Opus
Contra Naturam. Melawan alam, bla-bla-bla. Khusus untuk duo bernama GAUNG,
post-rock meluap-luap, bahaya laten ampli Orange, menabuh genderang
sekeras-kerasnya, sampai lampu mati, sampai gerah, sampai biadab, sampai
sekarat. Menulis album berhulu ledak tinggi—naik, naik, naik, sampai panik dan
hancur sendiri—adalah keasyikan dan ego pribadi. Jangan dengarkan album ini di
motor pakai headset jelek kalian, atau di audio mobil, atau dimanapun yang
berpotensi melabrak dan menabrak orang sampai mati. Semenyeramkan yang kalian
kira, semenghanyutkan yang kalian bayangkan. Dengan cover mata lebar yang siap
menusuk mata kalian. Secara pribadi, lagi-lagi kami tekankan, ada banyak bahaya
berkeliaran di album ini. Secara halus seperti Crimson Eyes-nya Sigmun tapi nir
vokal, dengan tetambahan sound-sound gaib yang dipinjam dari air got neraka.
Terdengar kasar lagi berisik, kadang apa adanya pula, monoton mempermainkan
jalan pikiran. Filsuf Wikipedia. Puisi-puisi liris Amerika Latin. Paha montok
dan empuk dalam daya khayal paling brutal di dimensi kelainan seksual yang
diidap pekerja-pekerja yang siang kepanasan dan malam tersembur angin.
Menyemburit gulita. Tenang, ini baru beberapa track. Lucidae—seperti mimpi
buruk orang keparat, sesudah minum obat batuk kemenyan. Eridanus Supervoid—jika
tidak salah eja—terkapar sambil memintal besi dengan gigi geraham, tembus
lambung terkoyak jadi tinja timah panas. Menantikan si beruntung yang bisa
dapatkan sisi halusinatif dalam tepar mabuk ciu saat hampir subuh. Persetan
jurnalisme musik paten, persetan Almost Famous—dan impian menjudge semua
rockstar di dunia semau gue. Apa bedanya pendengaran dengan puisi; kalau
nyatanya GAUNG tidak bisa diperjelas dengan bahasa-bahasa abjad manusia. Ini
melampaui alam pikir, tanpa berniat hiperbolis.
Kami
menghalau berbagai bahasa-bahasa yang digunakan umat manusia, baik buruk atau
ceracau-ceracau talkshit di media sosial. Ini adalah kegelisahan yang tidak
baik-baik amat buat ditumpahkan. Ada tanggung jawab buat pembaca—kalian-kalian,
pemalas pemadat yang baru bangun usai dhuhur lalu digempur kewajiban lagi dan
lagi, tanpa henti, dan akhirnya berhenti sejenak, pakai komputer kantor untuk
membunuh malam, streaming gratis album ini. Berusaha menemui kekosongan namun
susah karena tidak biasa tirakat, jadilah empuk-empuknya gendang telinga—dan
anggur merah yang tinggal seperempat botol—merampok kesadaran sambil menggigit
ujung guling, dengan layar streaming komputer, berusaha menghibur diri dengan
mengulang-ulang Annie Hall-nya Woody Allen. Itu sudah sampai pada Killing With
Virtue yang sok kepedean. Entah harus berbuat apa lagi di malam yang sepekat
ikan asin di tenggorok. Sound yang kalian kencangkan kalian kecilkan lagi
karena ada bapak-bapak berumur pengemudi taksi online, tepat di sebelah kamar
pondokan kos kalian baru selesai berwudu atau sembahyang. Jadilah dalam
seolah-olah senyap, sound murah 80 ribuan, menggergaji jins-jins kalian yang
kumal dan belum tersentuh sajadah.
Old
Masters: A Comedy—mau ngomel apalagi? Orang gila, penulis gila bodoh yang
dengan gobloknya meracau demi review sisipan, demi mengabadikan apa yang tidak
bisa diabadikan oleh waktu?—atau harus mengalah dan jadi budak kehampaan mimpi,
tidur sambil ngaceng, dionani oleh pantat-pantat dalam lelap. Bibir-bibir
kering yang bau asbak, selama dua ribu empat ratus tiga belas abad, hanya
merokok dan merokok, menabung umur di pejagalan nikotin. Lembab, dan hanya esok
yang tahu akan seperti apa jadinya.
Evidence
Of Extraordinary Bliss. Muak sudah jadi keseharian. Di sini kegoblokan
bertebaran di manapun, menyentuh sisi kemanusian yang kadang bikin menangis.
Ingin rasanya gorok diri sendiri, putus asa. Namun lebih baik dihunuskan ke
perut kalian, wahai fasis, wahai tukang cobek tengik, yang bersenjata. Ancaman
dan intimidasi—kuncinya. Jurnalis CNN Indonesia melaporkan apa-apa yang perlu
dilaporkan dan nantinya akan diolah oleh GAUNG jadi bahasa Filipina dengan
backsound monoton. Siapa yang sudah belajar bahasa Filipina—atau baiklah tidak
usah belajar. Dengarkan irama sudut bibirnya: dia wartawan yang melihat
temannya digebuki sampai mati. “Kehidupan sebagai jurnalis tidak pernah
tenang,” kata si pembawa berita, melaporkan. Di Filipina sana nasibmu akan
empuk seperti pantat Harto yang doyan mengunyah kebebasan. Saat kemanusiaan
telah mati, saat nilai-nilai jurnalistik berada di asam lambung yang berkuasa,
saat itulah kita butuh mengocok batang kontol kencang-kencang, membayangkan
hal-hal paling busuk tentang sadomasokis, lelah karena apapun yang sudah
diperjuangkan, apapun yang sudah dilawan, tidak benar-benar mewujud jadi apa
yang dinamakan kesetaraan. Kehidupan murah dengan moncong peluru, atau uppercut
petugas yang—sudahlah... nyatanya kita tidak sekuat Marconi Navales, di
perjalanan menuju Mindanao yang jadi ladang pembantaian berbahaya dalam lagu
ini.
"Saya
melihat rekan-rekan saya terkapar di tanah, tewas bersimbah darah. Bulu kuduk
saya berdiri, air mata saya mengucur. Saya terpukul dan saat itu saya tahu
bahwa tidak ada jurnalis yang aman di sini,"
Mau
apa wahai manusia? Dengarkan saja ini, sampai anggurmu tinggal tetesan yang tak
mungkin kau sikat di ujung botol. Lempar botol ke tempat sampah, dan meleset,
pecah jadi lima. Tarik nafas dalam-dalam, tidurlah sampai mati...
*dimuat di ronascent webzine, dengan perjalanan panjang editor (mas rona) mengedit dan memperhalus racauan. haha
No comments:
Post a Comment