Thursday, November 16, 2017

GAUNG - Opus Contra Naturam: Berada Di Ambang Sakit Jiwa


Opus Contra Naturam. Melawan alam, bla-bla-bla. Khusus untuk duo bernama GAUNG, post-rock meluap-luap, bahaya laten ampli Orange, menabuh genderang sekeras-kerasnya, sampai lampu mati, sampai gerah, sampai biadab, sampai sekarat. Menulis album berhulu ledak tinggi—naik, naik, naik, sampai panik dan hancur sendiri—adalah keasyikan dan ego pribadi. Jangan dengarkan album ini di motor pakai headset jelek kalian, atau di audio mobil, atau dimanapun yang berpotensi melabrak dan menabrak orang sampai mati. Semenyeramkan yang kalian kira, semenghanyutkan yang kalian bayangkan. Dengan cover mata lebar yang siap menusuk mata kalian. Secara pribadi, lagi-lagi kami tekankan, ada banyak bahaya berkeliaran di album ini. Secara halus seperti Crimson Eyes-nya Sigmun tapi nir vokal, dengan tetambahan sound-sound gaib yang dipinjam dari air got neraka. Terdengar kasar lagi berisik, kadang apa adanya pula, monoton mempermainkan jalan pikiran. Filsuf Wikipedia. Puisi-puisi liris Amerika Latin. Paha montok dan empuk dalam daya khayal paling brutal di dimensi kelainan seksual yang diidap pekerja-pekerja yang siang kepanasan dan malam tersembur angin. Menyemburit gulita. Tenang, ini baru beberapa track. Lucidae—seperti mimpi buruk orang keparat, sesudah minum obat batuk kemenyan. Eridanus Supervoid—jika tidak salah eja—terkapar sambil memintal besi dengan gigi geraham, tembus lambung terkoyak jadi tinja timah panas. Menantikan si beruntung yang bisa dapatkan sisi halusinatif dalam tepar mabuk ciu saat hampir subuh. Persetan jurnalisme musik paten, persetan Almost Famous—dan impian menjudge semua rockstar di dunia semau gue. Apa bedanya pendengaran dengan puisi; kalau nyatanya GAUNG tidak bisa diperjelas dengan bahasa-bahasa abjad manusia. Ini melampaui alam pikir, tanpa berniat hiperbolis.

Kami menghalau berbagai bahasa-bahasa yang digunakan umat manusia, baik buruk atau ceracau-ceracau talkshit di media sosial. Ini adalah kegelisahan yang tidak baik-baik amat buat ditumpahkan. Ada tanggung jawab buat pembaca—kalian-kalian, pemalas pemadat yang baru bangun usai dhuhur lalu digempur kewajiban lagi dan lagi, tanpa henti, dan akhirnya berhenti sejenak, pakai komputer kantor untuk membunuh malam, streaming gratis album ini. Berusaha menemui kekosongan namun susah karena tidak biasa tirakat, jadilah empuk-empuknya gendang telinga—dan anggur merah yang tinggal seperempat botol—merampok kesadaran sambil menggigit ujung guling, dengan layar streaming komputer, berusaha menghibur diri dengan mengulang-ulang Annie Hall-nya Woody Allen. Itu sudah sampai pada Killing With Virtue yang sok kepedean. Entah harus berbuat apa lagi di malam yang sepekat ikan asin di tenggorok. Sound yang kalian kencangkan kalian kecilkan lagi karena ada bapak-bapak berumur pengemudi taksi online, tepat di sebelah kamar pondokan kos kalian baru selesai berwudu atau sembahyang. Jadilah dalam seolah-olah senyap, sound murah 80 ribuan, menggergaji jins-jins kalian yang kumal dan belum tersentuh sajadah.

Old Masters: A Comedy—mau ngomel apalagi? Orang gila, penulis gila bodoh yang dengan gobloknya meracau demi review sisipan, demi mengabadikan apa yang tidak bisa diabadikan oleh waktu?—atau harus mengalah dan jadi budak kehampaan mimpi, tidur sambil ngaceng, dionani oleh pantat-pantat dalam lelap. Bibir-bibir kering yang bau asbak, selama dua ribu empat ratus tiga belas abad, hanya merokok dan merokok, menabung umur di pejagalan nikotin. Lembab, dan hanya esok yang tahu akan seperti apa jadinya.

Evidence Of Extraordinary Bliss. Muak sudah jadi keseharian. Di sini kegoblokan bertebaran di manapun, menyentuh sisi kemanusian yang kadang bikin menangis. Ingin rasanya gorok diri sendiri, putus asa. Namun lebih baik dihunuskan ke perut kalian, wahai fasis, wahai tukang cobek tengik, yang bersenjata. Ancaman dan intimidasi—kuncinya. Jurnalis CNN Indonesia melaporkan apa-apa yang perlu dilaporkan dan nantinya akan diolah oleh GAUNG jadi bahasa Filipina dengan backsound monoton. Siapa yang sudah belajar bahasa Filipina—atau baiklah tidak usah belajar. Dengarkan irama sudut bibirnya: dia wartawan yang melihat temannya digebuki sampai mati. “Kehidupan sebagai jurnalis tidak pernah tenang,” kata si pembawa berita, melaporkan. Di Filipina sana nasibmu akan empuk seperti pantat Harto yang doyan mengunyah kebebasan. Saat kemanusiaan telah mati, saat nilai-nilai jurnalistik berada di asam lambung yang berkuasa, saat itulah kita butuh mengocok batang kontol kencang-kencang, membayangkan hal-hal paling busuk tentang sadomasokis, lelah karena apapun yang sudah diperjuangkan, apapun yang sudah dilawan, tidak benar-benar mewujud jadi apa yang dinamakan kesetaraan. Kehidupan murah dengan moncong peluru, atau uppercut petugas yang—sudahlah... nyatanya kita tidak sekuat Marconi Navales, di perjalanan menuju Mindanao yang jadi ladang pembantaian berbahaya dalam lagu ini.

"Saya melihat rekan-rekan saya terkapar di tanah, tewas bersimbah darah. Bulu kuduk saya berdiri, air mata saya mengucur. Saya terpukul dan saat itu saya tahu bahwa tidak ada jurnalis yang aman di sini,"

Mau apa wahai manusia? Dengarkan saja ini, sampai anggurmu tinggal tetesan yang tak mungkin kau sikat di ujung botol. Lempar botol ke tempat sampah, dan meleset, pecah jadi lima. Tarik nafas dalam-dalam, tidurlah sampai mati...

*dimuat di ronascent webzine, dengan perjalanan panjang editor (mas rona) mengedit dan memperhalus racauan.  haha

No comments:

Post a Comment