Monday, August 15, 2016

Seperti Seharusnya, Noah dan Playlist Abadi


Kurang lebih saya mengenal Ariel dkk di usia SD. Tidak begitu fanatik, malah saya lebih interest pada Dewa 19. Bapak saya pertama kali beli kaset Peterpan di pasar, juga kakak yang punya kaset tape Bintang di Surga. Itu jadi konsumsi sehari-hari akhirnya. Beberapa lagu cukup lumayan untuk diikuti, tapi saya tidak candu-candu amat. Saya berpikir Peterpan adalah band biasa-biasa saja. Yah keren lagunya, tapi belum cukup untuk membuat saya jatuh cinta. Sewaktu SMP saya sempat menonton Insert di Trans TV, waktu itu host-nya masih Indra Herlambang sama Cut Tari. Itu sekitar kelas 9. Disitu diberitakan bahwa Ariel, vokalis Peterpan, terlibat kasus video porno bersama Luna Maya. Yang memberitakan adalah Cut Tari. Tapi host seksi yang cukup sintal dan menggemaskan ini berkomentar di akhir berita:

“Masak sih itu Ariel? Itu bukan Ariel, tapi Andhika Kangen Band!”

Minggu depannya Cut Tari sudah tidak ada lagi di acara Insert. Sekarang dia yang ganti diberitakan media gosip karena video kedua Ariel ternyata nyebar juga, dan itu pemainnya Cut Tari. Mungkin dia terkena kutukan Andhika Kangen Band karena ‘orang nggak salah malah dibawa-bawa.’ Saya ingat betul juga di zaman itu. Zaman Peterpen buat reality show pencarian nama baru di Trans 7. Nama Peterpan memang milik Andika, mantan kibordisnya, jadi dia ngerasa Ariel dkk. tidak berhak lagi memakai nama itu. Saya berpikir bahwasanya  baru kali ini band indonesia mau ganti nama saja begitu hebohnya; masalahnya Ariel dkk tidak tahu akan memakai nama apa. Alhasil ada banyak usul, dan dibikinkan reality show pula. Dag-dig-dug tiap ada yang membahas nama baru Peterpan, selalu saja mikir, nama apa ya yang jadi dipakai. Tapi pas lagi genting-gentingnya nyari nama itu, Ariel kena skandal, jadi tersangka, dan akhirnya dipenjara. Berhenti sudah drama Peterpan. Berhenti sudah urusan ganti nama. Uki dkk, yang tidak ikutan main bokep jadi berjalan sendiri. Sempat membuat proyek Peterpan On Piano oleh David yang kemudian dikembangkan menjadi album Suara Lainnya dimana lagu Peterpan dicover jadi instrumental tanpa vokal.

Di titik inilah, saya mulai interest dengan Peterpan. Ketertarikan ini sebenarnya diawali saat mereka membuat album Sebuah Nama Sebuah Cerita—saya lupa periode pembuatan album itu kapan, sesudah skandal Ariel atau sebelumnya, seingat saya sebelumnya. Disitu ada lagu yang ‘Cobain’ sekali menurut saya: “Walau Habis Terang.” Saya suka liriknya. Itu seperti ‘it’s better been burn than fade away,’; lebih baik kamu padam daripada memudar sedikit-demi-sedikit. Ada satu punch yang saya ingat: peluk tubuhku untuk sejenak, dan biarkan kita memudar dengan pasti.’ Itu adalah salah satu bait terbaik di lirik Indonesia menurut saya. Dan saya berpikir, siapa lagi yang membuat ini jika bukan Ariel. Saya ingat di era ini Ariel tidak lagi berambut sebahu ala-ala Luke Skywalker. Tapi sudah lebih cepak. Dan tidak hanya rambut yang berubah, tapi juga kedewasaan musik di lagu-lagu mereka, sound yang lebih terasa, lirik yang lebih memukau juga influence mereka yang lebih terdengar melebur bersama orisinalitas Peterpan. Itu semua mulai tampak jelas di album Hari yang Cerah, dimana lewat lagu “Cobalah Mengerti” yang sempat saya simak klipnya di MTV, jauh berbeda secara kualitas dengan lagu macam “Mungkin Nanti” yang menye atau “Ada Apa Denganmu” yang terlalu sakarin—dengan intro mirip “Am I Wry” dari Mew. Bandingkan sendiri.

Saya benar-benar suka dengan Peterpan di album Sebuah Nama Sebuah Cerita, yang memuat seluruh hits besar Peterpan dari era debut sampai album terakhir. Melihat tajuknya kita akan segera tahu bahwa ini semacam obituari; album terakhir mereka dengan memakai nama Peterpan. Tapi karena memang berkonsep ‘kompilasi’ atau kumpulan lagu-lagu lawas yang saya tidak pernah terlalu interest, saya hanya mengamati dua lagu baru saja yang jujur, menurut saya lagu baru itu, alias lagu terakhir Ariel dkk saat menggunakan nama Peterpan, adalah lagu terbaik Peterpan sejak awal karir. Mungkin ada satu lagu baru lagi yakni “Kisah Cintaku” yang juga dibawakan bagus tapi itu cover dari Chrisye. “Walau Habis Terang” -lah yang saya maksud. Lepas dari lirik paling puitis yang pernah diciptakan Ariel seperti saya jelaskan diatas, nuansa kelam dan gelap, lesu darah, dari lagu ini begitu menghipnotis. Simak bagian:

“Berjalanlah walau habis terang, ambil cahaya cinta ‘tuk terangi jalanmu...”

Dan lagu ini sudah menjadi abadi, kapanpun, ini tidak akan lekang dimakan zaman, akan selalu relevan dengan telinga saya. Ada semacam kepasrahan yang elegan, entahlah, dalam lagu ini yang membuatnya patut masuk salah satu lagu pop terbaik Indonesia. Ini pulalah yang membuat saya menunggu Ariel dibebaskan, mengutuk orang-orang sialan yang sok moralis dengan mengkafirkan dia, dan secara tidak langsung, pro terhadap Ariel karena dia tidak bersalah; penyebar viedo-nya yang bersalah. Lagipula tanpa bokep Ariel masa SMP saya tidak akan berkesan: setiap hari membayangkan Cut Tari sebagai bahan fantasi dan akhirnya muncul video saat dia sedang main seks dan memamerkan lekuk tubuh sensitifnya; apapun itu, Peterpan, Ariel dan segala skandalnya adalah hal yang indah untuk dikenang.

Hari demi hari berlalu, Ariel akhirnya bebas. Kembali berkumpul bersama Peterpan yang belum ganti nama. Uki sudah makin brewokan, Reza semakin gemuk, Lukman semakin cacingan, dan muncul satu bocah yang kelihatannya jenius bernama David; kembali berkumpul bersama sang frontman. Menjalankan fitrah sebagai anak band, kembali lagi ke studio, menggodok materi-materi yang tertunda. Dan jadilah, nama baru mereka resmi memakai Noah, dan setelahnya album Ariel dkk dengan nama Noah dirilis dengan tajuk Seperti Seharusnya. Saya ingat betul waktu itu saya kelas 12 SMA. Mungkin menjelang akhir kelulusan. Single “Separuh Aku” dilepas dan benar, saya yakin-seyakin-yakinnya, Noah sudah bukan Peterpan dengan sound busuk itu lagi. Mereka berkontemplasi dan bertransformasi menjadi band berkualitas tinggi dengan sound mumpuni dan ya, apa yang saya tunggu akhirnya datang juga. Saya jatuh cinta dengan lagu mereka. Jujur saja waktu itu saya sedang banyak dikepung aliran hardcore, rock and roll dan sejenisnya. No time for menye, no time for pop. Tapi disaat Noah datang, itu semua tidak saya hiraukan. Satu hal yang saya catat adalah kedewasaan Noah ini tidak mungkin terjadi tanpa kehadiran David. Give applause for him, dan karenanya “Separuh Aku” mempunyai melodi yang menggoda.

Album Seperti Seharusnya rilis juga via KFC, dan keluarga yang memang biasanya makan disana saat keluar kota kedapatan mendapat album gratis dari pembelian ayam. Tidak butuh waktu lama saya langsung menunjuk Noah, fuck you Judika, fuck you pop generic, fuck you all chicken musicians: saya hanya cinta Noah dan tentu saja akan memilihnya tanpa berpikir panjang. Album ini akhirnya menjadi album sehari-hari. Semacam playlist wajib yang pagi, sore, atau malam selalu saya dengarkan. Saya me-rip kasetnya sehingga bisa didengarkan lewat ponsel—apalagi pemutar musik yang lebih baik bagi generasi Z macam kami selain headset menancap di ponsel. Noah juga sempat menjadi backsound pernikahan kakak saya, Rina, yang waktu itu mengadakan acara satu hari dua malam. Di tengah gempuran campursarian orang tua yang membosankan, koplo yang memuakkan, dan pop-pop Betharia Sonata yang sudah seharusnya masuk tempat sampah, saya memboyong kaset Noah untuk kemudian diputar seantero kampung. Bayangkan apa yang terjadi: itu pukul tujuh malam, dan “Raja Negeriku” sebagai track pertama berkumandang. Lagu yang banyak meminjam pengaruh dari U2 dan Angels And Airwaves ini adalah track terkeras di album ini, juga paling distortif. Pidato Bung Karno yang meledak-ledak di pertengahan lagu adalah efek kejut bagi para veteran keluarga saya yang sedang merokok kretek: mereka mengingat kembali nasionalisme yang ternyata bisa juga dihempas oleh anak muda. Rina pun enjoy-enjoy saja saya putarkan Noah, begitupun orang-orang yang hadir kondangan. Soundtrack prasmanan nasigoreng dan rawon yang memacu testosteron! Meski kakek saya ngedumel terus karena menganggap lagunya terlalu ‘keras’; yeah, if it’s too loud you’re too old. Kakek memang sudah tua, bahkan untuk Noah sekalipun. Untung saya tidak putar Seringai.

Setelah “Raja Negeriku” yang ngeri, sound system nikahan Rina menampilkan lagu-lagu manis yang mulai track dua dan seterusnya, membuat perasaan terbawa dan suasana kondangan jadi romantis. Saya hanya duduk, mengamati operator di seberang sana menjalankan tugasnya dengan baik, sambil sesekali mencomot lemper dan lumpia. “Jika Engkau” mengalun, dengan opening gamelan jawa yang benar-benar diekspos sewaktu Noah konser. Sekali lagi kedewasaan terdengar; ini adalah pop dengan persenyawaan terbaik. Uki dan Lukman saling mengisi dengan sound gitar yang melankolis, plus suara Ariel yang tidak ada tangingannya. Lalu “Hidup Untukmu Mati Tanpamu” yang diciptakan Rian D’Masiv—dan untung saja tidak dinyanyikan band-nya—memulai lagi mengumbar pop rock yang walaupun tanpa gitar delay ala-ala The Edge seperti “Raja Negeriku,” tapi cukup menyentak saat memasuki refrain. Lagi-lagi kita bisa mengamati sound gitar berkelas yang ditampilkan Uki dan Lukman. Jangan pula lupakan isi-isian dari si jenius David. Peterpan naik jutaan tingkat lewat track ini.

Untuk track satu ini, saya pikir inilah lagu terbaik di Seperti Seharusnya. Sungguh subjektif, namun “Ini Cinta,” yang seperti bercerita tentang Ariel yang melakukan segalanya karena cinta dan bukan nafsu, sungguh tidak bisa saya enyahkan, atau saya dengarkan sekali-dua kali. “Ini Cinta” entah bagaimana selalu ada dalam playlist saya dimulai saat acara nikahan Rina. Salah satu lagu romantis terbaik yang pernah dinyanyikan musisi Indonesia. Lirik yang tidak terlalu puitis, ringan, sederhana, namun punya melodi yang membuat siapapun rela hanyut dalam pusaran. “Ini Cinta” tidak bertendensi menjadi megahits seperti “Separuh Aku” dan “Jika Engkau”, tapi dengan permainan David yang minimalis di lagu ini, sungguh lagu ini tidak boleh disepelekan. Termasuk underrated juga karena kalah dengan “Hidup Untukmu Mati Tanpamu” ataupun “Tak Lagi Sama”. Saya membayangkan saat mereka ngejam lagu ini, diiringi rintik hujan di luar studio, dan secangkir teh diletakkan diatas ampli: lagu penting kadang hadir begitu sederhana. Simak menit magis: 1:38, dimana David melempar sebuah alunan disambut kesenduan backing vokal tipis-tipis yang serasa diambil dari surga. Seterusnya terus begitu, David, backing vokal, Ariel, sampai saya yang sudah berkali-kali menemukan letak keindahannya tidak bosan-bosannya untuk terus mendengarkannya.

Track lain yang menurut saya haram dilewatkan adalah cover dari Chrisye, “Sendiri Lagi.” Entah bagaimana jika Ariel dkk, dalam Peterpan ataupun Noah, mengcover Chrisye, hasilnya selalu diatas rata-rata, menyamai kualitas lagu aslinya. Tapi untuk “Sendiri Lagi” versi Noah, saya kira mereka melampaui lagu aslinya. Ini adalah upaya David, yang menjadikannya begitu berkesan dan banyak warna—padahal aslinya hanya sewarna: sendu. Saya suka lagu pop dengan banyak isian manis seperti ini, dan tetap terdengar minimalis. Memasuki menit ke 3.00, saat itulah Noah dengan Uki, Lukman dan Reza hadir, mengiringi David dan Ariel. Memuncak sempurna, berhasil dan saya menunggu Noah mengcover lagu dari Chrisye lagi tanpa harus terdengar sepertinya.

Terakhir, “Puisi Adinda.” Lagu yang cukup lama saya lewatkan karena berada di track terakhir. Tapi nyatanya ini adalah harta karun, benar-benar harta karun. Suara denting piano beradu dengan suara malaikat di intro. Dengan durasi yang cukup singkat, dan vokal Ariel yang biasa saja dan tidak berusaha memberikan gaya terbaiknya: track paling menyentuh di Seperti Seharusnya. Dan seperti inilah seharusnya lagu pop Indonesia: mulai memasuki menit 1:50 ada bermacam isian yang seperti dipinjam dari langit. Track yang surgawi. Dan nyatanya, setelah sekian tahun menjadi playlist, Noah dengan Seperti Seharusnya belum pernah bisa hilang dari playlist saya: semua lagu di album ini penting, dan inilah pencapaian tertinggi Ariel dkk mulai dair awal karir mereka: dan bahkan ini adalah album terbaik mereka, baik dengan nama Peterpan atau Noah. Saya masih menunggu Noah membuat album penuh lagi, bukan album tak penting semacam Second Chance atau yang terbaru, Sings Legend: siapa yang ingin mendengar yang seperti itu. Buatlah yang seperti seharusnya. Meski kaset saya sudah raib diembat seseorang bernama Roni yang ternyata adalah adik ipar Rina: bajingan bertampang lebih cabul dari Andhika Kangen Band yang jika saya tanya mana kaset Noah, selalu menjawab sedang dibuat mainan anaknya dirumah.

Tapi meski begitu, Noah tetap abadi, dalam playlist dan dalam ingatan, seperti seharusnya.

No comments:

Post a Comment