut
di masa depan menggantikan Ayu Ting-Ting dan ayahnya. Tugasnya sekarang hanya
tinggal menjadi ratu angsa: duduk, di make up, berdecak kagum pada cermin.
Velly dipoles Shella sedemikian rupa di depan ibu-ibu yang mencoba menirunya.
Acara extras ini lebih menarik animo ibu-ibu ketimbang acara ampas tebu.
Sialan. Apalagi Bu Lurah yang sedang melahirkan juga ingin dirias juga. Alhasil
Shella pun memoles Bu Lurah di depan ibu-ibu yang sepertinya ingin menjadi Ibu
Lurah juga. Polesan Shella adalah salah satu yang terbaik. Riasanya mengukuhkan
tanpa kata-kata sedikitpun bahwa Bu Lurah—istri Pak Lurah Akemad—adalah
perempuan tercantik di desa ini. Tercantik nomor tiga di Kabupaten Mojokerto
(setelah tentu saja istri Bupati dan Wakilnya). Shella segera saja menjadi buah
bibir di kalangan ibu-ibu hits. Menjadikannya make up artist handal yang segera
bisa menggeser Ivan Gunawan dadar gulung itu sebagai pakar fashion nasional.
Meskipun setiap melihat make up tebal saya hanya melihat kepalsuan. Tapi
setidaknya kepalsuan itu membuatmu tampak cantik. Inilah kebingungannya; pilih
cantik tapi fake atau standard tapi original. Saya kira itu tidak bisa dipilih.
Keniscayaan perempuan adalah memang berdandan. Kita hanya perlu
menyeimbangkannya saja.
Support ibu-ibu PKK jasmani dan rohani |
Setelah acara ini usai, entah
kenapa saya merasakan semuanya juga akan segera usai.
Semuanya.
***
Ada beberapa hari dalam
dua minggu di mana suasana antarteman betul-betul mengerikan. Ada hawa-hawa
perang dingin, tanpa ocehan ataupun sindiran kode-kode, nyinyiran. Diam.
Betul-betul diam. Tetapi hawanya dingin betul. Dalam sains, segala akibat pasti
mempunyai sebab. Buah apel tidak tiba-tiba jatuh sendiri, kemudian diamati oleh
Newton yang sedang melamun. Ya, benar. Adanya gravitasi. Ada sebab. Kemudian
akibat. Dalam sosial pun sama, cuman entah kenapa segalanya lebih kompleks.
Saya bisa membahas ilmu-ilmu kemungkinan begini seharian penuh, sambil mengutip
sedikit Einstein, atau quote film Interstellar (2014); mendedah dengan ilmu
nalar, rumus-rumus super acakadul, tentang apa yang menyebabkan dua orang atau
lebih saling berdiam diri dan merasa tidak nyaman satu sama lain. Seperti dalam
Pulp Fiction (1994), di mana karakter Mia Wallace berkata pada teman kencannya,
Vincent Vega bahwa dia hanya butuh melakukan diam yang tidak nyaman kepada
pasangannya. Diam yang tidak nyaman dalam situasi kali ini memang bisa
dijelaskan dengan aspek psikologi, sosial atau bahkan hubungan antar jaringan
proton dan neutron. Tapi saya hanya ingin bercerita, sejauh pandang mata saya
tentang apa yang terjadi, sebelum dan setelah diam yang tak nyaman tersebut.
Saya tidak paham
sebelumnya dan ogah mencari paham juga akan apa yang terjadi. Semuanya serba
sembunyi-sembunyi, dan memang saya terlalu bodoh untuk mengerti hal-hal yang
penting. Fitra, ceking buduk kriwul ini sempat membahas tentang ‘pembagian
takjil pada warga’, secara sembunyi-sembunyi. Seperti zaman perjuangan saja,
pikir saya. Aksi gerilya ini adalah sebuah bentuk protes pada Anugrah, sang
ketua—yang selain karena masalah pribadi entah apa—juga karena program Anu
seperti berseberangan dengan program yang diingkan teman-teman. Saya masih
menghormati Anu tentu saja, dan menjadikannya pegangan karena dia menurut saya
sudah yang paling pas dan pantas menjadi ketua. Orang kedua yang saya jadikan
pegangan adalah si tengik Hengki yang menjadi wakil ketua. Tapi apa daya bila
kedua tokoh sentral tersebut diam, dan malah saling memiliki persepsi berbeda.
Saya yakin benar, kedua kubu yang perang dingin ini adalah kubu Anugrah dan
kubu Hengki—yang setelah perjalanan waktu lebih pantas dinamai kubu Fitra
karena memang anjing peking ini yang mengomando dari belakang.
Setelah asyik membangun
kubu sendiri-sendiri, yang saya tahu gerakan ini semakin meruncing setelah ada
upaya pembangkangan terhadap Anu. Ketua kita dibicarakan di sana-sini. Saya
sebenarnya merasa tidak nyaman terhadap kubu-kubu tidak berguna semacam ini. Kuliah
Kerja Nyata hanpir berakhir, dan tidak penting-penting amat juga terlalu
menganggap serius hal seperti ini. Akhirnya saya juga melakukan pembangkangan.
Bersama Ikbal, saya selalu menghilang dan menghindar bila ada kubu-kubu datang
dan melakukan pembicaraan—atas kedok diskusi membahas masalah sekalipun. Pernah
di banyak waktu, saya dan Ikbal malah bepergian ke tempat lain saat ada rapat.
Saat ada kumpul-kumpul saya dan Ikbal kabur menuju warung kopi langganan yang cukup
sendu dan mulia—namun wifinya bedebah brengsek bajigur, lebih cepat dari
Surabaya. Bahkan pernah, saya ingat betul, Ikbal sudah kabur duluan ke warung
kopi sebelum rapat itu dimulai. Saya yang ditinggal hanya bisa berkeluh
nestapa. Dan terkadang di saat seperti itu, saya lebih memilih kabur bersama
Chandra.
Rapat heboh yang saya
ingat itu terjadi kisaran pukul delapan atau sembilan malam. Saat itu saya
sedang satu bantal dengan Amanda, membuka koleksi musiknya yang tidak
bagus-bagus amat itu, dan searching di Joox. Saya memamerkan grup band indie
pop yang sudah sepantasnya didengar seperti Mocca, menceramahinya sampai kering
tentang betapa jeniusnya musik mereka. Saat itu Manda mengerjap-erjap,
sepertinya mengantuk. Headset yang terpasang di kuping kami, satu di saya satu
di Manda, mulai lepas dengan sendirinya seiring Manda yang kehilangan
kesadaran. Saat Manda tiba-tiba melek di saat seperti itu, entah kenapa matanya
mengingatkan saya pada Rocky Balboa yang dihajar KO oleh petinju Soviet sombong
di Rocky IV. Manda saya lihat-lihat seperti Stallone versi cewek. Kalau saya
sadar akan hal ini pada saat itu mungkin saya akan bilang pada dia.
Ateng |
Sebelum itu saya, Fitra
dan Hengki memang membahas tentang rencana membagikan takjil ke warga itu.
Malam itu semuanya
memang berada di camp, berada di tengah, ada sebagian yang berada di kamar.
Kecuali Ikbal yang sudah lenyap sedari jam tarawih tadi. Fitra memulai omongan.
“Ayo wes rek, ndang
dibahas. Mumpung ngumpul kabeh iki.” Ujarnya.
Saya tahu anak-anak
hanya ngaplo dan tidak bergairah lagi.
“Heng, ndang ngomongo!”
Fitra bilang pada Hengki. Ceking yang ditunjuk itu malah gagu,
celingak-celinguk.
“Wes Fit, ojok, sakno.
Ngomong bareng-bareng ae.” Saya terpaksa ikut menanggapi. Saya pikir itu
akan membahas tentang takjil tadi. Mengapa harus setegang itu. Setelah
menanggapi hal yang tidak penting itu, saya rebah kembali bersama Manda,
headset masih di telinga. Rocky Balboa cewek itu terbangun, langsung melek dan
sadar. Saya kemudian lupa ada huru-hara apa, Anu kemudian memulai pembicaraan. Saya
tahu ada Elsa di sebelahnya. Manda melihat langit-langit. Saya tahu dia tahu
sesuatu. Saya tidak tahu apa-apa dan tidak mau tahu juga. Hengki celingukan.
Fitra menatap Anugrah dengan tajam. Anugrah tidak bisa menatap siapapun karena
dilahirkan sipit. Saya membesarkan volume Joox di Samsung Manda. Manda
menyerahkan ponsel dan headsetnya ke saya. Ia bangun dari rebah, duduk. Saya
masih tiduran, membesarkan volume. Yang saya tahu kemudian ada Velly muncul
dari kamar. Kemudian bajingan-bajingan tengik juga terlihat menyemut, seperti
Wiendo dan Tyo, atau Syakur, atau semua cowok kecuali Ikbal bangsat yang
meninggalkan saya. Semua cewek juga hadir, baik yang sudah dari tadi berada di
tengah dan ngaplo, atau juga yang baru dari kamar dan bau kasur seperti Nila, Devi,
Esti dan lain sebagainya. Saya memegang kendali penuh atas Joox Manda. Saya
mencari band-band seperti Pearl Jam, atau Soundgarden tapi jaringan sedang
bangsat. Jadilah saya menyetel Mocca dengan volume maksimal, yang ternyata Joox
streaming musik keparat ini punya limited, atau aturan yang membatasi pemutaran
lagu. Babi. Streaming musik apapun bentuknya, Joox, Spotify, memang keparat.
Tapi banyak yang menggunakannya. Malas menyimpan musik, hanya ingin dengar.
Saya selalu ingin menangis saat mengingat fakta ini, di mana dulu saya yang
hidup di zaman mp3 berusaha benar saat mencari musik baru. Tapi zaman telah
berubah, di hape Manda-lah saya pertama kali dengan betul-betul intens mencoba
fitur-fitur Joox tai anjing sialan.
Semua orang di camp
sedang duduk bersila membentuk posisi lingkaran. Cowok-cowok yang berada di
pusaran adalah Anugrah, Fitra dan Hengki yang makin lama makin menyingkir ke
pinggir. Sementara itu para cewek ada Elsa dan Velly. Manda duduk di tepi
bantal tadi. Sisanya menyingkir. Saya di samping Manda, masih rebahan untuk
kemudian entah siapa yang menyuruh saya duduk juga, entah Fitra atau siapa.
Saya masih belum paham mengapa masalah pembagian takjil ini serius sekali.
“Aku lek awakmu nggak
gelem mbagi, tak bagi dewe!” ujar Fitra.
Tapi Anu menanggapinya
dengan terserah, begitu saja. Mulai ada pembicaraan yang saya betul-betul lupa
apa. Kemudian ada yang memulai bicara entah siapa dan apa isinya. Waktu itu
saya berada di antara lupa dan tidak peduli. Saya baru sadar bahwasanya topik telah
berganti saat Anu mengatakan sesuatu dengan amat pelan sambil menggaruk pahanya
yang mulus dan besar.
“Aku, Elsa, Velly nggak
usah melok acara penutupan. Kene nang kene ae nggarap laporan. Kalian ae seng
melok.” Ujar beliau.
“Lho, yo nggak isok! Melok
siji melok kabeh, bareng-bareng!” Fitra menjadi blingsatan dan memulai gaya
menunjuk-nunjuk ala mamang topeng monyet. Saya tidak melihat Hengki, ia menghangatkan diri di ketiak Wiendo dan
sela-sela kandung kemih Syakur. Saat itu semuanya menjadi agak sedikit tidak
terkendali. Saya lagi-lagi tidak sadar, lupa atau tidak peduli apa yang
terjadi. Yang saya ingat adalah Elsa yang berada di samping Anu, bendahara
mungil yang bermuka sedikit judes dengan gaya bicara pelan tapi nyinyir ini
kemudian menangis. Sedikit-sedikit lama-lama menggigil juga.
“Ga onok seng ngewangi
aku!” ujar Elsa.
Setelah itu huru-hara
makin tidak terkontrol. Saya lupa ada apa lagi. Manda yang sedari tadi menahan
sesuatu juga mulai mengusap bening air mata di pelupuk matanya. Semuanya jadi
serba emosi. Saya tidak ingin mengganggu tangis siapapun, jadi saya putuskan untuk
berpindah posisi dengan membawa ponsel dan handsfree Manda. Saya kemudian duduk
di belakang Nila, yang entah bagaimana bisa kemudian bisa berhadap-hadapan.
Nila memandang saya dengan pandangan iba dan terpuruk. Saya makin mengencangkan
volume Joox keparat. Ada Mew dalam daftar playlist. Saya tidak mendengarkan
apa-apa lagi selain itu. Saya memberi Nila satu kabel, berbagi sedikit
kebahagiaan di situasi tidak berguna semacam ini. Sedikit senyum Nila membuat
saya tidak peduli lagi akan segalanya yang terjadi. Sampai kemudian Candra
menghubungi saya via pesan pendek.
“Mas, aku nang ngarep.
Metuo.”
Segera saja saya menaruh
ponsel Manda, mengendap-endap, dan menemui Candra.
“Onok opo Mas kok
rame-rame, tukaran ta?” tanya dia.
“Onok seng nangis, Mas.
Embuh opo’o.” Jawab saya.
“Lho, piye se samean iki
mas.” Candra terbahak. “Ayo melok aku mas.”
“Budal wes mas.” Jawab
saya.
Melaju pelan...
***
Saya ingat betul pagi
itu mata saya berkunang-kunang. Ikbal berasa di sebelah saya, matanya masih
tertutup dengan mulut terbuka, menyembur hawa-hawa keparat sisa semalam. Anjing,
batin saya. Di hari-hari akhir seperti ini, saya menjadi semakin mengerti bahwa
membicarakan moral adalah hal yang paling ambigu. Bagaimana pemuda Sidowangi
merayakan dan menikmati hidup dengan apapun yang membuat mereka lupa hari esok mereka
patut diacungi jempol. Setelah bekerja keras dan lelah seharian, tidak ada
salahnya berpesta ria dan menertawakan dunia. Pun juga Candra, pun juga bocah
hitam legam yang tinggal di sebelah camp, yang pada malam huru-hara keparat itu
melakukan aksi paling dugal tiada dua: mengencingi jalan persis di
tengah-tengahnya, dengan nafas bau solar tanpa campuran. Mengaduk kokang
kesana-kemari, mungkin tegang atau efek tangan yang pedih perih hasil
ketidaksaran limabelas menit lalu yang menggosok-gosokkan genggaman
tangan—mengampelas buku-buku tangan—pada aspal kerikil Sidowangi. Sayup-sayup
terdengar suara-suara bocah itu kembali terngiang di telinga. Sebuah bentuk
perlawanan kepada dunia, dalam bungkusan penuh: tinggal dorong dan bebaslah.
“Jancok! Ancen arek
gendeng!”
Sekarang muncul
sekelebatan bayangan yang mungkin terjadi tadi malam. Candra memaki sambil
sedikit tertawa busuk. Melihat-lihat garukan aspal pemuda hitam legam tadi.
Berdarah-darah; kotor dan keruh campur pasir sisa aspal dan campuran semen yang
perih di tangan.
“Arek iku ancene ngono,
Mas! Liar!” ujar Candra.
Suara Candra perlahan
menghilang, lalu sayup-sayup pikiran antara sadar dan tidak sadar kembali
menerawang. Duduk melingkar dangan Ikbal di samping kiri dan bocah hitam legam
di samping kanan. Sementara Candra mengutak-atik Goldlights saya tanpa
menghidupkannya. Meja penuh puntung keparat: Ikbal sedang kebut-kebutan dengan
Dota campur sisa-sisa ampas Clas Mild. Butuh sedikit penghangat atau
penyeimbang; substansi yang keparat betul. Tapi Ikbal belum mulai, ia hanya
hangat oleh kopi dan nikotin. Ia butuh dorongan lagi. Ikbal kemudian mengikuti tawaran
Candra—keluar sebentar.
Setelah itu pikiran saya
membuyar entah ke mana. Ada sosok di depan pintu. Berkacamata dan entah siapa.
Saya merindukan sesuatu tapi tidak tahu apa yang harusnya pantas untuk saya
rindukan. Sedikit celotehan busuk khas KKN 145. Lalu pikiran menggeliat lagi
dalam dimensi yang lebih prosaik. Bocah hitam legam di samping saya, membusuk
dengan Extra Jos Susu keparat di meja. Hanya disentuh beberapa teguk. Dia
tertidur, atau pingsan dengan santainya. Mata memerah darah. Tangan perih.
Sebuah penolakan penuh terhadap kesadaran.
“Jancok, turuo nang
ngarepe toko ae lo, cok! Ojok nang kene!” Candra membentak dengan kasar.
Campuran dari campuran yang dicampur-campur jadi satu kadang menghasilkan efek
seperti itu. Terjadi pada anak hitam legam dan Candra harus sedikit punya
sentakan untuk mengejutkan urat saraf yang mati. Lalu ada bayangan Ikbal
sempoyongan. Kaki kerbau. Iblis berwajah dua. Awan kelabu. Cairan kuning urin.
Bayangan sewarna kelam. Mata saya berkunang lagi. Lalu terbatuk-batuk untuk
kemudian sadar dengan sendiri.
Bangsat. Seperti mimpi
buruk saja barusan.
***
Saya yang selalu gagal
memahami sesuatu mendadak harus paham bahwasanya Hengki dkk—dengan komando dari
Fitra dkk—akan kembali mengobrak-abrik lantai balai desa dengan biduan hardcore
kenalan baik Manda di desa Kemlagi. Biduan yang di hari-hari lampau telah
membuat huru-hara tak berkesudahan, mengajari dengan baik dan busuk sekaligus
bagaimana pesta seharusnya digelar. Biduan sekaligus pengiringnya, ditambah
Roland—keyboard electon yang ditakdirkan sebagai teman baik dangdut dan semua
subgenrenya—dan sedikit kesenangan urakan bahwa hidup masih muda dan panjang,
have fun itu penting, dan lain sebagainya. Mereka semua akan diboyong dalam
rangka penutupan KKN kami, dan sekaligus menyetujui bahwa cara paling baik
untuk berpisah adalah dengan perayaan. Yang saya pahami kemudian dan mungkin
masih gagal paham juga adalah Anu dkk yang tidak begitu setuju, dan saya juga
kurang begitu paham atas alasan apa. Pro-kontra ini kemudian memicu sedikit
tetesan air di pelupuk mata Manda, dipadukan sesenggukan tangis Elsa dan akhirnya
disepakati jalan tengah nan mulus bahwa penutupan dilakukan di balai desa
dengan berbuka dan berdoa bersama. Saya sih terserah saja yang penting
anak-anak kartar juga diundang.
Tepat di malam hari
sebelum besoknya kita beranjak kembali ke paraduan masing-masing, ini jadi
malam penghabisan dan acara terakhir KKN. Para perempuan sibuk menyiapkan es
buah dan serutan-serutan dan es batu-es batu dan sedikit keras kepala dalam
pemberian gula sehingga terasa terlalu manis untuk memicu diabet. Tidak bagi Wiendo
dan Syakur yang mirip tempat penampungan es tebu. Kami sudah bersiap semenjak
siang, tapi saya tertidur. Ikbal juga. Jadi agak telat menuju balai desa tempat
keributan kecil akan berlangsung. Di sana ternyata sudah dipersiapkan makanan
bebek antah-berantah yang dipesan dari kota, saya lupa berlabel Bebek Madu atau
apa, yang akan menjadi menu terakhir kami.
Jemaah |
Selepas magrib sebagian
anak sudah siap di tempat masing-masing. Sendok, dan wadah-wadah es, kretek,
buah-buahan; tanpa solat terlebih dahulu langsung libas saja dengan libido.
Ekstrem memang karena saya hanya mengingat sedikit sekali acara sebelum
makan-memakan itu di mana ada sosok yang memimpin doa, dan sedikit pidato
penutupan. Pak Lurah juga bersuara sedikit. Dan tamu paling penting yang tidak pernah
disebut dalam cerita ini, Pak Wiryo dari Fakultas Ilmu Pendidikan, hadir dengan
potongan rambut masih sama seperti yang sudah-sudah. Beliau adalah pembimbing KKN
kami yang tidak hadir saat pengarahan, dan entah saya juga lupa bagaimana kami
bisa mengenal beliau. Pak Wiryo menggunakan kacamata dan makin mengukuhkan
eksistensinya sebagai seorang yang smart—sayangnya sudah punya istri, kawan.
Tidak ada objek lain yang pantas untuk dipaparkan dalam konteks acara ini
selain Pak Wiryo.
“Udah nggak usah berangkat
penutupan ke kecamatan, saya yang tanggung jawab!”
Satu-satunya quote yang
saya ingat dari beliau hanya itu. Selebihnya lupa dan tidak peduli-peduli amat.
Acara berlangsung seperti tipikal acara basa-basi lain: hening, formal dan
diakhiri dengan foto-foto. Dari sesi foto-foto ini kami mengambil banyak sekali
gambar, baik di kamera atau di ponsel, berbagai pose, dengan raut muka
bahagia-bahagia sedih. Raut muka lega sudah melalui dua minggu di paceklik.
Raut muka puas besok sudah bisa pulang. Raut muka kekenyangan bebek berlemak
berlendir dan kebelet buang air besar karena kebanyakan es buah. Beberapa
pencandu rakus memilih untuk menggerogoti asap di samping balai desa.
Menggunakan jas almamater dan tidak peduli juga tata aturan larangannya.
Setelah salam-salaman dan ramah-tamah, berpamitan mewek terhadap Pak Lurah
Akemad Rianto, Ibu Lurah—ehem—Akemad, dan para bawahannya yakni Pak Polo
seluruh desa. Yang tidak saya lihat: 1) Anak-anak kartar Sidowangi; pada kemana
dugal-dugal itu? 2) Ibu Sekdes. Saya sudah tidak memakai celana bolong-bolong
lagi, Bu.
Ya, setelah itu kembali
lagi ke basecamp, bersiap beristirahat, atau packing, bersih-bersih untuk
kemudian pulang esok hari. Tapi oh tapi, anak-anak kartar Sidowangi ternyata
sudah menanti. Bersiap untuk perpisahan jilid dua.
Haha anjing.
***
Kegoblokan berikutnya:
Mas Juwono, ceking putih, anggota kartar yang tertua, membopong DVD dan
beberapa keping kaset dangutan, atau campursarian, atau banyuwangian, atau
atmospheric black metal—persetanlah—dan ditata di basecamp. Ini pukul dua belas
lebih, hampir setengah satu. Mental pemuda Sidowangi selain pekerja keras di
siang hari adalah begajul karaoke di malam hari. Jadi, Juwono tidak hanya
membopong DVD; perkaranya adalah hal itu turut memicu massa; keseluruhan anak
kartar, termasuk Chandra. Saya sebenarnya sudah cukup lelah. Nila, yang
seharian tadi bersama saya, juga tampak kuyu dan kusut. Mungkin bisa tiduran
lah sampai nanti biar besok bisa fresh saat pulang. Beberapa gerombolan ibu-ibu
muda seperti: Mak Lay, Mak Manda, Mak Devi, Mak Sylvi, Mak Esti (mak yang
sebenar-benarnya), dan mak-mak lain sudah bersiap cuci muka, pasang odol,
siapkan bantal selimut dan amblas. Tapi ceking putih Juwono entah berpikiran
apa saat memulai itu semua. Saya yang sedang membantu menata ampas tebu bersama
Wisnu dan Eko—ehm maaf, Tio untuk dibawa pulang, atau dibuang saja toh tidak
guna-guna amat sekarang, melihat Fitra dan Hengi tergopoh-gopoh.
“Arek kartar ngajak
karaokean. Penutupan.” Ujar Fitra yang kemudian langsung memanjat televisi,
mempertontonkan kemampuanya sebagai sesepuh teknik mesin, matanya berkilatan
pun juga kulitnya, memasang colokan demi terselenggaranya sinergi antara DVD,
televisi, ampli (ya, benar), dan microphone yang ditujukan sebagai pesta
terakhir bersama para dedengkot desa. Karaoke yang saya tidak tahu persis
memutar lagu-lagu apa, bergenre apa, bahkan saya tidak butuh informasi apapun
tentang hal semacam itu jika yang terdengar dari ampli hanyalah birunya cinta,
birunya langit, di dalam duka dll dsb. Di dalam otak lagu ini sudah sedemikian
overrated sampai-sampai saya butuh headset demi mengimbangi agar nada
brengseknya tidak menghantui kepala.
Apalagi, ini pentas
dengan Juwono sebagai pelaku tunggal. Memamerkan skill-nya (mungkin di SMA-nya
dulu, atau pabrik tempatnya bekerja dia adalah penyanyi solo). Terlalu sulit
untuk menceritakan seperti apa suaranya di sini: ini perpaduan Obie Mesakh
(semoga saya tidak salah tulis) dan suara deru Kijang Innova dalam genangan
lumpur. Saya hanya memantau kondisi sembari kongkow bareng Chandra. Turut hadir
pula Hengki. Chandra membawa suguhan kopi dan teh, juga buah-buahan potong.
Sebelumnya ia memang mengajak saya menuju dapur rumahnya untuk membantu
membuatkan konsumsi. Dengan suara serak-serak ciamik Juwono, saya cukup syahdu
mengamini kopi pekat panas tanpa krim, dengan kretek entah milik siapa. Ari,
putra Juwono satu-satunya yang masih berusia PAUD, hadir sambil senyam-senyum
sendiri. Saya lumayan dekat dengan Ari, dibanding bajingan-bajingan cilik yang
lain. Entah kenapa Ari ini lebih lucu dan menurut saya berbeda dengan temannya
yang penjahat mercon semua itu. Apa mungkin Ari terlalu kecil, tapi sepertinya
dari semangatnya saya yakin dia bakalan punya masa depan cerah. Sementara
bapaknya masih asyik dengan cengkok maut dengan birunya cinta, birunya langit,
di dalam duka, dll dsb.
Ari, calon menteri. |
Saya mencowal-cowel pipi
Ari sambil terus mengokop gelas-gelas kopi. Butuh robusta untuk membunuh kantuk
dan lelah. Apalagi lantai kotor balai dusun ini dingin juga. Saya terus memasukkan
apapun ke mulut; kafein, asap nikotin, serat blewah, bajingan tengik, ini yang
terakhir, pikir saya. Kalau perlu tidak perlu tidurlah. Bangsat. Sementara Ari
makin terlihat rewel, mungkin ngantuk. Saya yang sedari tadi mencowal-cowel
dia, juga tidak yakin apa badan anak ini memang lagi hangat atau panas. Sedari
tadi dia nyosrop umbelnya terus. Mungkin flu. Ari lalu lari ke bapaknya. Sampai
pada hal ini saya tidak tahu menahu lagi karena Bu Lurah menelfon, meminta
prakarya ampas tebu tadi untuk tugas kesenian anaknya yang masih SD. Saya yang
sudah akan membuang bahkan membakar prakarya itu segera mengiyakan dan
menawarkan diri untuk mengantar sekarang juga. Pukul satu lebih kalau tidak
salah, saya langsung mengambil sebatang, dan jaket. Mengayunkan kunci motor ke muka
Nila.
“Yuk, ikut!” Nila
mengangguk lalu mengambil jaket juga. Pening juga di camp terus. Suara
Juwono—masya Allah. Kami berkendara dengan kecepatan tidak ngebut-ngebut amat.
Ada waktu untuk menghirup udara bebas dari kesumpekan birunya cinta, birunya
langit, di dalam duka, oh my god motherfuck. Ada ocehan-ocehan Nila lagi. Ada
kecurigaan dan ketakutan Nila lagi.
“Mau ke mana ini,Tong!
Ojok macem-macem kon! Tak telfon Devi bah!”
Anak ini. Dikiranya saya
sedang merencanakan sesuatu yang buruk dan kurang berfaedah di malam seperti
ini. Saya memang sempat berlagak tolol dengan bertanya padanya arah dan tujuan
perjalanan ini. Untungnya cungkring manja satu ini tidak meloncat dari motor ke
kebun tebu.
“Wih, makasih ya, mas,
mbak.” Bu Lurah saat kami mengantarkan prakaryanya. Menggunakan daster. Lalu
obrolan basa-basi kecil-kecilan beberapa menit kemudian. Sedikit pamitan lagi
karena besok KKN berakhir. Lalu pulang. Lalu Nila ngoceh lagi. lalu Nila curiga
dan takut lagi. Ya Tuhan.
“Istrinya Juwono ngamuk,
si Ari sakit malah diajak karaokean.” Saya lupa yang berkata itu siapa. Yang
pasti setelah saya dan Nila sampai camp masih terdengar suara musik namun
pelan. Dan anak-anak yang berebutan menyanyikan birunya cinta, birunya langit,
di dalam duka, dll dsb yang tentu saja dimenangkan Laila. Saya garuk-garuk
janggut saja. Juwono dan Ari lenyap disuruh pulang istrinya. Sekian menit kami
berada dalam keabsurdan yang tidak penting-penting amat ini.
“Rek ke alun-alun, yuk!
Ngajak anak kartar sekalian penutupan.”
Ini sudah pasti idenya
Laila.
***
Jalanan Mojokerto pukul
setengah dua pagi yang lengang tiba-tiba saja jadi beringas. Separuh warga
camp, juga anak-anak kartar konvoi kecil-kecilan menuju alun-alun yang tidak
jauh-jauh amat. Pemandangan malam terakhir yang indah saya kira: langit hitam
pekat, ada bintang-bintang kuning hijau bahkan keunguan berpendar di angkasa,
mengelilingi bulan yang tampak besar dan jumawa; membuat saya memacu gas—dengan
Nila di kursi penumpang—tampak berusaha mempertahankan raut muka positif
meskipun hari sudah sepekat ini. Dari spion, tampak wajah Nila sedikit
mengembun: udara dingin dan lembab, tubuh saja sampai sedikit menggigil. Dengan
dikawal anak kartar yang dikomandoi Chandra, perjalanan jadi sedikit lebih
rumit. Melewati antah-berantah jalanan ilegal yang mempercepat kami menuju
tujuan. Alun-alun seperti dugaan, masih ramai dan belum tampak tidur. Gerbang
Majapahit menyambut di gerbang; sedikit pengingat bahwa pada masanya Mojokerto
ini adalah puncak kekuasaan Nusantara I yang dipersatukan oleh Mahapatih Gajah
Mada—herannya kenapa UGM tidak berdiri di sini. Ada kabut yang menggunung saat
kami sampai. Anak-anak memilih berpencar dengan aktivitasnya masing-masing.
Sudah sedari tadi berkumpul, mungkin ada kalanya perlu sedikit longgar dan
bebas memilih mau jalan dengan siapa, mau ngapain, mau ke mana. Sementara anak
kartar memilih duduk-duduk di tepian aspal.
“Monggo mas, tak enteni
kene.” Ujar Chandra mempersilahkan saya masuk. Saya sedikit berbisik-bisik pada
Chandra, ada sesuatu yang terlupa. Semacam herbal, jamu kuat, ramuan rempah
tradisional yang baik untuk kesehatan. Setara jahe sebagai penghangat. Racikan
yang membuat manusia bisa menemukan dirinya yang sejati dalam gumpalan beku
dingin seperti malam ini.
“Habiskan!” Chandra
tergelak.
Lalu anak-anak sudah
tidak tampak batang hidungnya. Beberapa orang yang mungkin dilahirkan dengan
nafsu makan kudanil, memilih untuk pergi ke rombong nasi goreng, dengan kedok
sahur dan semacamnya dan makan masing-masing sepiring berdua. Salah satu yang
makan dengan syahdunya adalah Ikbal si anjing buduk. Sementara lainnya entah ke
mana: Hengki dan Aminul terlihat mondar-mandir sendiri seperti ingin
menunjukkan bahwa mereka gay, disorientasi atau semacamnya. Saya dan Nila
memilih mengikuti Fitra dan Manda yang leha-leha di sekitaran gerobak tahu tek.
Mereka berdua—Ya Tuhan—juga masih bernafsu makan di perut yang sepertinya sudah
terisi penuh itu.
“Tong enggak makan ta?
Ayuk.” Nila menawari tahu tek. Saya menggeleng dan memilih mengeluarkan bungkus
kretek milik Ikbal yang saya bawa. Perut sudah hampir meledak begini. Lagian
tidak begitu nafsu makan juga. Kunyah tembakau saja, menguarkannya dalam kabut
gelap: mempertemukan bagian-bagian diri yang kosong dengan semesta raya lewat
perantara asap-asap mewangi nan kudus—kalimat yang barusan sangat spiritual.
Sementara Nila makan, saya mengamati sekitar dan ada rasa sedih, rasa yang
jancuk sekali, bahwa kesenangan-kesenangan seperti ini besok akan segera
berakhir. Membusuk kembali di jalanan kota. Macet. Sumpek. Tapi sekaligus juga
rindu pada asap-asap knalpot dan suara-suara kaleng rombeng di jalanan. Ada
perasaan tertahan dan ada perasaan ingin pulang. Jika kalian sadari, atau mungkin
pernah mengalami gejolak perasaan semacam itu: maka setidaknya yang tertahan
dan yang kalian rindukan itu sudah menjadi bagian dari hidup kalian.
Langit bertambah pekat.
Pukul dua malam. Saya dan Nila duduk-duduk—setidaknya pada bangku taman yang
tersedia. Saya belum pernah merasakan esensi dari lagu Pure Saturday “Di Bangku
Taman,” di Surabaya. Bangku yang benar-benar bangku secara harfiah adalah yang
sekarang saya duduki. Bulan menggantung tak jemu-jemu. Lalu saya mulai cerewet
dan ngalor- ngidul. Saya tidak bisa mengingat—atau mungkin terlalu malas—untuk
mengingat apa-apa yang saya ceritakan pada Nila. Yang pasti muntahan-muntahan
itu; kecamuk, rekaman waktu, ketidakpastian, seluruhnya. Nila menahan diri
untuk kemudian membuat saya larut. Sambil membetulkan kacamatanya, dia
bercerita apapun yang membuat mulut pahit. Malam ini kami benar-benar tanpa
sekat. Saya tidak bisa berkata apapun lagi selain meraih sesuatu dalam saku
untuk dibakar. Tidak banyak yang bisa saya katakan tentang percakapan ini. Yang
saya benar-benar tahu selanjutnya adalah, ada bagian dari diri saya yang ikut
berubah. Nila yang saya kenal dekat karena sama-sama berada dalam satu tim
ekonomi, membuat saya hanya berani melamun saat dia mulai mendongeng
kisah-kisahnya.
Perjalanan pulang
kemudian terasa begitu panjang. Tampak senyum itu, senyum lega, di mata
teman-teman semua.
Sudah berakhir.
***
Ampli masih menyiarkan
musik seiring anak-anak yang mempersiapkan koper dan mulai berpamitan. Saya
yang pulang bersama Hengki menunggu semuanya benar-benar pulang. Saya berdiri
di luar camp, tepat di depan rumah Mas Juwono, tempat di mana motor-motor
diletakkan dengan serampangan. Wisnu ceking, kawan sefakultas pamit duluan.
“Sampai jumpa di FBS”
ujar saya.
“Ngeband, yo!” timpal
Wisnu.
Sementara satu-persatu
berpamitan dan pulang. Tampak Anugrah dengan matanya yang sipit memprihatinkan,
tersenyum.
“Bro aku mbalik sek yo.”
Ujarnya.
Saya melihat ada hal
yang hebat dalam diri Anugrah. Sesuatu yang membuatnya bisa bertahan sampai
sejauh ini. Saya lupa, sadar atau tidak, saya memberi pelukan perpisahan.
Sebusuk apapun suasana hari-hari kemarin, sepanas dan semenyebalkan apapun,
saya masih menghormati Anugrah sebagai ketua. Saya tidak berhak untuk memihak
dan menyalahkan, tapi ketegarannya; saya tahu ini sikap yang hebat bagi seorang
pemimpin. Anu tidak mundur, hanya minggir sejenak.
Semua sepakat bahwa
hidup akan lebih bisa dikenang saat diisi sekumpulan soundtrack. Semua sepakat
bahwa salah satu adegan paling berkesan dalam frachise Fast And Furious
menampilkan Dominic dan Bryan saling bersimpangan jalan satu sama lain di
ending film—lalu muncul tulisan For Paul diiringi lagu yang membuat perasaan
sedikit empatik. Saya tidak tahu lagu judul tersebut, siapa penyanyinya, dan
tidak ingin tahu. Namun, saya tidak bisa untuk tidak peduli saat lagu tersebut
berkumandang, seiring anak-anak yang mulai pulang ke haribaan. Perpisahan tidak
pernah sedrama ini.
“Tong, maafin ya selama
ini. Aku pulang dulu.” Nila berkata dengan senyumnya yang paling lebar sambil
sok-sok mengucek mata mewek. Mobil jemputannya sudah menunggu.
Saya tidak menjumpai Mas
Juwono, hanya ada Ari yang sembunyi-sembunyi di depan pintu. Saya melambaikan
tangan.
“Mas arep balik sek ya.
Ini buat Ari. pakai en.” Saya melepaskan salah satu gelang, dan memakaikannya
di tangan Ari. Ari kemudian berlari ke arah ibunya yang berada di dalam. Saya
pun berpamitan pada Juwono sekeluarga.
Setelah itu, saya
berjalan ke sebuah tempat di mana saya menemukan saudara. Tempat pertama kali
kami diterima di Sidowangi. Tempat di mana Pak Polo, kepala dusun bertempat
tinggal, serta putranya, bajingan tengik bernama Chandra, yang seperti sudah
menanti di ruang tamunya.
“Mas aku arep mbalik
sek, pamit.” Ujar saya. Hampir saja menitikkan air mata saat merangkulnya.
Tidak ada orang lain, hanya saya dan keparat satu ini.
“Enggeh, mas.
Ati-ati...” Chandra terdiam beberapa milisekon. Bangsat, mengapa jadi
semelankolis ini. “Sampean wis tak anggep dulur mas, dulur lanang. Sampean lek
gelem tak gawekno KK nang omah iki.” Ujar Chandra. Saya terbahak. Entah harus
mengatakan apalagi. “Yawes mas. Mariki sepi iki ga onok sampean.” Chandra
tersenyum untuk yang terakhir kalinya. Seberat apapun, saya harus tetap
berpisah. Hengki dan teman-teman yang tersisa sudah menunggu.
Saya melambai untuk
terakhir kali.
***
Pasca pulang, ada
hal-hal tertentu yang kadang membuat perasaan campuraduk. Kembali ke rutinitas
lama, kos-kosan lama, bertemu orang-orang lama: saya merasa pulang. Mungkin
saya sudah berada di Surabaya, tapi entah kenapa rasanya saya masih berada di
sekitar rumah Chandra. Lalu, untuk membunuh kebuntuan, saya menghubungi
teman-teman lama yang tercecer. Sekadar kopi mungkin bisa membunuh perasaan.
“Wes moleh KKN ta?”
tanya saya pada salah satu kribo gimbal keparat, Tri Nanang Budi Santoso.
“Dorong, mene penutupan.
Ayo melu aku!” jawabnya.
“Ayok!”
Alhasil saya kembali
berangkat KKN menuju daerah Cerme, Gresik, di mana sawah dan tambak khas
pedesaan terhampar luas. Berkenalan lagi dengan anggota-anggota KKN, seperti
anggota kelompok baru. Ricky Kobot, ketua kelompok ini membriefing saya.
“Temene Tri ‘kan yo?
Pasti kerjoe koyok Tri! Njaluk bantuan mas, yo. Ngewangi arek-arek.”
Dan setelahnya, malam
penutupan di balai desa kelompok KKN Tri Nanang sudah dilaksanakan. Saya
mendapat kenalan-kenalan baru—termasuk juga Mama dan Papa Ricky yang sempat
berjam-jam mengobrol dan menunggu anaknya bersama saya.
“Nang, ayo ndelok
hardcore-an saiki.” Waktu masih menunjukkan pukul delapan. Saya ingat ada acara
berisik di DBL Arena Surabaya. Daripada nganggur pikir saya. Perjalanan
Cerme-Surabaya sekitar satu jam. Bisa lah. Nanang mengiyakan. Tetapi
sesampainya di jalan arah Ketintang, saya melihat rundown acara di pamflet yang
ditempel di jalan. Keparat. Ternyata acara berakhir sebelum berbuka puasa.
Alhasil kami kebingungan dan akhirnya Nanang memutuskan ide bagus yang keparat.
“Anggur merah. Camel
grape. Mabuk premium,” ujarnya. Keparat ini kemudian juga mengeluh lapar. Kami
yang saat itu sudah menikmatinya di kos terpaksa harus keluar lagi. Nanang
menyomot semua recehan saya, dimasukkan dalam tas busuknya. Kami menuju tempat
mie ayam di depan gang tanpa uang sepeserpun kecuali recehan. Nanang
membayarnya dengan pede—di awal. Lalu saat kami makan, uang recehan kami yang
seplastik dikembalikan oleh si penjual.
“Ini mas, tadi udah
dibayarin ibu-ibu yang di depan.”
Bajingan. Saya tidak
bisa berhenti tertawa. Sedikit lepas kendali dan mengobati kebuntuan pasca KKN.
Di kos tidak ada lagi hal yang ingin kami ceritakan selain KKN. Selain Ikbal,
Anugrah, Chandra, Nila... dengan terus mengisi gelas-gelas kosong—Tebs sebagai
campuran. Nanang melukis sebuah objek di kamar kos saat saya bercerita tentang
objek itu sambil menerawang jauh. Membuat saya meraih sebatang Camel,
membakarnya pelan.
“Emang bener, 14 hari
untuk selamanya...” ujar saya, diikuti Nanang yang mengangguk-angguk setuju.
Mabuk.
(SELESAI)
No comments:
Post a Comment