Beyonce adalah ratu penyimpan
rahasia terbaik. Apapun: skandal, drama perselingkuhan suami, bahkan album barunya
yang muncul begitu saja ke publik setelah dalam durasi satu jam HBO menayangkan
film tentang dirinya. Lemonade mungkin adalah karya Beyonce yang paling
eksploratif dan personal serta mengabaikan genre dan pakem. Dalam album ini
Bey—panggilan akrab Beyonce—mengajak kita menjelajahi sisi paling liar dalam
dirinya. Track “Don’t Hurt Yourself,” kolaborasinya dengan pungguwa blues rock
gaek Jack White, menampilkan Bey yang berteriak kencang seolah tak ada hari
esok, mengingatkan pada rock serak-serak tomboy ala Janis Joplin—simak cara Bey
berteriak, ada nuansa padat dan berkilau bak sepatu boots. Terdengar seksi,
elegan, basah dan penuh emosi pada saat bersamaan. Bey tanpa ragu-ragu
mengumbar umpatan-umpatan kencang seolah menyuarakan gundah gulananya. Dalam “Hold
Up”, nuansa 80an saat post punk merasuk dan menjadikan rock and roll begitu
cantik lewat suntikan Rn’B gelap sangat terasa. “Hold Up” menggandeng Ezra
Koenig dari grup art punk Vampire Weekend dan terciptalah hymne yang pas didendangkan
saat berdansa sendirian dalam lampu redup dan segelas anggur merah di tangan.
Atau track “Sorry,” yang berisi tipuan-tipuan macam musik easy-listening yang
cerah ceria tetapi nyatanya membalut kepedihan, dengan lirik macam “today I regret the night I put that ring
on,”. “Sorry” adalah track terbaik di Lemonade yang dengan jenius memasang
derap beat bouncy yang nyaman di telinga, memungkinkannya sebagai hits besar Bey
selanjutnya.
Yang terdengar gila adalah
kolaborasinya dengan The Weeknd dalam “6 Inch,” Padat akan nuansa elektronik,
nyaris tidak terdengar murah dan sederhana seperti musik dansa mengecewakan
yang gemar digembar-gembor hari ini. “She
grinds from Monday to Friday/Works from Friday to Sunday.": Bey
menyanyikan bagian ini sambil bergoyang. Kehebatan Bey mengeksplorasi lintas
genre juga tampak pada “Daddy Lesson,” yang membawa suasana pure atau orisinil:
sebuah nyanyian yang menyenangkan dengan tari-tarian dan koboi mabuk yang
tertawa. Seperti suasana dalam sebuah bar di ujung Texas di malam hari nan hangat.
Membuktikan bahwa Bey tidak hanya jago memasak beat disko, rn’b, hip-hip atau
apapun itu yang cenderung menggunakan elektronika, tetapi juga mantap meramu
kemeriahan natural dari apa yang disebut sebagai musik manusia. “Daddy Lesson”
ajaibnya juga terdengar begitu jazz mesti tanpa kerumitan berarti, dan gaya
vokal Bey yang terdengar tidak terlalu meliuk-liuk, cenderung santai dan
longgar. Lagu ini mengisahkan kehidupan keluarganya dimana sang ayah akhirnya
harus berpisah dengan ibunya. Mungkin tema klise dan banyak diangkat oleh
musisi-musisi bermasa lalu broken home, tetapi jika dilihat dalam konteks
hubungan Beyonce dan Jay-Z, ada kegetiran baru yang timbul. Dan di akhir lagu
akan terdengar suara bocah yang seperti berkata dengan bangga: Good job, Bey!
Album bagus kadang bisa begitu
membosankan tanpa adanya balada penyeimbang, apalagi untuk album penuh warna
dan kobaran kemarahan seperti Lemonade. Untuk hal itulah Bey menyenandungkan “Sandcastles”
yang kontemplatif dan murung. Sederhana: cukup iringan piano dan lampu muram
kekuningan. Dengan tambahan paduan suara gospel, membuatnya begitu anggun dan
tegar. Agak sedikit paradoks memang, mengingat hampir keseluruhan album ini
cukup kompleks dengan banyak isian sana-sini. Namun usai itu semua, Bey kembali
mengamuk. Mengajak Kendrick Lamar pada “Freedom”, Bey terdengar geram: Make
America Great Again, Donald Trump, isu-isu rasisme dan feminisme kuno
sepertinya telah kembali dalam pemilu. Bey, sebagai juru bicara perempuan kulit
hitam, agaknya merasa tergerak dan menyanyikan suara-suara feminismenya tentang
kebabasan. Atas dasar itulah, album ini pantas mendapatkan apresiasi yang
tinggi karena tidak hanya menyinggung sisi personal, tapi juga perkara sosial. A Must Listen. Good Job, Bey!
*Lemonade adalah album terbaik
2016 versi Rolling Stone USA
No comments:
Post a Comment