Tuesday, August 30, 2016

14 Hari Untuk Selamanya (Bagian 1)

rundown perdana di hari jumat: tepar!
I.
Jumat Keparat

Jumat pagi dengan suhu kurang dari 30 derajat celcius. Bisa apa selain meringkuk di kasur sembari—mungkin—mengigau tentang KKN dimana hari ini adalah keberangkatannya. Untung saja keberangkatan yang hanya kurang sejam lagi ini tidak menjadi mimpi buruk—secara harfiah. Jadi nikmati sedikit waktumu di kos sebelum berpisah selama dua minggu ke depan. Saya akan makin erat memeluk guling jika saja seorang bernama Nila tidak menelepon di pagi dimana sang surya saja enggan untuk menampakkan diri.

“Tito, Halo? Bisa ikut upacala nggak hari ini? Sekalang, kutunggu di rumah ya!”

Sial. puluhan kali mengucek mata tetap tidak bisa menguasai keadaan. Air putih, mana air putih. Mungkin butuh seteguk baru bisa konsentrasi. Karena setelah itu saya sadar bahwasanya saya menghadapi Nila dalam kondisi setengah sadar: mungkin hanya kata 'upacala' dan ‘sekalang’ yang bisa membuat saya sedikit ngeh bahwa yang mengontak benar-benar si cadel ini.

“Hey! Halo! Tito! Kamu sadal nggak sih ini?”

Anjing. Ternyata sudah pukul enam kurang. Dan matahari masih belum membias di jendela. Tumben. Mungkin hari mendung. Sebenarnya saya sudah sempat sadar antara beberapa menit yang lalu: saat bocah-bocah kos berpamitan untuk upacara pembukaan KKN. Pagi benar mereka berangkat, pikir saya. Sedangkan saya, pemalas yang tak kebagian ikut upacara, santai-santai saja: mungkin berangkat agak siangan. Lagipula semalam grup BBM—yang khusus berisi kawan-kawan KKN—sudah ramai: kami belum mendapat topi (sebagai atribut wajib upacara), dan itu berarti kami tidak wajib upacara. Disepakati, disetujui oleh ketua dan beberapa kawan bahwa besok kelompok kami tidak menghadiri upacara, dan akan berangkat bersama-sama menuju tempat KKN sehabis upacara, yang itu berarti tidak perlu pagi-pagi benar.

Tapi telfon dari Nila dan nada pemberitahuan BBM yang deras membuat saya semakin sadar bahwa handuk sudah tak perlu lagi diraih dari jemuran. Bahkan mandi sudah tidak penting. Setelah beberapa tegukan Aqua, saya sadar-sesadar-sadarnya untuk segera menjemput Hengki: dia wakil ketua, orang penting di dalam kelompok, dan mungkin tidak bisa bangun pagi hari ini. Tugas saya membangunkannya secara mendadak. Ya, mendadak. Grup membuat keputusan tiba-tiba setelah mendapat info yang entah darimana rimbanya: boleh tidak memakai topi saat upacara. Semua tergopoh. Semua berjingkat. Yang ditugaskan ikut upacara pun menjadi fleksibel: siapa yang bisa berangkat boleh ikut. Termasuk pemalas seperti saya yang jika saja tidak ditelfon oleh Nila, masih meringkuk di bawah selimut kedamaian kasur.

Hengki saya jemput setelah saya PING!!! Tiga kali berturut-turut. Dan ditengah carut-marut, saya yang juga belum packing dan mandi menunggu Hengki di depan kosnya dengan perasaan amburadul. Grup semakin gaduh. Upacara sekitar sejam lagi. Hengki sialan entah berada dimana—apa buang air memakan waktu begitu lamanya. Hingga ia muncul di depan pagar kosnya. Tanpa tas. Tanpa sesuatu yang secara harfiah bisa digunakan untuk membawa barang saat bepergian. Tanpa rasa malu. Tanpa ekspresi. Hengki membawa kresek loundry, dan disitulah semua barangnya berada.

Temenan ta arek iki KKN mek sangu kresek?” batin saya dalam hati.

Tapi saya sudah tidak mampu melanjutkan kata-kata lagi. Mungkin Hengki sudah menitipkan barang-barangnya di rumah Nila (yang ternyata tidak dan Hengki benar-benar KKN hanya bermodal kresek bekas loundry, he’s really live a thug life). Hengki segera saya ajak menuju kos saya. Gantian. Dia yang menunggu saya packing dan cuci muka sebentar. Jumat sesejuk ini sungguh tega membiarkan saya berangkat KKN tanpa mandi dan buang air—tidak seperti kebiasaan umum bahwa saat berangkat orang mestinya kudu ganteng, harum dan memiliki sex appeal tinggi.

Dan akhirnya tanpa banyak doa dan nuansa duka akan menghadapi dua minggu di desa orang, saya berangkat. Jalanan menjadi agenda kami selanjutnya. Hengki memegang alih kemudi motor saya yang dalam sekali sentak, sudah berada di titik krusial dimana motor seharusnya dipacu lebih dari 60 km/jam. Saya pikir Hengki tahu kita akan berkumpul dimana.

Ternyata tidak.

“Lho, nangndi Heng! Bukane kumpul di rumah Nila sik, terus berangkat bareng-bareng?” Ujar saya saat Hengki mulai melewati tempat dimana seharusnya meeting point kelompok berada.

“Lho aku langsung cus Mojokerto iki! Kumpul omahe Nila sik ta?” Hengki bertanya seperti kesetrum.

“Yo iyolah mbut!” saya mengumpat lagi sambil mengiyakan.

Sambil menahan dongkol, Hengki berputar-balik. Kami sampai di rumah Nila sebelum berjalan terlalu jauh. Disana sudah ada Anugrah, si ketua, dan tentu saja Nila, si empunya rumah.

“Ngenteni sopo?” tanya saya. Itu karena waktu menunjukkan titik dimana keputusan untuk segera berangkat sudah saatnya dilakukan.

“Sik diluk, To! Nunggu Aminul sama yang lain. Fitra juga.” Ujar Anugrah. Matanya terlihat mengantuk—oh apa karena dia sipit? Dan beberapa saat kemudian si bajingan Fitra memamerkan gambar mobil di grup; entah mobil siapa dan kami tentu saja tidak peduli. apa-apaan?

“Woy, cuk!” terdengar sapaan dari dalam rumah. Saya tidak melihat si penyapa, tapi dari kadar suaranya, itu adalah suara-suara yang hanya dimiliki oleh biadab tak tahu sopan santun.

Sulit menduga bahwa ada salah satu bromocorah di kelompok KKN saya. Eko Setyo Budi, mahasiswa teknik mesin sandal jepit dengan tinggi badan amat proporsional, ternyata sudah disitu terlebih dahulu. Entah sembunyi dimana dia sampai tiba-tiba bisa datang. Saya memanggilnya Eko sebelum tahu bahwa ia tidak mau dipanggil Eko.

“Dia nggak mau dipanggil Eko. Maunya Tyo!” ujar Anugrah sambil tersenyum saat rapat di rumah Nila beberapa waktu silam. Ada nada prihatin dari senyumnya. Saya tidak bisa berkomentar.

Oke baik, jadi keadaan di rumah Nila dalam posisi aman terkendali. Tinggal menunggu beberapa orang lagi dan kemudian berangkat ke Mojokerto—tempat KKN kelompok kami—dan langsung ikut upacara. Tapi Jumat, lagi-lagi membuat gempar. Hujan, tiba-tiba turun dengan derasnya.

“Coookkkkkkk udan faakkkkkkk!” saya mengumpat lagi.

Keparat. Sama sekali tidak barokah dan bahkan beberapa teman berkomentar: ‘KKN yang tidak diridhoi’. Tapi saya lebih kepada kenapa harus hujan di pagi sesakral ini: padahal hari sebelum-sebelumnya belum pernah turun hujan di pagi hari. Cobaan hari pertama KKN berupa air bah turun dari langit: siapa yang menyangka kehendak Mikail. Dengan hujan yang tidak tanggung-tanggung, seperti tumpah ruah dari angkasa, kita tidak mungkin melawan badai dengan hanya bermodalkan jas hujan. Sneakers saya bisa basah. Itu haram hukumnya. Setidaknya dalam kitab tak resmi Conversehead abal-abal.

Tidak ada pilihan lain selain menunggu. Saya mengikuti Eko, ehm maksud saya, Tyo, menuju lantai dua. Jadi rumah Nila juga dihuni sepupu cowoknya yang berkamar di lantai dua. Kebetulan sepupunya adalah teman sekelas Tyo (dan untung saja tidak sama belelnya). Ada televisi dan kasur: pilihan yang sulit, tapi saya memilih rebahan saja. TV kemudian disetel oleh si empunya ruangan: berita bola yang sama sekali tidak terdengar karena hujan turun begitu jancuknya.

Tiba-tiba Wisnu, kawan KKN yang sudah ada di Mojokerto lebih dulu, mengontak saya.

“Piye, Bro! Wis budal durung?” tanyanya.
“Hujan badai, Pakdhe! Dueres!” jawab saya.
“Lho, mosok? Ndek Mojokerto terang-benderang bos!” timpal Wisnu seperti melupakan teritori, letak awan, curah hujan, takdir, dan penugasan Malaikat Mikail.

Sementara itu, beberapa kawan yang mau berangkat juga akhirnya batal.

“Arep berangkat bos entas, eh udan, deres. Nunggu redaan syek!” Aminul, ceking afro ini juga menguhubungi saya.

Saya hanya bisa membalas kira-kira dengan kata yang berkonotasi sama: santai, tenang, woles, selaw, calm, and whatever that have the same fucking meaning. Tapi apa yang saya balaskan itu sepertinya tidak berlaku karena tiba-tiba Anugrah berteriak dari depan pintu.

“Sepatunya siapa rek di depan! Basah!”

Anjing! Anjing! Anjing!

Dan cobaan kedua dari Jumuah keparat ini terjadi sudah: sepatu saya basah sebasah-basahnya.

Yakin ingin melanjutkan KKN?

(bersambung)

rundown kedua hari jumat: tepar!
*judul dicomot serampangan dari judul film mbak Adinia Wirasti, 3 Hari Untuk Selamanya.

No comments:

Post a Comment