Saturday, July 11, 2015

Memfiksikan Mencret, Memencretkan The Strokes

Berjalan cepat-cepat tanpa mempedulikan sandal jepit yang keropos, inilah aku yang sedang mencret. Terburu-buru menuju warung, terbatuk-batuk menahan bakteri yang bergejolak di silit, demi membeli entrostop—si obat diare—dimana aku yakin dengan meminumnya, satu atau dua kali eek ku akan kembali jadi seperti batu: keras, panjang dan kecoklatan (padahal batu adalah berwarna hitam tapi tidak mengapa). Setelah meminumnya dengan air kran sesungguhnya belum ada efek apa-apa. Bahkan aku masih takut kentut karena bisa-bisa benteng pertahanan belakangku jebol dan jadilah aku eek di celana. Tinggal menunggu beberapa jam. Atau mungkin dalam hitungan menit, zat-zat busuk yang menghuni perutku akan takluk.

Fak yeah!

Oke akhir-akhir ini saya jadi tertarik nulis fiksi, meskipun hasilnya jadi cukup tolol seperti diatas tapi tak mengapa namanya juga iseng-iseng bosku. Semua keisengan ini terjadi setelah saya membaca cerpen dari Yusi Avianto Pareanom yang judulnya lupa, tapi itu tercantum dalam buku kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa, rilisan tahun 2011 atau 2010 kalau tidak salah. Saya tertarik ketika cerpen yang saya baca itu terasa ringan, dan kena banget. Saya belum punya bukunya padahal dan hanya nemu secara tidak sengaja ketika blogwalking. Tapi tidak heran karena Yus Arianto sendiri—setelah googling tentunya—ternyata adalah penulis yang cemerlang. Entah kebetulan atau tidak saya coba bongkar-bongkar kembali majalah Rolling Stone lama edisi spesial The Big 100. Dalam kategori Best Book saya nemu itu judul kumcer: Rumah Kopi Singa Tertawa. Awalnya saya pesimis ah kebetulan nih tapi setelah lihat yang nulis WG alias mbak Wening Gitomartoyo saya jadi yakin untuk memburu kumcer ini. Wening sendiri adalah editor senior di Roliing Stone yang karekteristik tulisannya cerdas, dan dia adalah penggemar buku-buku fiksi. Jadi cukup mempunyai kapasitas lah. Seperti Ricky Siahaan ataupun Wendi yang kapasitasnya ada di tulisan musik-musik keras/metal/underground. Saya jadi ngeh kalau menulis itu ada hubungan langsung sama kesenangan. Semakin senang kita pada suatu hal maka semakin baik kita menuliskannya. Contoh yang nyata adalah ketika Reno Nismara, editor baru Rolling Stone menulis tentang konser Dream Theater, karena dia sebenarnya tidak interest-interest amat dengan bandnya jadi tulisannya cenderung mojokin DT, dia bilang gini: DT adalah band cover dari Metallica dan Pink Floyd yang buruk, dan itu langsung membuat banyak orang, termasuk Agung Rahmadsyah, salah seorang kontributor RS gerah dan sampai bikin tulisan sendiri di blognya, mantap kali kan! Oh ya btw karena sekarang saya lagi seneng sama seseorang jadi saya kudu menuliskannya sebaik mungkin.

Dia menatap aku. Tapi tatapannya tak lewat bola mata, tak lewat bayangan visual yang membuatku bisa bermain mata, juga tak secara langsung dan mengizinkanku bertatap muka. Dia menatap aku lewat awan yang kini beriringan, membentuk muka babi: mulai dari telinga, mata dan yang paling ikonik hidungnya yang besar. Tapi darimana aku bisa merasa kalau dia menatapku? jauh di mata namun dekat di hati, kata RAN. Dan kini lewat line telepon aku sedang menahan gejolak rindu, dan gejolak mencret pada silitku.

Huahaha!

Sebuah tulisan yang membingungkan. Sebenanrnya ini tidak menjelaskan ‘menatap’ secara harfiah, tapi namanya juga LDR, jadi bisalah menatap dimaknai apa saja. Baik saya sepertinya kurang baik menelaah pelajaran semiotik jadi masih amburadul sekali dalam mengolah karya sastra. Tapi sudahlah siapa yang peduli akan hal itu. Yang lebih penting untuk saat ini adalah istirahat dengan tenang, meninggalkan jamaah terawih, menyusun playlist pereda mencret dan menuliskannya di blog tanpa ada ketakutan bahwa ini akan mengakibatkan puasa batal. 

Berikut playlist kala mencret yang kini terputar gagah di GOMAudio.

“Is This It”
Lagu pembuka album bertajuk sama. Ketukan drum malas sekali, sumpah malaaaas sekali. Suara vokalis malas sekali, malaaaas sekali sumpah. Saya teler mendengarkannya. The Strokes nama bandnya.

“The Modern Age”
Yang ini agak lebih ngebeat, tapi ketukan drum dan raungan gitar sungguh amat sangat primitif. Monoton dan kaku. Lagu terbaik The Strokes sih kalau menurut saya.

“Soma”
Yang menyenangkan adalah hentakan yang terus meningkat dari awal sampai akhirnya klimaks di akhir. Simak suara Casablancas dan ketukan drum Johny (saya lupa nama drummernya sih), yang menggila menuju akhir. Bangsat.

“Barely Legal”
Versi ini masih lebih sopan dibanding versi Lost Treasures yang raw, mentah, dan kasar. Tempo juga agak sedikit lebih pelan. Kata adik saya lagu ini pernah jadi soundtrack iklan Mizone tapi WTF-lah.

“Someday”
Video clip dengan Heineken dan Marlboro. Muka berminyak dan jaket kulit. Baju mepet dan Converse lusuh. The Strokes dengan cepat menempati posisi band penting dalam hidup.

“Alone, Together”
Judul paling paradoks sekaligus paling menarik: sendirian bersama-sama/bersama-sama sendirian. Saya apal liriknya tapi bingung maksudnya. Instrumennya juga katanya saling berlawanan tapi bisa ketemu jadi harmoni yang bagus. Paradoks memang ditakdirkan untuk lagu The Strokes yang ini.

“Last Nite”
Versi sampah pernah dibawakan Mirza si gondrong cemen anak Indonesian Idol. Versi suangar dibawakan dalam video clip—yang hebatnya dimainkan live. Albert Hammond Jr. Si kribo menyenggol microphone drum, sampai drummer akhirnya terpaksa merobohkan cymbal. Jules yang mabuk, melempar microphone, menyenggol personil lain tanpa kesopanan sedikitpun. Bener-bener rock and fucking roll.

“Hard To Explain”
Saya sukaaaaaaaaa sekali sama lagu ini. Susah untuk menjelaskan kenapa saya suka. Hard to explain memang.  Mengalir rasanya seperti naik Mustang tahun 60-an, atau ikut terbang Neil Armstrong, atau melihat rok Marlyin Monroe yang terbuka dari bawah. Atau melihat pilot jet tempur memakai helm vespa bolak-balik di angkasa. Yes akhirnya saya bisa menjelaskannya.

“New York City Cops”
Menceritakan NYC Cops yang ain’t too smart. Fucking strange. Lagu pertama The Strokes yang saya suka. Di set konser Bonnaroo si Albert mengotak-atik efek dan gitarnya sampai terdengar seperti sirine polisi sebelum begajulan ini memulai lagunya. Stop! Dan inilah yang paling ditinggu karena setelah Jules mengucap Stop, maka segala instrumen terhenti kecuali hentakan solo drum selama beberapa detik. Lupa tapi nama drummernya.

“Trying Your Luck”
Lagu paling santai, suaaantaaaiii di Is This It. Sampai-sampai saya juga ikutan santai untuk tidak memberikan deskripsi banyak-banyak.

“Take It Or Leave It”
Dicover Arctic Monkeys. Dan setelah itu saya jadi pingin mendengar lagu AM yang lain tapi sampai sekarang masih belum bener-bener sreg sama lagu-lagunya (yang saya agak pahami hanya album Whatever People Say). Lagu ini ya, di YouTube konser-konsernya The Strokes selalu dijadikan penutup. Enak sih. Punk-punk primitif 60-an gimana gitu.


pantat mulus. mencret
Yaaaaaa! Semuanya diatas dicomot dari album Is This It-nya Thhhe Strrrokeees!  Berhasil bikin saya mencret seketika.

Jebol. Ya, jebol. WC yang dibuat tahun 2000 itu retak. Eek eek dari dalam septic-tank menyembur. Mengenai langit-langit toilet. Sabun lifeboy, odol formula, loreal, garnier, conditioner dove, tre semme, dan barang-barang mandi milik kami semuanya terkena eek. Ompol, upil, bolot dan jutaan molekul mengenai bathubku dan meracuni air—karena eek seseptic-tank rusak air sebelangga. Tapi aku senang power rangers mainanku yang hilang pas aku SD akhirnya ketemu. Ternyata dulu ia nyemplung WC dan sekarang ikut keluar beserta tisu-tisu berlendir yang baru kemarin kubuang dengan sengaja.

Huekekekek!

Maafkan segala bentuk ketidakjelasan ini. 

2 comments: