Wednesday, July 8, 2015

Devin Paquesy Calingga (1995 - 2015)

seolah aku masih melihatmu, pin. menggelindingkan bola bak nomor punggung 10. rambutmu tak pernah beranjak tumbuh--dan hanya segitu-gitu terus--sampai-sampai semilir angin di lapangan kecamatan tak bisa buatnya mencuat. selopmu, atau sepatumu masih membayang pin. kecil, hitam. ia lincah. teratur melewati halang-rintang pak guru, gesit meloncati taman, dan untuk kemudian berlarian ke halaman menghindari kakak kelas yang mengejarmu--dan juga aku serta semua sahabat-sahabat kita--dalam permainan adu tangkap. lemparan buah mangga muda kecilmu pin. mengajak perang. aku ingat aku kubu tengah, kamu kubu selatan. mengumpulkan mangga yang masih pentil, dan kita memulai perang dunia antar gang. kehangatanmu pin, dan senyummu yang tak putus-putus. mungkin kamu hanya terdiam dan sedih sesaat saat terungkit ayahmu pin. tapi setelah itu, gigi mentimunmu selalu muncul kembali. seperti kelinci tapi tanpa dua gigi yang menonjol. seakan mamamu saja sudah lebih dari cukup pin. mama yang aku ingat selalu kau peluk manja di angkot setelah pulang sekolah. mama yang selalu menyiapkan punggung pegalnya untuk menggendongmu dari ujung gang karena ia tahu hanya kamu yang ia miliki. dan rasa itu tak pernah main-main, bahkan hingga detik terakhir setelah kau diterkam keberingasan jalanan, hanya dia yang terus kau sebut: mama, mama, berulang kali sampai kau pergi. seolah aku masih menantimu pin. dengan seragam kekecilan kumalku, atau dengan tas yang kutaruh seenaknya di bangku, kamu harus datang pin, atau aku akan duduk sendirian tanpa teman sebangku. tapi kamu tak pernah jauh-jauh dari pukul tujuh, setengah menit sebelum lonceng itu. seolah aku masih melihatmu pin, duduk sambil menerawang buku sejarah. aku tahu itu bukan favoritmu pin. kamu tak bisa jauh-jauh dari bola. pin, aku--dan sahabat-sahabat kita--sempat menyesal pin. kenapa kamu tak pernah kami ajak main bola di lapangan villa yang sepi itu. hingga kamu akhirnya selalu bermain bola entah berdua atau bertiga di lapangan dekat hotel. kita bisa bermain ramai-ramai pin. kita bisa bermain berdelapan dengan kakiku yang kidal. kenapa juga dulu aku harus takut berhadapan dengan bu guru, yang menyalahkanku karena kita terus-terusan bekerja sama sewaktu ulangan. tapi maaf pin, aku sudah jarang bersamamu semenjak naik kelas dan membentuk geng baru. tapi aku akan selalu ingat. kamu depin; bekas teman sebangkuku. kamu depin; yang tak pernah alpa menyapaku. kamu depin; yang selalu menghampiriku di tepi lapangan dengan seplastik jas jus jambu. kamu depin; yang berkunjung ke rumah bersama rombongan gengmu hanya untuk menantang taruhan tepuk kartu. kamu depin; yang terus ada terus tersenyum di sela-sela kesibukan kita saat bertumbuh. sempat aku dengar kabarmu berlatih motor bersama tukang ojek langgananmu. sempat pula aku dengar kamu punya bapak baru. sempat kita berjalan bersama di suatu hajatan untuk kemudian terpisah. sempat kita bertemu di lorong masjid, saling berjabat tangan, saling menanya kabar, dan ku ingat betul, saat itu usia kita sudah jauh dari saat dulu kita sama-sama suka bola. sempat kamu merangkul pundakku dan berpesan: jangan pernah sombong, sementara setelah itu aku tak pernah menjumpaimu. dan setelah salat jumat itu, seolah aku ingin selalu melihatmu pin. menggelindingkan bola seperti yang sudah-sudah. berteriak sekeras mungkin menyanyikan hymne sahur kita. ini aku dan kamu, sama-sama sudah dewasa. dan salat jumat terakhir kita: kamu masih tak memakai peci. beberapa waktu dan ya, seolah aku masih melihatmu pin. menggelindingkan bola dan jutaan tawa dalam pusara.

selamat jalan pin. dari aku, teman sebangkumu
dan sahabat-sahabat yang kau tinggal tepat tiga hari sebelum ulang tahunmu.

No comments:

Post a Comment