Kurang
lebih saya mengenal Ariel dkk di usia SD. Tidak begitu fanatik, malah saya
lebih interest pada Dewa 19. Bapak saya pertama kali beli kaset Peterpan di
pasar, juga kakak yang punya kaset tape Bintang di Surga. Itu jadi konsumsi
sehari-hari akhirnya. Beberapa lagu cukup lumayan untuk diikuti, tapi saya
tidak candu-candu amat. Saya berpikir Peterpan adalah band biasa-biasa saja.
Yah keren lagunya, tapi belum cukup untuk membuat saya jatuh cinta. Sewaktu SMP
saya sempat menonton Insert di Trans TV, waktu itu host-nya masih Indra
Herlambang sama Cut Tari. Itu sekitar kelas 9. Disitu diberitakan bahwa Ariel,
vokalis Peterpan, terlibat kasus video porno bersama Luna Maya. Yang
memberitakan adalah Cut Tari. Tapi host seksi yang cukup sintal dan
menggemaskan ini berkomentar di akhir berita:
“Masak
sih itu Ariel? Itu bukan Ariel, tapi Andhika Kangen Band!”
Minggu
depannya Cut Tari sudah tidak ada lagi di acara Insert. Sekarang dia yang ganti
diberitakan media gosip karena video kedua Ariel ternyata nyebar juga, dan itu
pemainnya Cut Tari. Mungkin dia terkena kutukan Andhika Kangen Band karena
‘orang nggak salah malah dibawa-bawa.’ Saya ingat betul juga di zaman itu.
Zaman Peterpen buat reality show pencarian nama baru di Trans 7. Nama Peterpan
memang milik Andika, mantan kibordisnya, jadi dia ngerasa Ariel dkk. tidak
berhak lagi memakai nama itu. Saya berpikir bahwasanya baru kali ini band indonesia mau ganti nama
saja begitu hebohnya; masalahnya Ariel dkk tidak tahu akan memakai nama apa.
Alhasil ada banyak usul, dan dibikinkan reality show pula. Dag-dig-dug tiap ada
yang membahas nama baru Peterpan, selalu saja mikir, nama apa ya yang jadi
dipakai. Tapi pas lagi genting-gentingnya nyari nama itu, Ariel kena skandal,
jadi tersangka, dan akhirnya dipenjara. Berhenti sudah drama Peterpan. Berhenti
sudah urusan ganti nama. Uki dkk, yang tidak ikutan main bokep jadi berjalan
sendiri. Sempat membuat proyek Peterpan On Piano oleh David yang kemudian
dikembangkan menjadi album Suara Lainnya dimana lagu Peterpan dicover jadi
instrumental tanpa vokal.
Di
titik inilah, saya mulai interest dengan Peterpan. Ketertarikan ini sebenarnya
diawali saat mereka membuat album Sebuah Nama Sebuah Cerita—saya lupa periode
pembuatan album itu kapan, sesudah skandal Ariel atau sebelumnya, seingat saya
sebelumnya. Disitu ada lagu yang ‘Cobain’ sekali menurut saya: “Walau Habis
Terang.” Saya suka liriknya. Itu seperti ‘it’s better been burn than fade
away,’; lebih baik kamu padam daripada memudar sedikit-demi-sedikit. Ada satu
punch yang saya ingat: peluk tubuhku untuk sejenak, dan biarkan kita memudar
dengan pasti.’ Itu adalah salah satu bait terbaik di lirik Indonesia menurut
saya. Dan saya berpikir, siapa lagi yang membuat ini jika bukan Ariel. Saya
ingat di era ini Ariel tidak lagi berambut sebahu ala-ala Luke Skywalker. Tapi
sudah lebih cepak. Dan tidak hanya rambut yang berubah, tapi juga kedewasaan
musik di lagu-lagu mereka, sound yang lebih terasa, lirik yang lebih memukau
juga influence mereka yang lebih terdengar melebur bersama orisinalitas
Peterpan. Itu semua mulai tampak jelas di album Hari yang Cerah, dimana lewat
lagu “Cobalah Mengerti” yang sempat saya simak klipnya di MTV, jauh berbeda
secara kualitas dengan lagu macam “Mungkin Nanti” yang menye atau “Ada Apa
Denganmu” yang terlalu sakarin—dengan intro mirip “Am I Wry” dari Mew.
Bandingkan sendiri.
Saya benar-benar suka dengan Peterpan di album Sebuah Nama Sebuah Cerita,
yang memuat seluruh hits besar Peterpan dari era debut sampai album terakhir.
Melihat tajuknya kita akan segera tahu bahwa ini semacam obituari; album
terakhir mereka dengan memakai nama Peterpan. Tapi karena memang berkonsep ‘kompilasi’
atau kumpulan lagu-lagu lawas yang saya tidak pernah terlalu interest, saya hanya
mengamati dua lagu baru saja yang jujur, menurut saya lagu baru itu, alias lagu
terakhir Ariel dkk saat menggunakan nama Peterpan, adalah lagu terbaik Peterpan
sejak awal karir. Mungkin ada satu lagu baru lagi yakni “Kisah Cintaku” yang
juga dibawakan bagus tapi itu cover dari Chrisye. “Walau Habis Terang” -lah
yang saya maksud. Lepas dari lirik paling puitis yang pernah diciptakan Ariel
seperti saya jelaskan diatas, nuansa kelam dan gelap, lesu darah, dari lagu ini
begitu menghipnotis. Simak bagian:
“Berjalanlah walau habis
terang, ambil cahaya cinta ‘tuk terangi jalanmu...”
Dan
lagu ini sudah menjadi abadi, kapanpun, ini tidak akan lekang dimakan zaman,
akan selalu relevan dengan telinga saya. Ada semacam kepasrahan yang elegan,
entahlah, dalam lagu ini yang membuatnya patut masuk salah satu lagu pop
terbaik Indonesia. Ini pulalah yang membuat saya menunggu Ariel dibebaskan,
mengutuk orang-orang sialan yang sok moralis dengan mengkafirkan dia, dan secara
tidak langsung, pro terhadap Ariel karena dia tidak bersalah; penyebar
viedo-nya yang bersalah. Lagipula tanpa bokep Ariel masa SMP saya tidak akan
berkesan: setiap hari membayangkan Cut Tari sebagai bahan fantasi dan akhirnya
muncul video saat dia sedang main seks dan memamerkan lekuk tubuh sensitifnya;
apapun itu, Peterpan, Ariel dan segala skandalnya adalah hal yang indah untuk
dikenang.
Hari
demi hari berlalu, Ariel akhirnya bebas. Kembali berkumpul bersama Peterpan
yang belum ganti nama. Uki sudah makin brewokan, Reza semakin gemuk, Lukman
semakin cacingan, dan muncul satu bocah yang kelihatannya jenius bernama David;
kembali berkumpul bersama sang frontman. Menjalankan fitrah sebagai anak band,
kembali lagi ke studio, menggodok materi-materi yang tertunda. Dan jadilah,
nama baru mereka resmi memakai Noah, dan setelahnya album Ariel dkk dengan nama
Noah dirilis dengan tajuk Seperti Seharusnya. Saya ingat betul waktu itu saya
kelas 12 SMA. Mungkin menjelang akhir kelulusan. Single “Separuh Aku” dilepas
dan benar, saya yakin-seyakin-yakinnya, Noah sudah bukan Peterpan dengan sound
busuk itu lagi. Mereka berkontemplasi dan bertransformasi menjadi band
berkualitas tinggi dengan sound mumpuni dan ya, apa yang saya tunggu akhirnya
datang juga. Saya jatuh cinta dengan lagu mereka. Jujur saja waktu itu saya
sedang banyak dikepung aliran hardcore, rock and roll dan sejenisnya. No time
for menye, no time for pop. Tapi disaat Noah datang, itu semua tidak saya
hiraukan. Satu hal yang saya catat adalah kedewasaan Noah ini tidak mungkin
terjadi tanpa kehadiran David. Give applause for him, dan karenanya “Separuh
Aku” mempunyai melodi yang menggoda.
Album
Seperti Seharusnya rilis juga via KFC, dan keluarga yang memang biasanya makan
disana saat keluar kota kedapatan mendapat album gratis dari pembelian ayam.
Tidak butuh waktu lama saya langsung menunjuk Noah, fuck you Judika, fuck you
pop generic, fuck you all chicken musicians: saya hanya cinta Noah dan tentu
saja akan memilihnya tanpa berpikir panjang. Album ini akhirnya menjadi album
sehari-hari. Semacam playlist wajib yang pagi, sore, atau malam selalu saya
dengarkan. Saya me-rip kasetnya sehingga bisa didengarkan lewat ponsel—apalagi
pemutar musik yang lebih baik bagi generasi Z macam kami selain headset menancap
di ponsel. Noah juga sempat menjadi backsound pernikahan kakak saya, Rina, yang
waktu itu mengadakan acara satu hari dua malam. Di tengah gempuran campursarian
orang tua yang membosankan, koplo yang memuakkan, dan pop-pop Betharia Sonata
yang sudah seharusnya masuk tempat sampah, saya memboyong kaset Noah untuk kemudian
diputar seantero kampung. Bayangkan apa yang terjadi: itu pukul tujuh malam,
dan “Raja Negeriku” sebagai track pertama berkumandang. Lagu yang banyak
meminjam pengaruh dari U2 dan Angels And Airwaves ini adalah track terkeras di
album ini, juga paling distortif. Pidato Bung Karno yang meledak-ledak di
pertengahan lagu adalah efek kejut bagi para veteran keluarga saya yang sedang
merokok kretek: mereka mengingat kembali nasionalisme yang ternyata bisa juga
dihempas oleh anak muda. Rina pun enjoy-enjoy saja saya putarkan Noah,
begitupun orang-orang yang hadir kondangan. Soundtrack prasmanan nasigoreng dan
rawon yang memacu testosteron! Meski kakek saya ngedumel terus karena
menganggap lagunya terlalu ‘keras’; yeah, if it’s too loud you’re too old. Kakek
memang sudah tua, bahkan untuk Noah sekalipun. Untung saya tidak putar
Seringai.
Setelah
“Raja Negeriku” yang ngeri, sound system nikahan Rina menampilkan lagu-lagu
manis yang mulai track dua dan seterusnya, membuat perasaan terbawa dan suasana
kondangan jadi romantis. Saya hanya duduk, mengamati operator di seberang sana
menjalankan tugasnya dengan baik, sambil sesekali mencomot lemper dan lumpia.
“Jika Engkau” mengalun, dengan opening gamelan jawa yang benar-benar diekspos
sewaktu Noah konser. Sekali lagi kedewasaan terdengar; ini adalah pop dengan
persenyawaan terbaik. Uki dan Lukman saling mengisi dengan sound gitar yang
melankolis, plus suara Ariel yang tidak ada tangingannya. Lalu “Hidup Untukmu
Mati Tanpamu” yang diciptakan Rian D’Masiv—dan untung saja tidak dinyanyikan
band-nya—memulai lagi mengumbar pop rock yang walaupun tanpa gitar delay
ala-ala The Edge seperti “Raja Negeriku,” tapi cukup menyentak saat memasuki
refrain. Lagi-lagi kita bisa mengamati sound gitar berkelas yang ditampilkan
Uki dan Lukman. Jangan pula lupakan isi-isian dari si jenius David. Peterpan
naik jutaan tingkat lewat track ini.
Untuk
track satu ini, saya pikir inilah lagu terbaik di Seperti Seharusnya. Sungguh
subjektif, namun “Ini Cinta,” yang seperti bercerita tentang Ariel yang
melakukan segalanya karena cinta dan bukan nafsu, sungguh tidak bisa saya
enyahkan, atau saya dengarkan sekali-dua kali. “Ini Cinta” entah bagaimana
selalu ada dalam playlist saya dimulai saat acara nikahan Rina. Salah satu lagu
romantis terbaik yang pernah dinyanyikan musisi Indonesia. Lirik yang tidak
terlalu puitis, ringan, sederhana, namun punya melodi yang membuat siapapun
rela hanyut dalam pusaran. “Ini Cinta” tidak bertendensi menjadi megahits
seperti “Separuh Aku” dan “Jika Engkau”, tapi dengan permainan David yang
minimalis di lagu ini, sungguh lagu ini tidak boleh disepelekan. Termasuk
underrated juga karena kalah dengan “Hidup Untukmu Mati Tanpamu” ataupun “Tak
Lagi Sama”. Saya membayangkan saat mereka ngejam lagu ini, diiringi rintik
hujan di luar studio, dan secangkir teh diletakkan diatas ampli: lagu penting
kadang hadir begitu sederhana. Simak menit magis: 1:38, dimana David melempar
sebuah alunan disambut kesenduan backing vokal tipis-tipis yang serasa diambil
dari surga. Seterusnya terus begitu, David, backing vokal, Ariel, sampai saya
yang sudah berkali-kali menemukan letak keindahannya tidak bosan-bosannya untuk
terus mendengarkannya.
Track
lain yang menurut saya haram dilewatkan adalah cover dari Chrisye, “Sendiri
Lagi.” Entah bagaimana jika Ariel dkk, dalam Peterpan ataupun Noah, mengcover
Chrisye, hasilnya selalu diatas rata-rata, menyamai kualitas lagu aslinya. Tapi
untuk “Sendiri Lagi” versi Noah, saya kira mereka melampaui lagu aslinya. Ini
adalah upaya David, yang menjadikannya begitu berkesan dan banyak warna—padahal
aslinya hanya sewarna: sendu. Saya suka lagu pop dengan banyak isian manis
seperti ini, dan tetap terdengar minimalis. Memasuki menit ke 3.00, saat itulah
Noah dengan Uki, Lukman dan Reza hadir, mengiringi David dan Ariel. Memuncak
sempurna, berhasil dan saya menunggu Noah mengcover lagu dari Chrisye lagi
tanpa harus terdengar sepertinya.
Terakhir,
“Puisi Adinda.” Lagu yang cukup lama saya lewatkan karena berada di track
terakhir. Tapi nyatanya ini adalah harta karun, benar-benar harta karun. Suara
denting piano beradu dengan suara malaikat di intro. Dengan durasi yang cukup
singkat, dan vokal Ariel yang biasa saja dan tidak berusaha memberikan gaya
terbaiknya: track paling menyentuh di Seperti Seharusnya. Dan seperti inilah
seharusnya lagu pop Indonesia: mulai memasuki menit 1:50 ada bermacam isian yang
seperti dipinjam dari langit. Track yang surgawi. Dan nyatanya, setelah sekian
tahun menjadi playlist, Noah dengan Seperti Seharusnya belum pernah bisa hilang
dari playlist saya: semua lagu di album ini penting, dan inilah pencapaian
tertinggi Ariel dkk mulai dair awal karir mereka: dan bahkan ini adalah album
terbaik mereka, baik dengan nama Peterpan atau Noah. Saya masih menunggu Noah
membuat album penuh lagi, bukan album tak penting semacam Second Chance atau
yang terbaru, Sings Legend: siapa yang ingin mendengar yang seperti itu.
Buatlah yang seperti seharusnya. Meski kaset saya sudah raib diembat seseorang
bernama Roni yang ternyata adalah adik ipar Rina: bajingan bertampang lebih
cabul dari Andhika Kangen Band yang jika saya tanya mana kaset Noah, selalu
menjawab sedang dibuat mainan anaknya dirumah.
Tapi
meski begitu, Noah tetap abadi, dalam playlist dan dalam ingatan, seperti
seharusnya.
No comments:
Post a Comment