Oleh: Redaksi Ronascent
bisa dibaca di sini
Nuran Wibisono: kedua dari kiri |
Nice Boys Don’t Write Rock And
Roll; judul buku terbaru Nuran Wibisono ini menyatakan sesuatu yang sejak dulu
kala jadi perdebatan: seperti apakah kapasitas seseorang untuk bisa jadi
penulis rock and roll? Apakah harus sangar—‘honest and unmerciful’—seperti
Lester Bangs di Almost Famous—mengingat William Miller, jurnalis rock cilik di
film kesayangan kita itu, sungguh mewakili term ‘nice boys’. Seperti apa
seharusnya? Nuran tidak menjawab pertanyaan kita, tapi sudah melakukannya.
Whatever, nice boys or bad guys—rock and roll, or anything music in your pocket
playlist; semua bisa menulis musik. Nuran bukan tipikal bajingan tengik seperti
Bangs atau Thompson—merokok saja tidak. Bukan juga sosok yang terlampau imut
untuk bisa dikatakan ‘nice boys’. Nuran sebagai orang biasa-biasa saja, tanpa
kepentingan dan pretensi apapun, tanpa beban dan tanggungan apapun, menulis
musik hanya sebagai bentuk kecintaannya mendengarkan Guns N’ Roses, The Doors,
dan ribuan band favoritnya. Nuran tidak bisa (atau tidak mau?) dicap sebagai
jurnalis musik. Dirinya mungkin bisa disebut pengulas musik ugal-ugalan (sempat
baca 5 Album Terburuk Indonesia 2009 dan 2010 di JakartaBeat?). Tapi, disitulah
letak serunya buku ini: puluhan esai yang ditulis dengan kecintaan pada musik yang
ceplas-ceplos, apa adanya, minim saringan, dan kaya akan kesenangan. Buku ini
sangat worthed untuk dimiliki dengan satu alasan bagus: siapapun yang
membacanya dipastikan terinspirasi untuk menulis musik juga. Apapun kapasitas
mereka.
Tito Hilmawan Reditya, salah
satu penulis di Ronascent, berkesempatan menanggapi buku ini di acara bedah buku
bersama Nuran, di c2o Library Surabaya, akhir Oktober kemarin. Tito—yang
mengaku terinspirasi untuk mulai menulis musik dan membuat zine sesudah membaca
esai Nuran yang berjudul “30 Lagu yang Membuat Jembutmu Rontok Satu
Persatu”—harus mengakui kalau buku babon ini bisa memicu terbitnya buku-buku
sejenis. Selama ini rilisan buku musik di Indonesia amat sangat jarang. Mungkin
divisi Elevation Books milik Taufiq Rahman, adalah angin segar untuk permulaan.
Elevation sudah merilis tiga buku esai musik, yang salah satunya ditulis Herry
Sutresna—pentolan Homicide. Nuran kemudian mulai menyusul, dengan gaya
tulisannya sendiri. Kalau Taufiq lebih menyorot hubungan musik dan sosial politik—pun
juga Ucok, tapi tulisan Nuran terasa lebih personal dan ringan.
Esai-esai musik dalam Nice
Boys dibuka dengan nama bab yang mengutip lagu-lagu kegemaran Nuran—tentu saja
seputaran hair metal dan ‘Almighty’ The Doors. Di bab pertama Nuran menuliskan
dengan hangat awal perjumpaannya dengan musik, lalu mengenal jurnalisme musik,
lalu bagaimana semua itu bisa mengubah arah hidupnya. Phillips Vermonte—founder
Jakarta Beat—tidak sengaja membaca tulisan Nuran saat sedang mencari
kontributor untuk website barunya. Perkenalan dengan Nuran dituliskan Phillips
di Kata Pengantar buku ini. Lalu di bab kedua dan seterusnya, lebih fokus pada
satu bahasan. Membahas hair metal, slank, musik Indonesia—itu diantaranya.
Beberapa tulisan tentang Slank belum pernah dimuat dimanapun. Nuran mengaku,
proyek menulis Slanknya batal, entah karena apa. Padahal dia sudah selesaikan
separuh tulisan.
Untuk tulisan lain kebanyakan
sudah dimuat di blog Nuran—nuranwibisono.net—dan di beberapa media. Tito, yang
sudah jadi pembaca blog Nuran sejak SMA, menganggap tulisan Nuran selalu tampil
apa adanya; ringan, sedikit slebor, agak urakan, dan sangat menyenangkan. Nuran
dianggapnya setara Rudolf Dethu, dalam konteks propagandis hair metal
nusantara. Keyword hair metal di Google entah bagaimana caranya bisa langsung
mendeteksi blog Nuran. Tulisannya tentang Sangkakala ataupun GRIBS atau siapa
saja dedengkot rocker gondrong Indonesia sangat-sangat energik. Ada perasaan
meluap-luap, dan kecintaan yang tinggi pada objek tulisan.
Ayos Purwoaji moderator
diskusi sempat bertanya pada Nuran: apakah ada otokritik untuk buku ini? Nuran
menjawab, kekurangannya mungkin buku terlalu tebal: tulisan terlalu banyak.
Nuran mengaku terlalu malas untuk mengkurasi, atau mengedit tulisan-tulisannya.
Alhasil, buku perdananya terkesan tumplek blek. Sedangkan menurut Tito, buku
Nuran mungkin bisa jadi semacam kitab suci bagi pencinta hair metal—atau musik
apapun. Atau kalau frasa kitab suci terlalu berat, anggaplah buku ini sebagai
buah cinta dari Nuran, pada siapapun yang masih percaya kalau rock and roll
belum mati, masih berusaha menggondrongkan rambut, pakai banyak gelang, dan
setia pakai DocMart—atau Converse. Meskipun saat bedah bukunya Nuran pakai kaus
Seringai, tapi bolehlah itu dimaknai sebagai tanda kalau penulis musik
seharusnya terbuka. Nuran sudah membuktikannya: dalam buku yang berlabel rock
and roll dan bernuansa sangat glam metal, terselip satu dua tulisan tentang
Peter Pan dan... Ahmad Dhani.
Menutup tulisan, Kharis
Junandharu dari Silampukau yang sempat hadir di diskusi bertanya pada Nuran dan
Tito, tentang pengalaman terbaik yang pernah dialami saat jadi penulis musik.
Tapi entah, sepertinya pertanyaan tidak terjawab. Keduanya malah tersenyum dan
kemudian tertawa bahagia. Karena seperti kata Nuran:
Bagi
orang yang mencintai dunia musik, bekerja sebagai penulis musik adalah mimpi
basah... Tapi namanya juga mimpi basah, ketika terbangun setelah merasakan
nikmat, kamu akan berdecak kesal. Celana dalammu basah dan lengket. Dan kamu
harus mandi besar...”
No comments:
Post a Comment